Akhirnya Septa mulai membuka kotak tersebut lalu mulai membuka plastik klip dan mengeluarkan kertas pembungkus yang ada di dalamnya. Ia tampak ragu-ragu untuk merobek kertas tersebut."Sobek aja! Entar kalo emang bukan untuk kamu, kita bungkus ulang di toko langgananku."Septa agak lega mendengar penjelasan Arga lalu mulai merobek kertas pembungkusnya. Begitu kertas tersobek terlihat sebuah sweater merah seukuran badannya. Sebuah sweater yang amat indah lalu tangan Septa mengelus permukaannya yang sangat lembut dan halus."Kamu suka?" tanya Arga lirih yang membuat mata Septa terbelalak seketika karena kaget."Jadi ini ....?"Arga tersenyum manis sebagai jawabannya. Septa tak mampu berkata apa-apa karena baru kali ini ia mendapat barang branded dan tak mungkin bisa membelinya sendiri."Terima kasih banyak, Pak!"Tanpa sadar Septa memeluk Arga erat dan pria tampan bermata elang ini tersenyum lebar."Oops, maaf, Pak!"Segera Septa mengurai pelukannya dan Arga menarik kedua tangan gadis i
Ada apa dengan Arga?Mengapa penuh rahasia kayak gini? Mahir mengemudi? Jadi ia dibelikan mobil?Kapan ia akan kursus mengemudi?Septa mau bertanya pada Bibik, wanita tersebut sudah masuk rumah. Gadis berlesung pipi ini tak bisa mencari tahu ke Bibik karena harus segera berangkat kerja. Gadis bersweater merah ini buru-buru ke paviliun mengambil keperluan yang harus ia bawa ke kantor.Septa istirahat makan siang, seharian bekerja sendiri membuat jenuh. Ponsel Arga tak bisa dihubungi sama sekali. Pesan yang ia kirimkan dari pagi pun belum terbaca. Ke mana bosnya? Pikirannya tak karu-karuan. Beberapa kali ia memperhatikan sweater pemberian bosnya.Tiba-tiba ada Pak Sopir datang membawa berkas-berkas yang harus diketik oleh Septa. Ia melihat tanggal penandatanganan, barusan dua jam yang lalu. Berarti bosnya masih di dalam kota. Mengapa tak mengaktifkan ponsel? Ada apa dengannya? Saat Pak Sopir akan pergi, ia mencegahnya."Maaf! Pak Arga ke mana, ya?""Masih ada kepentingan Bu. Maaf, say
"Bapak kok gak bilang ke aku. Kenapa ponsel gak aktif? Aku butuh konsultasi soal proposal.""Kan udah aku jelaskan di email dan berkas yang dibawa sopir setiap pagi.""Lalu kenapa ponsel hidup saat rapat tapi begitu aku hubungi mati?""Nanti aku jelaskan semua saat kita bertemu. See you!""Paaak! A-aku ...."Terdengar sambungan telepon dimatikan dari seberang, Septa segera memberikan ponsel ke Bibik. Akhirnya atas saran Bibik juga, Septa tak jadi resign dan mau menunggu kabar dari Arga kembali. Hatinya ikut sedih saat tahu kalau sang bos sedang sakit. Ia mengeluarkan kembali baju-bajunya lalu merapikan kembali ke lemari. Bibik terlihat senang melihat gadis manis di hadapan ini hatinya telah luluh kembali."Sabar, ya, Non! Kasian Tuan Arga kalo ditinggal Non Septa. Tuan gak mau Non tertular. Maafkan Bibik, ya. Saya disuruh tutup mulut oleh Tuan.""Ya, Bik. Aku kasian juga habis tau ini. Biar aku aktifin lagi ponselku.""Nah, gitu dong! Bibik pamit dulu.""Silakan. Makasih, ya, Bik!"Bi
Septa terkagum-kagum begitu menginjakkan kaki di bagian depan bangunan tersebut. Pak Sopir mengirimkan sebuah pesan pada seseorang. Tak lama kemudian, keluar empat wanita memakai dress code asisten rumah tanggaKeempatnya tersenyum ramah dan menyapa Septa secara bersamaan. Salah satu dari mereka memperkenalkan diri dan memberitahu bahwa mereka telah diperintah oleh Arga untuk mengantar Septa menemui sang tuan. Septa telah bersiap memasuki ruangan dengan diiringi keempat wanita berseragam warna biru laut."Non, nanti telepon saya jika waktunya pulang," ucap Pak Sopir."Okey, Pak. Makasih ya," jawab Septa yang kemudian melangkah masuk.Begitu memasuki ruangan dalam seketika aroma wangi kayu hutan pinus menguar memasuki hidung mungil gadis berparas manis ini. Baunya membawa ketenangan dan kedamaian serta kesejukan. Sampailah langkah kelimanya tepat depan tangga yang melingkar di kedua sisinya.Asisten yang mengiringi Septa semenjak dari luar, bisa jadi kepala asisten di rumah mewah ini,
Gadis ini berlari ke arah tangga menuju pintu keluar. Arga sangat menyesali pertemuan tak mengenakkan ini. Ia harus lakukan agar Septa tak terlalu lama berinteraksi dengan dirinya. Ia tak mau gadis tersebut tertular penyakit. Pria gondrong ini segera menelepon Pak Sopir agar mengantar Septa pulang dan meminta untuk menyampaikan permintaan maafnya kepada Septa.****Malam hari tiba, Septa sedang duduk di depan paviliun seaat selesai mandi sepulang kerja. Tiba-tiba tampak dari pintu gerbang yang terbuka mobil Arga yang selama ini dititipkan kepada Dion.Abangkah? Mau ngapain kemari? tanya Septa dalam hati sembari masih menanti siapa yang mengemudikan mobil tersebut. Mobil belok ke arah karpot depan rumah besar dan berhenti di sana. Pelan-pelan pintu depan mulai terbuka dan terlihat seraut wajah yang sangat ia kenali. Kemudian disusul penampakan sang pengemudi yang tersenyum manis ke arahnya. Mereka melangkah ke arah paviliun. Septa tertawa bahagia melihat orang-orang kesayangannya dat
“Gak papa, Bu. Saya lakuin dengan senang hati. Saya kagum dengan kebaikan Non Septa. Tuan Arga aja, yang selama ini cuek dan tak mau berinteraksi dengan siapa pun. Dibikin kalang kabut, saat dicuekin Non Septa. Barusan aja, saya dipesan untuk lebih memperhatikan kebutuhan Non Septa. Kata Tuan Arga tubuhnya kurusan.”“Apaan sih, Bik? Gak usah mengada-ada deh. Barusan kemarin juga ketemu. Bilang kurusan.”“Bibik gak bohong, Non. Tiap hari Tuan itu suruh Pak Sopir buat fotoin Non. Pokoknya Non itu penting buat Tuan.”“Wah, lelaki idaman banget. Di mana pun selalu ingin tau perkembangan wanitanya.”“Betul banget, Ma. Kayanya nih, Bos Arga udah bucin banget ama Septa. Abang bilang apa? Dari awal ketemu Abang udah ngerasa dia suka kamu.”“Kalian bertiga, ngapain bully aku? Kerja masih baru dan sekarang harus ngerjain semua sendiri. Aku bingung ngadepin klien-klien.”“Udah, Non. Buruan nikah aja. Kalian itu pasangan serasi. Bibik bahagia Tuan Arga udah ada pendamping.”“Ini lagi! Apaan sih,
“Assalammu'alaikum, Bos. Udah mulai sehat?”“Wa'alaikumussalam, Bang Dion. Alhamdulilah, besok juga mau pulang ke sana. Gimana kabar Abang dan Tante? Maaf, ya. Gak bisa ikut menemani.”“Gak apa-apa, Bos. Yang penting biar sehat dulu. Sesuai pembicaraan kita di telepon, pagi ini kami melanjutkan dengan Septa. Udah gak ada masalah. Tinggal kalian urus semua berkas pendukung.”“Terima kasih banyak atas bantuan Bang Dion dan Tante. Entar aku sediakan semua dana untuk semua. Tolong diskusi dengan Septa agar minggu ini terlaksana.”Dion yang mendengar pembicaraan Arga tak bisa menahan tawa.“Ada yang salah, ya, Bang? Terus terang aku panik. Sangat menyesal telah melakukannya. Yang pasti, aku harus segera bertanggung jawab. Apalagi seperti kata Tante, Bibik pun menduga kalo Septa hamil.”“Dan Bos percaya?”“Percaya dong! Yang kasih tau, orang-orang yang berpengalaman. Tapi, Septa masih menyangkal tuh. Bilang dia punya bukti akurat. Apa pun itu, aku harus nikah dengan dia.”“Sebentar! Maaf, y
“Jadi udah aman. Kita pulang, Ma,” ucap Dion segera bersalaman dengan Bibik lalu di susul oleh mamanya.Septa mengikuti sampai tempat parkir sedang Bibik segera masuk rumah besar. Saat di tempat parkir, Dion menyempatkan telepon Arga.“Assalammu'alaikum, Bang.”“Wa'alaikumussalam, Bos. Aku pinjam mobil, ya?”“Kan emang buat Abang dan Tante. Pake-pake aja.”“Terima kasih, Bos.”“Gak usah pake Bos, kale. Arga aja.”“Kaga enak, Bro.”“Nah. Ini keren, Bro.”“Kami pamit dulu. Assalamualaikum.”“Wa'alaikumussalam. Salam buat Tante.”“Oke.”Dion mengakhiri hubungan telepon lalu segera membuka pintu mobil dan naik. Beberapa saat Bu Rita memberi wejangan kepada Septa. Setelah itu, wanita setengah baya tersebut masuk mobil. Septa tampak masih kangen dengan mamanya.“Ma, sering-sering kemari, ya?”“Habis ini, kamu yang harus sering ajakin Nak Arga pulang. Ni kerja, gak pulang-pulang. Saingan sama Bang Toyib," sindir Bu Rita yang ditimpali tawa oleh Dion.“Belum juga tiga kali lebaran," sahut Sep