Share

Kecurigaan terhadap istri tetangga

"Nenek, Mikhaila mau bakso ikan!"

"Bukankah cucu nenek sudah makan cilok_"

"Mikhaila kasihan sama abang-abang penjualnya. Dari tadi teriak-teriak tapi tidak ada yang beli!" Rengeknya sambil menengadah.

Huft! Kira ada apa, ternyata cuma mau beli dagangan laki-laki tua yang selalu mangkal disana. Mikhaila memang memiliki kebiasaan unik, yang mungkin turun dari ayahnya_Mas Haris. Terlalu berlebihan mengasihi orang, kadang-kadang ia memborong dagangannya tapi tidak di makan. Tapi, tidak apa-apa. Aku tidak susah cari uang sebab mengalir dari dua tempat. Suamiku dan dari selingkuhanku.

"Ya, sudah! Cucu nenek yang cantik, langsung pesan sama abang-abangnya ya, nenek ambil uang dulu!" Ibu mengusap pucuk kepala putriku, kemudian mendaratkan kecupan singkat di keningnya.

Ah, kentara sekali dia pilih kasih pada kedua cucunya. Padahal Mikhaila dan Syahdan terlahir dari rahim yang sama meksipun dari benih yang berbeda.

Syahdan terlahir sebab kami sering menghabiskan waktu berdua. Awalnya, aku yang ketakutan di rumah sendirian, selalu meminta tolong Mas Romli untuk menemani. Semula, saling jaga jarak. Namun, seiring berjalannya waktu kami mulai merasakan nyaman satu sama lain dan merasa sefrekuensi, hingga berubah menjadi cinta yang menyebabkan saling mengisi hati. Aku yang ditinggal Maa Haris diperantauan, dan Mas Romli yang diabaikan Risma sebab sibuk dengan pekerjaan. Dan tiba di titik malam itu kala hujan deras disertai petir yang saling menyambar, membuat aku dan Mas Romli tidak bisa mencegah untuk tidak melakukannya. Namun, saat aku mulai merasakan gejala kehamilan dan tenyata hasilnya positif diperiksa menggunakan alat. Aku langsung meminta Mas Haris untuk segera pulang dengan alasan sakit. Dan, langsung menyeretnya ke tempat peraduan. Saat itu usia kandunganku baru mencapai dua minggu, dan berharap dengan melakukan hal itu akan mengagalkan pertumbuhan janinku. Rupanya dia kuat, hingga terus membesar, bahkan kini setelah lahir pun dokter mengatakan anak laki-lakiku memang sehat. Tapi, masih beruntung sebab Mas Haris tidak menyadari ini. Dan anak yang diberi nama Syahdan Maulana ini adalah anak dari tetangga. Pintar, bukan?

"Ibu selalu berdo'a semoga kamu tersadar tanpa harus mendapatkan kepahitan lebih dulu, Aline!"

Kalimat yang terucap dari mulut ibu membuat aku tersadar dan menarik diri ini dari bayangan masa itu. Ia menatap kamar kemudian melangkah, menyusul Khaila yang sudah lebih dulu menghampiri tukang bakso ikan yang hampir setiap hari mangkal di jalan seberang.

Perkataan ibu cukup menyentak sebagian anggota tubuhku yang bernama hati. Aku tahu ini adalah perbuatan yang sangat dilarang agama, aku telah berkhianat pada Tuhanku dan pada mahkluk ciptaannya.

Tapi, jika mengakhiri pun percuma, Kami sudah melangkah jauh. bahkan andai saja Mas Haris menjatuhkan aku talak, mungkin aku dan Mas Romli telah menjadi pasangan suami istri yang utuh.

Sekarang aku hanya harus menyiapkan mental jika bom ini meledak. Ditinggalkan Mas Haris, dijauhi Risma dan di benci keluarga. Tapi tak apa, yang penting dicintai Mas Romli yang membuat hatiku terus berbunga-bunga.

***

"Permisi," 

Suara yang disertai ketukan pintu membuat kami serentak menoleh. Nampak Risma menyembulkan kepalanya kemudian melangkah masuk tanpa menunggu kami mempersilahkan. Ya, mungkin Risma merasa karena kami tetangga satu halaman yang hanya terhalang oleh jemuran sehingga merasa leluasa masuk. Sedikit kesal, tapi mataku langsung berbinar karena Risma datang tidak dengan tangan kosong.

"Eh, Neng Risma! Mari ikut buka puasa disini, ada opor ayam dan kolak nangka," Ibu menarik satu kursi untuk mempersilahkan Risma duduk di sana. Dekat Mas Haris pula.

"Terima kasih, Bunda!" Risma mengangguk sopan dan melukiskan senyuman. Namun, aku menangkap ia menatap Mas Haris sekilas.

"Eh, bukan seperti itu. Mari makan dulu, tak apa cuma dicicipi juga," Desak ibu menarik tangan istri tetangga rumah ini.

Dih! Ibu so akrab banget. Kalau orang lain nolak tidak usah dipaksa juga. Ibu tidak tahu, bahwa makanan di rumah Risma pasti mewah dan enak-enak. Dia pasti tidak level makanan makanan di rumah ini, kecuali kalau ada sesuatu di balik sesuatu.

"I-i-iya, Bunda! Terima kasih," Risma tersenyum garing seperti tidak enak. "Tapi saya harus temani Mas Romli di rumah,"

"Apalagi, kamu baru pulang dan belum membersihkan badan, Bunda!"

Tangan Risma terjulur dan meletakkan kresek berwarna hitam di atas meja yang dipenuhi ragam hidangan. Ya, dimana ada ibu maka disana mendadak ada perasmanan. Enak juga ibu tinggal di sini, tapi tetap gerah juga sebab mulutnya tak berhenti menasehati. Emang disitu sudah benar?

"Ini saya bawa martabak telur, juga satu kilo buah apel, di terima ya!" Tutur Risma lembut.

Ibu yang menerima, hanya menganga dan menatap sosok wanita berhijab Khimar disampingnya. "Lo, kok banyak banget, Neng! Apa_"

"Tidak apa-apa, bunda. Itu sudah izin dari suami, kami masih ada di rumah, cuma berdua juga yang makan,"

Nada bicaranya memang lembut, tapi saat menyebutkan kata izin dari suami kenapa matanya mendelik ke arahku? Atau jangan-jangan dia sudah mulai mencurigai sesuatu? Oke, itu lebih baik.

"Syukurlah, Neng Risma." Ibu nampak menarik napas, kemudia menengadah ke arah sosok tamu kami maghrib ini. "Tapi tetap bawa ini ya!"

Tangan ibu lincah mengambil beberapa potong opor ayam yang kuahnya berwarna kuning dan menguarkan aroma yang menggugah selera. Memindahkan pada mangkok dan menyodorkan pada Risma. Belum sampai disitu, ibu juga memberikan kolak nangka, gorengan tepung berisi udang. Dan, rempeyek satu kresek. Serta buah pisang dan pepaya masak yang dibawanya dari rumahnya tadi.

"Terima kasih, bunda!"

"Mari, bunda!" Risma mengangguk saat mulai melangkahkan kaki. Dibalas oleh ibu sambil melambaikan tangan.

"Aline, Mas Haris dan Mikhaila!" Istri Mas Romli mendekatiku, entah untuk pamitan atau mau mencari-cari sesuatu.

Pun belum melangkah, Risma menyempatkan mencubit pipi putri sulungku yang memang chubby dan menggemaskan. Sepertinya, Risma mulai tertarik untuk memiliki anak. Tapi, bukan itu yang kini menarik perhatianku. Tapi, menangkap tatapan matanya pada sosok Mas Haris yang duduk di samping Mikhaila. Laki-laki itu, tengah membantu p menyuwir ayam yang ada di piring Mikhaila.

"Uhuk!" 

"O, Iya." Risma refleks memundurkan tubuh, kemudian melangkah pergi setelah batuk pura-puraku terdengar. Tuh, kan. Pasti ada sesuatu di baliknya. Kentara, sebab Risma langsung mundur mendengar batuk pura-puraku yang mungkin dianggap sindiran.

Kutatap sorot mata ibu yang menatapku tanpa berkedip. Mungkin ia kesal sebab aku pura-pura batuk untuk menyadarkan Risma yang malah mencuri-curi pandang pada Mas Haris. Jika seperti ini, tindakanku bermain gi-la dengan Mas Romli sepertinya bisa dimaklumi.  Jika ternyata Mas Haris dan Risma pun ada sekandal, maka semuanya impas kan?

"Mikhaila, ayo dimakan, sayang!" Titah ibu setelah sosok Risma menghilang dari balik pintu.

"Khaila mau apel, Bu!" Rengek putriku.

"Ini, Sayang!" Bukan ibu, melainkan Mas Haris yang mengambilkan dan langsung mengupasnya.

Kami kembali fokus melanjutkan makan setelah terjeda sejenak karena kedatangan Risma. Tak henti mulut ini mengulum senyum disela mengunyah. Tadi pagi Mas Romli memberikan uang satengah juta sebagai ganti oleh-oleh. Dan sekarang, Risma malah mengantarkan takjil yang pastinya atas perintah Mas Romli.

"Ibu harus makan daging yang banyak, ya. Haris takut tidak bisa memberikan lagi," 

Celetukan laki-laki yang memiliki kumis tipis menyadarkanku dari lamunan. Halnya ibu yang langsung menatap menantunya lekat. "Maksudnya?"

Mas Haris nampak menarik napas dalam-dalam dan sendok yang telah diisi makanan itu, diletakan kembali pada piring. Aku hanya acuh sambil menikmati opor ayam buatan ibu yang selalu lezat di lidah dan harum ini. Apalagi anak tidur, adalah anugerah bagi wanita yang baru melahirkan sepertiku.

"Sepertinya, ini saat yang tepat bicara pada ibu, mumpung ibu ada disini," Meskipun aku berusaha tak peduli, tapi Indra telinga ini berhasil juga menangkap ucapan Mas Haris.

"Mau bicara apa, Nak Haris?" Ibu melirikku sejenak. Namun, aku tetap abai dan beralih menyantap martabak telur.

"Detik ini, dengan tanpa kesaksian orang banyak. Aku kembalikan Aline pada ibu,"

"Apa?"

.

.

.

.

Bersambung

Bab terkait

Bab terbaru

DMCA.com Protection Status