Share

Bag-3

"AAA ...!" Sontak saja Nur yang dari tadi berdiri di samping neneknya berteriak, lalu menjerit ketika melihat kepala tikus yang ada di hadapannya. 

Nek Iyam dengan refleks melemparkan kaos yang berada di meja untuk menutupinya. Namun, langit-langit kamar sangat mencekam, suara burung di dini hari sangat nyaring sekali. Telinga Ani pun ditutupi oleh tangannya dan Nek Iyam selalu membaca ayat-ayat suci yang dia simpan di otaknya. 

"Hehhhhhh ...." Suara napas panjang terdengar dari seorang wanita yang berjongkok di pojok kamar. 

"Geulis, aya naon denganmu?!" Nek Iyam berteriak dari jarak dua meter menuju wanita yang sedang di luar kondisinya. 

Seorang lelaki tua yang sudah tepat berdiri di hadapan Nur, dia terus menyoroti wajah cucunya dengan senter. Kemudian, dia menantap dengan serius wajah yang suram, mulutnya mengeluarkan air liur bercampur darah tikus, dan rambut panjangnya acak-acakan. Aroma yang teramat bau pun sangat terasa sekali oleh Kakek Samad. Dia langsung menghalangi aroma bau itu dengan melingkarkan sarungnya sampai menutupi hidung.

"Neng ... Neng ... Neng ...!" Seorang lelaki yang  memiliki wajah mengkerut itu terus memanggil-manggil cucunya. 

Nur hanya berjongkok saja sambil tangannya mengurik-urik celah-celah lantai yang dicor.

Kakek Samad mencoba untuk membangunkan wanita yang sedang berjongkok dan terlihat suram itu. Namun, dia malah mendapatkan dorongan dari wanita yang baru saja kehilangan suaminya itu sampai terjatuh. Nek Iyam langsung berlari menuju suaminya dengan tangan menggandeng Ani, sehingga dua orang wanita itu mencoba untuk membangunkan Kakek Samad. 

Setelah mendorong kakeknya sampai jatuh, Nur berdiam sebentar, lalu dia berlari menuju kamar yang berada di dekat dapur. Warna matanya yang merah, darah-darah menghiasi bibirnya, sehingga adiknya menjerit ketika seorang wanita yang lebih tua darinya itu berlari melewati belakang tubuh. Akan tetapi, banyak terjadi perubahan yang dialami kakaknya itu, dia menjadi sangat pendiam dan sampai di luar nalar pemikiran orang-orang biasa.

*

Detak jam mengeluarkan bunyi sebanyak tiga kali, wanita yang sudah mendampingi Kakek Samad pun langsung membangunkan suaminya. Akan tetapi, Ani berjalan untuk melihat-lihat semua isi di dalam ruangan yang menjadi tempat istirahat kakaknya itu. Namun, dia sangat kesal ketika melihat foto Mas Diki yang masih terpampang di tembok. Darah Ani sudah sangat memuncak sekali, dia langsung melemparkan pigura yang berada di tembok itu ke lantai. Kaca-kaca pun menjadi berserakan, tetapi kaki dia emosi menendang angin. 

"Geulis ... Geulis ...!" Ani menoleh ketika dipanggil oleh Nek Iyam. "Jeup! Teu kenging emosi terus! (Diam! Jangan emosi terus!)" Wanita tua itu mencoba untuk menenangkan lagi cucunya. 

"Gara-gara dia, Nek!" Ani menunjuk foto yang bercampur dengan pecahan kaca-kaca, "kalau nggak karena dia! Pasti, kakak masih seperti biasa." Ani terus menunjuk-nunjuk fotonya Mas Diki. 

"Sabar atuh! Istighfar!" Nek Iyam mengayunkan kaki untuk mendekati cucunya itu. 

Orang tua yang mempunyai jenggot warna putih dan menjadi panutan oleh semua cucunya itu sudah berdiri kembali. Dia mengajak Ani dan wanita yang menjadi pendamping setianya untuk melihat Nur kembali di kamar lain. Namun, dengan darah yang sedang memuncak, Ani semakin menjadi-jadi untuk menghancurkan, merobekkan, dan menginjak-injak semua barang yang terisi wajahnya Mas Diki.

"Neng ...." Kakek Samad langsung memeluk seorang gadis yang sedang emosi itu, Ani pun tak tahan untuk mengeluarkan air bening yang ada di matanya. 

"Kita lihat Kakak lagi, yuk!" ajak lelaki tua yang berkumis tebal itu kepada cucunya. 

"Aku di sini saja, Kek. Takut!"

Nek Iyam melemparkan sebuah kode pada suaminya. Mereka pun berjalan ke arah benda yang berpola menutupi kamar samping dapur. Mungkin, wanita yang ada di dalamnya sedang mengerik tembok, suaranya tembus sampai ke telinga Nek Iyam dan lelaki tua yang ada di dekatnya. Wanita tua itu menggeleng-gelengkan kepala, dahinya mengkerut, dan hidungnya mencoba-coba untuk mengendus aroma di depan pintu kamar. 

Aroma bau anyir teredus dari celah-celah kayu jati yang menjadi penutup kamar. Nek Iyam langsung menutupi hidungnya dengan syal yang dia pakai. Sementara, lelaki berkumis tebal di sampingnya mencoba juga untuk mengendus aroma yang keluar dari celah-celah penutup kamar.

"Oekkk ...." Kakek Samad sarasa mau muntah ketika aroma anyir itu menembus hidungnya. Dia pun langsung menutupi hidungnya dengan sarung yang melingkar di leher. 

Benda yang berbentuk persegi panjang penutup kamar pun dia ketuk-ketuk. Namun, seorang wanita yang menjadi cucu paling tua itu mengeluarkan suaranya dengan keras. Ani yang dari tadi kesal dengan lelaki pengkhianat cinta untuk kakaknya, dia berlari di saat suara yang keras itu menerobos masuk telinganya. 

"Kak ... Kak ...!" Adiknya itu mengetuk-ngetuk kayu jati, lalu memain-mainkan daun pintu yang menempel di benda itu. "Buka ... buka, Kak!" sambungnya dia terus memanggil kakaknya.

"Maranéh cicing waé ti dinya! Aing mah teu nanaon ieu. (Kalian diam saja di sana! Aku itu tidak apa-apa ini.)" Suara nenek-nenek keluar dari mulut wanita yang berambut panjang di dalam kamar. 

"Kamu, siapa?!" Refleks wanita tua yang ada di samping Kakek Samad berteriak. 

Suara yang keluar dari ruangan lima kali lima meter persegi samping dapur pun menghilang. Sekitar lima menit, tidak ada aktivitas suara di rumah tua yang tampak suram itu. Alhasil, Kakek Samad beserta istri dan Ani menunggu sampai pagi di depan kamar yang dimasuki Nur.

Lelaki tua yang berada di samping Nek Iyam, dia tampak murung dan kegalauan melanda dirinya ketika melihat cucunya seperti yang dilihat. Dia tidak habis pikir dengan ini semua. Dia tidak percaya dengan semua ini. Namun, gejolak batin; marah kepada lelaki yang berkata mau mencari nafkah untuk cucunya, malah menjadi sebaliknya menghancurkan salah seorang wanita yang dia sayang. 

Air yang terus ingin bobol dari mata Nek Iyam pun tidak bisa dibendung lagi, sehingga jilbab yang dipakainya menjadi pelindung untuk tempat bersemayamnya bening-bening tetesan kesayangan. Akan tetapi, tangan lelaki tua yang urat-uratnya terlihat tampak menonjol terus mengetuk-ngetuk kepalanya. Sesekali, dia berbicara sendiri untuk terus memikirkan jalan keluar bagi cucunya, sedangkan Ani yang terus mengeluarkan air mata. Dia pun tidak peduli sudah berapa liter air bening yang dikeluarkan dari matanya. Namun, gejolak batinnya menginginkan kakaknya bisa hidup normal kembali.

Bab terkait

Bab terbaru

DMCA.com Protection Status