Home / Romansa / SELIR HATI / Bab 6 - Api yang Tersembunyi

Share

Bab 6 - Api yang Tersembunyi

Author: lucyta
last update Last Updated: 2025-09-17 09:19:13

Matahari pagi menyinari halaman istana. Burung-burung kecil bertengger di pepohonan, tapi suasana hati Gita justru berat. Sejak kabar Raja David mengunjunginya menyebar, ia merasa setiap langkahnya diikuti tatapan. Ada yang iri, ada yang sinis, dan ada pula yang hanya ingin tahu.

Sari menyodorkan kain selendang tipis. "Nyonya, kalau jalan keluar paviliun, lebih baik pakai ini. Setidaknya bisa menutupi wajah dari pandangan yang terlalu tajam."

Gita tersenyum lemah. "Apakah aku sudah jadi bahan pembicaraan semua orang, Sari?"

Sari menatapnya prihatin. "Ya. Di istana, gosip bisa lebih tajam daripada pedang. Tapi jangan khawatir, Anda tidak sendirian."

-

Hari itu, Gita dipanggil menghadiri jamuan minum teh bersama beberapa selir lain. Ruangannya indah, dikelilingi jendela besar dengan tirai putih. Aroma teh melati menyebar lembut.

Saat Gita masuk, beberapa selir langsung saling berbisik. Selir Ayu, salah satu yang sudah lama tinggal di istana, tersenyum manis tapi matanya penuh sindiran.

"Selir Gita, kabar tentang Anda luar biasa cepat. Baru sebentar masuk istana, sudah menarik perhatian Baginda," ucapnya sambil menuang teh.

Gita duduk dengan tenang. "Saya hanya melakukan apa yang harus dilakukan, Selir Ayu. Tidak Lebih."

Selir lain ikut menimpali. "Ah, tapi jarang sekali Baginda mau datang ke paviliun seorang selir baru. Pasti ada sesuatu yang istimewa."

Gita hanya tersenyum tipis. "Saya rasa Baginda adil kepada semua orang. Tidak ada yang istimewa."

Jawaban itu membuat beberapa selir mendengus, tidak puas karena Gita tidak terpancing. Namun dari kejauhan, Permaisuri Dias yang hadir sebagai tuan rumah memperhatikan dengan seksama.

-

Selesai jamuan, Dias memanggil Gita secara pribadi. Mereka berjalan berdua di taman istana, hanya ditemani beberapa dayang.

"Gita," ucap Dias tanpa menoleh. "Kau cukup pintar menahan diri tadi. Tidak mudah menghadapi tatapan penuh iri dari mereka."

Gita menunduk hormat. "Saya hanya berusaha jujur dan tidak menimbulkan masalah, Permaisuri."

Dias berhenti melangkah, menatap bunga merah yang baru mekar. "Aku sudah lama hidup di istana ini. Aku tahu betul, semakin kau terlihat tenang, semakin banyak orang yang ingin menjatuhkanmu."

Gita mengangkat kepala, bingung dengan nada suara Dias yang kali ini tidak setajam biasanya. "Apakah Permaisuri menganggap saya ancaman?"

Dias menoleh, menatap lurus ke matanya. "Ancaman? Belum tentu. Tapi aku tidak akan membiarkan siapa pun merebut apa yang sudah menjadi milikku."

Nada dingin itu kembali menusuk. Gita hanya menunduk. Ia tahu, apa pun yang ia katakan tidak akan mengubah hati seorang permaisuri.

-

Malam harinya, Gita kembali ke paviliun dengan langkah goyah. Sari sudah menunggu di teras dengan wajah cemas.

"Nyonya, bagaimana pertemuannya?"

"Seperti biasa, Sari. Permaisuri mengingatkan posisiku."

Sari menghela napas panjang. "Permaisuri pasti tidak akan berhenti sampai yakin Anda tidak mengganggu. Tapi menurut saya, justru karena Baginda mulai memperhatikan Anda, beliau semakin merasa terancam."

Gita duduk sambil memandang langit malam. "Aku tidak pernah ingin bersaing. Aku hanya ingin bertahan hidup di sini."

-

Beberapa hari kemudian, kesempatan itu datang tanpa diduga. Raja David memanggil semua selir ke aula latihan seni. Ia ingin melihat siapa di antara mereka yang mampu menampilkan bakat di depan para pejabat tinggi yang akan datang.

Gita awalnya ingin menolak, tapi Sari meyakinkan. "Nyonya, ini kesempatan menunjukkan bahwa Anda punya nilai lebih, selain sekadar wajah baru."

Akhirnya, Gita memilih membaca puisi yang pernah ia tulis sejak tinggal di desa. Sederhana, tapi tulus dari hati.

Saat gilirannya tiba, ia melangkah ke depan. Suaranya lembut, tidak lantang, tapi setiap kata yang terucap membawa keheningan ke seluruh aula.

"...dari tanah yang sederhana, aku melangkah ke tempat asing ini, bukan untuk merebut, tapi untuk bertahan. Jika hidup adalah ujian, biarkan hatiku menjadi jawabannya."

Ketika ia selesai, ruangan sunyi sesaat. Lalu terdengar tepuk tangan kecil, dimulai dari arah Raja David. Matanya menatap Gita dengan ekspresi berbeda-ada rasa kagum yang tidak bisa ia sembunyikan.

Permaisuri Dias yang duduk di sampingnya hanya tersenyum tipis, tapi tangannya meremas keras kipas sutra di pangkuannya.

-

Usai pertunjukan, Raja David memanggil Gita sebentar.

"Puisi tadi... indah," ucapnya singkat.

Gita menunduk dalam. "Terima kasih, Baginda. Itu hanya ungkapan hati saya."

David mengangguk kecil, lalu pergi. Tapi tatapan itu sekali lagi meninggalkan bekas di hati Gita.

Sementara di kejauhan, Dias menyaksikan semuanya dengan mata yang berkilat tajam. Api yang ia coba sembunyikan perlahan mulai menyala.

-

Malam itu, Gita tidak bisa tidur. Sari yang melihatnya hanya bisa berkata lirih, "Nyonya... saya takut, perhatian Baginda itu akan membuat Permaisuri semakin keras pada Anda."

Gita menarik napas panjang. "Aku juga takut, Sari. Tapi aku tidak bisa menghindar dari apa yang sudah terjadi."

Di luar, bulan purnama menggantung terang. Bayangan pepohonan menari di dinding paviliun. Hati Gita berdebar, karena ia tahu-apa yang baru saja dimulai ini bukan lagi sekadar hidup tenang. Ini sudah menjadi pertarungan. Pertarungan yang akan menguji hatinya, kekuatannya... dan mungkin, cintanya. Sanggupkah ia bertahan hingga akhir?

.

Continue to read this book for free
Scan code to download App

Latest chapter

  • SELIR HATI   Bab 7 - Jejak di Balik Senyum

    Pagi itu, halaman istana dipenuhi suara burrung yang riuh. Namun hati Gita masih terasa berat. Sejak malam pertunjukan puisi, ia sadar tatapan Permaisuri Dias semakin tajam, meski wajahnya selalu tersenyum di depan semua orang.Sari menuangkan teh hangat ke cangkir. "Nyonya, jangan teralu dipikirkan. Menurut saya, justru karena puisi itu, Baginda makin melihat kelebihan Anda."Gita menggeleng. "Tapi justru itu yang membuat Permaisuri tidak akan diam. Aku hanya ingin hidup tenang, Sari."Sari menatapnya dengan iba. "Di istana, ketenangan itu langka. Yang bisa kita lakukan cuma berhati-hati."-Siang itu, Gita mendapat undangan makan siang di aula kecil bersama beberapa pejabat luar negeri yang berkunjung. Permaisuri Dias hadir sebagai tuan rumah, sedangkan para selir hanya diminta mendampingi.Dias duduk anggun, senyumnya lebar, berbicara fasih dengan tamu. Namun sesekali tatapannya melirik ke arah Gita. Seperti ada pesan tersembunyi di balik matanya: jangan sekali pun mencoba mencuri

  • SELIR HATI   Bab 6 - Api yang Tersembunyi

    Matahari pagi menyinari halaman istana. Burung-burung kecil bertengger di pepohonan, tapi suasana hati Gita justru berat. Sejak kabar Raja David mengunjunginya menyebar, ia merasa setiap langkahnya diikuti tatapan. Ada yang iri, ada yang sinis, dan ada pula yang hanya ingin tahu.Sari menyodorkan kain selendang tipis. "Nyonya, kalau jalan keluar paviliun, lebih baik pakai ini. Setidaknya bisa menutupi wajah dari pandangan yang terlalu tajam."Gita tersenyum lemah. "Apakah aku sudah jadi bahan pembicaraan semua orang, Sari?"Sari menatapnya prihatin. "Ya. Di istana, gosip bisa lebih tajam daripada pedang. Tapi jangan khawatir, Anda tidak sendirian."-Hari itu, Gita dipanggil menghadiri jamuan minum teh bersama beberapa selir lain. Ruangannya indah, dikelilingi jendela besar dengan tirai putih. Aroma teh melati menyebar lembut.Saat Gita masuk, beberapa selir langsung saling berbisik. Selir Ayu, salah satu yang sudah lama tinggal di istana, tersenyum manis tapi matanya penuh sindiran.

  • SELIR HATI   Bab 5 - Bayangan di Balik Tirai

    Malam terasa lengang di istana. Lampu-lampu minyak berderet di sepanjang koridor, menebarkan cahaya kekuningan yang menimpa lantai marmer. Angin membawa aroma bunga kenanga dari taman dalam.Di paviliunnya, Gita belum bisa tidur. Pikiran tentang peringatan Permaisuri Dias masih berputar di kepalanya. Kata-kata itu terasa seperti duri yang menusuk perlahan.Sari yang sedang melipat kain tidur memperhatikan wajah tuannya. "Nyonya, apa masih memikirkan ucapan Permaisuri?" tanyanya hati-hati.Gita menghela napas. "Sulit untuk tidak memikirkan, Sari. Dia seperti ingin memastikan aku tidak bisa bernapas lega di sini."Sari mendekat, duduk di sampingnya. "Saya tahu Permaisuri keras, tapi Baginda tampak melihat kebaikan Anda. Itu sudah tanda baik."Gita terdiam. Ia tidak bisa menyangkal bahwa reaksi raja David saat mencicipi masakannya tadi siang sedikit menumbuhkan keberanian dalam dirinya. Hanya saja, apakah itu berarti sesuatu? Atau hanya sekadar basa-basi seorang raja?Suara langkah kaki

  • SELIR HATI   Bab 4 - Ujian Pertama

    Pagi itu, matahari baru naik ketika suara ketukan keras terdengar di paviliun Gita. Dayang Sari buru-buru membukakan pintu. Seorang pengawal berdiri tegak, wajahnya tanpa ekspresi.“Selir Gita dipanggil ke dapur istana. Permaisuri sendiri yang memberi perintah,” ucapnya singkat.Sari menoleh pada Gita dengan wajah khawatir. “Dapur, Nyonya? Permaisuri biasanya tidak pernah ikut campur urusan dapur.”Gita menghela napas. “Kalau itu perintah, aku harus datang.”Dapur istana jauh lebih besar daripada rumah penduduk desa. Tungku-tungku berderet, asap tipis mengepul dari panci-panci besar, aroma rempah menyelimuti udara. Dayang dan juru masak sibuk memotong sayuran, menumbuk bumbu, atau mengangkat dandang.Di tengah kesibukan itu, Permaisuri Dias berdiri anggun dengan pakaian sutra merah menyala. Penampilannya jelas kontras dengan suasana panas dan berasap.“Ah, selir baru sudah datang,” ucap Dias lembut, namun nada suaranya menyimpan sengatan.Gita segera memberi hormat. “Ampun, Permaisuri

  • SELIR HATI   Bab 3 - Tatapan Pertama

    Pagi di istana selalu ramai. Suara dayang yang berlalu-lalang memenuhi lorong, membawa kain, baki makanan, atau pesan dari paviliun ke paviliun.Gita baru saja selesai sarapan ketika seorang dayang senior, Nyonya Ratna, datang dengan langkah cepat. Perawakannya tinggi, wajahnya tegas, tutur katanya sopan tapi kaku.“Selir Gita, Baginda Raja memanggil Anda ke balairung pagi ini. Bersiaplah segera.”Jantung Gita langsung berdegup kencang. Semalam ia hanya melihat raja sekilas di jamuan. Kini, ia harus menghadap langsung? Perasaan cemas bercampur penasaran membuatnya sulit bernapas.“Apakah… aku melakukan kesalahan?” bisiknya ragu.Ratna hanya menggeleng. “Lebih baik Anda datang tepat waktu.”Balairung istana dipenuhi cahaya matahari pagi yang masuk dari jendela besar. Lantainya berkilau, dindingnya berukir naga dan burung garuda, megah sekaligus menekan.Raja David duduk di singgasana. Jubah hitam sederhana membungkus tubuhnya, tanpa mahkota, namun wibawanya tak tergantikan. Permaisuri

  • SELIR HATI   Bab 2 - Permaisuri Dias

    Pagi pertama Gita di istana terasa begitu asing. Ia terbangun di kamar luas berukir emas, tirai putih menjuntai anggun, dan cahaya matahari menembus jendela kaca berwarna. Namun hatinya masih tertinggal di kamar kayu sederhana, tempat ia biasanya mendengar kokok ayam dan suara ibunya memanggil.Suara langkah berderap pelan memecah lamunannya. Dayang-dayang masuk membawa baskom berisi air hangat. Gerakan mereka serentak, penuh aturan.“Selir Gita, bersiaplah. Permaisuri memanggil Anda pagi ini,” ucap salah satu dengan nada sopan, namun tegas.Nama itu—Permaisuri. Hanya mendengarnya saja membuat tubuh Gita bergetar. Ia tahu, permaisuri bukan sekadar istri utama raja. Dialah wanita paling berkuasa di dalam istana setelah baginda.Dengan langkah ragu, Gita mengikuti dayang menuju paviliun permaisuri. Bangunannya menjulang megah, dipenuhi tanaman bunga yang harum. Dua prajurit berdiri di gerbang, tombak mereka berkilau terkena sinar matahari. Gita menunduk dalam-dalam saat melewati mereka,

More Chapters
Explore and read good novels for free
Free access to a vast number of good novels on GoodNovel app. Download the books you like and read anywhere & anytime.
Read books for free on the app
SCAN CODE TO READ ON APP
DMCA.com Protection Status