Share

3-BINGKAI

Aku kembali teringat dengan jendela yang belum sempat aku tutup ketika aku berlari menghampiri Ayu pada waktu itu.

Namun, aku tidak bisa berbuat apa-apa sekarang. Situasi di dalam kamar benar-benar gelap, tidak ada satupun titik cahaya yang bisa membantu melihat situasi yang ada di ruangan tengah.

“Bunda, Ayu takut!”

Ayu berkata dengan mulutnya yang gemetar. Semakin lama, pelukannya semakin erat. Aku hanya bisa mengusap kepalanya beberapa kali–sebisa mungkin menenangkannya.

“Ayu … Ayu gak boleh takut. Ada Bunda di sini ya, nak!”

Suara langkah kaki yang aku dengar diluar kini mulai menghilang. Suasana kembali menjadi hening dengan kegelapan yang masih menyelimuti kamar Ayu dan rumahku ini.

Aku ingin sekali memastikan semuanya aman. Sayangnya, tidak bisa! Penerangan–yang seharusnya membantuku melangkah ke ruangan tengah–tidak ada sama sekali di sini.

“Ayu!” kataku, “bukannya Ayu ada mainan yang bisa menyala? Itu disimpan di mana? Mainan yang seperti tongkat penyihir yang dulu diberikan sebagai hadiah ulang tahun dari ayah untuk Ayu?”

“A–Ayu simpan di dekat dinding, Bun. Tapi, Ayu gak tahu di sebelah mana karena Ayu gak bisa melihat,” katanya sambil ketakutan.

Aku hanya tersenyum dalam kegelapan mendengar jawaban dari Ayu. Kuusap kembali kepala Ayu agar dia kembali tenang.

Semoga saja, cahaya dari mainan itu bisa membantuku untuk berjalan ke ruangan tengah. Aku harus segera memastikan bahwa tidak ada teror lagi yang mengakibatkan kami berdua ketakutan seperti ini.

Aku mencoba meraba-raba lagi dinding yang ada di dekatku, mencoba mencari mainan Ayu di tumpukan mainannya.

Boneka-boneka kecil, boneka barbie, mainan masak-masakan dari plastik–semuanya tersusun rapi di sana. Salah satu tanganku mencoba meraba-raba satu per satu mainan tersebut, hingga tak lama, aku meraba sebuah benda yang aku cari!

Sebuah tongkat yang terbuat dari bahan plastik dengan bentuk bintang dan lampu kecil di atasnya. Juga, ada sebuah tombol on dan off yang ada di pegangan tongkatnya. Meskipun itu hanya mainan, namun setidaknya itu bisa digunakan untuk menerangiku dan Ayu dari kegelapan ini. Aku menatap mainan Ayu ini dengan binar bahagia.

“Udah, udah! Ayu gak usah takut lagi, ya. Bunda sudah nemu tongkatnya. Nanti kalau tongkatnya nyala, kita jalan bareng-bareng ke arah dapur untuk ambil lilin dan korek.”

Aku sekarang mempunyai keberanian untuk melangkah ke ruang tengah–mencari tahu apa yang sebenarnya terjadi.

Belum lagi, aku sekarang bahkan bisa ke arah dapur untuk mengambil lilin dan korek. Setidaknya, setiap sudut di rumah ini bisa terang kembali. Karena jujur saja, suasana seram di tengah kegelapan di rumah kayu, membuat semuanya terasa mencekam. Hanya cahayalah satu-satunya harapan agar aku bisa melepaskan diri dari ketakutan ini.

Meski aku katakan keberanian mulai merasukiku, nyatanya tongkat yang kupegang kini tampak basah oleh keringat yang muncul dari seluruh tubuh. Entahlah, yang pasti, secara perlahan, aku akhirnya memindahkan tombol off ke on untuk membuatnya menyala.

Namun ….

Tampak sebuah sosok yang sangat dekat dan jelas terlihat oleh kedua mataku–sosok Satria tiba-tiba muncul dengan jarak yang sangat dekat!

Cahaya dari mainan itu dengan sangat jelas menyinari wajah dan tubuh yang dipenuhi oleh bekas-bekas lilitan dari tumbuhan rawa yang melilit tubuhnya–seperti ketika mayatnya ditemukan pertama kali.

Wajahnya yang rusak dengan bekas lilitan dari tumbuhan rawa kini terlihat dengan jelas. Kulit-kulitnya yang mengkerut, darah-darah yang muncul dari bekas lilitan yang melilit wajahnya, juga tatapannya yang melotot ke arahku dengan mulutnya yang menyeringai membuatku semakin ketakutan atas apa yang aku lihat.

“ARGGGHHH!!!”

Aku berteriak sekencang-kencangnya. Aku benar-benar tidak menyangka sosok yang menyerupai Satria itu akan muncul tepat di dekatku.

Dengan sigap, aku langsung menutup kedua mata Ayu. Aku tidak ingin Ayu melihat sosok itu dalam jarak yang sangat dekat.

Bahkan, saking kagetnya aku secara tidak sadar melemparkan tongkat mainan itu ke arah sosok tersebut. Mainan itu melayang dan menembus sosok itu hingga akhirnya menabrak dinding dan membuatnya cahayanya mati.

Brak!

“Haaah….” Napasku tiba-tiba berat. Keberanian yang muncul ketika aku menemukan benda itu, mendadak tergantikan kembali dengan rasa takut yang lebih lagi.

Aku benar-benar takut karena sosok itu sepertinya masih duduk di sana dan tidak bergerak. Apalagi, suasana kembali menjadi kegelapan setelah aku melemparkan benda yang menjadi cahaya satu-satunya di situasi seperti ini.

Aku hanya bisa terdiam sekarang.

Tidak ada yang bisa aku lakukan, selain berharap bahwa semuanya akan cepat berakhir. Aku sudah tidak tahu harus bagaimana sekarang. Aku hanya bisa memeluk Ayu dengan erat yang tidak tahu bahwa sosok itu kini ada di dekat kita berdua.

Zrrt, zrrtt, zrttt!

Entah mengapa, sebuah keajaiban terjadi. Lampu yang ada di dalam kamar tiba-tiba kembali menyala! Meskipun kini nyalanya sedikit redup, namun setidaknya aku bisa melihat dengan seksama seluruh isi kamar Ayu dengan kedua mataku sendiri.

Mataku benar-benar terbelalak ketika aku tidak menemukan sosok itu ketika lampu kembali terang.

Yang ada, hanyalah sebuah tirai yang terbuka setengah dengan angin dingin yang berhembus dari ruangan tengah—karena jendelanya belum kututup tadi.

Sayangnya, rasa takut itu susah dihilangkan. Meskipun lampu kamar sudah kembali menyala, aku benar-benar tidak bisa melupakan sosok Satria yang muncul secara tiba-tiba di dekatku pada saat itu.

Namun, di satu sisi, aku juga harus mengetahui kondisi di ruangan tengah karena ada suatu benda yang jatuh dan bunyinya terdengar dengan sangat keras, bahkan sampai terdengar olehku yang ada di kamar Ayu.

“Ayu, Bunda tidak apa-apa, kan mengecek ke ruangan tengah? Sepertinya, tadi ada benda jatuh dan harus dirapikan,” kataku yang mencoba tersenyum kepada Ayu yang masih gemetar.

“Gak mau, Bun! Gak mau! Pokoknya, temenin Ayu aja di sini, Bun! Tolong sekali, Ayu takut, Bun.”

Ayu hanya menggelengkan kepalanya dalam pelukanku. Dia benar-benar tidak ingin melepaskan pelukannya karena dia takut akan sesuatu yang terjadi kepadanya seperti beberapa waktu yang lalu.

“Ya sudah kalau begitu. Bunda akan nemenin Ayu, tapi Ayu gak boleh ketakutan lagi, ya!”

Aku kembali mengusap-usap kepala Ayu pada saat itu. Aku paham sekali ketakutannya. Aku yang dewasa saja, gemetaran. Apalagi, dia? Anak sekecil itu, tadi melihat sosok ayah yang dia sayangi dan baru saja meninggal–tiba-tiba muncul seakan marah padanya.

Mungkin saja, di dalam dirinya, kini ada sebuah perasaan yang bercampur-aduk dan tidak bisa di deskripsikan oleh kata-kata.

“Ayu?” tanyaku. Kurasakan gemetar tubuhnya menghilang. Tetapi, tidak ada jawaban apapun dari dirinya.

Tampaknya, usapan lembut dari tanganku membuat dia tertidur secara perlahan. Dia kini terlihat tenang sepenuhnya sambil memejamkan matanya. Sepertinya, dia begitu nyaman tidur di dalam pelukanku.

Aku terus-menerus mengusap kepala Ayu secara perlahan sambil melihat ke sekeliling kamar–memastikan Ayu aman kali ini dan benar-benar tertidur pulas.

Akhirnya, kuputuskan untuk membaringkan kepalanya di atas bantal kembali. Aku juga mengambil boneka besar yang selalu menemaninya ke sebelahnya.

Bahkan, aku menutupi sebagian tubuhnya dengan selimut hangat–agar Ayu tidak kedinginan pada malam itu. Jadi, dia bisa merasa benar-benar aman dalam tidurnya.

“Selamat tidur, ya, Ayu! Semoga, hanya malam ini saja ada kejadian yang seperti ini,” kataku pelan sambil mencium kening Ayu ketika tertidur pulas disana.

***

Sreeet!

Tirai kamar yang terbuka setengah, kini aku buka sepenuhnya. Akhirnya, aku melangkahkan kaki secara perlahan ke ruangan tengah dan meninggalkan Ayu yang tertidur pulas disana.

Namun, kurasakan suasana ruangan tengah yang seharusnya tampak biasa saja–setelah lampu kembali menyala–terasa sangat berbeda. Ada sebuah tekanan yang menekanku dari belakang, sehingga tubuhku tiba-tiba terasa sangat berat untuk melangkah.

Deg, Deg, Deg!

Entah apa yang terjadi, namun setiap kali aku melangkahkan kaki, jantungku kembali berdetak kencang, bahkan kini napasku kembali berat.

Ruangan ini tampak kosong, tapi terasa sesak. Seolah-olah, banyak sekali orang yang memenuhi ruangan ini sekarang. Mereka saling berdempetan satu sama lain, saling memenuhi setiap sudut ruangan, hingga membuatku yang sedang melangkahkan kaki pun merasa kesusahan untuk melangkah.

Sepertinya … sosok itu masih berada di sekitar rumah ini. Atau, ada yang lainnya juga?

Aku takut. Namun, karena rasa penasaranku begitu kuat, aku terus memaksakan diriku di dalam tekanan yang luar biasa.

Tak lama, aku akhirnya mengetahui bahwa benda yang terjatuh dengan sangat keras itu adalah sebuah bingkai foto keluarga yang menempel di dinding!

Sebuah foto yang menjadi satu-satunya kenangan keluargaku bersama Satria dan Ayu. Dulu, kami berfoto bersama di dalam studio foto–sebelum kami berangkat pindah ke desa ini. Foto dengan bingkai kaca tersebut jatuh ke lantai, hingga pecahan kaca bingkainya berhamburan ke mana-mana.

Aku hanya bisa terdiam melihat betapa berantakannya ruangan tengah saat ini.

Namun ….

Aku sontak tidak bisa berkata-kata ketika foto–di bingkai yang terjatuh itu–terlihat sangat aneh. Wajah Ayu yang seharusnya terlihat sedang tersenyum manis, kini justru robek oleh pecahan kaca! Wajahnya kini bahkan tidak terlihat lagi, sehingga di foto itu, hanya ada wajahku dan wajah Satria

“Ada apa lagi ini?” lirihku.

Aku akhirnya berjongkok untuk melihat foto itu dari dekat. Tak lupa, aku membersihkan bingkai kaca yang patah dengan kedua tanganku.

Kuangkat foto tersebut dengan seksama dan penglihatanku ternyata benar! Wajah Ayu memang robek–seolah ada orang yang sengaja melakukannya.

Karena, tidak masuk logika apabila ada benda terjatuh, lalu pecahan kacanya tiba-tiba menusuk wajah Ayu di dalam foto tersebut sampai hancur dan tak terlihat lagi, kan? Kecuali ….ada yang sengaja untuk menusuk wajah Ayu dengan pecahan kaca yang bertebaran di sana.

Brak!

Aku yang sedang fokus melihat foto itu tiba-tiba dikagetkan oleh suara jendela yang kini tertutup, bersamaan dengan angin yang sangat kencang ke arahnya. Bahkan, menerbangkan pecahan-pecahan kaca yang berserakan di dekatku pada saat itu.

Sontak, aku langsung melihat ke arah jendela yang tertutup secara tiba-tiba di sana. Tanpa sadar, aku bahkan melihat ke sekeliling jendela itu karena aku takut ada sesuatu yang muncul lagi dan menakut-nakutiku.

Deg!

Tanganku tiba-tiba bergetar dengan sangat hebat. Aku benar-benar tidak percaya pada penglihatanku sekarang! Keringat dingin pun kembali muncul dan kini membasahi tubuhku.

“Sa–Sa–Satria? Yang tadi muncul itu, bukanlah sosok yang menyerupai kamu, kan?” ucapku terbata-bata, “ke–kenapa kamu melakukan hal ini? Aku yakin kamu tidak akan meneror kami setelah meninggal, kan?”

“Kenapa kamu menghantui aku dan Ayu?!” bentakku..

Mataku menatap samar foto Ayu saat ini. Terdapat sebuah tulisan berwarna merah darah yang ditulis di atasnya. Sebuah tulisan yang mungkin menjadi alasan kenapa hanya wajah Ayu saja yang robek terkena pecahan kaca sehingga wajahnya di foto hancur, nyaris tidak terlihat.

[ DIA HARUS MATI!!! ] Tulisan itu seolah ditulis dengan darah merah yang masih segar.

Aku sendiri bahkan masih bisa melihat cipratan basah dari cairan yang menyerupai darah itu.

Aku menatap ngeri. Jantungku berdegup kencang, tak percaya. Teror ini mengincar nyawa Ayu–anak sambungku!

Aku mual dan marah! Gegas kulemparkan foto yang penuh darah tersebut.

Tubuhku tanpa sadar mundur beberapa langkah, hingga menabrak kursi di dekat meja kerja.

Kakiku bahkan mulai berlumuran darah karena menginjak pecahan kaca yang tadi berserakan di lantai. Rasa perih akibat pecahan kaca itu sebenarnya sangat terasa olehku. Akan tetapi, semua dikalahkan oleh rasa takut.

Aku ingin sekali berteriak atas apa yang aku lihat dirumah ini! Namun, kucoba menahannya dengan menempelkan kedua tanganku yang bergetar di dekat mulut.

Aku yang terdiam dengan rasa takut yang mendalam pikiranku melayang-layang atas semua keanehan di tempat ini. Namun, seketika langsung berteriak karena aku sadar bahwa apa yang Satria incar pada malam ini bukanlah diriku, melainkan Ayu yang kini tertidur pulas di dalam kamar.

“Arggghhh! AYUUU!” Aku berusaha berdiri dan bergerak untuk berlari ke arah kamar Ayu.

Darah-darah segar dari telapak kakiku tak kupedulikan. Bahkan, pecahan kaca yang seharusnya memperlambat langkahku, tetap ku injak.

Aku sudah benar-benar tidak peduli dengan rasa sakit yang aku rasakan sekarang, karena aku sekarang tahu, siapa yang Satria incar pada malam ini.

Ayu–anak itu–tidak boleh terluka!

Bab terkait

Bab terbaru

DMCA.com Protection Status