Tak terasa Sari sudah menginap dua hari dirumah Wina, rencananya sore sekarang pulang kerumah, setelah berpamitan dengan kedua orangtua Wina, Sari bergegas untuk pulang diantar Wina sampai depan mobilnya, Sebenarnya Wina menahan Sari untuk pulang dulu, biar makan bareng keluarganya terlebih dahulu dan pulang nanti sehabis magrib saja, tapi Sari menolak karena Sari ingin segera pulang dan tidur sepuasnya.
Dua hari ini memang Sari dan Wina kurang tidur karena mengerjakan proposal sampai larut malam, fikirnya juga tidak enak sama kedua orangtua Wina kalau Sari ingin tidur seharian, tempat ternyaman, ya kamarnya sendiri.
Sari melajukan mobil toyota yarisnya menuju jalan besar, masih jauh untuk sampai rumahnya, mobilnya tiba - tiba mogok, berkali - kali Sari menstarer mobilnya tapi tidak mau menyala, Sari mencari tas miliknya, untuk mengambil HP dan menelpon Wina, agar Wina menyusulnya, tapi yang Sari cari ternyata tidak ada dimobilnya, padahal dompet dan HP nya ada di tasnya, Sari mulai panik, akhirnya keluar dari mobil.
Fikirnya, biarlah mobil tinggal disini saja nanti orang bengkel yang mengambil dan dia naik mobil umum saja, ongkosnya bisa dibayar dirumah.
Sari sudah berdiri di samping mobilnya selama sepuluh menit tapi tidak ada mobil umum yang melintas didepannya.
Gumannya. "Sial, apes banget hari ini, tahu begini mending dengerin Wina untuk pulang habis magrib."
Sari berbicara sendiri, menyalahkan dirinya, yang tidak nurutin permintaan Wina untuk jangan pulang dulu, saking buru - burunya ingin sampai dirumah dan tidur sepuasnya, yang ada sekarang mobilnya mogok.
Sari kembali masuk kemobilnya dan mencoba menghidupkan lagi mobilnya, tapi tetap tidak mau menyala, karena kegerahan, Sari keluar dari mobilnya, siapa tahu mobil umum akan melintas, Sari menunduk dan menghela napas panjang terasa letih sekali, kenapa semua ini harus terjadi, fikirnya.
Motor yamaha Nmax melintas didepan sari yang sedang menunduk, merasa mengenal siapa yang menunduk pengendara motor tersebut putar balik menuju Sari.
"Sari...sedang apa disini." tanya Angkasa.
Mendengar namanya disebut, Sari menengadah dan melihat siapa yang menyebut namanya.
"Angkasa..." pekik Sari.
Angkasa memarkirkan motornya, tepat didepan mobil Sari, dan turun menghampiri Sari.
"Sedang apa disini sendirian," sapa Angkasa.
"Mobilku mogok, mana dompet dan HP ketinggalan dirumah Wina."
Sebenarnya Angkasa ingin membantu memperbaiki mobil Sari, tapi Angkasa benar - benar tidak mengerti soal mesin mobil, sehingga Angkasa menawarkan diri untuk mengantar Sari pulang dan menyarankan mobilnya untuk orang bengkel mengambilnya kesini.
Setelah Angkasa menelpon bengkel temannya yang berada di jalan jakarta, Angkasa mengajak Sari untuk naik kemotornya.
Sebenarnya Sari ingin menolak tawaran Angkasa, tapi difikir lagi, hari sudah semakin gelap, pasti takut sendirian di pinggir jalan, mana dari tadi tidak ada mobil umum melintas, akhirnya Sari menyetujuinya, membiarkan Angkasa mengantar kerumahnya.
Diperjalanan menuju rumah, Sari tidak bicara sepatah katapun, karena memang bingung apa yang harus dibicarakan.
Awan semakin menghitam, kilat cahaya terlihat dilangit yang kelam, hujanpun turun membasahi bumi, Angkasa meminggirkan motornya kwsamping jalan, untuk berhenti dan berteduh, karena tidak mungkin dalam cuaca seperti ini memaksakan untuk terus berkendara.
"Kita berteduh dulu, ya, karena tidak mungkin terus berkendara."
"Iya," jawab Sari singkat.
Fikiran Sari sudah kemana - mana, merasa menyesal juga karena menolak tawaran Wina, sudah mobil mogok, dompet dan HP tertinggal ditambah skerang hujan deras, mana perut sudah terasa lapar.
Malunya lagi perut tidak bisa dikontrol, terdengar bunyi perut Sari, membuat reflek tangan sari memegang perut, tanpa disadari Sari, Angkasa mendengarnya dan tersenyum.
Angkasa yang memang sangat tahu memperlakukan wanita dengan baik dan tanpa menyinggung, Angkasa menoleh Sari, seraya berkata. "Sari saya lapar, kita makan dulu saja ya, sampai menunggu hujan reda."
Sari menatap Angkasa, benaknya berkata, kenapa bisa samaan lapar, tapi bagus deh jadi aku gak usah mengajaknya makan duluan, malu juga, gak megang uang sama sekali, nahan lapar sampai hujan reda, bisa - bisa pingsan dijalan.
Angkasa bertanya sekali lagi, karena Sari tidak merespon ajakannya. "Gimana, mau tidak?"
"Iya, ayo, makan dimana? tapi uangku kan ketinggalan."
"Aku yang traktir, jangan menolak, tapi makan seadanya saja ya, namanya dipinggir jalan, jauh dari cafe apalagi restoran."
"Dimana saja sama kok, makan pakai nasi," timpal Sari.
Angkasa membalas dengan tersenyum.
Angkasa menunjuk Kedai pinggir jalan yang menyajikan hidangan sunda, yang memang tidak terlalu jauh dari tempatnya berteduh, karena hujan yang masih deras tidak mungkin harus mencari tempat makan lainnya.
"Kita kesana ya?" ucap Angkasa.
"Motor kamu gimana."
"Tidak usah mikirin motor, dia tidak akan kemana - mana, sekarang fikirin perut saja dulu," canda Angkasa.
"Ih orang serius nanya," dengan wajah yang serius menatap Angkasa.
Angkasa malah tertawa melihat tatapan Sari, yang dirasa lucu baginya.
"Saya juga serius, Sari..."
Angkasa langsung menarik tangan Sari dan menggenggam dengan erat untuk berlari menuju kedai, anehnya Sari tidak menolak, saat tangannya digenggam oleh Angkasa, entah karena lapar jadi menurut saja, atau karena Angkasa yang tiba - tiba menarik tangannya membuatnya tidak bisa menghindar.
"Akhirnya kita bisa makan juga," ucap Angkasa setelah masuk kesalam kedai, dan langsung meminta menu kepada pelayan kedai.
Sari yang masih kaget karena tangannya digenggam Angkasa, mencoba menetralkan dirinya untuk tidak marah, mencoba berfikir positif, mungkin Angkasa melakukan itu karena sudah lapar, agar cepat sampai akhirnya menarik dan menggenggam tangannya
"Sari, kamu kenapa?"
"eh, emang aku kenapa," menjawab sekenanya, karena memang fikirannya sedang tidak karuan, memikirkan Angkasa yang begitu spontannya menggenggam tangannya, tanpa bertanya lebih dulu kepada pemilik tangan, mau apa tidaknya diperlakukan seperti itu.
Melihat Sari yang diam, Angkasa menyadari kalau tindakannya yang spontan tadi membuat Sari risih.
"Sari, Maaf ya, saya tadi bersikap lancang, saya tidak ada niat buruk sama sekali, maksud saya menggenggam tangan kamu dan langsung berlari, agar kita cepat sampai sini, karena tidak mungkinkan kiya jalan santai dalam kondisi hujan deras, yang ada sampai sini kita basah kuyup, sekali lagi maaf, ya."
"Iya, gak apa - apa kok, mungkin aku kaget saja, ya sudah forget saja, sekarang kita makan saja.
Akhirnya merekapun menikmati hidangan kedai, terasa sangat nikmat sekali, dengan cuaca hujan dan perut yang memang sudah kelaparan, sampai makan sangat lahap.
Sari yang sudah selesai duluan, kembali menikmati wedangan jahe, terasa melegakan ditenggorokannya, sari menatap Angkasa yang duduk didepannya yang masih menikmati makanannya dan berkata. "Terimaksih sudah mentraktir aku makan, mana tempat dan makanannya enak - enak."
"Iya, sama - sama, oh iya tadi kamu sebenarnya mau kemana," tanya Angkasa.
"Mau pulang habis dari rumahnya Wina, bodohnya aku sampai lupa dompet dan HP tertinggal dirumah Wina.
Angkasa tersenyum seraya berkata. "Jangan mendikte diri sendiri bodoh, setiap orang pasti pernah lupa, itu wajar saja kok, mungkin memang sudah begitu jalannya."
"Iya juga sih, tapi tetap saja aku yang salah sampai lupa kepunyaan sendiri, akhirnya aku jadi ngerepotin kamu."
Dengan suara yang lembut Angkasa mencoba meluruskan perkataan Sari. "Sari...sekali lagi saya katakan, jangan pernah menyalahkan diri sendiri, karena diri kita itu cukup berharga, biarlah apa yang telah terjadi, itu karena ketidaksengajaan bukan kesalahan, dan satu hal lagi, Saya...tidak merasa direpotkan, ok."
Sari tak lagi berkata apa - apa, dia hanya menatap Angkasa.
Hujan telah reda, Angkasa mengantarkan Sari tepat depan rumahnya, Angkasa pamit untuk pulang.
Sari bergegas masuk kedalam rumah dan langsung menuju kamarnya, untuk membersihkan diri.
Dengan mengenakan baju tidur, Sari merebahkan tubuhnya yang terasa sangat lelah, dia membayangkan kejadian tadi bersama Angkasa, dalam hatinya berguman, Kenapa aku merasa sangat nyaman berada dekat dengan Angkasa, dia sangat dewasa, tutur katanya yang menyejukan hati, saat dia berbicara, entah mengapa aku merasa sangat tenang.
Sari menepak pipinya seraya berkata sendiri. sadar Sari...sadar, ingat kata Naura kalau Angkasa itu laki - laki brengsek, sudah ah, ngapain juga aku bicara ngelantur begini, mending tidur saja.
disisi lain, Angkasapun merasakan hal yang sama, sambil menghisap sebatang rokok, batinnya berkata sendiri, memuji kecantikan dan kepolosan Sari, baru kali ini saya bertemu wanita yang membuatku merasa nyaman, saya merasa seperti menemukan permata yang berharga, persis seperti namanya Permatasari nugraha...sungguh permata yang menawan hati, duh ngapain saya mikirin dia, ingat Angkasa kamu sudah punya sinta dan juga ada Rama yang menyukai Sari, lupakan...lupakan.
Malampun semakin larut, hujan kembali membasahi bumi, dinginnya seakan menembus kulit, gemericiknya yang terdengar membuat suasana menjadi nyaman, untuk orang - orang yang merebahkan tubuhnya dalam peraduan setelah seharian menjalani aktivitas.
Keduanya telah tiba di Purwakarta, Angkasa mengajak Sari untuk masuk bersamanya, kedalam rumah Bayu, yang sudah menunggunya didalam, sebelumnya, memang Angkasa sudah menghubungi Bayu. "Hai, bro...apa kabar lu," sapa Bayu sambil menjabat tangan Angkasa dan Sari. Mereka sudah hampir tiga tahun tidak bertemu, Angkasa pindah ke Bandung, walau memang beberapa kali Angkasa berziarah ke makam ayahnya, tidak pernah bertemu Bayu karena sedang berada diluar kota, sebagai anak pemilik usaha sate maranggi dibeberapa kota membuat Bayu jarang berada di rumah, sibuk membantu ayahnya. Bayu dan Angkasa sahabat semenjak kecil, dulu rumah Angkasa, tidak jauh dari rumah Bayu hanya terhalang empat rumah, Bayu mempersilakan mereka untuk duduk. Reni datang dari arah dapur, membawa kopi hangat dan beberapa cemilan untuk disuguhkan. Angkasa melihat Reni seraya berkata. "Kamu Reni, kan?" "Iya, kak," jawab Reni. "Sudah besar sekarang, ya," ucap Angkasa.
Langkah kaki semakin terdengar jelas, Sari menoleh kearah pintu, ternyata Hans dan Wina baru kembali dengan membawa bungkusan plastik ditangan Hans, setelah meletakan diatas meja, Hans pergi kedapur, sementara Wina menghampiri Sari seraya berkata. "Lama, ya, sorry, tadi ada kecelakaan ditikungan depan, buat macet jalan, makan bakso yuk, laper nih."Sari bangkit dari duduknya, kini berdiri disebelah Wina, Hans sudah membawa empat mangkuk dan sendok memberikannya kepada Wina dan Sari, mereka segera menyantap bakso, sesekali mata Angkasa dan Sari saling beradu pandang dengan bibir yang tersenyum.Setelah selesai makan, mereka mengobrol sejenak saling bercerita seputar skripsi, yang mana dua minggu lagi harus sudah dikumpulkan dan presentasi didepan para dosen penguji, Hans diminta oleh Wina untuk memberi masukan karena Hans yang memang sudah berpengalaman dalam membuat skripsi, karena sudah lulus lebih dulu sehingga lebih paham, Hans bersedia membimbing mereka dan ingin b
Angkasa tetap diam tidak menjawab, namun tak memberikan penolakan, saat Sari membersihkan darah yang kering, memberinya betadine dan menutupnya dengan plester, Sari menatap wajah Angkasa begitu dekat jantungnya serasa berdetak dengan cepat, dengan jemari lentiknya perlahan mengkompres wajah Angkasa dibagian luka lebamnya, Angkasa tetap diam pandangannya menatap keluar jendela dan tangannya yang menggenggam gelas yang masih berisi alkohol akan ia teguk, Sari dengan cepat meraih gelas di tangan Angkasa. "Sudah ya, jangan minum lagi, kamu sudah mabuk, aku gak perduli kamu mau marah karena aku melarangmu minum, yang jelas semua demi kebaikanmu juga," ucap sari dengan nada yang lembut. Angkasa sama sekali tidak marah ia hanya diam dan menatap Sari, pandangan mata mereka beradu, Sari dengan cepat mengalihkan pandangannya, dan seraya berkata kepada Hans. "Hans, ini sudah selesai, kalau begitu aku dan Wina pamit pulang." "Sebaiknya tinggal dulu sebentar lagi, lagian
Singkat cerita, seminggu sudah Sari tak lagi mendengar tentang Angkasa, hatinya begitu sangat merindukan Angkasa, hanya sepenggal kenangan yang terukir dalam ingatannya, saat pertama kali bertemu dan beberapa kali Angkasa selalu menyelamatkannya, hingga pada akhirnya saling dekat.Hari ini jadwal cek-up Sari ke Dokter, ditemani Wina mereka segera ke rumah sakit, Sari sudah pulih dan merasakan badannya baik - baik saja begitu juga tangannya yang luka, sudah tidak terasa sakit dan ngilu, Setelah selesai dari rumah sakit, Wina mengajak Sari ke cafe Story di daerah Dago, agar Sari bisa refresh setelah seminggu lebih tidak pergi kemana - mana, Sari yang memang sedang tidak ingin sendiri dan butuh hiburan juga, akhirnya mau pergi bersama Wina, setelah menelpon Bundanya, untuk minta ijin, Sari dan Wina kini menuju Cafe Story, dengan menggunakan mobil Wina, Sari terlihat murung, duduk disebelah Wina yang sedang menyetir mobil."Kamu kenapa, Say?" tanya Wina yang sesekali mempe
Wina dan Sari saling lirik, lalu mereka tertawa, Hans semakin bingung jadinya, Wina yang melihat kebingungan diwajah Hans, seraya menjelaskan."Hans, kamu gak usah khawatir kita akan ribut, karena kita memang begini, sudah biasa, lagian cuma karena kata - kata, masa persahabatan kami jadi rusak, benar gak, Sar?""Yupsss..."Hans tersenyum lega, karena mereka hanya saling bercanda, ternyata mengobrol dengan cewek gak semudah yang Hans bayangkan, Hans sudah mikir terlalu jauh, melihat Wina dan Sari yang tertawa dengan riang dan saling bercanda, walau sebenarnya kadang ada kata - kata yang bisa saja jadi ribut, tapi mereka memang sama - sama mengenali sifat masing - masing, jadi obrolan apapun tidak hambar dan tidak memicu jadi emosi, wanita seperti ini yang Hans cari, semakin kagum saja Hans kepada Wina, karena bagi Hans, wanita yang selalu tertawa riang dan bisa menyikapi setiap obrolan tanpa harus emosi, itu akan memberikan energi positif baginya.Hans, m
Mereka berempat menghabiskan waktu dengan mengobrol dan menikmati cemilan dan jus, diselingi bercanda dan ketawa - ketawa, Sari begitu bahagia memiliki orangtua yang sangat menyanyanginya dan sahabat yang begitu tulus kepadanya, tak terasa waktu sudah hampir malam, setelah makan malam bersama, akhirnya mereka bergegas untuk istirahat, Wina tidur seranjang dengan Sari, sementara orangtua Sari, dibawah menggelar kasur karpet, Suasana Rumah Sakit yang sepi membuat mereka tidur dengan nyenyak.Suara Adzan Subuh terdengar berkumandang, Bunda Sari bangun lebih dulu untuk mandi, begitupun Ayah Sari dan Wina mereka mandi bergantian, sementara Sari belum bisa untuk mandi sendiri sehingga dibantu ibunya membersihkan tubuhnya, dengan dilap basah dan memapahnya kekamar mandi untuk wudhu, mereka melaksanakan Sholat Subuh berjamaah, untuk Sari sendiri duduk dikursi roda, karena belum kuat lama - lama berdiri, badannya masih terasa lemah, setelah melaksanakan Sholat berjamaah, mereka merapi