Belaian lembut dari tanganku sepertinya membuat Ayu sedikit agak tenang, suara tangisan yang awalnya keras kini terasa perlahan-lahan berhenti setelah aku mengusap-usap kepalanya.
Kondisi tubuh Ayu benar-benar parah, baju dan celananya tampak sobek seperti terkena sesuatu yang menyentuh tubuhnya dengan keras. Sehingga dia tampak menggigil kedinginan di dalam isak tangis yang dia rasakan sekarang.
Namun, tubuhnya yang kecil dan mungil itu tampak masih sehat dan bugar tanpa ada bekas luka di seluruh tubuhnya.
Aku merasakan hal aneh dengan tubuh Ayu, karena aku yang melihat sendiri ketika kepala Ayu berputar seratus delapan puluh derajat ke arahku ketika di dalam rumah, kini terlihat kembali normal.
Aku bahkan memeriksa lehernya, karena aku dengan jelas melihat kulitnya yang mengkerut ketika kepalanya berputar dengan suara tulang-tulang yang saling beradu satu sama lain.
Tapi, tetap saja, leher Ayu tampak normal, tidak ada bekas luka dari leher yang diputar secara paksa pada saat itu. Beberapa kali aku mengusap leher, tubuh, kaki, bahkan tangan dan aku benar-benar tidak menemukan luka satupun di tubuh Ayu.
Sebenarnya, ada apa dengannya? Apakah aku tadi berhalusinasi atau bagaimana? Karena aku jelas-jelas melihat tubuh Ayu yang berjalan secara paksa, bahkan aku mendengar suara tulang-tulang yang saling beradu ketika dia melangkahkan kakinya dari rumah.
Tapi, kenapa tubuh Ayu kembali normal.
Aku hanya menggeleng-gelengkan kepalaku, pikiranku sudah benar-benar kacau semenjak teror ini muncul hingga saat ini, halusinasi dan kenyataan tidak bisa aku bedakan sekarang.
Yang pasti, aku hanya bisa bersyukur bahwa Ayu selamat dan tanpa ada sedikitpun luka yang dia terima sekarang.
“Ayu,” kataku
“Lebih baik kita pulang ya, sekarang bunda janji, akan menjaga Ayu di kamar dan tidak akan ninggalin Ayu.”
Tidak ada jawaban dari Ayu pada saat itu, yang ada hanya ada isak tangis yang masih terdengar sangat pelan dengan tetesan air mata yang belum berhenti keluar dari kedua matanya.
Aku tahu, dia pasti shock akan kejadian ini, seorang anak yang tidak tahu apa-apa yang harus mengalami kejadian yang benar-benar mengerikan pasti akan membuatnya trauma.
Apalagi, ketika aku mengajaknya pulang. Ayu tampaknya sedikit enggan untuk melewati kebun jagung yang tak jauh dari tempatnya berada.
Beberapa kali dia menggelengkan kepala karena dia takut akan kebun jagung itu, ingatannya tentang dirinya yang sering membantu Satria di kebun ketika dirinya masih hidup tiba-tiba berubah menjadi sebuah ketakutan bagi dirinya atas teror yang dia alami sekarang.
Dia takut akan sosok ayahnya yang mungkin saja kembali muncul ketika aku dan dirinya harus kembali masuk ke dalam kebun jagung untuk pulang ke rumah.
“Enggak Ayu, kan ada Bunda disini yang akan jaga Ayu sekarang.”
“Jadi, Ayu gak usah takut lagi ya, karena nanti Bunda yang nemenin sampai rumah dan jaga Ayu di kamar hingga pagi tiba ya,” kataku sambil tersenyum kepada Ayu pada saat itu.
Namun, Dia terus menggelengkan kepalanya di dekatku ketika aku mengajaknya pulang melalui kebun jagung itu.
Sebenarnya, ada jalan lain yang bisa kutempuh apabila aku dan Ayu tidak melewati kebun jagung ini. Yaitu melalui hutan yang tepatnya ada di belakang Ayu pada saat itu. Sebuah hutan yang lumayan lebat dengan jalanan setapak yang sempit dan licin.
Namun, aku benar-benar tidak menyarankan untuk memasuki hutan sekarang. Karena aku dan Ayu harus memutar jauh melewati jalanan setapak dan keluar dari pintu masuk desa dan berakhir dengan melewati jalan utama desa hingga akhirnya sampai kembali ke rumah.
Aku terus-menerus membujuk Ayu agar dirinya bisa aku bawa melalui kebun, karena jaraknya yang tidak terlalu jauh, juga kebun jagung tidak terlalu menyeramkan apabila aku dan dirinya harus melalui hutan lebat yang ada di belakangku.
Namun, tetap saja, sudah beberapa kali aku mencoba membujuknya, jawaban Ayu tetap sama. Dia menggelengkan kepalanya dan tidak mau masuk ke dalam kebun jagung yang luas tersebut.
Hingga akhirnya…
“Ya sudah, kalau misalkan Ayu takut, kita pulang melalui hutan saja ya.”
“Kan tidak mungkin tinggal disini sampai pagi tiba, kasian Ayunya nanti jadi sakit karena diterpa angin malam yang dingin ini,” kataku sambil mengusap-usap Ayu dengan senyuman yang sengaja aku paksakan agar Ayu merasa tenang dan nyaman di dekatku.
Aku sedikit menoleh ke arah hutan, dimana disana ada jalanan setapak kecil tempat dia dan beberapa teman sebayanya bermain ketika para orang tuanya sibuk di kebun, sebelum akhirnya dia melihatku dengan wajahnya yang masih terlihat sedih dan mengangguk sambil mengelap sisa-sisa air matanya yang masih ada di sela-sela matanya.
“Ya sudah kalau misalkan Ayu sudah memutuskan, ayo kita pulang sekarang,” kataku.
***
Hutan yang ada di tempat ini sangatlah berbeda dengan hutan-hutan yang ada di Pulau Jawa sana, karena tanahnya yang merupakan tanah gambut yang penuh dengan akar-akar pohon sehingga aku yang berjalan melalui jalan setapak bersama Ayu pada saat itu merasa sedikit kesusahan untuk melangkah.
Beberapa kali aku hampir tersandung karena pandanganku yang sangatlah gelap dan banyak akar-akar pohon yang mencuat keluar dari dalam tanah.
Aku memegang erat tangan Ayu pada saat itu, kurasakan betapa mencekamnya hutan lebat pada malam hari. Bahkan melebihi ketika aku melewati kebun jagung ketika mencari Ayu pada saat itu.
Apalagi, sinar bulan purnama yang redup tidak bisa menembus lebatnya hutan yang dipenuhi oleh pepohonan yang sangat tinggi dan menjulang ke atas sana.
Pepohonan yang mungkin sudah ada ratusan tahun di tempat ini, dan tidak tersentuh sama sekali oleh tangan-tangan manusia sebelum akhirnya sebagian harus di tebang dan dijadikan desa oleh pemerintah setempat.
Aku sedikit menoleh kearah Ayu, dan tampaknya Ayu sudah mulai tenang sepenuhnya. Bahkan dirinya seperti sudah mengetahui seluk beluk dari jalanan setapak ini sehingga tidak ada kekhawatiran bagi dirinya untuk tersesat.
Namun, Ayu sekarang lebih banyak diam, dia tidak berkata satu patah kata pun sejak aku menemukannya menangis di atas batu tadi. Mungkin dirinya masih belum bisa menerima bahwa ayahnya sendiri menerornya sepanjang malam.
Dengan keterbatasan cahaya dari sinar bulan yang menuntun jalanku bersama Ayu, aku terus berjalan melewati jalanan setapak itu dengan rasa takut yang belum aku hilangkan.
Ingin rasanya aku segera sampai ke rumah dan beristirahat, dan menganggap semua kejadian ini adalah bagian dari mimpi yang akan membangunkanku ketika pagi tiba.
Namun, rasanya apa yang aku pikirkan tidak akan terjadi secepat itu.
Karena,
Seperti ada sesuatu yang mengawasiku dari gelapnya pepohonan hutan. Mereka seperti menatapku dari berbagai sudut, dan ketika aku menatap balik ke arah pepohonan tersebut, mereka tiba-tiba menghilang, dan muncul lagi di tempat yang berbeda.
Sreeek
Langkahku tiba-tiba berhenti, ketika terdengar suara langkah kaki yang cepat melewati semak-semak hutan yang terdengar jelas olehku di sebelah kiri jalan dan berlari dengan cepat ke arah depan, tepat ke arah jalanan setapak yang sedang ku lalui pada saat ini.
Sontak, aku secara tak sadar melepaskan tangan Ayu, dan memaksanya untuk menghentikan langkahnya dengan salah satu tanganku pada saat itu.
“Aku yakin akan terjadi seperti ini, karena tidak mungkin di dalam hutan yang gelap ini bisa sebegitu tenangnya,” batinku kini bertanya-tanya, menerka-nerka apa yang ada di depanku ini.
Apakah itu Satria yang sengaja menungguku di dalam hutan?
Atau memang makhluk lain yang menjadi penghuni hutan ini.
Karena, selama aku memasuki hutan, suasana begitu hening tidak ada satupun hewan malam yang bersenandung pada malam ini. Mereka seperti takut akan sesuatu sehingga mereka menjauh dan tidak berani mendekat, sehingga aku yakin bahwa itu adalah sosok yang lain yang berada di depanku pada saat ini.
Aku memberanikan diriku, melangkah selangkah demi selangkah diikuti oleh Ayu yang berjalan di belakangku pada saat ini.
Aku tidak mungkin kembali, karena aku sudah terlalu masuk ke dalam hutan yang lebat ini.
Namun, rupanya apa yang aku lakukan salah, aku salah mengambil tindakan ketika berada di situasi seperti sekarang.
Karena…
Blug
“BUNDAAAAAAA!”
Krosak
Sebuah tangan yang pucat tiba-tiba muncul di balik semak-semak hutan yang sangat lebat, dan tanpa aku sadari, Tangan itu muncul dan memegang Ayu dengan sangat erat serta menariknya sehingga tubuh Ayu langsung terjatuh.
Sontak, Ayu pun berteriak memanggilku yang ada di depannya. Tubuhnya terseret di antara tanah gambut yang penuh akar yang mencuat keluar.
Kejadian itu begitu cepat, aku yang mendengar Ayu berteriak pun langsung berbalik untuk mengetahui apa yang terjadi kepada Ayu.
Namun naas, aku hanya melihat kedua tangan Ayu yang meronta-ronta seperti mencoba memegang sesuatu agar tubuhnya tertarik masuk ke dalam semak-semak, sebelum akhirnya tubuhnya menghilang sepenuhnya.
Aku terlambat menyadari bahwa ada sesuatu yang menarik Ayu. Sehingga, seketika Ayu menghilang kembali di dalam rimbunnya hutan yang gelap itu.
Suasana Bandung pada sore itu sangatlah ramai. Maklum, liburan panjang membuat banyak orang terutama dari ibukota mengunjungi Bandung untuk sekedar ke restoran atau ke tempat-tempat wisata yang bisa membuat pikiran mereka kembali fresh setelah penat oleh pekerjaan mereka di setiap harinya. Aku, yang menjadi penulis dari cerita ini, kini mempunyai hobby baru, selain menuangkan tulisanku di dalam karyaku, aku juga kini menjadi seorang podcaster amatir dengan gimmick sebagai duo demit yang seringkali mengomentari manusia dalam podcastku. Cerita horor yang aku tulis dalam keadaan serius, membuatku harus mencari kesibukan lain sehingga aku bisa melepas tawa meskipun obrolannya masih sama tentang tahayul, mitos, juga para mahluk yang ada di sekitar kita. Matahari sore itu tampaknya sedikit mendung, tepat ketika aku keluar studio. Aku hari ini berencana untuk bertemu seseorang yang ingin bercerita di tempat kerjanya yang sekarang. Sebuah cerita yang mungkin saja bisa aku angkat menjadi cer
Sebuah desa yang menjadi mitos dalam keluarga dirinya, yang katanya desa itu ditinggalkan oleh ayahnya sendiri karena suatu hal yang tidak dia ketahui kini berada tepat beberapa meter di depan matanya.Pepohonan yang lebat serta ilalang yang menutupi hingga melebihi tubuhnya membuat desa ini sangat susah untuk diketahui. Bahkan warga di Desa Muara Damar yang kini menjadi sebuah kecamatan besar pun tidak mengetahui bahwa ada desa di tengah hutan seperti ini.Bahkan mereka pun terlihat enggan untuk berjalan selama enam jam lebih hanya untuk ke tempat ini, karena mereka takut hewan buas yang mungkin akan menerkam mereka di tengah hutan. Mereka pun sebenarnya tidak mengetahui bahwa ada sebuah desa terlupakan di tengah hutan yang tinggalkan oleh penghuninya yang salah satunya ayahnya sendiri.Ayahnya masih ingat bagaimana dia tiba-tiba terbangun seperti mimpi, dan terbangun di pagi hari di dekat rawa-rawa seberang Desa Muara Damar bersama dengan para warga yang lain. Namun semuanya tidak i
Aku masih ingat Bu Cucu berkata ‘TAHAAAAAN!’ dengan keras di dekatku, aku benar-benar tidak kuat ketika tuselak itu masuk ke dalam tubuhku, rasa sakit disertai rasa dingin benar-benar aku rasakan di dalam tubuhku, seperti ada ratusan jarum yang menusuk-nusukku dari dalam.Sungguh cara yang gila yang aku lakukan, namun sudah tidak ada cara lain lagi karena hal itu harus aku lakukan.Butuh waktu lima belas menit hingga tuselak itu seluruhnya masuk ke dalam tubuh, tubuhku yang merasakan sesuatu yang asing langsung melakukan penolakan dan ingin memuntahkannya, namun Bu Cucu berkata bahwa aku harus bisa menahannya hingga tuselak itu bersemayam di dalam tubuhku dengan segel dari Bu Cucu agar tidak bisa memberontak dari dalam sana.Hingga akhirnya.Aku melihat Ayu yang awalnya berdiri dengan tegap tiba-tiba jatuh seketika dengan luka darah yang mengucur dari punggungnya, jantungnya mendadak berhenti tepat ketika tuselak itu masuk ke dalam tubuhku.Aku sempat berteriak dan ingin menangkap tub
Srak, srak, srak, Tanah yang berwarna coklat tua disertai dengan banyak sekali akar-akar pohon yang berada di dalam tanah kini secara perlahan aku pindahkan kembali setelah aku gali selama beberapa jam ini. Sinar matahari yang terik sangatlah terasa dengan bau keringat yang menyengat karena dari semalam aku tidak sempat membersihkan diri atas apa yang terjadi. Aku mengangkat tanganku, menutupi wajahku yang penuh keringat, melihat langit yang kini biru dengan sedikit awan di atas sana. Apa yang terjadi semalam kini kembali berubah menjadi normal kembali ketika matahari tiba. Namun bedanya, kini semuanya telah usai. Desa Muara Ujung yang awalnya ramai, penuh dengan canda tawa, penuh dengan rasa semangat dari orang-orang yang hidupnya kembali ke titik nol di tempat ini, kini harus terusir oleh apa yang keluargaku lakukan. Haaaaaahhh Aku menghela nafas panjang, tepat ketika aku menyelesaikan pekerjaanku sekarang, aku menurunkan cangkul yang aku bawa di tanah, dan memandang sebuah pek
Kedua tanganku benar-benar berkeringat, aku menahan Ayu agar tidak bisa bergerak dengan cara apapun, parang yang aku tancapkan masih terlihat menembus punggungnya.Aku sengaja menusuknya ke arah dada, agar parang itu tidak tertahan oleh tulang rusuk yang bisa menyulitkanku ketika aku menahan Ayu.Aku benar-benar menjadi pembunuh sekarang, pembunuh dari anak tiriku sendiri, meskipun tubuhnya kini di selimuti oleh sesuatu kekuatan yang gelap yang membuatnya bisa bergerak meskipun seharusnya tubuhnya telah mati akibat luka yang dia terima.Namun tetap saja, aku adalah bagian dari pembunuhan itu, pembunuhan terhadap anak kecil tidak berdosa yang didalamnya terdapat suatu makhluk yang mengerikan.Aku yakin, Ayu sekarang sudah tiada, dia hanyalah sebuah tubuh kosong yang diambil Alih oleh tuselak.Sehingga, ketika Bu Cucu mengambil tuselak itu dengan kedua tangannya, maka tubuhnya akan seketika berhenti bergerak.“TAHANN MINAH, SEDIKIT LAGI!” kata Bu Cucu yang dengan sigap menarik bayangan
‘Aku harus bertanggung jawab.’‘Aku harus mengakhiri semua ini.’‘Ini tidak boleh dibiarkan begitu saja, karena kalau Bu Cucu meregang nyawa, maka para warga desa tidak bisa lagi melarikan diri dan mereka bisa menjadi korban.’Suara-suara itu berkecamuk dalam diriku, ditengah-tengah suasana genting yang bisa saja mengakibatkan nyawaku melayang.Aku melihat ke sekeliling ketika sebuah angin yang sangat besar menghempaskan semua yang ada di sekitarku sehingga banyak dari mereka yang terpental ke segala arah.Banyak anak kecil yang terlepas dari pangkuan ibunya, banyak juga para orang tua yang terjatuh dan terguling di semak-semak. Semuanya benar-benar kacau.Apalagi, Bu Cucu sudah tampak kelelahan dengan luka yang dia terima pada saat itu.Tanganku tiba-tiba bergetar hebat, parang yang masih aku pegang dengan erat aku lihat dengan seksama.Keberanian dan ketakutan tercampur aduk saling beradu satu sama lain di dalam diriku pada saat itu.Apakah yang akan aku lakukan sekarang, apakah aku
Situasinya benar-benar kacau, sebagian warga terlihat masih khawatir meskipun sudah melewati Ayu dan berdiam diri di pohon yang ditunjuk oleh Ucok pada saat itu, sedangkan sebagian lagi masih dilanda ketakutan karena situasinya sangat genting dan bisa menyebabkan nyawa mereka melayang seketika.Tangisan anak-anak yang mereka bawa terdengar menggema disana, belum lagi jeritan-jeritan dari para wanita yang melihat Ayu bergerak dan melayangkan bayangan hitam itu ke arah mereka yang tidak bisa menghindar di saat-saat seperti itu.Apalagi, mereka lebih ketakutan ketika tepat beberapa meter di dekat mereka, mereka melihat sesosok orang yang sudah meninggal kembali muncul, mereka masih mengingat dengan jelas bagaimana pemakaman itu berlangsung, dan bagaimana tubuhnya yang busuk dengan tumbuhan-tumbuhan rawa yang menjerat tubuhnya sewaktu mereka menemukannya dalam keadaan yang tidak bernyawa.Beberapa yang kaget akan hal itu bahkan terjatuh ke tanah dengan tubuhnya yang bergetar hebat. Rumor
Semua warga Desa Muara Ujung yang ingin melarikan diri disana begitu tercengang ketika mereka semua melihat Bu Cucu yang berusaha menghentikanku pada saat itu, tubuhnya basah bercampur darah dan luka yang terlihat cukup parah dari apa yang mereka lihat.Suara Bu Cucu yang berada di depan, di antara aku, dan Ucok serta Ayu yang berada tak jauh dariku pada saat itu tampaknya tidak terdengar oleh sebagian warga.Namun, Ucok yang tahu atas apa yang diperintahkan oleh Bu Cucu langsung berbalik, dengan sedikit berteriak dia langsung memerintahkan semua warga untuk berlari agar bisa melewati Ayu yang kini kondisinya sudah sangat parah karena dikendalikan oleh tuselak yang ada di dalam tubuhnya.“SEMUANYA, DENGARKAN ABA-ABA DARIKU, APABILA BU CUCU SUDAH BISA MENAHAN MAKHLUK ITU, KALIAN LANGSUNG BERLARI KE ARAH POHON YANG ADA DI UJUNG SANA, KARENA MAKHLUK ITU TIDAK AKAN BISA MENGEJAR KALIAN APABILA KALIAN SUDAH SAMPAI DISANA!”Ucok dengan cepat berbalik kepada Ali, Tono, Supri dan Adi.“Kal
Suara-suara cemoohan, keraguan, makian bahkan sumpah serapah terlontar dari mulut mereka yang ada di sekitarku. Juga dari sebuah tanda tanya atas apa yang aku lakukan ini tidak aku dengarkan. Para warga yang berada di sana langsung berkata tentangku, tentang Ayu dan tentang Satria.Sebuah kemarahan yang tidak bisa mereka lampiaskan dengan sebuah tindakan, sehingga mereka hanya bisa melampiaskan hal itu hanya dengan sebuah kata-kata yang itu pun keluar secara perlahan dengan orang terdekat di antara mereka.Rasa takut yang menyelimuti karena di depan mereka ada sesosok Ayu yang menjadi sebuah iblis yang bisa merenggut nyawa mereka semua membuat mereka tidak bisa berbuat apa-apa.Kemarahan mereka sengaja ditahan karena mereka takut Ayu akan menyerang mereka dan berakhir dengan kematian yang mengerikan seperti Pak Dani dan Ki Sakti yang sekilas mereka lihat ketika mereka berjalan keluar desa.Aku berusaha mengeluarkan keberanianku, Ayu dengan lehernya yang patah dan tersenyum sinis kepad