Share

Mengembalikan istri pada ibunya

______

"Apa maksud mengembalikan Aline pada ibu, Nak Haris?" Ibu menatap menantunya dengan nanar. Dilepaskannya sendok yang sempat digunakan untuk menyuap.

Dasar memang, ibu itu memang tidak tahu apa pura-pura saja ? Padahal jelas, kalau dikembalikan pada ibunya berati aku ditalak.

"Aline Marline Binti Kusnaidi, detik ini aku jatuhkan talak satu padamu," Dengan lantang kalimat itu terucap dari mulut Mas Haris. Tanpa, mengindahkan pertanyaan ibu sebelumnya. "Setelah ini, haram bagiku akan tubuhmu!"

"Astaghfirullah!"

Ibu membekap mulutnya dengan refleks menggelengkan kepala. Sedangkan Mas Haris masih menunduk setelah lepas kalimat sehingga tak bisa kulihat bagaimana ekspresi wajahnya. 

"Apa yang membuat kamu melakukan ini, Nak?" Disela terisak, ibu masih berkenan berucap.

"Aku bukan laki-laki yang baik, Bu. Maka, aku lepaskan Aline agar ia mendapatkan laki-laki yang lebih pantas!"

Ibu menengadah dan nampak cairan bening yang sudah berlinang di pipi itu terkena cahaya lampu. "Apa kamu sudah tahu bahwa Aline_"

"Aline tidak bersalah, Bu. Maka dari itu selama ini ia tidak berterus terang dan meminta ma'af." Sela Mas Haris, ia menoleh ke arahku yang sedari tadi menatapnya tanpa berkedip. 

Melihat raut wajah laki-laki yang telah memberikan benih yang diberi nama Mikhaila, aku segera menundukkan kepala. Sempat melihat, ada lelehan air yang membentuk di wajahnya yang tidak muda lagi. Apakah ia menangis? Atau itu hanya akal-akalan belaka untuk menarik simpati ibu?

"Aku hanya melakukan hal yang menurutku baik untuk semuanya!" Tuturnya dengan suara yang mulai merendah.

"Nak Haris!" Ibu merintih dan kian tersedu dengan tangannya seperti hendak menggapai sosok menantunya.

Ih, kenapa ibu pakai lebay segala. Seharusnya dia senang kalau anaknya di talak. Dengan begini, aku tinggal menunggu masa Iddah dan kabar perceraian Mas Romli dengan Risma. Karena, bagaimana pun Risma pasti sudah tahu jika suaminya sudah bermain gi-la dengan Istri tetangga. O, atau dia juga ada main dengan Mas Haris? Sebab, tadi saja aku melihat mereka saling adu kontak mata. Ah, permainan macam apa ini?

"Aku melakukan semua ini karena kamu juga bermain gi-la kan sama Risma, Mas? Aku menangkap detik tadi kalian saling adu tatap?" Amukku meluapkan pertanyaan yang bergumul di dada. O, tidak. Lebih tepatnya untuk pura-pura menyanggah seolah keberatan dengan perceraian ini, agar ia tidak tahu ada rasa bahagia yang kusembunyikan.

Haish? Pernyataan konyol macam apa ini? Bukankah itu tidak penting sebab aku dan Mas Haris tidak ada hubungan apa-apa lagi selain mantan suami istri. Tapi, tak masalah, ingin tahu hal ini bukan hal yang tidak wajar kan?

"Terkadang, orang yang melakukannya lah yang lebih overthinking!" Sahutnya datar. Cukup membuat nyaliku menciut.

"Nak Haris, kamu_"

"Ibu, aku sudah dijemput oleh temanku dari perantauan. Sejak kedatangan ibu yang tidak terduga, aku langsung menjalankan misi ini," Mas Haris langsung memotong.

"Ma'afkan aku, Bu!"

Mas Haris bangkit, menyisakan aku dan Mikhaila yang masih lahap mengunyah. Memang anak seusianya tidak akan faham urusan orang tua. Sedangkan ibu, ia malah terisak sampai-sampai tissu yang seharusnya jadi lap mulut usai makan, kini malah digunakan membersihkan ingus dan air mata yang terus turun.

"Aline, ini aku buatkan kartu untukmu." Suara serak Mas Haris membuat aku refleks menghentikan kunyahan. "Aku akan kirimkan nafkah masa Iddah dan  untuk Mikhaila lewat kartu itu," 

Mas Haris meletakkan sebuah kartu tepat di hadapanku. Aku bergeming dan menengadah menatapnya sosoknya yang berdiri di sampingku.

"Untuk ayam-ayam itu, Ma'af mas akan membawanya ke tempat yang telah dipilih untuk membangun rumah makan khas seperti yang kau pinta dulu!"

"Maksudnya?" Alisku tertaut.

Mas Haris nampak menarik napas dalam-dalam, kemudian menghembuskan perlahan. Membuat aku semakin tertarik untuk mendengar apa yang akan di sampaikan.

"Ma'afkan aku, Aline. Selama ini aku selalu memberikan gajiku hanya dua juta. Sedangkan kamu tahu bahwa gajiku lima juta bekerja disana." 

"Sebagian kutabungkan untuk membangun sebuah restaurant impian kamu sebagai hadiah pernikahan kita yang ke delapan tahun nanti." Tuturnya seraya tangan itu memijit pangkal hidung mancungnya. "Namun, sepertinya sampai disini kita harus berpisah,"

"Aku sengaja tidak mengatakan ini, Aline. Aku hanya ingin kamu merasakan hasilnya saja, tanpa tahu prosesnya yang tidak mudah. Sebab, aku persembahkan sebagai hadiah ulang tahunmu tepat di tanggal pernikahan kita,"

"Mas, enak banget ya ayam kabar tadi!"

"Kamu suka?" Mas Haris yang sedang mengemudikan motor, menoleh ke arah belakang dimana aku duduk dan melingkarkan kedua tangan ini pada punggungnya.

Sebagai jawaban aku hanya mengangguk tanpa mau memberikan kalimat apapun. Kami menyusuri jalanan yang cukup sepi dengan dihiasi pohon rindang disetiap sisi. Mas Haris mengajakku makan diluar sebagai bentuk apresiasi terhadap kabar yang kubawa. Kehamilan Mikhaila dipernikahan kami yang memasuki dua tahun, setelah penantian yang tidak sebentar.

"Dan, andai mungkin aku ingin punya rumah makan khusus ayam kampung, Mas. Ya, selain langka tentunya jadi branding buat kita. Jadi, sedikit pesaing."

Mas Haris tidak memberikan jawaban apapun atas ocehanku yang berupa ungkapan dasar hati, ia malah semakin mengencangkan laju kendaraan roda dua yang sudah butut ini. Bahkan, entah sudah berapa kali harus masuk bengkel dengan jumlah biaya yang lumayan.

"Aku cuma membayangkan, Mas!" Kekehku takut membuatnya jadi kepikiran.

"Kita fokus buat biaya buat bangun rumah dulu ya, Aline!" Hanya itu yang Mas Haris katakan. Selanjutnya kami sama-sama diam sampai roda dua ini mengantarkan aku ke kediaman yang belum selesai di bangun.

"Aline, Mas titipkan Mikhaila padamu." 

Sebuah ucapan yang terlontar dari mulut Mas Haris, menarikku dari kenangan masa itu. Laki-laki itu sudah berdiri dengan kantung besar di punggungnya, dan tas ransel yang dijinjing.

"Aku tidak akan melupakan kamu yang telah merawat ayam-ayam itu," Tuturnya tanpa memberikan celah aku bicara. Dan memang tak ingin bicara, tenggorokan ini terasa kering dan mulut seolah kaku.

"Ayah?" Teriak Mikhaila yang langsung turun dari kursi.

"Mikhaila?" 

Ibu mengejar putri sulungku yang berhambur mengejar Mas Haris yang sudah melangkah ke ambang pintu. Mikhaila terus menarik kaki ayahnya agar tidak pergi, sedangkan ibu berusaha untuk menenangkan Mikhaila yang sudah menangis histeris.

Entah apa yang aku rasakan saat ini, ada sedikit rasa haru yang menelusup di lubuk hati yang paling dalam. Serta, pelupuk mata yang tiba-tiba mengenang sehingga pandangan ini buram. Bukankah seharusnya aku senang sebab ini yang aku tunggu-tunggu, bahkan senagaja melalaikan kewajibanku sebagai seorang istri. Demi, ingin mendapatkan kata talak dari dirinya agar bisa dinikahi Mas Romli sesuai janji yang telah ia ucapkan selama ini. Tapi, kenapa saat hal ini terjadi, ada sesuatu yang aneh, semacam tidak rela. Ada hal yang terasa seperti separuh jiwa hilang dariku. Dan, rasa perih yang menembus ke ulu hati.

"Ayah mau kemana? Jangan tinggalkan Khaila lagi, Yah!" Putriku merintih, dan terus menarik kaki jenjang Mas Haris.

Ibu hanya bisa tersedu tanpa bisa menarik tubuh cucunya yang mungkin sangat kuat mencengkram, bahkan tas Mas Haris ditarik agar terlepas dari genggaman laki-laki itu.

"Sayang, ayah harus pergi untuk sementara. Khaila disini sama bunda ya," Mas Haris berjongkok, lelaki yang memiliki kumis tipis itu menangkup wajah putrinya yang sudah basah oleh air mata dengan kedua tangannya. "Ayah janji, ayah pasti akan sering-sering temui Mikhaila,"

"Bunda tidak sayang sama Mikhaila, Yah. Bunda lebih sayang sama dedek bayi!" 

"Tidak ada yang sayang satupun sama Mikhaila, Yah." Jerit Mikhaila yang membuat dadaku seperti dihantam ombak besar.

"Sayang?" Ibu berhambur memeluk gadis yang rambut panjangnya sudah acak-acakan. Menciumi pipi kiri dan kanan serta kening cucunya.

"Justru karena sayang, Ayahmu harus pergi cari uang agar bisa memasukkan Khaila ke pesantren yang besar, Khaila kan mau jadi Hafidzah?" Ibu merangkul dari belakang.

"Khaila juga pernah bilang mau jadi bidan?" Mas Haris yang berada didepannya menimpali sambil membereskan rambut putrinya yang sudah tidak karuan.

Putriku bergeming saat sebuah kecupan Mas Haris daratkan di keningnya. Aku yang hendak menyusul, terpaksa harus urung. Terdengar suara tangisan Syahdan yang berada dalam box bayi.

Segera kurangkul dan membawanya dalam gendongan. Meskipun basah bagian sebab ia ngompol, aku tidak peduli. Bergegas melangkah cmenyusul Mas Haris yang mungkin masih menenangkan Mikhaila.

"Mas?"

Netraku meluncurkan cairan bening tanpa diminta saat melihat suamiku sudah hilang dari balik pintu. Nampak dari keremangan cahaya lampu dia menaiki sebuah mobil berwarna hitam yang tak bisa ku kenali platnya. Bukan hanya itu, aku juga melihat ada wanita yang langsung menyambut kedatangan suamiku dan menutupi pintunya mobil setelah dia masuk.

Pemainana macam apa ini? Kenapa semuanya jadi jungkir balik?

.

.

.

.

Bersambung

Bab terkait

Bab terbaru

DMCA.com Protection Status