Share

BAB 5A

Percakapan Mas Eris, Mas Eros dan ibu membuat hatiku tak karuan. Benci, marah, nelangsa seolah tercampur menjadi satu. Baru hitungan bulan berumah tangga, sudah diterpa masalah yang memusingkan kepala. 

Benar kata Mas Eros, jika memang saudara kembarnya itu tak mencintaiku, seharusnya dia tak menjadikanku tameng untuk kisah cintanya dengan Mbak Fika. Kenapa harus aku yang dia jadikan korban petualangan cintanya? 

 

Gara-gara masalah itu, aku tak bisa tidur semalaman. Obrolan mereka selalu terngiang di pelupuk mata. Sakit sekali rasanya jika mengingat semuanya. Teganya Mas Eris mempermainkan seorang wanita. Padahal jelas dia juga terlahir dari rahim seorang wanita pula. 

 

Aku harus segera mencari buku nikah dan kartu keluarga. Keputusanku sudah bulat untuk berpisah dengannya. Daripada semakin nelangsa, lebih baik berpisah secepatnya. Bukankah lebih baik menjanda daripada harus pura-pura bahagia?

 

"Kamu nyari apa, Nin?" tanya seseorang membuatku tersentak. Suara itu cukup mengagetkan. Saat menoleh, kulihat Mas Eros berdiri di ambang pintu kamar dengan bersedekap sembari menatapku lekat.

 

"Emm ... cari buku nikah sama kartu keluarga, Mas," balasku singkat.

Kedua alis Mas Eros nyaris menyatu. Aku yakin dalam benaknya mulai bertanya-tanya apa yang akan kulakukan dengan dua surat penting itu. 

"Buat apa?" tanyanya dengan alis mengerut. Aku hanya meringis kecil tanpa menjawab. 

 

"Buat apa cari surat penting itu?" ulangnya lalu melangkah mendekat.

 

"Nggak buat apa-apa, Mas. Mau kusimpan di tempat yang aman saja."

 

Aku kembali tersenyum dan mengangguk pelan untuk meyakinkannya. 

 

"Yakin mau disimpan saja?" tanyanya lagi membuatku semakin gugup. Tanpa jawaban, dia hanya tersenyum tipis.

 

"Nggak usah dijawab kalau memang berat menjawabnya. Mau kubantu?" tawar Mas Eros saat menatapku sesaat.

 

Aku terdiam sejenak. Setelah mendengar obrolannya kemarin, entah mengapa aku mendadak salah tingkah tiap kali berpapasan dengannya. 

 

"Aku bantu, biar cepat ketemu," balasnya lagi. Aku hanya mengangguk, tanpa mengucap sepatah katapun. 

 

"Seingatku di laci ini, Mas. Cuma kok sekarang nggak ada, ya? Apa disimpan Mas Eris di tempat lain?" tanyaku sembari berpikir.

 

Aku dan Mas Eros saling tatap lalu sama-sama berpikir beberapa saat. 

 

"Mungkin di kotak surat-surat penting. Eris biasa menyimpan ijazah dan berkas lainnya di sana." 

 

"Ohya? Di mana, Mas?" tanyaku cepat.

 

"Biasanya di atas lemari. Tolong ambilkan kursi, biar aku yang memeriksanya. Ada di sana atau nggak," perintah Mas Eris kemudian. Aku mengiyakan, lalu buru-buru mengambilkan kursi sesuai perintahnya. 

 

"Hati-hati, Mas. Jangan sampai jatuh," ucapku sebelum dia naik ke atas kursi.

 

"Iya, Nin. Aku nggak mau jatuh dari kursi, maunya jatuh ke hatimu saja," balasnya santai, tapi membuat dadaku berdebar tak karuan. 

Sejak dia terang-terangan mengatakan isi hatinya di depan ibu dan Mas Eris kemarin, aku benar-benar tak bisa bersikap biasa saja seperti sebelumnya. Ada debar yang kian terasa tiap kali berpapasan dengannya. 

 

Makanya aku berusaha untuk menghindar tiap kali melihatnya. Hanya saja, tinggal dalam satu rumah jelas tak membuatku bebas bukan? Nyaris setiap waktu aku bertemu dengannya.

Inilah yang kutakutkan jika tinggal bersama dengan ipar setelah menikah. Tak bisa leluasa. Dalam hadits pun Tertulis jelas jika ipar adalah maut. Cukup berbahaya jika ipar tinggal di atap yang sama. 

"Eh, Maaf, cuma bercanda, Nin. Jangan dimasukkan hati," ucap Mas Eros sembari tersenyum tipis. Lagi-lagi aku hanya mengiyakan lalu membalas seulas senyum. Mas Eros pun kembali sibuk mencari kotak berisi surat-surat penting itu di atas lemari. 

***

Comments (1)
goodnovel comment avatar
Bunda Wina
Ayuk nin urus surat perceraian mu sama eris
VIEW ALL COMMENTS

Related chapters

Latest chapter

DMCA.com Protection Status