Home / Romansa / SELIR HATI / Bab 5 - Bayangan di Balik Tirai

Share

Bab 5 - Bayangan di Balik Tirai

Author: lucyta
last update Last Updated: 2025-09-17 09:17:33

Malam terasa lengang di istana. Lampu-lampu minyak berderet di sepanjang koridor, menebarkan cahaya kekuningan yang menimpa lantai marmer. Angin membawa aroma bunga kenanga dari taman dalam.

Di paviliunnya, Gita belum bisa tidur. Pikiran tentang peringatan Permaisuri Dias masih berputar di kepalanya. Kata-kata itu terasa seperti duri yang menusuk perlahan.

Sari yang sedang melipat kain tidur memperhatikan wajah tuannya. "Nyonya, apa masih memikirkan ucapan Permaisuri?" tanyanya hati-hati.

Gita menghela napas. "Sulit untuk tidak memikirkan, Sari. Dia seperti ingin memastikan aku tidak bisa bernapas lega di sini."

Sari mendekat, duduk di sampingnya. "Saya tahu Permaisuri keras, tapi Baginda tampak melihat kebaikan Anda. Itu sudah tanda baik."

Gita terdiam. Ia tidak bisa menyangkal bahwa reaksi raja David saat mencicipi masakannya tadi siang sedikit menumbuhkan keberanian dalam dirinya. Hanya saja, apakah itu berarti sesuatu? Atau hanya sekadar basa-basi seorang raja?

Suara langkah kaki terdengar di luar. Seorang dayang mengetuk pelan. "Selir Gita, Baginda Raja ingin menemui Anda."

Gita terbelalak. "Baginda? Malam ini?"

Dayang itu menunduk. "Benar, Nyonya. Beliau sudah di perjalanan kemari."

Sari refleks berdiri tergesa. "Ya ampun, Nyonya! Kita harus bersiap. Cepat ganti pakaian dengan yang lebih pantas."

Dengan jantung berdebar, Gita berganti jubah sederhana berwarna biru muda. Rambutnya dirapikan seadanya, tanpa hiasan berlebihan. Ia tahu dirinya hanya selir baru, tak sebanding dengan kemewahan permaisuri atau selir senior lain.

Tak lama kemudian, Raja David masuk. Tubuh tinggi dengan sorot mata tegas itu membuat semua dayang menunduk.

"Keluar," perintahnya singkat. Dayang dan Sari segera meninggalkan ruangan, menyisakan Gita yang berdiri gugup.

David menatap sekeliling paviliun kecil itu sebelum menoleh pada Gita. "Tempatmu sederhana sekali."

"Maafkan hamba, Baginda. Saya belum sempat banyak menata," jawab Gita pelan.

"Tidak perlu meminta maaf. Justru aku lebih suka yang sederhana."

David berjalan mendekat, suaranya tenang tapi berwibawa. "Aku mendengar tentang sup ayam itu."

Pipi Gita memanas. "Itu hanya masakan seadanya, Baginda."

"Tapi enak. Aku tidak sering menemukan orang yang berani menyajikan sesuatu tanpa menutupinya dengan kemewahan."

Tatapannya menusuk, seolah ingin menilai Gita lebih dalam.

Gita menunduk, berusaha menenangkan degup jantungnya. "Saya hanya melakukan apa yang diperintahkan Permaisuri."

David mendengus kecil, semacam senyuman tipis terlihat di wajahnya. "Dias memang suka menguji. Tapi kau... kau berhasil membuatku penasaran."

Suasana hening sesaat. Hanya suara lampu minyak yang berkedip.

Gita memberanikan diri bertanya, suaranya pelan. "Baginda... bolehkah saya jujur?"

David mengangkat alis. "Bicaralah."

"Saya tidak tahu apa tujuan saya ditempatkan di sini. Saya bukan orang yang terbiasa dengan kemegahan. Hidup di istana terasa asing. Kadang saya merasa seperti benih kecil yang bisa diinjak kapan saja."

Raja itu menatapnya lama, ekspresinya sulit ditebak. "Setidaknya kau berani berkata jujur. Kebanyakan orang di sini sibuk menutupi hati mereka dengan kata manis."

"Karena saya tidak pandai berpura-pura," jawab Gita lirih.

David duduk di kursi kayu dekat jendela. Ia menyingkap tirai sedikit, memandang taman gelap di luar. "Gita, kau tahu mengapa aku membiarkanmu tetap di istana?"

Pertanyaan itu membuat Gita kaget. Ia buru-buru menunduk. "Saya tidak berani menebak, Baginda."

"Karena kau berbeda. Waktu pertama kali aku melihatmu, ada sesuatu dalam sikapmu yang tidak sama dengan yang lain," ucap Raja David dengan suara berat, namun jujur. "Entah apa, tapi aku ingin melihat sejauh mana kau bisa bertahan."

Kata-kata itu membuat hati Gita bergetar. Ada rasa takut sekaligus harapan.

Tiba-tiba, suara langkah cepat terdengar dari luar. Seorang pengawal mengetuk keras. "Baginda, mohon maaf mengganggu. Permaisuri memanggil, katanya ada hal mendesak."

Wajah David berubah dingin. Ia berdiri perlahan, menatap Gita sekali lagi. "Kita lanjutkan lain waktu."

Tanpa menunggu jawaban, ia pergi meninggalkan paviliun.

Gita berdiri terpaku. Dadanya masih berdebar. Apakah ini awal dari sesuatu yang baru, atau justru awal dari masalah besar?

Begitu raja pergi, Sari masuk dengan wajah penuh rasa ingin tahu. "Nyonya! Apa yang terjadi tadi? Baginda lama sekali di sini."

Gita hanya tersenyum tipis. "Kami hanya bicara."

"Bicara?" Sari hampir tidak percaya. "Tapi itu pertanda baik, Nyonya. Baginda sendiri yang datang ke sini, bukan main."

Namun Gita tahu, setiap langkah yang terlihat baik bisa menimbulkan kecemburuan lain di istana. Apalagi jika Permaisuri Dias mengetahui raja singgah di paviliunnya malam-malam begini.

Dan benar saja.

Keesokan paginya, kabar itu sudah menyebar cepat seperti api.

"Baginda mengunjungi selir baru semalam."

"Benarkah? Wah, ini akan membuat Permaisuri murka."

"Gadis desa itu ternyata punya keberanian juga."

Bisik-bisik itu membuat Gita resah. Ia berusaha menghindari tatapan iri dari selir lain. Tapi dalam hati, ia sadar-kedekatannya dengan raja akan membawa badai yang lebih besar.

Siang itu, seorang utusan datang lagi. "Selir Gita, Permaisuri ingin bertemu."

Sari langsung meremas tangan Gita. "Ya ampun, ini pasti soal semalam. Apa yang harus kita lakukan, Nyonya?"

Gita menarik napas panjang. "Tidak ada jalan lain. Aku harus menghadapinya."

Dengan langkah tenang, ia berjalan menuju paviliun permaisuri. Jantungnya berdegup, tapi wajahnya berusaha tetap tenang.

Di ruang besar itu, Dias duduk anggun, wajahnya tersenyum, tapi matanya tajam menusuk.

"Selamat pagi, Gita. Kudengar Baginda semalam datang ke paviliunmu?"

Pertanyaan itu terdengar lembut, tapi menyimpan pisau tersembunyi.

Gita menunduk hormat. "Benar, Permaisuri. Baginda hanya berbincang sebentar."

Dias menggerakkan kipasnya pelan. "Hanya berbincang? Atau lebih dari itu?"

"Tidak lebih, Permaisuri."

Dias mencondongkan tubuhnya sedikit. "Ingat, Gita. Satu langkah saja yang membuatku curiga, kau tidak akan punya tempat lagi di istana ini."

Suasana hening. Gita bisa merasakan hawa dingin menyelimuti ruangan. Tapi ia tidak ingin terlihat gentar.

Dengan suara lembut, ia menjawab, "Saya tidak pernah berniat melawan Permaisuri. Saya hanya menjalani perintah dan menghormati kedudukan Anda."

Dias tersenyum tipis, seolah puas mendengar jawaban itu. Namun jelas, api cemburu mulai tumbuh di dalam hatinya.

Malam harinya, Gita kembali ke paviliun. Ia duduk lama di dekat jendela, menatap bulan yang bundar di langit.

Sari menatapnya dengan khawatir. "Nyonya... apakah Anda takut?"

Gita tersenyum samar. "Tentu. Tapi saya juga tahu, saya tidak bisa mundur. Saya sudah di sini, dan setiap langkah harus saya hadapi. Kalau saya terus bersembunyi, saya akan hancur sebelum sempat berdiri."

Sari menggenggam tangannya erat. "Kalau begitu, saya akan selalu bersama Anda. Apa pun yang terjadi."

Dalam hati, Gita berdoa lagi. Apakah keberanian kecilnya mampu menahan badai besar yang siap menghancurkannya?

Continue to read this book for free
Scan code to download App

Latest chapter

  • SELIR HATI   Bab 80 - Jarak yang Menjauh

    Kereta kuda yang membawa David dan Aruna perlahan meninggalkan halaman istana. Dari kejauhan, suara roda yang bergesekan dengan tanah terdengar seperti irama yang menyesakkan. Gita berdiri di balkon paviliunnya, hanya bisa menatap punggung Baginda yang makin kecil. Hatinya seperti ditarik paksa, antara ingin menatap lebih lama dan ingin segera memalingkan pandangan.Sari berdiri di belakangnya. “Baginda pasti akan kembali, Nyonya. Jangan terlalu khawatir.”Gita hanya mengangguk. Ia tahu perjalanan itu bukan sekadar urusan kerja. Aruna ikut bersama Baginda, itu saja sudah cukup membuat pikirannya tak tenang.“Kenapa Permaisuri membiarkan Aruna ikut?” gumam Gita lirih.Sari menjawab hati-hati, “Mungkin karena beliau tidak bisa menolak permintaan Baginda.”Gita menatap ke langit yang mulai gelap. Ia tahu alasannya bukan itu. Dias pasti punya rencana lain. Sejak pertengkaran pagi tadi, Gita sadar bahwa amarah Permaisuri belum padam.Sementara itu, di dalam kereta kuda, Aruna duduk bersand

  • SELIR HATI   Bab 79 - Langkah yang Bikin Emosi

    Suasana pagi di istana terasa berbeda. Para pelayan berjalan cepat tapi diam, seolah tahu sesuatu sedang tidak baik-baik saja. Gita berdiri di balkon sisi timur istana, menatap halaman utama yang mulai ramai. Di sana, kereta kerajaan sudah disiapkan. Kuda-kuda putih berjajar rapi, pengawal berbaris dengan wajah tegang. Dan di tengah hiruk pikuk itu, Raja David berdiri di samping Ratu Aruna. Gita menelan ludah. Dadanya terasa sesak. Ia tahu David akan pergi hari ini, tapi tetap saja hatinya belum siap. Bukan karena perginya David… tapi karena siapa yang pergi bersamanya. Sari, dayangnya, mendekat pelan. “Nyonya, mungkin sebaiknya istirahat di kamar saja.” “Tidak perlu, Sari. Aku baik-baik saja,” potong Gita cepat. Dia tak ingin terlihat lemah, apalagi di depan semua mata istana yang sedang menilai siapa yang paling berhak berdiri di sisi Raja. Dari kejauhan, Gita melihat Aruna mengenakan gaun biru lembut, serasi dengan jubah perjalanan David. Mereka tampak cocok. Sakitnya seperti

  • SELIR HATI   Bab 78 - Api yang Tersulut

    Kabar itu datang pagi-pagi sekali. Raja David akan berangkat ke luar negeri bersama Ratu Aruna. Gita mendengarnya dari dayang lain bahkan sebelum Sari sempat bicara apa pun. Sejak itu, dadanya terasa sesak, meski ia sendiri tidak tahu kenapa. Ia duduk di beranda, memandangi halaman istana yang sibuk. Kuda-kuda disiapkan, kereta kerajaan dipoles, dan para pengawal lalu-lalang dengan wajah tegang. Sari datang membawa teh. “Nyonya, apakah kabar keberangkatan Raja itu benar?” Gita menatap cangkir di tangannya. “Kelihatannya iya, Baginda akan ke luar negeri bersama Ratu Aruna. Tapi aku juga tahu nya dari orang lain.” Sari mendengus. “Kalau Permaisuri Dias dengar, pasti beliau kecewa.” Gita terdiam. “Kecewa karena apa, Sar? Karena Baginda pergi bersama Aruna, atau karena semua orang akan membicarakannya?” Sari menunduk, tak berani menatap tuannya. “Mungkin dua-duanya, Nyonya.” Gita memandangi taman kecil di depan paviliun, bunga-bunga yang baru mekar kini tampak layu tertiup

  • SELIR HATI   Bab 77 - Jarak dan Waktu

    Biasanya, Gita bangun pagi dengan aroma kopi yang disiapkan David atau suara langkahnya di ruang tengah. Tapi kali ini, ia hanya mendengar kicau burung dan tirai yang tertiup angin.David tidak ada disampingnya. Hanya secarik kertas di meja kecil:“Ada urusan di luar istana. Jangan khawatir, aku pulang sore.”Tidak ada sapaan hangat, tidak ada tanda tangan kecil yang biasanya David beri di ujung, kebiasaan kecil yang selama ini jadi tanda cinta.Gita menyentuh kertas itu lama sekali.Sepagian ia menghabiskan waktu di ruang kerja, menata ulang buku-buku yang sebenarnya sudah tersusun rapi.Sari sempat datang membawa sarapan, tapi Gita hanya menyentuh sarapan itu sedikit.“Baginda bilang pulang sore, ya, Nyonya?” tanya Sari hati-hati.“Iya,” jawab Gita singkat.Sari mengangguk, lalu beranjak pergi. Tapi sebelum keluar, ia sempat berbalik. “Kadang kalau kita sayang seseorang, kita juga harus kasih dia ruang buat sendiri, Nyonya.”Gita tersenyum. “Aku tahu, Sari. Tapi ruang itu jangan sam

  • SELIR HATI   Bab 76 - Terlihat Tenang

    Sudah tiga hari sejak Gita mengucapkan pertanyaan itu di balkon. Tiga hari pula David belum benar-benar menjawabnya.Setiap kali ia mencoba membuka pembicaraan, David selalu bilang, “Nanti aja, Git. Aku capek banget hari ini.”Awalnya Gita berusaha memaklumi. Ia tahu pekerjaan David tidak mudah, apalagi setelah kunjungan Ratu Aruna membuat jadwal istana semakin padat. Tapi semakin lama, kata “nanti” terasa seperti tembok yang makin tinggi.Pagi itu, Gita membantu Sari merapikan bunga di taman.“Maaf, mata terlihat kayak kurang tidur, Nyonya,” kata Sari pelan sambil memotong batang mawar.“Nggak apa-apa, cuma kepikiran aja," jawab Gita singkat.“Kepikiran soal Baginda ya, Nyonya?”Gita tak menjawab, tapi ekspresinya sudah cukup menjelaskan.Sari meletakkan gunting bunga dan duduk di bangku batu di dekat situ. “Kadang laki-laki itu gitu, Nyonya, bikin kesel. Kalau lagi banyak pikiran, bukannya cerita, malah memilih diam. Tapi bukan berarti dia berubah.”Gita menatap Sari, bibirnya berge

  • SELIR HATI   Bab 75 - Pintu yang Tertutup

    Sejak Ratu Aruna datang, suasana istana berubah. Bukan cuma lebih sibuk, tapi juga lebih tegang. Pelayan-pelayan berjalan lebih cepat, seolah takut membuat kesalahan. Setiap ruang terasa penuh bisik-bisik yang berhenti begitu Gita lewat.Ia berusaha bersikap biasa saja. Tersenyum ketika menyapa, berbicara seperlunya, dan mengabaikan rasa tidak nyaman yang muncul setiap kali nama Aruna disebut. Tapi tetap saja, ada sesuatu di dadanya yang terus mengganjal.Pagi itu, Gita berjalan menuju taman kecil di sisi timur istana. Biasanya, tempat itu tenang. Ia suka duduk di sana sambil membaca atau sekadar menikmati udara pagi. Tapi kali ini, langkahnya terhenti di balik semak mawar ketika mendengar suara yang sangat ia kenal.David. Dan… Aruna.Ia tak berniat menguping, tapi langkahnya terhenti ketika mendengar tawa perempuan itu.“Ternyata taman ini masih sama seperti dulu ya,” kata Aruna dengan nada nostalgia. “Aku pikir semuanya sudah berubah.”“Banyak yang berubah,” jawab David. “Termasuk

More Chapters
Explore and read good novels for free
Free access to a vast number of good novels on GoodNovel app. Download the books you like and read anywhere & anytime.
Read books for free on the app
SCAN CODE TO READ ON APP
DMCA.com Protection Status