Share

Diam-diam Memadu rindu

SELINGKUH DENGAN TETANGGA 2

( P0v Aline )

_______________

[ Terima kasih, Ayang ]

Tertera pemberitahuan pesan terkirim di layar ponsel yang tidak lebar ini. Aku menggunakan ponsel jadul yang harus menekan tombol-tombol untuk mengetik. Dan ini lebih profesional jika digunakan untuk menghubungi Mas Romli. Lelaki yang telah menyimpan benihnya di rahimku dan kini sudah terlahir dengan berjenis kelamin laki-laki.

Ya, aku dan Mas Romli telah diam-diam menjalin asmara yang sudah berjalan hampir satu tahun. Entah apa sebabnya, aku yang kurang perhatian dan selalu ditinggalkan Mas Haris kerja ke luar kota. juga Mas Romli yang sering di abaikan Risma, karena sibuk dengan pekerjaan dan usahanya di bidang fotocopy yang cukup ramai. Membuat kami sepakat untuk memberikan kehangatan satu sama lain. Di tambah lagi, Mas Romli selalu mengatakan jika Risma tak mau punya anak. Konon, menunggu perusahaan yang diimpikannya terwujud. Yakni, memiliki butik. Semakin menyeret kami ke arus yang tidak seharusnya.

[ Hatiku berbunga kalau kamu suka, Yang. Jangan lupa makan makanan bergizi agar anak kita tetap sehat ya, sayang! ]

Seutas senyum terbit di bibir ini. Ah, Mas Romli. Kau memang laki-laki yang romantis, kata-katamu selalu membuat aku seperti melayang. Saat ini sudah hampir lima menit berkirim pesan sepulang dari ia shalat tarawih. Suami tetanggaku juga menggunakan ponsel yang sama sepertiku. Jadul, sebab alasannya agar tidak mudah dicurigai. Bukankah zaman sekarang musim menyadap W******p? Dan mudah dicurigai, sebab gampang di deteksi.

Tapi, Jika handphone tombol yang hanya bisa kirim SMS dan telepon seluler? Tak ada kamera depan apalagi pasang aplikasi-aplikasi kekinian. Kecil peluang untuk diketahui, Semoga saja semuanya aman-aman saja. Pun, Mas Haris nampak acuh meskipun handphoneku tergeletak. Selain ia fokus pada ponsel miliknya, mungkin laki-laki yang telah memberikan aku anak bernama Mikhaila ini berfikir tak ada guna memainkan ponsel yang ketinggalan zaman.

Jujur, setelah menikah aku tutup semua akun sosial. Termasuk F******k, I*******m yang followernya lumayan. Bahkan, tweeter dan semua media lainnya. Semua ini, Mas Haris yang meminta, dengan alasan aku harus fokus jadi ibu rumah tangga dan tidak keluyuran di sosial media. Li-cik sekali dia, padahal dirinya pun tidak menutup kemungkinan kan bermain dengan wanita lain? Apalagi jarang sekali ia pulang dari perantauan. Siapa yang menjamin dia tidak mencari kehangatan pada wanita lain?

Mentang-mentang statusku sebagai ibu rumah tangga. Dia kira aku wanita bo-doh? Aku memang tidak muncul di dunia maya yang semakin merajalela. Tapi, ini justru lebih asyik yang sedikit peluangnya untuk diketahui. Tidak usah juga video call yang membutuhkan banyak kuota. Cukup pura-pura kirim sesuatu, atau pinjam sesuatu saja jika kami sedang kangen. Karena selingkuhanku adalah tetangga sebelah. Lucu, Bukan?

[ Besok aku akan antar Risma survey tempat untuk mendirikan butik. Kamu mau pesan apa, Yang? ]

Ponsel  bergetar menyadarkanku dari lamunan. Aku tersenyum saat melihat notifikasi satu pesan masuk dari Telkomsel. Ya, aku memberikan nama Mas Romli di kontak handphone dengan kata Telkomsel. Trik, agar jika ketahuan ada pesan masuk di kira dari Telkom beneran yang sering kirim pesan promo atau hal lainnya. Uh, Cerdas sekali, bukan?.

[ Terserah, tapi lebih baik bentuk uang saja, Ayang. Kalau sering-sering ada makanan aneh, takut ketahuan ] Balasku. Tentu tidak bisa pakai emoticon. Dan tidak akan mungkin bercentang biru dua dan langsung muncul tampilan mengetik di bawah nama pengirim.

[ Baiklah, Esok aku pura-pura balikin wadah bekas kolak dari kamu, Sayang. Aku selipkan uangnya disana Ya! ]

[ Tapi, kira-kira kapan kamu minta cerai dari suamimu, Yang. Aku sudah tidak sabar ingin menjadi ayah dari Syahdan yang tercatat dalam dokumen negara? ] Balas Mas Romli lagi mengiringi SMS sebelumnya.

"Aline,"

"Ya, Mas!" Aku tersentak dan segera menyembunyikan ponsel jadul ini di balik bantal yang digunakan Syahdan. Sedangkan anakku sudah terlelap meskipun belum menarik mulutnya yang mengulum putingku.

"Malam ini aku tidak akan tidur di rumah," tutur Haris seraya duduk di bibir ranjang, Dia menatapku dan Syahdan secara bergantian. "Ada jadwal di pos ronda!"

"Mas Romli juga ikut?"

Alisnya nampak tertaut, membuat aku bingung dibuatnya. Dan saat sadar, aku segera membekap mulut dan mencoba menahan detak jantung yang tidak karuan. Bahkan wajah ini terasa memanas, sebab rasa takut yang muncul dengan hebat. Si-al, kenapa mulut ini tidak bisa dikontrol?

"Ya_ Eummm, itu Mas Haris kan selalu ajak dia kalau mau kemana-mana." Ralatku tergagap. Untung ideku cepat menemukan jawaban. Sehingga, raut wajah Mas Haris yang semula seperti mengintimidasi, kembali ke sedia kala.

"Kamu baik-baik di rumah, Ya. Jangan lupa pintu dikunci," Titahnya seraya bangkit dan mengambil sarung yang tergantung di balik pintu kamar.

Aku menatap dia tanpa merubah posisiku yang kini tengah tertidur miring, Syahdan masih nyenyak dalam dekapanku sampai suamiku benar-benar hilang dari balik pintu.

Huft!

Akhirnya, lega. Aku kira dia akan marah sebab kepergok sedang bermain ponsel. Ternyata dia cuma minta izin, hampir saja aku kehabisan napas gara-gara menahan rasa panik. Coba kalau ketuk pintu dulu? Tapi Itu lebih baik, aku bisa bebas komunikasi dengan Mas Romli tanpa takut ketahuan.

***

Sahur ini aku sengaja  memasak telur dadar dan goreng ikan asin untuk menunya. Selain mata yang terasa berat sabab malam tidur sudah dini hari, aku juga sengaja untuk mencari-cari cara agar Mas Haris marah-marah dan segera menceraikan aku karena tidak be-cus dalam memenuhi kebutuhan suami.

Aku memang belum bisa menjalankan ibadah suami istri setelah selesai nifas yang hanya sampai empat puluh hari. Bukan karena aku tidak mau, tapi Mas Haris tidak pernah memintanya. Ya sudah, masing-masing saja. Apalagi, aku tidak lagi selera berhubungan dengannya. Sudah menemukan kehangatan lain, yakni selimut tetangga.

Dan, memang selama ini aku selalu bersikap malas-malasan bahkan cucian bayi yang terus menumpuk hampir di setiap waktu. Juga pakaian aku yang tidak sedikit, belum lagi Mikhaila yang kadang ngompol saat tidur, sengaja dibiarkan teronggok di sudut ruangan. Bukan malah mengomel, Mas Haris justru menggantikan peranku sebagai ibu rumah tangga. Mencuci piring, mencuci pakaian bahkan sampai melipatnya. Kadang masak juga disambung menyapu lantai serta pekerjaan lainnya.

Awalnya aku kesal kenapa dia tidak marah-marah, atau setidaknya berkomentar dengan keadaan rumah yang berantakan. Namun, akhir-akhir ini justru membuat aku nyaman dan tetap membiarkannya seperti itu. Lama-lama dia juga akan bosan, Kan? Dan menyalahkan aku yang tidak be-cus jadi istri, akhirnya terjadi perceraian. Ah, mudah kan?

Apalagi, aku yakin dia melakukan semua ini untuk menutupi perbuatannya di luar kota. Aku yakin, Mas Haris juga pasti mencari kehangatan selama di perantauan. Sebab, jarang sekali ia berkirim kabar dan uang yang diberikan pun di bawah yang seharusnya. Gajinya lima juta dalam satu bulan, dan dia selalu mengirimkan dua juta. Yang tiga juta kemana, Woy?

"Bunda semalam telponan sama siapa?" Mikhaila yang lahap mengunyah telur tiba-tiba menyeletuk. "Tidur Khaila jadi terganggu, apalagi lihat bunda senyum-senyum."

Nasi yang sudah ditenggorokan, nyaris tersembur mendengar ocehannya. Belum lagi, tatapan Mas Haris mendadak seperti elang yang hendak menerkam mangsa membuat aku meradang. Dasar anak kecil sia-lan!

.

.

.

Bersambung

Bab terkait

Bab terbaru

DMCA.com Protection Status