LOGINMatahari pagi menyinari halaman istana. Burung-burung kecil bertengger di pepohonan, tapi suasana hati Gita justru berat. Sejak kabar Raja David mengunjunginya menyebar, ia merasa setiap langkahnya diikuti tatapan. Ada yang iri, ada yang sinis, dan ada pula yang hanya ingin tahu.
Sari menyodorkan kain selendang tipis. "Nyonya, kalau jalan keluar paviliun, lebih baik pakai ini. Setidaknya bisa menutupi wajah dari pandangan yang terlalu tajam."
Gita tersenyum lemah. "Apakah aku sudah jadi bahan pembicaraan semua orang, Sari?"
Sari menatapnya prihatin. "Ya. Di istana, gosip bisa lebih tajam daripada pedang. Tapi jangan khawatir, Anda tidak sendirian."
-
Hari itu, Gita dipanggil menghadiri jamuan minum teh bersama beberapa selir lain. Ruangannya indah, dikelilingi jendela besar dengan tirai putih. Aroma teh melati menyebar lembut.
Saat Gita masuk, beberapa selir langsung saling berbisik. Selir Ayu, salah satu yang sudah lama tinggal di istana, tersenyum manis tapi matanya penuh sindiran.
"Selir Gita, kabar tentang Anda luar biasa cepat. Baru sebentar masuk istana, sudah menarik perhatian Baginda," ucapnya sambil menuang teh.
Gita duduk dengan tenang. "Saya hanya melakukan apa yang harus dilakukan, Selir Ayu. Tidak Lebih."
Selir lain ikut menimpali. "Ah, tapi jarang sekali Baginda mau datang ke paviliun seorang selir baru. Pasti ada sesuatu yang istimewa."
Gita hanya tersenyum tipis. "Saya rasa Baginda adil kepada semua orang. Tidak ada yang istimewa."
Jawaban itu membuat beberapa selir mendengus, tidak puas karena Gita tidak terpancing. Namun dari kejauhan, Permaisuri Dias yang hadir sebagai tuan rumah memperhatikan dengan seksama.
-
Selesai jamuan, Dias memanggil Gita secara pribadi. Mereka berjalan berdua di taman istana, hanya ditemani beberapa dayang.
"Gita," ucap Dias tanpa menoleh. "Kau cukup pintar menahan diri tadi. Tidak mudah menghadapi tatapan penuh iri dari mereka."
Gita menunduk hormat. "Saya hanya berusaha jujur dan tidak menimbulkan masalah, Permaisuri."
Dias berhenti melangkah, menatap bunga merah yang baru mekar. "Aku sudah lama hidup di istana ini. Aku tahu betul, semakin kau terlihat tenang, semakin banyak orang yang ingin menjatuhkanmu."
Gita mengangkat kepala, bingung dengan nada suara Dias yang kali ini tidak setajam biasanya. "Apakah Permaisuri menganggap saya ancaman?"
Dias menoleh, menatap lurus ke matanya. "Ancaman? Belum tentu. Tapi aku tidak akan membiarkan siapa pun merebut apa yang sudah menjadi milikku."
Nada dingin itu kembali menusuk. Gita hanya menunduk. Ia tahu, apa pun yang ia katakan tidak akan mengubah hati seorang permaisuri.
-
Malam harinya, Gita kembali ke paviliun dengan langkah goyah. Sari sudah menunggu di teras dengan wajah cemas.
"Nyonya, bagaimana pertemuannya?"
"Seperti biasa, Sari. Permaisuri mengingatkan posisiku."
Sari menghela napas panjang. "Permaisuri pasti tidak akan berhenti sampai yakin Anda tidak mengganggu. Tapi menurut saya, justru karena Baginda mulai memperhatikan Anda, beliau semakin merasa terancam."
Gita duduk sambil memandang langit malam. "Aku tidak pernah ingin bersaing. Aku hanya ingin bertahan hidup di sini."
-
Beberapa hari kemudian, kesempatan itu datang tanpa diduga. Raja David memanggil semua selir ke aula latihan seni. Ia ingin melihat siapa di antara mereka yang mampu menampilkan bakat di depan para pejabat tinggi yang akan datang.
Gita awalnya ingin menolak, tapi Sari meyakinkan. "Nyonya, ini kesempatan menunjukkan bahwa Anda punya nilai lebih, selain sekadar wajah baru."
Akhirnya, Gita memilih membaca puisi yang pernah ia tulis sejak tinggal di desa. Sederhana, tapi tulus dari hati.
Saat gilirannya tiba, ia melangkah ke depan. Suaranya lembut, tidak lantang, tapi setiap kata yang terucap membawa keheningan ke seluruh aula.
"...dari tanah yang sederhana, aku melangkah ke tempat asing ini, bukan untuk merebut, tapi untuk bertahan. Jika hidup adalah ujian, biarkan hatiku menjadi jawabannya."
Ketika ia selesai, ruangan sunyi sesaat. Lalu terdengar tepuk tangan kecil, dimulai dari arah Raja David. Matanya menatap Gita dengan ekspresi berbeda-ada rasa kagum yang tidak bisa ia sembunyikan.
Permaisuri Dias yang duduk di sampingnya hanya tersenyum tipis, tapi tangannya meremas keras kipas sutra di pangkuannya.
-
Usai pertunjukan, Raja David memanggil Gita sebentar.
"Puisi tadi... indah," ucapnya singkat.
Gita menunduk dalam. "Terima kasih, Baginda. Itu hanya ungkapan hati saya."
David mengangguk kecil, lalu pergi. Tapi tatapan itu sekali lagi meninggalkan bekas di hati Gita.
Sementara di kejauhan, Dias menyaksikan semuanya dengan mata yang berkilat tajam. Api yang ia coba sembunyikan perlahan mulai menyala.
-
Malam itu, Gita tidak bisa tidur. Sari yang melihatnya hanya bisa berkata lirih, "Nyonya... saya takut, perhatian Baginda itu akan membuat Permaisuri semakin keras pada Anda."
Gita menarik napas panjang. "Aku juga takut, Sari. Tapi aku tidak bisa menghindar dari apa yang sudah terjadi."
Di luar, bulan purnama menggantung terang. Bayangan pepohonan menari di dinding paviliun. Hati Gita berdebar, karena ia tahu-apa yang baru saja dimulai ini bukan lagi sekadar hidup tenang. Ini sudah menjadi pertarungan. Pertarungan yang akan menguji hatinya, kekuatannya... dan mungkin, cintanya. Sanggupkah ia bertahan hingga akhir?
.
Setelah menempuh perjalanan panjang, David dan Ratu Aruna akhirnya tiba di Eropa. Mereka berdua masuk ke area hotel. David dan Ratu Aruna menginap di hotel yang sama."Akhirnya kita bisa pergi berdua ya, Vid," ucap Aruna. David hanya diam tak membalas ucapan Aruna. David menatap keluar tanpa banyak bicara. Matanya kosong.Aruna melilitkan syal di leher. “Kau masih memikirkan istana?” tanyanya pelan, suaranya menggoda.David tidak langsung menjawab. Ia hanya menarik napas, lalu berkata pelan, “Ada banyak hal yang tidak mudah kutinggalkan.”Aruna tersenyum. “Termasuk seseorang?”David menoleh cepat. Ada sesuatu yang sulit diungkapkan di sana, antara rasa bersalah dan kebingungan yang disembunyikan di balik sikap tenang.“Perjalanan ini untuk urusan kerajaan,” jawab David akhirnya. “Jangan memelintirnya jadi hal lain, Aruna.”"Hal lain, apakah kamu berpikir akan ada hal lain?" goda Aruna.Aruna menatapnya lama, seolah mencoba menembus dinding yang David pasang di sekeliling dirinya. “Kau
Kereta kuda yang membawa David dan Aruna perlahan meninggalkan halaman istana. Dari kejauhan, suara roda yang bergesekan dengan tanah terdengar seperti irama yang menyesakkan. Gita berdiri di balkon paviliunnya, hanya bisa menatap punggung Baginda yang makin kecil. Hatinya seperti ditarik paksa, antara ingin menatap lebih lama dan ingin segera memalingkan pandangan.Sari berdiri di belakangnya. “Baginda pasti akan kembali, Nyonya. Jangan terlalu khawatir.”Gita hanya mengangguk. Ia tahu perjalanan itu bukan sekadar urusan kerja. Aruna ikut bersama Baginda, itu saja sudah cukup membuat pikirannya tak tenang.“Kenapa Permaisuri membiarkan Aruna ikut?” gumam Gita lirih.Sari menjawab hati-hati, “Mungkin karena beliau tidak bisa menolak permintaan Baginda.”Gita menatap ke langit yang mulai gelap. Ia tahu alasannya bukan itu. Dias pasti punya rencana lain. Sejak pertengkaran pagi tadi, Gita sadar bahwa amarah Permaisuri belum padam.Sementara itu, di dalam kereta kuda, Aruna duduk bersand
Suasana pagi di istana terasa berbeda. Para pelayan berjalan cepat tapi diam, seolah tahu sesuatu sedang tidak baik-baik saja. Gita berdiri di balkon sisi timur istana, menatap halaman utama yang mulai ramai. Di sana, kereta kerajaan sudah disiapkan. Kuda-kuda putih berjajar rapi, pengawal berbaris dengan wajah tegang. Dan di tengah hiruk pikuk itu, Raja David berdiri di samping Ratu Aruna. Gita menelan ludah. Dadanya terasa sesak. Ia tahu David akan pergi hari ini, tapi tetap saja hatinya belum siap. Bukan karena perginya David… tapi karena siapa yang pergi bersamanya. Sari, dayangnya, mendekat pelan. “Nyonya, mungkin sebaiknya istirahat di kamar saja.” “Tidak perlu, Sari. Aku baik-baik saja,” potong Gita cepat. Dia tak ingin terlihat lemah, apalagi di depan semua mata istana yang sedang menilai siapa yang paling berhak berdiri di sisi Raja. Dari kejauhan, Gita melihat Aruna mengenakan gaun biru lembut, serasi dengan jubah perjalanan David. Mereka tampak cocok. Sakitnya seperti
Kabar itu datang pagi-pagi sekali. Raja David akan berangkat ke luar negeri bersama Ratu Aruna. Gita mendengarnya dari dayang lain bahkan sebelum Sari sempat bicara apa pun. Sejak itu, dadanya terasa sesak, meski ia sendiri tidak tahu kenapa. Ia duduk di beranda, memandangi halaman istana yang sibuk. Kuda-kuda disiapkan, kereta kerajaan dipoles, dan para pengawal lalu-lalang dengan wajah tegang. Sari datang membawa teh. “Nyonya, apakah kabar keberangkatan Raja itu benar?” Gita menatap cangkir di tangannya. “Kelihatannya iya, Baginda akan ke luar negeri bersama Ratu Aruna. Tapi aku juga tahu nya dari orang lain.” Sari mendengus. “Kalau Permaisuri Dias dengar, pasti beliau kecewa.” Gita terdiam. “Kecewa karena apa, Sar? Karena Baginda pergi bersama Aruna, atau karena semua orang akan membicarakannya?” Sari menunduk, tak berani menatap tuannya. “Mungkin dua-duanya, Nyonya.” Gita memandangi taman kecil di depan paviliun, bunga-bunga yang baru mekar kini tampak layu tertiup
Biasanya, Gita bangun pagi dengan aroma kopi yang disiapkan David atau suara langkahnya di ruang tengah. Tapi kali ini, ia hanya mendengar kicau burung dan tirai yang tertiup angin.David tidak ada disampingnya. Hanya secarik kertas di meja kecil:“Ada urusan di luar istana. Jangan khawatir, aku pulang sore.”Tidak ada sapaan hangat, tidak ada tanda tangan kecil yang biasanya David beri di ujung, kebiasaan kecil yang selama ini jadi tanda cinta.Gita menyentuh kertas itu lama sekali.Sepagian ia menghabiskan waktu di ruang kerja, menata ulang buku-buku yang sebenarnya sudah tersusun rapi.Sari sempat datang membawa sarapan, tapi Gita hanya menyentuh sarapan itu sedikit.“Baginda bilang pulang sore, ya, Nyonya?” tanya Sari hati-hati.“Iya,” jawab Gita singkat.Sari mengangguk, lalu beranjak pergi. Tapi sebelum keluar, ia sempat berbalik. “Kadang kalau kita sayang seseorang, kita juga harus kasih dia ruang buat sendiri, Nyonya.”Gita tersenyum. “Aku tahu, Sari. Tapi ruang itu jangan sam
Sudah tiga hari sejak Gita mengucapkan pertanyaan itu di balkon. Tiga hari pula David belum benar-benar menjawabnya.Setiap kali ia mencoba membuka pembicaraan, David selalu bilang, “Nanti aja, Git. Aku capek banget hari ini.”Awalnya Gita berusaha memaklumi. Ia tahu pekerjaan David tidak mudah, apalagi setelah kunjungan Ratu Aruna membuat jadwal istana semakin padat. Tapi semakin lama, kata “nanti” terasa seperti tembok yang makin tinggi.Pagi itu, Gita membantu Sari merapikan bunga di taman.“Maaf, mata terlihat kayak kurang tidur, Nyonya,” kata Sari pelan sambil memotong batang mawar.“Nggak apa-apa, cuma kepikiran aja," jawab Gita singkat.“Kepikiran soal Baginda ya, Nyonya?”Gita tak menjawab, tapi ekspresinya sudah cukup menjelaskan.Sari meletakkan gunting bunga dan duduk di bangku batu di dekat situ. “Kadang laki-laki itu gitu, Nyonya, bikin kesel. Kalau lagi banyak pikiran, bukannya cerita, malah memilih diam. Tapi bukan berarti dia berubah.”Gita menatap Sari, bibirnya berge







