"Siapa sih ini? Belum juga mulai!" Davin menggerutu, lalu kembali mengenakan pakaiannya sembarangan. Setelah itu, ia membuka pintu kamar hotel tersebut, hanya memberi sedikit celah bagi orang yang ada di depan kamar.
"Kamu ini mengganggu saja," kata Davin, kesal pada Bram, wakilnya di kantor yang mengetahui perihal Naura akan meminjam uang sebesar 1 miliar. "Saya hanya ingin memberikan surat ini untuk Anda, Pak Davin," ucapnya sambil menyerahkan map berwarna merah kepada Davin. "Oke, terima kasih. Sekarang kamu boleh pergi. Dan ingat, jangan sampai ada yang tahu soal ini," kata Davin dengan penuh penekanan. "Tenang saja, Pak. Saya sudah bekerja dengan Anda puluhan tahun, dan tak sekalipun saya pernah membocorkan rahasia Anda. Saya tidak mungkin melakukan itu, mengkhianati orang yang sudah memberi saya tempat untuk mencari nafkah," ucap Bram. "Ya sudah, pergilah, dan tolong tangani dulu urusan kantor. Aku masih ingin mencoba rasanya perawan seperti apa," bisiknya kepada Bram, yang membuat wakil CEO tersebut tersenyum. Setelah Bram pergi, Davin meletakkan map tersebut di atas meja sofa di dalam kamar hotel. Lalu, ia melepaskan seluruh pakaiannya, sementara Naura yang ada di atas ranjang menutup tubuhnya dengan selimut. Jantungnya berdetak kencang. Ini pertama kali ia tanpa tertutup sehelai benang pun di hadapan orang lain, dan pria beruntung yang melihat itu adalah Davin Abimanyu, atasannya sendiri. Davin segera naik ke atas ranjang dan menyingkap selimut yang menutupi tubuh Naura. "Kamu tidak perlu malu, kalau memang benar-benar membutuhkan uang, aku harus membuktikan terlebih dahulu apakah kamu benar-benar masih perawan atau tidak. Setelah aku membuktikan ucapanmu benar, baru kita akan membuat kesepakatan, karena jumlah uang satu miliar itu bukan uang yang sedikit. Kamu paham?" tanya Davin. Jarak wajah mereka sudah sangat dekat, bahkan Naura bisa menghirup aroma mint dari nafas Davin, dan punggung tangan pria itu mengusap lembut pipi Naura hingga seketika membuat tubuh sang sekretaris meremang. Naura tercekat, tak mampu menjawab ucapan Davin kecuali hanya mengangguk. Ia sudah pasrah. Davin mencium leher Naura, melibatkan lidahnya hingga desahan lembut lolos dari mulut, Naura. “Aaaaaah,” desahnya. Davin mulai menyentuh dua gunung kembar milik Naura, yang ukurannya tak pernah ia bayangkan sebelumnya. Dia memberi pijatan lembut di sana. "Kamu benar-benar menggodaku. Aku tak menyangka memiliki sekretaris yang masih perawan, dan tubuhnya seindah tubuhmu, Naura" ucapnya dengan suara serak, karena pria itu sudah mulai tak bisa menahan gejolak dalam dirinya. Davin menikmati dua benda favorit itu secara adil. Naura mulai terangsang oleh sentuhan sang atasan. Davin sangat ahli dalam memanjakan wanita. “Boleh aku mulai, sayang?” suara Davin terdengar sangat lembut. "Saya mohon, lakukanlah dengan pelan, Pak Davin. Saya benar-benar belum pernah melakukan ini sebelumnya," ucap Naura. Davin tersenyum. "Kamu tenang saja. Aku akan melakukannya secara pelan. Aku janji ini tidak akan sakit, dan aku juga belum percaya sepenuhnya dengan ucapanmu kalau selama kamu pacaran dengan Aldo, dia tak pernah menyentuhmu. Tapi kalau ucapanmu benar, maka aku pastikan kamu akan mendapatkan uang yang kamu butuhkan," ucapnya berbisik, lalu melabuhkan ciuman di bibir sang sekretaris. Semakin lama, ciuman itu semakin panas sehingga membuat Naura tanpa sadar membalas ciuman tersebut, dan membuat Davin tersenyum penuh kemenangan. Davin melakukan penyatuan, dia mencoba menembus gawang Naura, namun hingga enam kali dia mencoba barulah miliknya tertancap penuh pada milik, Naura. Naura menggigit bantal untuk menahan teriakannya, tubuhnya terasa terbelah saat darah segar mengalir di bawah sana. “Ternyata kamu masih perawan,” bisik Davin puas. Setelah Naura merasa lebih senang, Davin melanjutkan menghentak tubuh sekretarisnya secara pelan. Namun, semakin lama hentakan itu semakin keras, sampai akhirnya erangan panjang keduanya terdengar jelas memenuhi kamar hotel tersebut, menandakan bahwa keduanya sudah berada di puncak surga dunia. Davin melabuhkan kecupan di kening Naura. Ia juga kembali mencium bibir sang sekretaris, memberi lumatan kecil sebelum akhirnya berguling ke sisi tubuh wanita itu. "Terima kasih ya, sudah memberikannya untukku," ucap Davin, Naura mengangguk.Daniel Dominic Montgomery dan Darren Damian Montgomery adalah nama yang dipilih oleh kedua orang tua mereka dan sudah disepakati oleh keluarga untuk si kembar. Kedua bayi itu kini berada di ruang perawatan sang Mama. Setelah dilahirkan kemarin, mereka sempat dibawa ke ruang perawatan bayi, tetapi pagi ini mereka sudah dipindahkan ke ruang perawatan Rania. "Selamat ya, Nia! Aku senang banget akhirnya punya keponakan," ucap Raka. "Untung saja wajahnya kayak kamu," tambahnya lagi sambil melirik ke arah sang adik ipar yang usianya jauh di atasnya. Edward hanya tersenyum mendengar ucapan iparnya. "Kamu kapan menyusul, Raka?" tanyanya. "Menyusul? Bisa-bisa aku digantung sama Mommy dan Daddy. Pacaran saja nggak boleh, apalagi nyusul kalian nikah dan punya anak. Mommy bisa mati berdiri," kata Raka sambil melirik ke arah sang Mommy. "Bener kan, Mom?" tanyanya lagi. "Bukan cuma digantung, tapi Mommy akan ikat seluruh tubuh Raka biar nggak bisa bergerak," jawab Naura, membuat seluruh or
Sementara itu, di dalam mobil, Rania terus menangis. Tangannya mencengkeram erat kursi, napasnya terengah-engah menahan rasa sakit yang begitu menyiksa. Perutnya terasa melilit hebat, sakit yang tak bisa diungkapkan dengan kata-kata. Setiap gelombang kontraksi yang datang membuat tubuhnya menegang, dan air mata semakin deras mengalir di pipinya."Sabar ya, sayang… sabar… kita sebentar lagi sampai," ucap Edward, suaranya bergetar, namun ia berusaha tetap tenang untuk istrinya. Tangannya terulur, mengusap kening Rania yang penuh peluh. Ia ingin melakukan sesuatu untuk mengurangi rasa sakit istrinya, tetapi ia tahu tidak ada yang bisa benar-benar membantu selain memastikan mereka segera tiba di rumah sakit.Rania menggigit bibirnya, tubuhnya sudah mulai gemetar. "Sakit, sayang… sakit banget…" ucapnya dengan suara lemah, hampir seperti bisikan. Air ketubannya sudah pecah sejak beberapa menit yang lalu, dan kini darah mulai keluar, membasahi pahanya hingga betisnya.Melihat kondisi itu, E
"Bagaimana kalau kita menikah bulan depan saja?" tanya Bram tiba-tiba, menatap Monica dengan penuh harapan.Mereka sedang duduk di balkon kamar Monica. Awalnya, Bram berencana menemani Angelica di kamar ibunya karena gadis kecil itu ingin tidur bersama sang nenek. Namun, Laura tampaknya memahami situasinya dan justru menyuruh Bram untuk menemani Monica.Monica tersenyum lembut, tatapannya penuh kehangatan. "Aku ikut saja, sayang. Terserah kamu mau kapan, aku siap," jawabnya tulus. "Aku bahagia banget akhirnya Angelica mau menerima kehadiranku."Bram merasakan haru menyelimuti hatinya. Ia lalu meraih Monica ke dalam pelukannya, mendekapnya dengan penuh kasih sayang. "Terima kasih, sayang. Terima kasih juga karena sudah mau menerima pernyataan cinta dari seorang duda beranak satu," ucapnya dengan suara lembut.Monica tersenyum dan membalas pelukan itu. "Aku mencintaimu, Bram. Statusmu tidak pernah menjadi masalah untukku," bisiknya.Bram mengusap pelan punggung calon istrinya. "Tapi aku
Naura menghela napas panjang, matanya masih terlihat menerawang, seolah pikirannya belum bisa benar-benar menerima kenyataan yang baru saja terjadi. “Aku nggak pernah menyangka kalau Angelica bisa langsung menerima Monica sebagai calon Mama barunya,” ucapnya lirih, suaranya terdengar masih dipenuhi rasa haru.Saat ini, dia sudah berada di kamar bersama suaminya, Davin. Malam di London terasa lebih dingin dari biasanya, tetapi suasana hati Naura jauh lebih hangat setelah melihat kebahagiaan di wajah keponakannya tadi.Davin yang tengah bersandar di kepala ranjang ikut tersenyum, meskipun ada sedikit keterkejutan di matanya. “Iya, sayang. Aku juga tidak menyangka kalau Angelica secepat itu menerima kehadiran Monica. Aku pikir tadi, saat dia mencium foto Mamanya, dia tidak akan mau Mamanya digantikan oleh siapa pun.”Naura mengangguk pelan, memahami perasaan yang mungkin sempat berkecamuk di hati Angelica. Ia tahu betul seberapa besar gadis kecil itu mencintai sosok ibunya, meskipun tak
Angelica masih sibuk menyapa teman-temannya satu per satu dengan wajah ceria. Senyumnya terus mengembang, mencerminkan kebahagiaan yang begitu tulus. Sesekali, ia tertawa kecil saat berbincang dengan sahabat-sahabatnya, menikmati momen berharga yang baru pertama kali diberikan oleh sang Papa. Sejak kecil, Angelica memang tidak pernah merasakan pesta ulang tahun sebesar ini, dan melihat banyak orang yang datang hanya untuknya membuat gadis kecil itu merasa begitu istimewa. Bram berdiri bersama ibunya, Laura, serta Monica, sekretarisnya yang selama ini selalu berada di sisinya, mendukung setiap langkahnya dalam pekerjaan maupun kehidupan pribadinya. Tidak ada banyak orang di sekitar mereka, memberikan kesempatan bagi mereka bertiga untuk berbicara lebih leluasa tanpa ada yang mendengar.Laura menatap putranya dengan penuh arti sebelum akhirnya membuka suara, "Bram, kau benar-benar akan meminta izin pada Angelica untuk menikahi Monica?" Suaranya terdengar tenang, tapi ada sedikit kekh
Waktu terus berjalan, tanpa terasa minggu depan adalah jadwal kelahiran kedua anak Rania dan Edward. Perjalanan panjang yang mereka lalui bersama akhirnya membawa mereka ke titik ini—menanti hadirnya dua buah hati yang akan melengkapi keluarga kecil mereka.Sejak tiga bulan lalu, Rania telah resmi pindah ke Sun City, meninggalkan London untuk membangun kehidupan baru bersama Edward. Edward, yang sejak awal ingin memberikan kenyamanan terbaik bagi istrinya, sudah menyiapkan rumah mewah untuk Rania. Namun, meskipun Rania menerima rumah tersebut dengan penuh rasa syukur, menjelang persalinannya, dia lebih memilih tinggal di kediaman kedua orang tuanya. Bagi Rania, berada di dekat Mommy dan Daddy akan membuatnya lebih tenang.Bisnis butiknya yang kini berkembang pesat tetap berjalan dengan baik meskipun Rania sementara waktu harus istirahat dari dunia fashion. Dia mempercayakan pengelolaan butik itu kepada manajernya, tetapi setiap laporan tetap dikirimkan kepada William, asisten keper