MasukDian berdiri kaku di tengah ruangan, langkahnya terhenti ketika melihat seluruh keluarga kerajaan menatapnya seperti ancaman baru yang tak diundang. Dias langsung mundur satu langkah, wajahnya memucat. “Aku pulang saja,” gumamnya, namun suaranya cukup terdengar hingga David refleks menoleh.“Dias!” David menahan pergelangan tangannya. “Kumohon, jangan pergi dariku dan istana ini.”Dias menatap tangan itu, lalu menatap wajah David yang tampak lebih kacau dari sebelumnya. Namun sebelum ia menjawab, Ratu Ibu melangkah maju seperti seorang pemenang.“Kebetulan sekali Dian datang,” katanya tenang namun menusuk. “Biarkan dia melihat sendiri bagaimana sikap David berubah karena pengaruh yang tidak jelas.”Ibu Dias seketika bersuara lantang, “Pengaruh apa maksud Anda? Anak saya? Kalau Anda tuduh anak saya, sebut saja langsung!”Ruangan kembali tegang. Dian menelan ludah, terlihat benar-benar tidak nyaman. “Maaf, saya datang karena dipanggil, bukan bermaksud membuat masalah.”“Ibu!” David mem
Pagi itu istana sudah terasa aneh. Pelayan berjalan lebih cepat dari biasanya, beberapa prajurit mondar-mandir tanpa arah jelas.David baru saja keluar dari kamar ayahnya ketika seorang prajurit mendatanginya, wajahnya gugup.“Paduka, ada tamu yang baru tiba. Ratu Ibu yang mengundang.”David langsung merasa ada yang tidak beres. “Siapa tamunya?”Prajurit itu menelan ludah. “Non... Nona Dian, Paduka.”David sampai memejamkan mata.“Apa, Dian datang kemari? Tanpa aku tahu?”Prajurit hanya menunduk.“Ratu Ibu bilang untuk perkenalan singkat. Ia bilang Paduka sudah menyetujuinya.”David mengumpat dalam hati. "Ibu!"Di ujung koridor, suara para pelayan berubah riuh. Sesosok perempuan bergaun lembut memasuki istana, sopan, sedikit gugup, tidak tahu apa pun soal kekacauan keluarga ini.Dian.Dias yang sedang berjalan bersama ibunya langsung berhenti ketika melihat perempuan itu muncul. Rona wajahnya memudar. Ibunya Dias memicingkan mata, lalu langsung berdiri tegap, seolah bersiap berkelahi.
Ruangan itu masih panas oleh pertengkaran sebelumnya. Tidak ada yang beranjak, seolah semuanya menunggu letupan berikutnya. Raja Ayah duduk bersandar lemah, tapi matanya tetap terarah pada David, putra yang sebentar lagi harus membuat keputusan terberat dalam hidupnya.David akhirnya menghela napas panjang. Ia menatap Dias lama sekali, seolah tengah mengukur luka yang tidak bisa diperbaiki hanya dengan kata-kata.Lalu ia bicara.“Aku mencintaimu, Dias.”Nada suaranya jujur, tanpa ragu. “Aku selalu mencintaimu. Dari awal sampai sekarang, perasaan itu nggak pernah hilang.”Dias berkedip cepat, seolah tidak percaya itu keluar dari mulut David.“Tapi,” David melanjutkan, suaranya menurun drastis, “sikap kamu berubah. Kamu menjauh. Kamu marah terus. Kamu nggak mau aku bantu, kamu nggak mau aku tanya. Bahkan hal-hal kecil pun kamu jadikan alasan untuk mengamuk. Dan sekarang, aku mulai ragu apakah kamu masih lihat aku sebagai suamimu.”Dias membuka mulut, tapi tak ada suara yang keluar.Ratu
Ketegangan di ruang keluarga itu memuncak. Napas terasa berhenti , seolah apa pun yang keluar dari mulut seseorang akan berubah menjadi ledakan berikutnya. Dias berdiri di tengah, wajahnya penuh warna: marah, takut, tersinggung, tapi juga putus asa. Suara napasnya saja sudah menunjukkan betapa tertekannya ia.“Apa salah aku sampai Ibu tega menjodohkan David dengan orang lain?”Pertanyaan itu menggema seluruh ruangan.Ratu Ibu melangkah maju dengan tatapan tajam. “Masih bisa tanya salahmu?” ujarnya dingin, suaranya menusuk. “Dias, kau tinggalkan suamimu. Kau bohongi kami. Kau membuat warga susah. Kau tinggalkan ayahnya. Kau tak merawat siapa pun. Kau justru tertawa di taman bersama ibumu saat keadaan keluarga ini sedang kacau. Itu bukan sekadar salah. Itu pengkhianatan terhadap keluarga suamimu.”Dias tersentak mundur. “Itu tidak benar! Ibu selalu menyalahkan aku! Semua sudah benci sama aku!”“Karena kau memberi alasan untuk dibenci.”Jawaban Ratu Ibu menggema seperti cambuk.David men
Suasana di taman belakang yang tadinya dipenuhi cahaya matahari sore berubah gelap seketika. Raja Ayah muncul dibantu Gita, mematahkan pertengkaran yang hampir pecah menjadi dua kubu.Ratu Ibu melirik ke arah suaminya, antara cemas karena ia keluar terlalu cepat dan tidak senang karena intervensi itu menghentikan amarahnya yang belum tuntas.“Ayah, kenapa keluar? Kau belum seharusnya berdiri. Istirahat saja dulu,” pinta Ratu Ibu.“Sudah kukatakan, cukup,” potong Raja Ayah dengan suara tegas yang membuat semua orang menunduk.Ia menyapu pandang, berhenti lama pada Gita.“Kau sudah menjalankan tugasmu dengan baik, terima kasih, Nak,” ujar Raja Ayah pada Gita, pelan tapi penuh ketegasan. “Tanpamu mungkin aku belum bisa berdiri hari ini.”Gita menunduk, bingung harus menjawab apa.Ratu Ibu berdeham keras. “Ehem... dan apa maksudnya itu? Gita memang sudah melakukan bagiannya. Tapi Dias malah bersenang-senang.”“Dias tidak salah,” Raja Ayah memotong lagi. “Anak itu punya batas. Membiarkan d
Malam itu lorong istana terasa dingin, meski angin sama sekali tidak berhembus. David menunggu Dias di ruang baca kecil dekat kamar mereka, ruangan sempit yang biasanya mereka gunakan untuk bicara berdua.Tapi malam ini, suasananya jauh dari hangat.Dias masuk dengan langkah cepat, wajahnya masih memerah sisa kemarahan sebelumnya.“Apa lagi sekarang, David?” tanya Dias dengan nada tinggi.David menahan napas sejenak sebelum bicara.“Sayang, kenapa kamu bicara seperti itu. Aku mau bicara baik-baik denganmu. Tentang Ayah.”Dias menghela napas. “Kalau mau bilang aku kurang merawat Ayah, sudah cukup ya. Aku capek.”David menatapnya lekat-lekat..“Aku cuma tanya satu hal: yang merawat Ayah selama ini, kau atau Gita?”Dias langsung menegang. “Aku. Tentu saja aku! Masa kau percaya Gita? Aku yang merawat Ayah!”“Sayang, bukan soal percaya,” David mencoba tenang, “tapi aku lihat sendiri tangan Gita merah karena sering membersihkan kamar Ayah. Aku lihat pakaiannya basah karena sup. Aku lihat dia







