Share

Anak Kecil Tidak Pernah bohong

________

 

"Apa yang  kamu katakan itu benar, Sayang?" Mas Haris mengelus rambut Mikhaila yang pastinya lembut itu. "Bundamu telponan?"

"Iya, Ayah." Jawab Mikhaila cepat.

"Mungkin kamu salah dengar, Sayang! Bunda memang tidak tidur. Tapi, bunda itu sibuk memomong adikmu yang rewel terus," Aku segera menyela, membuat anak sulungku menoleh dan memiringkan kepalanya.

"Kok bunda senyum-senyum?"

"Ya, biar Syahdan anteng, sayang." Belaku sambil segera menekan hidung mancungnya. "Khaila juga masih bayi seperti itu. Khaila tidak ingat, Ya?"

Nampak wajah putri sulungku yang memang darah daging Mas Haris, berubah pias. Rupanya ia kalah telak.  Heran, anak bau kencur sudah ikut campur urusan orang tua.

"Bundamu benar, Sayang. Mungkin karena semalam  Khaila mimpi!"

Penuturan Mas Haris membuat aku bisa menarik napas sebab merasa lega, ternyata Mas Haris tidak percaya dengan ocehan putrinya. Ya, tentu saja ia akan membelaku. Sebab tahu bagaimana dulu suamiku melihat aku harus gadang tiap malam karena Mikhaila terus rewel. Belum lagi, punya anak kecil memang repot yang mengharuskan banyak oceh untuk menghibur.

"Kamu mau puasa, Aline?" Aku mendongak mendengar pertanyaan Mas Haris. Aku tahu, dia pasti mengalihkan perhatian.

"Kalaupun tidak, boleh-boleh saja. Kamu baru saja habis melahirkan. Kecuali, kalau kamu kuat, Aline!" Belum aku menjawab, dia sudah berujar kembali.

"I-i-iya, Mas!" Aku hanya menunduk dan memasukan kembali telur dadar yang tinggal sedikit ke mulut.

***

Aku memomong Syahdan yang dibedong didekat kaca depan sambil menatap kepergian Mas Romli untuk mengantarkan istrinya mensurvei tempat dimana Risma akan mendirikan butik. Ah, polos sekali kamu, Risma. Habis-habisan kamu cari uang bahkan sampai rela menunda kehamilan, dan mengorbankan banyak waktu. Sedangkan, kau tak menikmatinya. 

Ya, Mas Romli terkadang cukup menengadahkan tangan untuk mendapatkan uang. Dan  saat berhasil dia langsung menyerahkannya padaku sebagai bentuk nafkah. Sedangkan Risma, ia kadang lupa waktu dan sibuk sampai-sampai tidak sadar jika hal itu membuat suaminya bermain api dengan istri tetangga. Risma berusia tiga tahun lebih tua dariku. Namun, baru lima tahun ia menjalankan biduk rumah tangga dengan suaminya. Sedangkan aku sudah menginjak tujuh tahun dengan Mas Haris. Meskipun, usiaku masih muda. Risma, bisa dikatakan ia terlalu sibuk dengan karir sampai-sampai menikah pun di usia yang hampir senja.

Seutas senyum terbit di bibirku setelah mobil yang menghantarkan kekasih gelapku hilang ditelan jarak. Namun, langsung bungkam saat tiba-tiba ada satu kendaraan roda dua yang mengarah ke halaman rumah dan berhenti di sana.

"Terima kasih, Mang!" 

Aku refleksi melangkah mundur saat tahu siapa yang datang. Ibu? Mau apa ibu ke sini? Segera kusembunyikan uang lima ratus ribu pemberian Mas Romli pagi tadi. Untung, suamiku tidak curiga sebab Mas Romli pura-pura mengantarkan wadah. Padahal, isinya memberikan uang yang telah dijanjikan juga melihat Syahdan yang mungkin ia rindukan.

"Nenek?" Khaila yang tengah asik menyisir rambut selesai mandi, menghambur keluar dan memeluk wanita yang menenteng berbagai tas di tangannya.

"Khaila? Kamu sudah besar, sayang?" Ibu mengusap pucuk kepala putriku. Namun, ekor matanya mengarah padaku. Apa maksudnya tatapan itu? Pasti dia datang untuk mengintimidasi, apalagi sekarang ada Mas Haris.

"Ini, Nenek bawa oleh-oleh kesukaan Mikhaila." Ibu berujar setelah pelukan pada cucunya terlerai.

"Rempeyek isi kacang tanah!"

"Hore!" Putriku bersorak dan segera menerima plastik berwarna transparan sehingga isinya nampak. Sedangkan ibu, langsung meletakkan barang bawaannya di sudut ruangan. Sepertinya tak ada niat untuk mendekati. Ah, ibu.

"Oya, Ayah Mikhaila dimana?" tanyanya mengabaikan aku yang terus berdiri memperhatikan. 

"Ayah sedang asyik memberi makan ayam-ayamnya, Nek. Ayam ayah banyak banget, nanti Mikhaila minta sembelikan satu untuk nenek ya!"

"Pinter banget!" Puji ibuku sambil menyentil dagu gadis berusia lima tahun itu. Aku hanya bisa memalingkan wajah ke sembarang arah. Kesal juga lama-lama.

Mikhaila menyeret tangan neneknya untuk menemui Mas Haris yang sedari tadi sibuk dengan peliharaannya. Aku hanya mennggaruk kepala yang tidak gatal ini saat melihat reaksi kedua bola mata ibu saat menatap sekeliling ruangan ini. Mungkin ia bertanya-tanya kenapa berantakan? Tentu saja, sebab aku membiarkannya seperti ini.

***

"Aline,"

"Ya," sahutku. 

"Ibu ingin bicara denganmu," tuturnya tanpa menghentikan aktivitasnya memotong ayam yang Mas Haris sembelihkan.

Ya, sesuai permintaan Mikhaila bahwa neneknya ingin disembelihkan ayam, dan Mas Haris melakukannya bahkan tiga sekaligus. Namun, aku angkat tangan untuk memasak. Sehingga, ibu yang turun tangan mengurusnya. Sedangkan Mas Haris, saat ini sedang mencari bakatul untuk pakannya ayam peliharaannya.

"Bicaralah, Bu. Aku sedang sibuk menenangkan Syahdan yang rewel dari tadi," titahku yang duduk di kursi khusus sambil menyodorkan puting ini pada mulut putraku.

Ibu berbalik badan, dan menghentikan tangannya memotong ayam. Aku hanya menautkan kedua alis menanti apa yang akan dibicarakan.

"Aline, kamu segera hentikan perbuatan tercela ini. Dan, berterus terang pada suamimu!" Ibu berujar dengan suara yang serak. Sedangkan, kedua bola matanya terus menatapku yang membuatku merasa risih. " Kamu tidak sadar, bahwa perbuatan kamu sudah di luar batas!"

"Apa ibu tidak sadar. Ibu juga juga mantan pelakor,"

"Ibu bukan pelakor, Aline!" Pekik ibu membantah ucapanku.

"Lantas, bagaimana dengan keempat kakak yang membenci Aline sebab perbuatan ibu yang membuat Mbak Halimah mati?" Telakku tak mau kalah.

"Itu kecelakaan, Aline. Bukan sebab_"

"Tapi, kecelakaan itu karena dia patah hati melihat suaminya bersanding di pelaminan, Bu!"

"Aline, jaga omongan kamu. Semua itu sudah berlalu, dan ibu sudah mengakui dan meminta ma'af atas kesalahan itu. Makanya, ibu tidak mau kamu merasakan penyesalan."

"Cukup ibu saja, Aline!"

"Bukankah buah tidak akan jatuh jauh dari pohonnya?" Bantahku tak terima. Singa yang bersemayam di dalam jiwaku sepertinya terbangun. "Jadi, Aku mohon ibu untuk tidak ikut campur urusanku. Aku melakukan semua ini karena Mas Haris seperti tidak punya waktu untukku, Bu! Apalagi, siapa yang menjamin dia tidak mencari kehangatan pada wanita lain di perantauan?"

"Aline, tugas sang istri itu menjaga diri saat suami tidak ada. Bukan malah mencarin kehangatan pada pria lain. Apa kamu tidak memikirkan akibat ke depannya, Aline? Apa kamu tidak menimbang bagaimana perasaan Risma jika ia tahu?"

"Dia yang salah, Bu. Coba kalau dia tidak terlalu sibuk dengan karirnya, mungkin Mas Romli tidak akan mencari kehangatan di tempat lain?" 

"Kami memang sama-sama terabaikan oleh pasangan, Bu! Ibu tahu itu?" Aku berdesis dengan menaikan nada bicara.

"Tapi, sebagai seorang istri shalihah, kamu _"

"Aku bukan istri shalehah, Bu!"

"Harus berusaha untuk menjadi, Aline!"

" Apa ibu juga pantas disebut shalehah setelah merebut suami orang?"

Tak ada sahutan dari mulut wanita yang telah melahirkanku setelah kalimat yang mungkin menyakitkan itu terlontar begitu saja. Mungkin, dia sadar bahwa apa yang aku katakan ini memang benar. Aku masih belum bisa menghapus bayangan akan makian orang-orang yang menyatakan bahwa aku anak pelakor. Belum lagi-lagi, setelah menikahi laki-laki beranak empat, kasih sayang ibu jadi terbagi. Lebih ke mereka, dan aku sebagai anak kandungnya dari almarhum bapak harus terabaikan.

"Ibu memang tidak shalehah, Aline! Tapi ibu sedang belajar untuk menjadi itu_ "

"Nenek!"

Perdebatan kami terhenti saat mendengar suara yang memanggil. Kami menoleh ke arah sumber suara dan melihat Mikhaila tergopoh-gopoh mendekati dengan napasnya yang tersengal-sengal.

"Cucu nenek yang cantik? Ada apa?" tanya ibu. Aku hanya menyimak sambil terus menekan-nekan puting ini pada mulut Syahdan yang tak kunjung berhenti menangis.

"Nek, Mikhaila_"

.

.

.

.

Bersambung

Bab terkait

Bab terbaru

DMCA.com Protection Status