Share

3-BINGKAI

Penulis: pujangga manik
last update Terakhir Diperbarui: 2022-11-07 11:08:46

Aku kembali teringat dengan jendela yang belum sempat aku tutup ketika aku berlari menghampiri Ayu pada waktu itu.

Namun, aku tidak bisa berbuat apa-apa sekarang. Situasi di dalam kamar benar-benar gelap, tidak ada satupun titik cahaya yang bisa membantu melihat situasi yang ada di ruangan tengah.

“Bunda, Ayu takut!”

Ayu berkata dengan mulutnya yang gemetar. Semakin lama, pelukannya semakin erat. Aku hanya bisa mengusap kepalanya beberapa kali–sebisa mungkin menenangkannya.

“Ayu … Ayu gak boleh takut. Ada Bunda di sini ya, nak!”

Suara langkah kaki yang aku dengar diluar kini mulai menghilang. Suasana kembali menjadi hening dengan kegelapan yang masih menyelimuti kamar Ayu dan rumahku ini.

Aku ingin sekali memastikan semuanya aman. Sayangnya, tidak bisa! Penerangan–yang seharusnya membantuku melangkah ke ruangan tengah–tidak ada sama sekali di sini.

“Ayu!” kataku, “bukannya Ayu ada mainan yang bisa menyala? Itu disimpan di mana? Mainan yang seperti tongkat penyihir yang dulu diberikan sebagai hadiah ulang tahun dari ayah untuk Ayu?”

“A–Ayu simpan di dekat dinding, Bun. Tapi, Ayu gak tahu di sebelah mana karena Ayu gak bisa melihat,” katanya sambil ketakutan.

Aku hanya tersenyum dalam kegelapan mendengar jawaban dari Ayu. Kuusap kembali kepala Ayu agar dia kembali tenang.

Semoga saja, cahaya dari mainan itu bisa membantuku untuk berjalan ke ruangan tengah. Aku harus segera memastikan bahwa tidak ada teror lagi yang mengakibatkan kami berdua ketakutan seperti ini.

Aku mencoba meraba-raba lagi dinding yang ada di dekatku, mencoba mencari mainan Ayu di tumpukan mainannya.

Boneka-boneka kecil, boneka barbie, mainan masak-masakan dari plastik–semuanya tersusun rapi di sana. Salah satu tanganku mencoba meraba-raba satu per satu mainan tersebut, hingga tak lama, aku meraba sebuah benda yang aku cari!

Sebuah tongkat yang terbuat dari bahan plastik dengan bentuk bintang dan lampu kecil di atasnya. Juga, ada sebuah tombol on dan off yang ada di pegangan tongkatnya. Meskipun itu hanya mainan, namun setidaknya itu bisa digunakan untuk menerangiku dan Ayu dari kegelapan ini. Aku menatap mainan Ayu ini dengan binar bahagia.

“Udah, udah! Ayu gak usah takut lagi, ya. Bunda sudah nemu tongkatnya. Nanti kalau tongkatnya nyala, kita jalan bareng-bareng ke arah dapur untuk ambil lilin dan korek.”

Aku sekarang mempunyai keberanian untuk melangkah ke ruang tengah–mencari tahu apa yang sebenarnya terjadi.

Belum lagi, aku sekarang bahkan bisa ke arah dapur untuk mengambil lilin dan korek. Setidaknya, setiap sudut di rumah ini bisa terang kembali. Karena jujur saja, suasana seram di tengah kegelapan di rumah kayu, membuat semuanya terasa mencekam. Hanya cahayalah satu-satunya harapan agar aku bisa melepaskan diri dari ketakutan ini.

Meski aku katakan keberanian mulai merasukiku, nyatanya tongkat yang kupegang kini tampak basah oleh keringat yang muncul dari seluruh tubuh. Entahlah, yang pasti, secara perlahan, aku akhirnya memindahkan tombol off ke on untuk membuatnya menyala.

Namun ….

Tampak sebuah sosok yang sangat dekat dan jelas terlihat oleh kedua mataku–sosok Satria tiba-tiba muncul dengan jarak yang sangat dekat!

Cahaya dari mainan itu dengan sangat jelas menyinari wajah dan tubuh yang dipenuhi oleh bekas-bekas lilitan dari tumbuhan rawa yang melilit tubuhnya–seperti ketika mayatnya ditemukan pertama kali.

Wajahnya yang rusak dengan bekas lilitan dari tumbuhan rawa kini terlihat dengan jelas. Kulit-kulitnya yang mengkerut, darah-darah yang muncul dari bekas lilitan yang melilit wajahnya, juga tatapannya yang melotot ke arahku dengan mulutnya yang menyeringai membuatku semakin ketakutan atas apa yang aku lihat.

“ARGGGHHH!!!”

Aku berteriak sekencang-kencangnya. Aku benar-benar tidak menyangka sosok yang menyerupai Satria itu akan muncul tepat di dekatku.

Dengan sigap, aku langsung menutup kedua mata Ayu. Aku tidak ingin Ayu melihat sosok itu dalam jarak yang sangat dekat.

Bahkan, saking kagetnya aku secara tidak sadar melemparkan tongkat mainan itu ke arah sosok tersebut. Mainan itu melayang dan menembus sosok itu hingga akhirnya menabrak dinding dan membuatnya cahayanya mati.

Brak!

“Haaah….” Napasku tiba-tiba berat. Keberanian yang muncul ketika aku menemukan benda itu, mendadak tergantikan kembali dengan rasa takut yang lebih lagi.

Aku benar-benar takut karena sosok itu sepertinya masih duduk di sana dan tidak bergerak. Apalagi, suasana kembali menjadi kegelapan setelah aku melemparkan benda yang menjadi cahaya satu-satunya di situasi seperti ini.

Aku hanya bisa terdiam sekarang.

Tidak ada yang bisa aku lakukan, selain berharap bahwa semuanya akan cepat berakhir. Aku sudah tidak tahu harus bagaimana sekarang. Aku hanya bisa memeluk Ayu dengan erat yang tidak tahu bahwa sosok itu kini ada di dekat kita berdua.

Zrrt, zrrtt, zrttt!

Entah mengapa, sebuah keajaiban terjadi. Lampu yang ada di dalam kamar tiba-tiba kembali menyala! Meskipun kini nyalanya sedikit redup, namun setidaknya aku bisa melihat dengan seksama seluruh isi kamar Ayu dengan kedua mataku sendiri.

Mataku benar-benar terbelalak ketika aku tidak menemukan sosok itu ketika lampu kembali terang.

Yang ada, hanyalah sebuah tirai yang terbuka setengah dengan angin dingin yang berhembus dari ruangan tengah—karena jendelanya belum kututup tadi.

Sayangnya, rasa takut itu susah dihilangkan. Meskipun lampu kamar sudah kembali menyala, aku benar-benar tidak bisa melupakan sosok Satria yang muncul secara tiba-tiba di dekatku pada saat itu.

Namun, di satu sisi, aku juga harus mengetahui kondisi di ruangan tengah karena ada suatu benda yang jatuh dan bunyinya terdengar dengan sangat keras, bahkan sampai terdengar olehku yang ada di kamar Ayu.

“Ayu, Bunda tidak apa-apa, kan mengecek ke ruangan tengah? Sepertinya, tadi ada benda jatuh dan harus dirapikan,” kataku yang mencoba tersenyum kepada Ayu yang masih gemetar.

“Gak mau, Bun! Gak mau! Pokoknya, temenin Ayu aja di sini, Bun! Tolong sekali, Ayu takut, Bun.”

Ayu hanya menggelengkan kepalanya dalam pelukanku. Dia benar-benar tidak ingin melepaskan pelukannya karena dia takut akan sesuatu yang terjadi kepadanya seperti beberapa waktu yang lalu.

“Ya sudah kalau begitu. Bunda akan nemenin Ayu, tapi Ayu gak boleh ketakutan lagi, ya!”

Aku kembali mengusap-usap kepala Ayu pada saat itu. Aku paham sekali ketakutannya. Aku yang dewasa saja, gemetaran. Apalagi, dia? Anak sekecil itu, tadi melihat sosok ayah yang dia sayangi dan baru saja meninggal–tiba-tiba muncul seakan marah padanya.

Mungkin saja, di dalam dirinya, kini ada sebuah perasaan yang bercampur-aduk dan tidak bisa di deskripsikan oleh kata-kata.

“Ayu?” tanyaku. Kurasakan gemetar tubuhnya menghilang. Tetapi, tidak ada jawaban apapun dari dirinya.

Tampaknya, usapan lembut dari tanganku membuat dia tertidur secara perlahan. Dia kini terlihat tenang sepenuhnya sambil memejamkan matanya. Sepertinya, dia begitu nyaman tidur di dalam pelukanku.

Aku terus-menerus mengusap kepala Ayu secara perlahan sambil melihat ke sekeliling kamar–memastikan Ayu aman kali ini dan benar-benar tertidur pulas.

Akhirnya, kuputuskan untuk membaringkan kepalanya di atas bantal kembali. Aku juga mengambil boneka besar yang selalu menemaninya ke sebelahnya.

Bahkan, aku menutupi sebagian tubuhnya dengan selimut hangat–agar Ayu tidak kedinginan pada malam itu. Jadi, dia bisa merasa benar-benar aman dalam tidurnya.

“Selamat tidur, ya, Ayu! Semoga, hanya malam ini saja ada kejadian yang seperti ini,” kataku pelan sambil mencium kening Ayu ketika tertidur pulas disana.

***

Sreeet!

Tirai kamar yang terbuka setengah, kini aku buka sepenuhnya. Akhirnya, aku melangkahkan kaki secara perlahan ke ruangan tengah dan meninggalkan Ayu yang tertidur pulas disana.

Namun, kurasakan suasana ruangan tengah yang seharusnya tampak biasa saja–setelah lampu kembali menyala–terasa sangat berbeda. Ada sebuah tekanan yang menekanku dari belakang, sehingga tubuhku tiba-tiba terasa sangat berat untuk melangkah.

Deg, Deg, Deg!

Entah apa yang terjadi, namun setiap kali aku melangkahkan kaki, jantungku kembali berdetak kencang, bahkan kini napasku kembali berat.

Ruangan ini tampak kosong, tapi terasa sesak. Seolah-olah, banyak sekali orang yang memenuhi ruangan ini sekarang. Mereka saling berdempetan satu sama lain, saling memenuhi setiap sudut ruangan, hingga membuatku yang sedang melangkahkan kaki pun merasa kesusahan untuk melangkah.

Sepertinya … sosok itu masih berada di sekitar rumah ini. Atau, ada yang lainnya juga?

Aku takut. Namun, karena rasa penasaranku begitu kuat, aku terus memaksakan diriku di dalam tekanan yang luar biasa.

Tak lama, aku akhirnya mengetahui bahwa benda yang terjatuh dengan sangat keras itu adalah sebuah bingkai foto keluarga yang menempel di dinding!

Sebuah foto yang menjadi satu-satunya kenangan keluargaku bersama Satria dan Ayu. Dulu, kami berfoto bersama di dalam studio foto–sebelum kami berangkat pindah ke desa ini. Foto dengan bingkai kaca tersebut jatuh ke lantai, hingga pecahan kaca bingkainya berhamburan ke mana-mana.

Aku hanya bisa terdiam melihat betapa berantakannya ruangan tengah saat ini.

Namun ….

Aku sontak tidak bisa berkata-kata ketika foto–di bingkai yang terjatuh itu–terlihat sangat aneh. Wajah Ayu yang seharusnya terlihat sedang tersenyum manis, kini justru robek oleh pecahan kaca! Wajahnya kini bahkan tidak terlihat lagi, sehingga di foto itu, hanya ada wajahku dan wajah Satria

“Ada apa lagi ini?” lirihku.

Aku akhirnya berjongkok untuk melihat foto itu dari dekat. Tak lupa, aku membersihkan bingkai kaca yang patah dengan kedua tanganku.

Kuangkat foto tersebut dengan seksama dan penglihatanku ternyata benar! Wajah Ayu memang robek–seolah ada orang yang sengaja melakukannya.

Karena, tidak masuk logika apabila ada benda terjatuh, lalu pecahan kacanya tiba-tiba menusuk wajah Ayu di dalam foto tersebut sampai hancur dan tak terlihat lagi, kan? Kecuali ….ada yang sengaja untuk menusuk wajah Ayu dengan pecahan kaca yang bertebaran di sana.

Brak!

Aku yang sedang fokus melihat foto itu tiba-tiba dikagetkan oleh suara jendela yang kini tertutup, bersamaan dengan angin yang sangat kencang ke arahnya. Bahkan, menerbangkan pecahan-pecahan kaca yang berserakan di dekatku pada saat itu.

Sontak, aku langsung melihat ke arah jendela yang tertutup secara tiba-tiba di sana. Tanpa sadar, aku bahkan melihat ke sekeliling jendela itu karena aku takut ada sesuatu yang muncul lagi dan menakut-nakutiku.

Deg!

Tanganku tiba-tiba bergetar dengan sangat hebat. Aku benar-benar tidak percaya pada penglihatanku sekarang! Keringat dingin pun kembali muncul dan kini membasahi tubuhku.

“Sa–Sa–Satria? Yang tadi muncul itu, bukanlah sosok yang menyerupai kamu, kan?” ucapku terbata-bata, “ke–kenapa kamu melakukan hal ini? Aku yakin kamu tidak akan meneror kami setelah meninggal, kan?”

“Kenapa kamu menghantui aku dan Ayu?!” bentakku..

Mataku menatap samar foto Ayu saat ini. Terdapat sebuah tulisan berwarna merah darah yang ditulis di atasnya. Sebuah tulisan yang mungkin menjadi alasan kenapa hanya wajah Ayu saja yang robek terkena pecahan kaca sehingga wajahnya di foto hancur, nyaris tidak terlihat.

[ DIA HARUS MATI!!! ] Tulisan itu seolah ditulis dengan darah merah yang masih segar.

Aku sendiri bahkan masih bisa melihat cipratan basah dari cairan yang menyerupai darah itu.

Aku menatap ngeri. Jantungku berdegup kencang, tak percaya. Teror ini mengincar nyawa Ayu–anak sambungku!

Aku mual dan marah! Gegas kulemparkan foto yang penuh darah tersebut.

Tubuhku tanpa sadar mundur beberapa langkah, hingga menabrak kursi di dekat meja kerja.

Kakiku bahkan mulai berlumuran darah karena menginjak pecahan kaca yang tadi berserakan di lantai. Rasa perih akibat pecahan kaca itu sebenarnya sangat terasa olehku. Akan tetapi, semua dikalahkan oleh rasa takut.

Aku ingin sekali berteriak atas apa yang aku lihat dirumah ini! Namun, kucoba menahannya dengan menempelkan kedua tanganku yang bergetar di dekat mulut.

Aku yang terdiam dengan rasa takut yang mendalam pikiranku melayang-layang atas semua keanehan di tempat ini. Namun, seketika langsung berteriak karena aku sadar bahwa apa yang Satria incar pada malam ini bukanlah diriku, melainkan Ayu yang kini tertidur pulas di dalam kamar.

“Arggghhh! AYUUU!” Aku berusaha berdiri dan bergerak untuk berlari ke arah kamar Ayu.

Darah-darah segar dari telapak kakiku tak kupedulikan. Bahkan, pecahan kaca yang seharusnya memperlambat langkahku, tetap ku injak.

Aku sudah benar-benar tidak peduli dengan rasa sakit yang aku rasakan sekarang, karena aku sekarang tahu, siapa yang Satria incar pada malam ini.

Ayu–anak itu–tidak boleh terluka!

Lanjutkan membaca buku ini secara gratis
Pindai kode untuk mengunduh Aplikasi

Bab terbaru

  • SEHARUSNYA KAU IKUT MATI   EXTRA BAB-AKU (PENULIS)

    Suasana Bandung pada sore itu sangatlah ramai. Maklum, liburan panjang membuat banyak orang terutama dari ibukota mengunjungi Bandung untuk sekedar ke restoran atau ke tempat-tempat wisata yang bisa membuat pikiran mereka kembali fresh setelah penat oleh pekerjaan mereka di setiap harinya. Aku, yang menjadi penulis dari cerita ini, kini mempunyai hobby baru, selain menuangkan tulisanku di dalam karyaku, aku juga kini menjadi seorang podcaster amatir dengan gimmick sebagai duo demit yang seringkali mengomentari manusia dalam podcastku. Cerita horor yang aku tulis dalam keadaan serius, membuatku harus mencari kesibukan lain sehingga aku bisa melepas tawa meskipun obrolannya masih sama tentang tahayul, mitos, juga para mahluk yang ada di sekitar kita. Matahari sore itu tampaknya sedikit mendung, tepat ketika aku keluar studio. Aku hari ini berencana untuk bertemu seseorang yang ingin bercerita di tempat kerjanya yang sekarang. Sebuah cerita yang mungkin saja bisa aku angkat menjadi cer

  • SEHARUSNYA KAU IKUT MATI   110-WANITA TUA

    Sebuah desa yang menjadi mitos dalam keluarga dirinya, yang katanya desa itu ditinggalkan oleh ayahnya sendiri karena suatu hal yang tidak dia ketahui kini berada tepat beberapa meter di depan matanya.Pepohonan yang lebat serta ilalang yang menutupi hingga melebihi tubuhnya membuat desa ini sangat susah untuk diketahui. Bahkan warga di Desa Muara Damar yang kini menjadi sebuah kecamatan besar pun tidak mengetahui bahwa ada desa di tengah hutan seperti ini.Bahkan mereka pun terlihat enggan untuk berjalan selama enam jam lebih hanya untuk ke tempat ini, karena mereka takut hewan buas yang mungkin akan menerkam mereka di tengah hutan. Mereka pun sebenarnya tidak mengetahui bahwa ada sebuah desa terlupakan di tengah hutan yang tinggalkan oleh penghuninya yang salah satunya ayahnya sendiri.Ayahnya masih ingat bagaimana dia tiba-tiba terbangun seperti mimpi, dan terbangun di pagi hari di dekat rawa-rawa seberang Desa Muara Damar bersama dengan para warga yang lain. Namun semuanya tidak i

  • SEHARUSNYA KAU IKUT MATI   109-PENJELASAN

    Aku masih ingat Bu Cucu berkata ‘TAHAAAAAN!’ dengan keras di dekatku, aku benar-benar tidak kuat ketika tuselak itu masuk ke dalam tubuhku, rasa sakit disertai rasa dingin benar-benar aku rasakan di dalam tubuhku, seperti ada ratusan jarum yang menusuk-nusukku dari dalam.Sungguh cara yang gila yang aku lakukan, namun sudah tidak ada cara lain lagi karena hal itu harus aku lakukan.Butuh waktu lima belas menit hingga tuselak itu seluruhnya masuk ke dalam tubuh, tubuhku yang merasakan sesuatu yang asing langsung melakukan penolakan dan ingin memuntahkannya, namun Bu Cucu berkata bahwa aku harus bisa menahannya hingga tuselak itu bersemayam di dalam tubuhku dengan segel dari Bu Cucu agar tidak bisa memberontak dari dalam sana.Hingga akhirnya.Aku melihat Ayu yang awalnya berdiri dengan tegap tiba-tiba jatuh seketika dengan luka darah yang mengucur dari punggungnya, jantungnya mendadak berhenti tepat ketika tuselak itu masuk ke dalam tubuhku.Aku sempat berteriak dan ingin menangkap tub

  • SEHARUSNYA KAU IKUT MATI   108-PAGI TIBA

    Srak, srak, srak, Tanah yang berwarna coklat tua disertai dengan banyak sekali akar-akar pohon yang berada di dalam tanah kini secara perlahan aku pindahkan kembali setelah aku gali selama beberapa jam ini. Sinar matahari yang terik sangatlah terasa dengan bau keringat yang menyengat karena dari semalam aku tidak sempat membersihkan diri atas apa yang terjadi. Aku mengangkat tanganku, menutupi wajahku yang penuh keringat, melihat langit yang kini biru dengan sedikit awan di atas sana. Apa yang terjadi semalam kini kembali berubah menjadi normal kembali ketika matahari tiba. Namun bedanya, kini semuanya telah usai. Desa Muara Ujung yang awalnya ramai, penuh dengan canda tawa, penuh dengan rasa semangat dari orang-orang yang hidupnya kembali ke titik nol di tempat ini, kini harus terusir oleh apa yang keluargaku lakukan. Haaaaaahhh Aku menghela nafas panjang, tepat ketika aku menyelesaikan pekerjaanku sekarang, aku menurunkan cangkul yang aku bawa di tanah, dan memandang sebuah pek

  • SEHARUSNYA KAU IKUT MATI   107-USAHA TERAKHIR

    Kedua tanganku benar-benar berkeringat, aku menahan Ayu agar tidak bisa bergerak dengan cara apapun, parang yang aku tancapkan masih terlihat menembus punggungnya.Aku sengaja menusuknya ke arah dada, agar parang itu tidak tertahan oleh tulang rusuk yang bisa menyulitkanku ketika aku menahan Ayu.Aku benar-benar menjadi pembunuh sekarang, pembunuh dari anak tiriku sendiri, meskipun tubuhnya kini di selimuti oleh sesuatu kekuatan yang gelap yang membuatnya bisa bergerak meskipun seharusnya tubuhnya telah mati akibat luka yang dia terima.Namun tetap saja, aku adalah bagian dari pembunuhan itu, pembunuhan terhadap anak kecil tidak berdosa yang didalamnya terdapat suatu makhluk yang mengerikan.Aku yakin, Ayu sekarang sudah tiada, dia hanyalah sebuah tubuh kosong yang diambil Alih oleh tuselak.Sehingga, ketika Bu Cucu mengambil tuselak itu dengan kedua tangannya, maka tubuhnya akan seketika berhenti bergerak.“TAHANN MINAH, SEDIKIT LAGI!” kata Bu Cucu yang dengan sigap menarik bayangan

  • SEHARUSNYA KAU IKUT MATI   106-TENAGA YANG TERSISA

    ‘Aku harus bertanggung jawab.’‘Aku harus mengakhiri semua ini.’‘Ini tidak boleh dibiarkan begitu saja, karena kalau Bu Cucu meregang nyawa, maka para warga desa tidak bisa lagi melarikan diri dan mereka bisa menjadi korban.’Suara-suara itu berkecamuk dalam diriku, ditengah-tengah suasana genting yang bisa saja mengakibatkan nyawaku melayang.Aku melihat ke sekeliling ketika sebuah angin yang sangat besar menghempaskan semua yang ada di sekitarku sehingga banyak dari mereka yang terpental ke segala arah.Banyak anak kecil yang terlepas dari pangkuan ibunya, banyak juga para orang tua yang terjatuh dan terguling di semak-semak. Semuanya benar-benar kacau.Apalagi, Bu Cucu sudah tampak kelelahan dengan luka yang dia terima pada saat itu.Tanganku tiba-tiba bergetar hebat, parang yang masih aku pegang dengan erat aku lihat dengan seksama.Keberanian dan ketakutan tercampur aduk saling beradu satu sama lain di dalam diriku pada saat itu.Apakah yang akan aku lakukan sekarang, apakah aku

Bab Lainnya
Jelajahi dan baca novel bagus secara gratis
Akses gratis ke berbagai novel bagus di aplikasi GoodNovel. Unduh buku yang kamu suka dan baca di mana saja & kapan saja.
Baca buku gratis di Aplikasi
Pindai kode untuk membaca di Aplikasi
DMCA.com Protection Status