"AAA ...!" Sontak saja Nur yang dari tadi berdiri di samping neneknya berteriak, lalu menjerit ketika melihat kepala tikus yang ada di hadapannya.
Nek Iyam dengan refleks melemparkan kaos yang berada di meja untuk menutupinya. Namun, langit-langit kamar sangat mencekam, suara burung di dini hari sangat nyaring sekali. Telinga Ani pun ditutupi oleh tangannya dan Nek Iyam selalu membaca ayat-ayat suci yang dia simpan di otaknya.
"Hehhhhhh ...." Suara napas panjang terdengar dari seorang wanita yang berjongkok di pojok kamar.
"Geulis, aya naon denganmu?!" Nek Iyam berteriak dari jarak dua meter menuju wanita yang sedang di luar kondisinya.
Seorang lelaki tua yang sudah tepat berdiri di hadapan Nur, dia terus menyoroti wajah cucunya dengan senter. Kemudian, dia menantap dengan serius wajah yang suram, mulutnya mengeluarkan air liur bercampur darah tikus, dan rambut panjangnya acak-acakan. Aroma yang teramat bau pun sangat terasa sekali oleh Kakek Samad. Dia langsung menghalangi aroma bau itu dengan melingkarkan sarungnya sampai menutupi hidung.
"Neng ... Neng ... Neng ...!" Seorang lelaki yang memiliki wajah mengkerut itu terus memanggil-manggil cucunya.
Nur hanya berjongkok saja sambil tangannya mengurik-urik celah-celah lantai yang dicor.
Kakek Samad mencoba untuk membangunkan wanita yang sedang berjongkok dan terlihat suram itu. Namun, dia malah mendapatkan dorongan dari wanita yang baru saja kehilangan suaminya itu sampai terjatuh. Nek Iyam langsung berlari menuju suaminya dengan tangan menggandeng Ani, sehingga dua orang wanita itu mencoba untuk membangunkan Kakek Samad.
Setelah mendorong kakeknya sampai jatuh, Nur berdiam sebentar, lalu dia berlari menuju kamar yang berada di dekat dapur. Warna matanya yang merah, darah-darah menghiasi bibirnya, sehingga adiknya menjerit ketika seorang wanita yang lebih tua darinya itu berlari melewati belakang tubuh. Akan tetapi, banyak terjadi perubahan yang dialami kakaknya itu, dia menjadi sangat pendiam dan sampai di luar nalar pemikiran orang-orang biasa.
*
Detak jam mengeluarkan bunyi sebanyak tiga kali, wanita yang sudah mendampingi Kakek Samad pun langsung membangunkan suaminya. Akan tetapi, Ani berjalan untuk melihat-lihat semua isi di dalam ruangan yang menjadi tempat istirahat kakaknya itu. Namun, dia sangat kesal ketika melihat foto Mas Diki yang masih terpampang di tembok. Darah Ani sudah sangat memuncak sekali, dia langsung melemparkan pigura yang berada di tembok itu ke lantai. Kaca-kaca pun menjadi berserakan, tetapi kaki dia emosi menendang angin.
"Geulis ... Geulis ...!" Ani menoleh ketika dipanggil oleh Nek Iyam. "Jeup! Teu kenging emosi terus! (Diam! Jangan emosi terus!)" Wanita tua itu mencoba untuk menenangkan lagi cucunya.
"Gara-gara dia, Nek!" Ani menunjuk foto yang bercampur dengan pecahan kaca-kaca, "kalau nggak karena dia! Pasti, kakak masih seperti biasa." Ani terus menunjuk-nunjuk fotonya Mas Diki.
"Sabar atuh! Istighfar!" Nek Iyam mengayunkan kaki untuk mendekati cucunya itu.
Orang tua yang mempunyai jenggot warna putih dan menjadi panutan oleh semua cucunya itu sudah berdiri kembali. Dia mengajak Ani dan wanita yang menjadi pendamping setianya untuk melihat Nur kembali di kamar lain. Namun, dengan darah yang sedang memuncak, Ani semakin menjadi-jadi untuk menghancurkan, merobekkan, dan menginjak-injak semua barang yang terisi wajahnya Mas Diki.
"Neng ...." Kakek Samad langsung memeluk seorang gadis yang sedang emosi itu, Ani pun tak tahan untuk mengeluarkan air bening yang ada di matanya.
"Kita lihat Kakak lagi, yuk!" ajak lelaki tua yang berkumis tebal itu kepada cucunya.
"Aku di sini saja, Kek. Takut!"
Nek Iyam melemparkan sebuah kode pada suaminya. Mereka pun berjalan ke arah benda yang berpola menutupi kamar samping dapur. Mungkin, wanita yang ada di dalamnya sedang mengerik tembok, suaranya tembus sampai ke telinga Nek Iyam dan lelaki tua yang ada di dekatnya. Wanita tua itu menggeleng-gelengkan kepala, dahinya mengkerut, dan hidungnya mencoba-coba untuk mengendus aroma di depan pintu kamar.
Aroma bau anyir teredus dari celah-celah kayu jati yang menjadi penutup kamar. Nek Iyam langsung menutupi hidungnya dengan syal yang dia pakai. Sementara, lelaki berkumis tebal di sampingnya mencoba juga untuk mengendus aroma yang keluar dari celah-celah penutup kamar.
"Oekkk ...." Kakek Samad sarasa mau muntah ketika aroma anyir itu menembus hidungnya. Dia pun langsung menutupi hidungnya dengan sarung yang melingkar di leher.
Benda yang berbentuk persegi panjang penutup kamar pun dia ketuk-ketuk. Namun, seorang wanita yang menjadi cucu paling tua itu mengeluarkan suaranya dengan keras. Ani yang dari tadi kesal dengan lelaki pengkhianat cinta untuk kakaknya, dia berlari di saat suara yang keras itu menerobos masuk telinganya.
"Kak ... Kak ...!" Adiknya itu mengetuk-ngetuk kayu jati, lalu memain-mainkan daun pintu yang menempel di benda itu. "Buka ... buka, Kak!" sambungnya dia terus memanggil kakaknya.
"Maranéh cicing waé ti dinya! Aing mah teu nanaon ieu. (Kalian diam saja di sana! Aku itu tidak apa-apa ini.)" Suara nenek-nenek keluar dari mulut wanita yang berambut panjang di dalam kamar.
"Kamu, siapa?!" Refleks wanita tua yang ada di samping Kakek Samad berteriak.
Suara yang keluar dari ruangan lima kali lima meter persegi samping dapur pun menghilang. Sekitar lima menit, tidak ada aktivitas suara di rumah tua yang tampak suram itu. Alhasil, Kakek Samad beserta istri dan Ani menunggu sampai pagi di depan kamar yang dimasuki Nur.
Lelaki tua yang berada di samping Nek Iyam, dia tampak murung dan kegalauan melanda dirinya ketika melihat cucunya seperti yang dilihat. Dia tidak habis pikir dengan ini semua. Dia tidak percaya dengan semua ini. Namun, gejolak batin; marah kepada lelaki yang berkata mau mencari nafkah untuk cucunya, malah menjadi sebaliknya menghancurkan salah seorang wanita yang dia sayang.
Air yang terus ingin bobol dari mata Nek Iyam pun tidak bisa dibendung lagi, sehingga jilbab yang dipakainya menjadi pelindung untuk tempat bersemayamnya bening-bening tetesan kesayangan. Akan tetapi, tangan lelaki tua yang urat-uratnya terlihat tampak menonjol terus mengetuk-ngetuk kepalanya. Sesekali, dia berbicara sendiri untuk terus memikirkan jalan keluar bagi cucunya, sedangkan Ani yang terus mengeluarkan air mata. Dia pun tidak peduli sudah berapa liter air bening yang dikeluarkan dari matanya. Namun, gejolak batinnya menginginkan kakaknya bisa hidup normal kembali.
SETELAH TADI PAGI MELAKSANAKAN ACARA AKAD PERNIKAHAN, Bos Alek pun sudah sah menjadi suami dari Nur. Ada rasa bahagia yang tergambar dari wajah pasangan baru itu. Sekarang pun hari sudah semakin sore. Entahlah, rasa lelah pun tergambar dari pasangan baru itu. Sampai-sampai, Bos Alek hanya bisa duduk saja di kursi beranda rumah sambil melihat pemandangan yang ada di depan matanya.Bos Alek tiba-tiba terdiam ketika mendengar suara Nur yang memanggil. Ya, itu suara Nur, kata dalam hatinya. Dia pun mencoba memalingkan wajah ke arah depan pintu rumah. Alangkah indahnya, lelaki berhidung mancung itu melihat bidadari yang sedang berdiri; Nur. Bidadari itu masih cantik oleh bekas make up yang dia pakai tadi pagi. Sungguh dan sungguh, Bos Alek malah menahan saliva sampai kedua matanya jadi susah berkedip.Nur pun tersenyum ketika melihat suaminya itu yang terlihat terpana olehnya. Sungguh, Nur malah menjadi salah tingkah sehingga dia pun
SETELAH BERBULAN-BULAN MEMANTAPKAN PERSIAPAN PERNIKAHAN, Bos Alek pun tampak tak bisa tenang ketika tanggal pernikahan itu sudah ada di depan mata. Entahlah, apa yang sedang dirasakan oleh lelaki berhidung mancung itu. Namun, dia terlihat selalu berusaha untuk menutupi apa yang sedang dirasakan di dalam hatinya.Memang, suatu pernikahan itu adalah hal yang sangat serius. Oleh karena itu, hal semacam itu pun tak bisa disepelekan oleh Bos Alek. Tak bisa dielakkan lagi lelaki itu mulai seperti setrikaan yang sedang dipakai. Berjalan-jalan dari ruang tamu rumahnya ke dapur dan kembali lagi dari dapur ke ruang tamu. Hal semacam itu pun dia lakukan ketika waktu sudah malam.Di lain sisi, lelaki itu tak bisa lagi untuk menunggu dan terus menunggu tanggal yang sudah ditentukannya. Menurutnya, menunggu itu hal yang menyesalkan karena dari menunggu itu bisa menciptakan ketidaktenangan. Maka dari itulah
SETELAH SEMINGGU LAMANYA, Nur berpikir tentang jawaban apa yang pas disampaikan kepada Bos Alek. Dia pun mengakui bahwa selama berkenalan dengan Bos Alek banyak perubahan. Dan tentunya, lelaki berhidung mancung itu membuat dirinya nyaman. Kadang lelaki itu pun membuat Nur merasa takjub dengan kegigihannya dalam bekerja. Oleh karena itu, dia pun tak bisa menampik bahwa ada rasa yang mulai timbul untuk Bos Alek.Apakah ini waktu yang tepat untuk memikirkan pasangan, kata Nur di kala berada di kamarnya. Dia terduduk di depan cermin sambil bicara dengan bayangannya. Sungguh, momen seperti ini membuat dirinya tambah dag-dig-dug saja di hati. Dia menyadarinya, mungkin Bos Alek di sana sedang menunggu jawaban pertanyaan darinya.Malam yang sepi sejuk, Nur keluar dari kamarnya dan langsung menuju beranda rumah. Kemudian, tangan kanannya memegang ponsel dan langsung saja mengirim satu pesan kepada Bos
PAK KADES DAN ANDI KECEWA, mereka berdua kecewa karena sudah ditolak oleh Kakek Samad tentang perjodohan itu. Sampai, mereka berdua pun langsung pergi dari hadapan Kakek Samad dan istrinya. Kejadian siang yang begitu menyakitkan bagi mereka berdua. Hati Andi pun seperti tertusuk oleh katana, ya, begitu sangat sakit. Dia tak menyangka bahwa akan mendapatkan penolakan. Dia tak menyangka bahwa dengan modal sarjana pun belum bisa meyakinkan Kakek Samad untuk menyetujui perjodohannya itu.Pada siang hari, benar saja dugaan Kakek Samad bahwa Pak Kades dan putranya kembali lagi ke rumahnya. Dan pertanyaan-pertanyaan yang hampir sama dengan pertanyaan pada saat pertama kalinya mereka bertandang ke rumah Kakek Samad. Lelaki tua berambut perak itu pun langsung saja tanpa ba-bi-bu bahwa dia melemparkan jawaban dengan penolakan. Setelah mendapatkan jawaban yang menyakitkan itu, wajah Andi tampak merah dan langsung saja pergi dari hadapan Kakek
NUR TERDIAM KETIKA BOS ALEK MENYATAKAN NIAT UNTUK MENIKAHINYA. Dia tak menyangka bahwa cinta yang timbul dari Bos Alek itu begitu cepat. Bahkan, wanita berambut sebahu itu pun belum percaya dengan apa yang dialaminya. Mana mungkin dia begitu cepat bisa membuat Bos Alek menyukainya, pikiran wanita itu pun jadi terbang ke mana-mana. Dia benar-benar terdiam seperti patung dan tenggorokannya seperti ada yang mengganjal. Bos Alek pun menunggu dengan sabar jawaban yang akan dilontarkan Nur kepadanya. Namun, sampai menunggu beberapa jam, jawaban yang ditunggu Bos Alek pun tak kunjung datang. Akhirnya, lelaki itu berucap, "Saya siap untuk menunggu jawabannya, kok."Nur tak tahu harus menjawab apa kepada bosnya Ani itu. Dia benar-benar belum yakin dengan niat yang diinginkan oleh Bos Alek untuknya. Di samping itu juga Nur masih trauma membuka rasa untuk lelaki karena tak ingin rasanya dikhianati lagi. Akhirnya, Nur memaksa untuk mengeluarkan
SETELAH BERBULAN-BULAN BOS ALEK PENDEKATAN DENGAN NUR, dia tambah yakin saja dengan wanita yang mempunyai rambut sebahu itu. Sungguh, tak bisa diragukan lagi untuk menjadikan wanita itu menjadi pendampingnya. Bos Alek tak memedulikan perjalanan suram yang telah menyerang Nur. Lelaki berhidung mancung itu hanya berpikir bahwa cinta suci akan datang kepada siapa pun. Dan mungkin saja, cinta suci dirinya datang dari Nur sehingga saban harinya dia selalu dimabuk asmara oleh wanita itu. Sungguh!Masa pendekatan pun berjalan mulus ditambah lagi mungkin Ani sangat menyetujui bahwa bosnya itu bisa menikahi kakaknya. Walaupun, Ani menyadari bahwa kakaknya tak mempunyai apa-apa dan Bos Alek adalah pebisnis muda yang lumayan sukses. Dia pun kadang merasa ciut membayangkan jika hal pernikahan kakaknya dan Bos Alek itu bisa terjadi. Namun, Ani mempunyai pikiran juga bahwa takdir cinta itu siapa yang tahu. Cinta bisa datang kepada siapa pun dan m