Cahaya sinar bulan purnama terlihat lebih redup dari sebelumnya, bintang-bintang dilangit yang seharusnya berkilauan kini mendadak menghilang, digantikan oleh awan hitam tipis yang menutupi langit malam sehingga sinarnya yang awalnya membuat tenang kini menjadi kelam.
Hawa diluar cukup dingin, bahkan lebih dingin dari sebelumnya, suasana yang mencekam membuat semua orang yang keluar pada malam itu pasti akan bergidik ketakutan.
Apalagi aku, yang pada saat ini sedang berjalan menyusuri kebun di belakang rumah dengan kewaspadaan penuh untuk mencari Ayu yang hilang entah kemana.
Semua warga yang tinggal di Desa Muara Ujung memang memiliki kebun yang luas di belakang rumahnya, kebun-kebun sebanyak dua hektar yang dikelola oleh masing-masing keluarga menjadikannya sebagai sumber pendapatan dan penghidupan bagi mereka yang pindah dan menetap di desa ini.
Sehingga, apabila kita memasuki kebun tersebut kita bisa saja tersesat saking luasnya, apalagi pada malam hari, dimana tidak ada penerangan sama sekali yang membantuku untuk berjalan di antara tanaman-tanaman jagung yang ditanam oleh Satria.
Seharusnya, keluarga kita mengubah kebun ini menjadi persawahan sebagai instruksi dari pemerintah pada saat itu ketika kita pindah ke tempat ini.
Namun, Satria yang memiliki pendidikan yang tinggi mengusulkan hal lain yang akhirnya diikuti oleh semua warga desa. Yaitu merubah sebagian kebunnya menjadi kebun jagung dan sebagian lagi menjadi persawahan. Dia sengaja melakukan itu agar dia bisa mempunyai dua komoditas yang bisa dijual, yaitu jagung yang tumbuh dan bisa dipanen berkali-kali. Juga padi yang hanya bisa dipanen dua kali dalam setahun.
Tiga bulan berjalan, dengan kemampuan juga koneksi Satria yang entah dari mana. Akhirnya tumbuhan jagung pun tumbuh dengan lebatnya, meskipun belum berbuah sepenuhnya namun dia sudah sukses untuk mempersiapkan panen jagung pertamanya.
Meskipun, kini lahan jagung ini menjadi saksi bisu atas hilangnya Ayu, dan aku terus berjalan di antara tumbuhan jagung untuk mencari keberadaan Ayu pada saat ini.
“AYUUUU, DIMANA KAMU AYUUU?”
Aku berteriak-teriak memanggil Ayu di tengah kebun, aku berteriak sekuat tenaga karena aku tahu teriakan ku ini tidak akan membangunkan tetangga karena jarak antara rumah di desa ini sangatlah berjauhan.
Beberapa kali aku menyibak daun-daun dari tumbuhan jagung yang menutup jalanku, beberapa kali pula aku memperhatikan jejak kaki kecil yang muncul dan menghilang di tanah.
Sinar bulan yang redup saat awan hitam menutupnya, hawa yang dingin, serta tubuhku yang masih terasa perih membuat pikiranku selalu teralihkan. Terkadang aku merenyit kesakitan ketika ada batu kerikil yang masuk ke dalam sandalku dan menyentuh luka di kaki yang belum kering.
Tubuhku juga beberapa kali merasa gatal, ketika tumbuhan jagung yang berbulu halus menyentuh kulitku pada malam itu.
Apalagi, suasana di tengah-tengah kebun ketika malam sangat berbeda dengan siang hari. Perasaan takutku terus-menerus muncul karena aku takut ada sesuatu yang tiba-tiba muncul di antara tumbuhan jagung yang lebat ini.
Sudah sepuluh menit aku berjalan dengan petunjuk kecil dari jejak kaki yang muncul dan menghilang di tanah membuatku depresi. Bagaimana tidak, aku sekarang tersesat disini, kebun yang sangat luas membuatku kehilangan arah, apalagi ini adalah tengah malam dengan sinar bulan yang redup yang membuat pandanganku terbatas.
Namun, aku harus mencari Ayu. Bagaimanapun caranya, aku tidak mau Satria membawa Ayu dan membuatnya meninggal, meskipun aku tidak tahu kenapa dia ingin membuat anaknya tersebut mati, tapi aku harus tetap menjaganya, karena tidak sewajarnya hantu yang bergentayangan membunuh manusia yang masih hidup di tempat ini.
Krosak, krosak, krosak,
Aku pun kembali berjalan beberapa langkah, melewati kembali kebun jagung yang sudah meninggi itu.
Hingga akhirnya…
Langkahku tiba-tiba berhenti, tepat ketika aku mendengar suara tangisan yang menggema di tengah malam.
Suara tangisan itu terdengar sangat lirih, dia seperti kesakitan akan sesuatu yang membuatnya harus menangis seperti itu.
Jujur, tubuhku tiba-tiba bergetar ketika dua telingaku mendengar hal itu. Apalagi ketika suara tangisan itu menggema tidak ada distorsi dari suara-suara hewan malam yang bercampur dengan suara tangis itu.
Sontak, aku yang masih berdiri disana langsung melihat ke sekeliling, mencari-cari asal suara dari sela-sela tumbuhan jagung yang ada di sekelilingku yang gelap.
Hingga, pandanganku terhenti ketika aku melihat sesosok bayangan yang sedang duduk di atas batu, sesosok bayangan anak kecil yang menangis tersedu-sedu dan diterangi cahaya bulan disana.
“Ayu, Ayu, itu pasti Ayu, itu pasti Ayu!”
Perasaan dan rasa takutku berubah menjadi rasa cemas yang mendalam ketika aku memastikan bahwa suara tangisan itu adalah suara tangisan Ayu yang menggema di tengah malam.
Apalagi, ketika aku melihat bayangannya dari kejauhan, aku memastikan bahwa itu adalah bayangan Ayu yang aku kenal.
Tak menunggu lama, aku langsung berlari menghampiri bayangan itu dengan sekuat tenaga, beberapa kali aku menyibak dedaunan bahkan menendang tumbuhan jagung yang menghalangiku agar aku bisa segera sampai disana pada malam tersebut.
Benar saja, ketika aku terus berlari, aku mendadak terhenti ketika bayangan tersebut memanglah Ayu. Dia duduk di atas batu besar di dekat kolam penampungan air yang Satria buat untuk pengairan kebunnya.
Sebuah kolam penampungan yang awalnya akan diperbesar olehnya ketika dia sudah memasang pipa-pipa dari rawa untuk kebutuhan air semua warga desa yang hidup disini melalui hutan lebat yang tepat ada dibelakangnya.
Pipa-pipa yang besar yang kini tergeletak begitu saja masih terlihat dan belum sempat Satria pasang sepenuhnya, bencana yang merenggut nyawa Satria membuat pekerjaan itu terbengkalai dan akan dilanjutkan oleh warga setelah masa berkabungnya selesai.
“AYUUUU!”
Aku kembali berteriak memanggil Ayu pada saat itu, Ayu yang sedang menangis pun tiba-tiba menoleh ke arahku dengan perasaan yang sedih.
Seketika, aku kembali berlari mendekati Ayu yang masih terduduk di atas batu pada malam itu.
“Kamu Ayu kan? Kamu benar-benar Ayu kan? Kamu bukan sosok Satria yang masuk ke dalam tubuh Ayu kan?”
Aku memastikan bahwa itu adalah Ayu yang asli, bukan Ayu yang sedang dirasuki sosok Satria yang membawanya ke tempat ini.
Tidak ada jawaban dari Ayu pada saat itu, yang ada hanyalah pelukan erat dengan tangisannya yang lebih keras ketika dia memelukku. Dengan adanya tindakan tersebut, tanpa dia menjawab pun aku tahu bahwa dirinya memang Ayu.
Ayu yang mungkin kebingungan karena tiba-tiba berada di tengah kebun ketika malam hari. Sehingga wajar, dia menangis dengan keras atas batu yang dingin itu.
Aku yang kini bernafas lega karena sudah menemukan Ayu akhirnya mengusap-usap kembali kepalanya agar dia tenang. Namun di saat yang bersamaan, aku melihat ke sekeliling, memastikan bahwa Ayu aman kali ini karena aku tidak mau Ayu diteror lagi oleh hantu ayahnya sendiri sehingga membuat dirinya ketakutan seperti ini.
‘Satria, kamu benar-benar jahat kepada anakmu sendiri, sebenarnya apa yang terjadi kepada kalian sehingga kamu ingin anakmu sendiri mati menyusulmu?’ kata batinku yang mengutuk tindakan Satria kepada Ayu pada saat itu.
Belaian lembut dari tanganku sepertinya membuat Ayu sedikit agak tenang, suara tangisan yang awalnya keras kini terasa perlahan-lahan berhenti setelah aku mengusap-usap kepalanya.Kondisi tubuh Ayu benar-benar parah, baju dan celananya tampak sobek seperti terkena sesuatu yang menyentuh tubuhnya dengan keras. Sehingga dia tampak menggigil kedinginan di dalam isak tangis yang dia rasakan sekarang.Namun, tubuhnya yang kecil dan mungil itu tampak masih sehat dan bugar tanpa ada bekas luka di seluruh tubuhnya.Aku merasakan hal aneh dengan tubuh Ayu, karena aku yang melihat sendiri ketika kepala Ayu berputar seratus delapan puluh derajat ke arahku ketika di dalam rumah, kini terlihat kembali normal.Aku bahkan memeriksa lehernya, karena aku dengan jelas melihat kulitnya yang mengkerut ketika kepalanya berputar dengan suara tulang-tulang yang saling beradu satu sama lain.Tapi, tetap saja, leher Ayu tampak normal, tidak ada bekas luka dari leher yang diputar secara paksa pada saat itu. Be
Jujur, pikiranku kini kembali di kacaukan ketika aku melakukan kesalahan yang membuat Ayu menghilang kembali pada saat itu.Tangan yang awalnya aku pegang erat sengaja aku lepas, karena aku mendengar sebuah suara dari semak-semak hutan yang bergerak di dalam kegelapan.Namun, rupanya suara-suara itu sengaja ada agar aku lengah dan membuatku melepaskan tangan Ayu sehingga dirinya di tarik oleh sesuatu hingga menghilang kembali di dalam hutan yang sangat gelap ini.Aku yang memaksakan diri memasuki semak-semak hutan tidak bisa melihat jejaknya sama sekali sekarang, semak-semak hutan yang rimbun dengan banyaknya tumbuhan yang berduri disana. Membuatku tidak bisa memaksakan diri lebih jauh ke dalam sana, tubuh Ayu yang kecil mungkin saja bisa masuk, namun aku tidak.Sehingga, aku berhenti beberapa meter setelah aku masuk ke dalam semak-semak yang penuh duri itu, yang secara perlahan membuat tangan dan kakiku sedikit terluka sekarang.Rasa sakit yang aku rasakan sebelum kejadian ini masih
Suara teriakanku benar-benar menggema di tengah hutan, bahkan saking kerasnya aku melihat daun-daun yang berada di sekitarku bergerak secara perlahan.Aku benar-benar tidak tega melihat Ayu dibawa seperti itu oleh Satria, seorang ayah yang kini menjadi teror setelah dirinya meninggal.Tubuh Ayu benar-benar tidak berdaya, dan teriakanku sepertinya tidak membuat hantu Satria berhenti. Dia terus saja melayang sambil menyeret Ayu dengan kasar di tengah hutan.Aku yang tidak tahan dengan hal itu kini hanya bisa berlari. Aku sudah tidak peduli dengan sosok Satria yang menyeramkan sekarang, perasaanku untuk menyelamatkan Ayu kini lebih besar daripada aku harus takut kepada sosok hantu yang ingin membawa anaknya sendiri mati bersamanya pada malam ini.Aku sudah tidak berpikir jernih sekarang, semua khayalan dan realita kini sudah tercampur sepenuhnya. Aku yang sedang berpikir logis atas apa yang terjadi sekarang sudah tidak berlaku lagi.Karena semua kejadian yang menimpaku pada saat ini suda
Suara dari Ayu yang tiba-tiba berubah menjadi suara Satria dengan nada yang sangat berat membuatku tidak bisa berbuat apa-apa lagi sekarang.Bahkan, kini Ayu yang sedang dirasuki lagi oleh Satria melompat ke arahku dengan sangat cepat, salah satu tangannya berubah seperti cakar hewan dan ingin melukaiku di tempat itu.Lompatannya sungguh tidak masuk di akal, dia seperti hewan buas yang akan menerkamku dan ingin mengoyak-ngoyak tubuhku dengan tangannya yang kecil itu.Aku benar-benar tidak siap, karena aku masih shock dengan keadaan Ayu yang benar-benar parah daripada sebelumnya. Tubuhnya yang penuh luka dan darah yang mengucur membuat batinnya kini pasti sedang merasakan sakit yang amat sangat. Namun dia tidak bisa meminta tolong kepada siapapun karena tubuhnya sedang diambil alih oleh ayahnya sendiri yang menginginkannya mati menyusul dirinya.Otakku berputar dengan cepat, dan kali ini otakku membuat tubuhku ikut bergerak, di saat rasa lelah yang aku rasakan.SetttTubuhku secara ref
Sinar berwarna merah ke kuning-kuningan akhirnya muncul secara perlahan di ufuk timur, sinar yang disertai dengan burung-burung hutan yang berkicau dengan indahnya membuat suasana menjadi syahdu.Apalagi sinarnya yang hangat, membuat orang yang awalnya terlelap tidur secara pelan-pelan terbangun dengan sendirinya, di iringi dengan hawa sejuk yang berhembus ketika pintu dan jendela rumah mereka yang dibuka lebar. Membuat mereka bersemangat untuk menyongsong hari baru karena hari sudah berganti dan mereka harus kembali bekerja ke kebun masing-masing yang ada dibelakang rumah.Beginilah desa transmigrasi yang kita tinggali, sebagai desa perintis yang letaknya sangat jauh dari keramaian, dengan jarak yang berpuluh-puluh kilometer melewati hutan lebat dan rawa-rawa membuat kami harus bekerja keras setiap paginya, menggarap lahan pertanian yang sudah pemerintah beri untuk kami kelola.Dengan harapan, desa ini akan maju seperti desa-desa yang sudah lebih dulu ada di tanah ini. Kami tinggal d
BrakSuara pintu rumah tiba-tiba dibuka dengan sangat keras. Sebuah rumah yang mirip dengan yang Minah tinggali dari bentuk dan rupa terlihat dengan jelas, tetapi rumah ini difungsikan untuk menjadi sebuah Puskesmas kecil dengan kamar tambahan sebagai kamar pasien di sebelah kiri.Ruangan pertama ada ruangan tunggu, yang hanya beralaskan beberapa tikar sebagai alas dan tempat duduk pasien untuk menunggu. Tidak ada kursi yang berjejer, tidak ada meja resepsionis seperti Puskesmas-puskesmas lain yang ada di kota, semuanya begitu sederhana.Yang ada hanyalah sebuah gambar-gambar di dinding tentang pemeliharan kesehatan tubuh yang dikirim oleh pemerintah setempat, juga sebuah meja kecil tempat Pak Ridwan menerima semua pasiennya sebelum nantinya dia cek di ruangan yang ada dibelakangnya.Pak Ridwan tampak panik. Ayu yang awalnya dibawa Minah langsung dia gendong dan dia bawa masuk ke dalam rumah, dia masuk ke ruang tunggu dan berbelok ke arah kiri dimana kamar pasien itu berada.Dengan ce
Aku langsung membisu mendengar apa yang dibicarakan oleh Pak Ridwan pada saat itu. Dia menatapku dengan sangat tajam seperti sedang mengintrogasiku di tengah-tengah Ayu yang masih terbaring lemas dan tidak sadarkan diri disana. “Jawab Minah! Apakah ini ada hubungannya dengan hal-hal yang gaib?” katanya dengan tatapan yang serius. “Aku tahu akan perubahan mimik mukamu ketika aku berbicara seperti itu Minah.” “Wajahmu seakan ketakutan ketika aku berkata hal gaib, yang berarti semalam ada sesuatu yang menerormu, apalagi di dalam rumah sekarang hanya kalian berdua dan tidak ditemani oleh Satria yang sudah tiada.” Pertanyaan demi pertanyaan Pak Ridwan lontarkan kepadaku pada saat itu, matanya terus-menerus menatapku tajam tanpa sedikit berpaling sedikitpun. Semakin lama, wajahku semakin tertunduk. Aku tidak tahu kenapa Pak Ridwan tahu akan hal itu, apakah dia memang tahu apa yang terjadi antara Satria dan Ayu sehingga dia berusaha mengintrogasiku sekarang. Aku hanya bisa terdiam, k
Ruangan yang menjadi ruang tunggu pasien menjadi saksi bisu atas apa yang Pak Ridwan katakan. Dia sangat serius menceritakan tentang latar belakang Satria yang tidak aku ketahui. Satria yang aku kenal dari tempat kerjaku rupanya penuh misteri, bahkan sahabatnya sendiri pun mengiyakan hal itu. Pak Ridwan terus saja bercerita tentang Satria, tentang masa lalunya yang dia ketahui. Ternyata Satria dahulu mempunyai watak yang keras, idealis, berpikir cepat akan masalah-masalah yang dihadapinya. Bahkan, dia ikut ke tempat transmigrasi ini mempunyai alasan tersendiri, bukan semata-mata dia ikut dengan Pak Ridwan untuk tinggal di desa ini. Aku benar-benar tertegun, setiap kata yang keluar dari Pak Ridwan aku serap semua. Aku tidak berani memotong apa yang dia katakan, mataku terus-menerus menatap lurus ke arah Pak Ridwan dan merekam semua perkataan yang dia keluarkan. ‘Jadi, sebenarnya siapakah orang yang kini menjadi suamiku ini?’ Apalagi, Pak Ridwan dengan gamblang meyakini bahwa aku d