Sinar berwarna merah ke kuning-kuningan akhirnya muncul secara perlahan di ufuk timur, sinar yang disertai dengan burung-burung hutan yang berkicau dengan indahnya membuat suasana menjadi syahdu.
Apalagi sinarnya yang hangat, membuat orang yang awalnya terlelap tidur secara pelan-pelan terbangun dengan sendirinya, di iringi dengan hawa sejuk yang berhembus ketika pintu dan jendela rumah mereka yang dibuka lebar. Membuat mereka bersemangat untuk menyongsong hari baru karena hari sudah berganti dan mereka harus kembali bekerja ke kebun masing-masing yang ada dibelakang rumah.
Beginilah desa transmigrasi yang kita tinggali, sebagai desa perintis yang letaknya sangat jauh dari keramaian, dengan jarak yang berpuluh-puluh kilometer melewati hutan lebat dan rawa-rawa membuat kami harus bekerja keras setiap paginya, menggarap lahan pertanian yang sudah pemerintah beri untuk kami kelola.
Dengan harapan, desa ini akan maju seperti desa-desa yang sudah lebih dulu ada di tanah ini. Kami tinggal dengan sebuah tanah garapan yang harus kita olah, Tanah sebanyak dua hektar yang kami kelola bisa menjadi modal untuk para warga desa untuk kehidupan yang lebih baik bagi anak dan cucu mereka.
Meskipun desa ini desa yang sangat-sangat terpencil, namun fasilitas yang ada di Desa Muara Ujung sangat lengkap.
Ada tempat peribadatan dari berbagai agama di ujung desa, ada lapangan bola, juga gedung pertemuan bagi para warga untuk penyuluhan atau sekedar nongkrong dan mengobrol dengan para warga lain selepas berkebun.
Ada juga warung-warung kecil dari inisiatif beberapa warga untuk memenuhi kebutuhan hidup selama disana untuk penghasilan tambahan, meskipun secara kebutuhan kita di support oleh pemerintah di satu tahun pertama, namun tetap saja para warga harus membeli kebutuhan lainnya seperti minyak tanah untuk memasak, sabun untuk mencuci atau rokok sebagai kebutuhan hidupnya.
Selain tempat-tempat tersebut, ada salah satu tempat lagi yang kadang dikunjungi para warga, sebuah tempat yang dihuni oleh seseorang yang dihormati selain Pak Dani yang menjadi Kepala Desa.
Tempat itu dihuni oleh seseorang yang dipercaya oleh pemerintah untuk berdiam di sana, selain mendapatkan tanah dia juga digaji oleh pemerintah untuk mengurus kesehatan seluruh warga.
“Pak Ridwan, lagi diluar Pak?”
Tampak seorang warga yang berangkat pagi-pagi untuk mengambil air melewati tempat itu, dia menyapa seseorang yang sedang berdiri di depan rumah yang dia sulap menjadi sebuah Puskesmas sederhana untuk mengobati para warga yang ada disana.
Dengan tersenyum warga tersebut menyapa seseorang yang menjadi tuan rumah dan pemilik dari Puskesmas tersebut. Tak lama, seseorang yang dia panggil Pak Ridwan pun balik menyapanya dengan sedikit senyuman yang terlihat di wajahnya.
“Iya, ini lagi mau beresin plang Puskesmas, lagi nunggu si Ucok datang buat bantu.”
“Eh gimana istrimu Li? Udah mendingan sakitnya?” kata Pak Ridwan dengan senyum khas nya.
“Iya udah Pak, kemarin dia sudah mulai ke dapur lagi, benar kata Pak Ridwan istriku kangen suasana kota jadi kepirikan terus ampe sakit."
“Tapi sekarang sudah agak mendingan Pak, dia aku suruh buat istirahat dulu di rumah sampe benar-benar tenang pikirannya,” katanya sambil sedikit berteriak.
“Oh ya syukurlah, nanti kalau ada apa-apa datang lagi kesini aja ya!” kata Pak Ridwan dengan nada yang ramah.
“Iya Pak, makasih ya Pak sudah bantu rawat istri ku.”
“Oh iya, maaf gak bisa lama-lama, aku harus segera pergi, mau ngelanjutin pekerjaan Pak Satria buat masang-masangin pipa dari rawa Pak, biar kebun-kebun kita banyak suplai airnya,” katanya dengan sedikit berteriak dan mengangkat salah satu tangannya.
“Ok kalau begitu, hati-hati ya Li,” katanya sambil membalasnya dengan mengangkat tangannya.
Pak Ridwan tersenyum ketika melihat Ali akhirnya pergi kembali menyusuri jalanan besar yang menjadi jalan utama yang masih berupa tanah yang becek dan bergelombang.
Setelah berdiri cukup lama di depan rumah untuk melihat matahari yang secara perlahan muncul dengan sinarnya yang terang. Akhirnya Pak Ridwan berbalik melihat rumahnya, mencoba menghangatkan punggungnya dari sinar matahari pagi sambil mengambil satu batang rokok yang ada di salah satu sakunya.
Rasa hangat secara perlahan-lahan muncul dan meresap ke seluruh tubuh, sebagai Dokter Puskesmas dia tahu fungsinya berjemur pada pagi hari. Sehingga hampir setiap hari dia melakukan hal ini.
Sambil memandang rumah yang dia ubah menjadi Puskesmas sederhana. Dia akhirnya mendapatkan impiannya, sebuah impian untuk mendapatkan tempat prakteknya sendiri. Meskipun harus tinggal di tempat yang jauh seperti ini.
Fuhhhh
Asap rokok terlihat mengepul keluar dari mulut Pak Ridwan secara perlahan.
“Kalau saja kamu masih hidup Satria, di waktu pagi seperti ini pasti ada teman mengobrol, ngobrol tentang kehidupan kita dulu ketika di kota, mengobrol tentang kehidupanmu yang melanglang buana mengelilingi pulau-pulau.”
“Juga kehidupanmu yang penuh akan tantangan seperti kuliah dulu.”
Fuhhhh
“Aku tidak terlalu akrab dengan mereka Satria, bahkan dengan istrimu sendiri. Kamu tahu kan aku orangnya seperti apa, susah bergaul dengan orang, hanya denganmu saja aku bisa membuka kedokku, seperti halnya kamu membuka kedokmu selama ini.”
“Aku juga sengaja mengajakmu ke tempat ini, mensupport segala hal agar kamu bisa lolos dan tinggal disini bersama istri dan anakmu, agar aku ada teman.”
“Tapi…..”
Hahhhhhh
Sebuah nafas panjang terlihat dari tubuh Pak Ridwan pada saat itu, mulut yang awalnya penuh asap rokok dia hentikan sementara. Seperti ada penyesalan ketika dia mengingat Satria harus pergi meninggalkan dirinya disana sendirian, karena mungkin saja Pak Ridwan sudah menganggap Satria adalah teman semasa hidup yang bisa menjadi teman mengobrol dan bertukar pikiran ketika sedang berada di tempat ini.
Dia tiba-tiba tersenyum kecil, bahkan kepalanya di gelengkan beberapa kali sambil kembali menghisap rokoknya secara perlahan.
“Apakah aku bisa bertahan selama lima tahun disini dan bersosialisasi dengan para warga dari berbagai daerah dengan watak yang berbeda satu sama lain.”
Fuhhhh
Pak Ridwan terus-menerus bergumam. Seperti ada sesuatu persahabatan yang mengikat dirinya dan Satria sehingga mereka berdua memutuskan untuk tinggal di tempat ini
Pikirannya melayang kemana-mana ketika dirinya bersama-sama kuliah di tempat yang sama, berjuang bersama ketika lulus, hingga akhirnya berakhir di tempat ini.
Namun,
Tak lama lamunannya terhenti ketika dia mendengar sebuah suara meminta tolong dari arah kanan. Tampak ada seseorang yang sedang berlari dengan tergesa-gesa ke arahnya sambil menggendong seorang anak yang dia bawa oleh kedua tangannya.
“Pak Ridwaaaaan!”
“Tollonggggg, tolonggg Pak!”
“Toloong Ayuuuuu!”
Pak Ridwan yang sedang melamun di depan rumahnya langsung menoleh ke asal suara itu, tampak Minah berteriak sambil membawa Ayu yang penuh luka berlari ke arah Pak Ridwan.
Dengan wajahnya yang tampak kusut, rambutnya yang berantakan, bahkan di sekitar matanya terlihat menghitam karena kekurangan tidur. Minah benar-benar terlihat memprihatinkan, apalagi Ayu yang sedang dia bawa yang kini penuh dengan luka memar dan sayatan atas kejadian teror yang dia alami kemarin membuat tubuhnya lebih memprihatinkan.
Pak Ridwan tampak kaget, dengan segera dia berlari menghampiri Minah dan menggendong Ayu dengan kedua tangannya.
“Minah, apa yang terjadi, kenapa Ayu bisa seperti ini?” katanya dengan nada yang panik.
Suasana Bandung pada sore itu sangatlah ramai. Maklum, liburan panjang membuat banyak orang terutama dari ibukota mengunjungi Bandung untuk sekedar ke restoran atau ke tempat-tempat wisata yang bisa membuat pikiran mereka kembali fresh setelah penat oleh pekerjaan mereka di setiap harinya. Aku, yang menjadi penulis dari cerita ini, kini mempunyai hobby baru, selain menuangkan tulisanku di dalam karyaku, aku juga kini menjadi seorang podcaster amatir dengan gimmick sebagai duo demit yang seringkali mengomentari manusia dalam podcastku. Cerita horor yang aku tulis dalam keadaan serius, membuatku harus mencari kesibukan lain sehingga aku bisa melepas tawa meskipun obrolannya masih sama tentang tahayul, mitos, juga para mahluk yang ada di sekitar kita. Matahari sore itu tampaknya sedikit mendung, tepat ketika aku keluar studio. Aku hari ini berencana untuk bertemu seseorang yang ingin bercerita di tempat kerjanya yang sekarang. Sebuah cerita yang mungkin saja bisa aku angkat menjadi cer
Sebuah desa yang menjadi mitos dalam keluarga dirinya, yang katanya desa itu ditinggalkan oleh ayahnya sendiri karena suatu hal yang tidak dia ketahui kini berada tepat beberapa meter di depan matanya.Pepohonan yang lebat serta ilalang yang menutupi hingga melebihi tubuhnya membuat desa ini sangat susah untuk diketahui. Bahkan warga di Desa Muara Damar yang kini menjadi sebuah kecamatan besar pun tidak mengetahui bahwa ada desa di tengah hutan seperti ini.Bahkan mereka pun terlihat enggan untuk berjalan selama enam jam lebih hanya untuk ke tempat ini, karena mereka takut hewan buas yang mungkin akan menerkam mereka di tengah hutan. Mereka pun sebenarnya tidak mengetahui bahwa ada sebuah desa terlupakan di tengah hutan yang tinggalkan oleh penghuninya yang salah satunya ayahnya sendiri.Ayahnya masih ingat bagaimana dia tiba-tiba terbangun seperti mimpi, dan terbangun di pagi hari di dekat rawa-rawa seberang Desa Muara Damar bersama dengan para warga yang lain. Namun semuanya tidak i
Aku masih ingat Bu Cucu berkata ‘TAHAAAAAN!’ dengan keras di dekatku, aku benar-benar tidak kuat ketika tuselak itu masuk ke dalam tubuhku, rasa sakit disertai rasa dingin benar-benar aku rasakan di dalam tubuhku, seperti ada ratusan jarum yang menusuk-nusukku dari dalam.Sungguh cara yang gila yang aku lakukan, namun sudah tidak ada cara lain lagi karena hal itu harus aku lakukan.Butuh waktu lima belas menit hingga tuselak itu seluruhnya masuk ke dalam tubuh, tubuhku yang merasakan sesuatu yang asing langsung melakukan penolakan dan ingin memuntahkannya, namun Bu Cucu berkata bahwa aku harus bisa menahannya hingga tuselak itu bersemayam di dalam tubuhku dengan segel dari Bu Cucu agar tidak bisa memberontak dari dalam sana.Hingga akhirnya.Aku melihat Ayu yang awalnya berdiri dengan tegap tiba-tiba jatuh seketika dengan luka darah yang mengucur dari punggungnya, jantungnya mendadak berhenti tepat ketika tuselak itu masuk ke dalam tubuhku.Aku sempat berteriak dan ingin menangkap tub
Srak, srak, srak, Tanah yang berwarna coklat tua disertai dengan banyak sekali akar-akar pohon yang berada di dalam tanah kini secara perlahan aku pindahkan kembali setelah aku gali selama beberapa jam ini. Sinar matahari yang terik sangatlah terasa dengan bau keringat yang menyengat karena dari semalam aku tidak sempat membersihkan diri atas apa yang terjadi. Aku mengangkat tanganku, menutupi wajahku yang penuh keringat, melihat langit yang kini biru dengan sedikit awan di atas sana. Apa yang terjadi semalam kini kembali berubah menjadi normal kembali ketika matahari tiba. Namun bedanya, kini semuanya telah usai. Desa Muara Ujung yang awalnya ramai, penuh dengan canda tawa, penuh dengan rasa semangat dari orang-orang yang hidupnya kembali ke titik nol di tempat ini, kini harus terusir oleh apa yang keluargaku lakukan. Haaaaaahhh Aku menghela nafas panjang, tepat ketika aku menyelesaikan pekerjaanku sekarang, aku menurunkan cangkul yang aku bawa di tanah, dan memandang sebuah pek
Kedua tanganku benar-benar berkeringat, aku menahan Ayu agar tidak bisa bergerak dengan cara apapun, parang yang aku tancapkan masih terlihat menembus punggungnya.Aku sengaja menusuknya ke arah dada, agar parang itu tidak tertahan oleh tulang rusuk yang bisa menyulitkanku ketika aku menahan Ayu.Aku benar-benar menjadi pembunuh sekarang, pembunuh dari anak tiriku sendiri, meskipun tubuhnya kini di selimuti oleh sesuatu kekuatan yang gelap yang membuatnya bisa bergerak meskipun seharusnya tubuhnya telah mati akibat luka yang dia terima.Namun tetap saja, aku adalah bagian dari pembunuhan itu, pembunuhan terhadap anak kecil tidak berdosa yang didalamnya terdapat suatu makhluk yang mengerikan.Aku yakin, Ayu sekarang sudah tiada, dia hanyalah sebuah tubuh kosong yang diambil Alih oleh tuselak.Sehingga, ketika Bu Cucu mengambil tuselak itu dengan kedua tangannya, maka tubuhnya akan seketika berhenti bergerak.“TAHANN MINAH, SEDIKIT LAGI!” kata Bu Cucu yang dengan sigap menarik bayangan
‘Aku harus bertanggung jawab.’‘Aku harus mengakhiri semua ini.’‘Ini tidak boleh dibiarkan begitu saja, karena kalau Bu Cucu meregang nyawa, maka para warga desa tidak bisa lagi melarikan diri dan mereka bisa menjadi korban.’Suara-suara itu berkecamuk dalam diriku, ditengah-tengah suasana genting yang bisa saja mengakibatkan nyawaku melayang.Aku melihat ke sekeliling ketika sebuah angin yang sangat besar menghempaskan semua yang ada di sekitarku sehingga banyak dari mereka yang terpental ke segala arah.Banyak anak kecil yang terlepas dari pangkuan ibunya, banyak juga para orang tua yang terjatuh dan terguling di semak-semak. Semuanya benar-benar kacau.Apalagi, Bu Cucu sudah tampak kelelahan dengan luka yang dia terima pada saat itu.Tanganku tiba-tiba bergetar hebat, parang yang masih aku pegang dengan erat aku lihat dengan seksama.Keberanian dan ketakutan tercampur aduk saling beradu satu sama lain di dalam diriku pada saat itu.Apakah yang akan aku lakukan sekarang, apakah aku