Share

Pura-pura Overprotektif

SELINGKUH DENGAN TETANGGA 1

_______________

"Yakin di rumah masih ada, Mbak?"

"Tenang, Jeng. Tadi kebetulan masak semurnya lumayan banyak!" 

Aku melirik ke arah suamiku yang tengah duduk dekat ranjang bayi. Mas Haris nampak acuh, dan malah asyik menghibur anakku yang tentu tidak akan mengerti apa yang dilakukan olehnya. Pasalnya, Syahdan baru berusia lima puluh hari dari kelahiran.

"Tapi, aku jadi merasa tidak enak, Mbak. Hampir setiap hari Mbak banyak mengantarkan makanan untuk kami berbuka puasa. Sedangkan dari sini tidak memberikan apa-apa," Kekehku sambil menggaruk kepala yang sesungguhnya tidak gatal.

"Tidak usah di bahas, Jeng. Aku tidak merasa keberatan kok." Risma menepis angin menandakan bahwa ia tidak keberatan dan mengganggap hal ini sepele. "Apalagi, suamiku selalu mengatakan kalau sedekah di bulan suci ini pahalanya berlipat,"

Aku hanya berdiri dengan menatap rantang seng dua tingkat yang diberikan Risma dalam genggaman. Sedangkan wanita itu langsung berlari mendekati box bayi dan langsung mengoceh seolah anakku akan faham apa yang dikatakannya untuk menghibur.

"Uh, Gemas banget." 

"Mancung banget hidungnya. Rambutnya juga tebal," pujinya pada anak laki-lakiku. Sedangkan anak pertamaku, Mikhaila sudah duduk di kursi menunggu adzan maghrib.

Aku memperhatikan bagaimana dia begitu asyik mengoceh untuk menghibur anakku. Setiap ia mengirimkan makanan, selalu hal ini yang dia lakukan. Aku jadi ragu, apalagi kini didekat ranjang bayi ada juga Mas Haris. Meskipun ia nampak cuek, dan perlahan menghindari. Namun, tak menyurutkan pradugaku.

Bisa saja kan dia pura-pura mengindari karena ada aku yang masih memperhatikan. Apalagi, Risma yang hampir setiap hari mengirimkan makanan, kuyakini tidak asal-asalan. Mana ada manusia jaman sekarang yang mau membantu orang lain tanpa ada maksud lain? Apalagi, aku pernah memergoki mereka tengah bicara berdua.

"Risma, Kamu tidak usah mengantarkan makanan terus. Aline jadi keenakan dia bersantai,"

"Tidak apa-apa, Mas. Mbak Aline kan baru saja melahirkan. Jadi, aku sebagai tetangganya harus membantu meringankan, setidaknya dengan memberikan ia makanan," kekeh Risma kala itu, aku hanya menguping pembicaraan tanpa menampakan diri. Bersembunyi dibalik pakaian yang tengah dijemur disamping rumah.

Tanpa sadar bibirku tersenyum kecut saat mengingat kembali percakapan mereka tempo hari. Dan ini, sudah ke sepuluh hari sejak memasuki bulan puasa Risma melakukan hal itu. Mengirimkan ragam makanan untuk keluargaku berbuka puasa.

Terdengar suara adzan dari surau yang tidak terlalu jauh dari rumahku. Buru-buru aku menutup pintu dan membawa rantang ini ke meja makan. Mengalihkan pada satu wadah karena rantang ini pasti akan di bawa oleh pemiliknya. Ada semur daging, gorengan tepung yang dicampur udang merah. Dan, satu bungkus korma yang masih menempel capnya.

"Jeng, buka puasa disini saja!" Titahku saat Risma sudah menghampiri dan mengambil rantang yang telah kosong.

"Tidak usah, Mbak. Aku buka puasa di rumah saja, Mas Romli pasti sudah menunggu!" Sahutnya terkekeh. Sesekali, aku memergoki ia melirik ke arah Mas Haris yang sudah mengambil air. Namun, tetap melangkah.

Sebelum ia menutup pintu, aku segera mengambil wadah dan mengambil kolak dari panci. Tidak enak kalau dia terus mengirimkan takzil, sedangkan aku tidak balas mengirim. Ya, harus adil bukan?

"Mbak, ini aku buat kolak pisang, di bawa ya!" Tuturku seraya meletakkan wadah yang ada jinjingan itu pada tangannya.

"Terima kasih, Jeng!" 

Aku balas senyumanya dan menatap nanar mengiringi langkah Risma yang mungkin hanya sepuluh langkah sudah sampai di rumahnya. Risma memiliki paras yang manis, belum lagi ia rutin perawatan. Dia memang wanita yang hebat, selain bisa mengurus rumah juga memiliki usaha di bidang fotocopy yang tempatnya di perempatan jalan. Namun, anehnya. Ia selalu mengeluhkan kalau ia jarang mendapatkan belaian dari suaminya. Entah sebab apa, tapi yang kulihat mungkin karena dia selalu sibuk. Atau .....

Setelah dia hilang di balik pintu rumahnya. Aku melangkah menuju meja makan. Disana sudah ada Mas Haris yang duduk dan didepannya tersedia satu gelas berisi air putih. Sedangkan Mikhaila, sudah mengunyah gorengan yang terlihat begitu renyah.

"Tidak Maghrib dulu, Mas?"

"Nanti dulu, Masih Adzan!" Sahutnya datar.

"Mikhaila mau makan apa?" tanyaku mengalihkan.

"Mau korma, Bunda. Tante Risma memang baik ya!"

Aku hanya tersenyum sumbang menanggapi ocehan Mikhaila. Dan melirik ke arah Mas Haris yang nampak acuh. 

Ia meneguk air putih itu, dan menyisakan setengah kemudian diletakkan di atas meja. Setelahnya, laki-laki yang menekan hingga tujuh tahun ini bangkit dan mengambil satu korma yang masih terbungkus dalam plastik.

Aku pun ikut mengunyah korma yang untuk membatalkan puasa. Mengamati punggung suamiku yang hilang di balik pintu kamar mandi. Mas Haris memang seperti itu, akhir-akhir ini ia irit sekali bicara. Dan, jarang sekali tidur satu ranjang, apalagi setelah aku melahirkan. Aku jadi merasa, seperti ada sesuatu di balik semua ini.

***

"Mas?"

"Ya?" Sahutnya saat ia kembali memakan gorengan pemberian Risma tadi.

Aku yang memomong Syahdan, tergopoh-gopoh mendekati. Aku ingin menanyakan sesuatu yang semakin hari terus menghantui pikiranku. Tadi, saat buka puasa, hendak bicara. Namun, bayiku bangun dan menangis, terpaksa aku harus memberikannya ASI. Sebelum berangkat tarawih, suamiku malah menyimpang ke rumah Mas Romli. Hal yang biasa dilakukan setelah memasuki bulan puasa. Begitu juga dengan suami Risma, Mas Romli kerap kali berkunjung ke rumahku bahkan tidak jarang sampai pukul sebelas malam. Tapi, aku yakin kunjungan keduanya bukan semata-mata. Tapi, ada sesuatu di baliknya.

"Mas aku boleh tanya sesuatu?" tanyaku hati-hati. Sepertinya ini waktu yang tepat.

Ia menoleh, tapi kunyahan di mulutnya tak juga berhenti. "Ya," sahutnya datar.

Aku menarik napas untuk mengatur gelombang yang bergemuruh di dada. Mencoba memilih kata yang mungkin tidak akan menyinggung perasaannya. 

"Mas suka makanan dari tetangga?" tanyaku. Dan dia balas mengangguk.

"Apa Mas tidak merasa risih setiap hari Risma mengantarkan makanan?" tanyaku memancing. 

"Yang penting kita tidak minta, Kan?" Sahutnya balik bertanya. Aku hanya bisa menarik napas, takut salah dalam bicara 

"Ya, tapi bagaimana kalau ia terus mengirimkan makanan, Mas. Sedangkan di rumah juga ada? Apa Mas tidak mencurigai sesuatu?" tanyaku tak tahan.

"Apa yang mesti di curigai, Aline. Memang sudah lumrah kan jika di bulan puasa orang-orang selalu membagikan takjilnya pada tetangga terdekat?"

Sumpah, kali ini ia ngomong panjang. Tapi syukurlah, akan terus di selidiki sampai aku menemukan jawaban yang diharapkan.

"Apa Mas tidak ada .... "

"Aline, Risma itu istri orang, bahkan laki-lakinya teman dekat, Mas. Kamu jangan mikir aneh-aneh, Aline. Kalau dia memberikan, ya tinggal di terima. Kalau kita punya sesuatu, ya kita juga harus berbagi." Mas Romli bertutur panjang lebar. Membuat, aku merasa lega.

Namun, bukan karena ia tidak irit bicara seperti pada hari-hari biasanya. Tapi Ya Baguslah, kalau seperti ini. Berati aku bebas meminta apapun pada Mas Romli sebagai bentuk nafkahnya untuk anak bungsuku. Sekalipun atas nama takjil yang selalu di antarkan Risma.

.

.

Bersambung

Related chapters

Latest chapter

DMCA.com Protection Status