Share

Bag-4

SUARA AZAN SUBUH SUDAH BERKUMANDANG DI LANGIT-LANGIT TEMPAT TINGGAL NUR. Kakek Samad pun membangunkan istrinya dan Ani yang sedang tertidur pulas. Namun, ketika dia mengetuk-ngetuk pintu kamar yang ditempati Nur, lelaki tua itu tidak mendapatkan balasan yang dilemparkan kepadanya. Alhasil, dia hanya bisa menyuruh istri dan salah satu cucunya untuk segera bersih-bersih serta mengambil air wudu. 

Hanya kepada Allah-lah manusia bisa meminta, itulah yang terpikir oleh Kakek Samad. Tak bisa dipungkiri Allah menciptakan semua makhluk sehingga Kakek Samad langsung bersujud kepada-Nya. Nek Iyam yang melihat suaminya sedang memohon pun langsung meneteskan air mata. Dia tidak kuat dan terharu melihat itu semua. 

Lelaki tua itu tampak menunggu istri dan cucunya untuk melaksanakan salat berjamaah. Wajah yang tampak tidak semangat, kusut, dan matanya pun terlihat sembab akibat air yang terus turun. Percikan air keran yang menetes ke lantai mengubah suasana tidak hening. Entah, harus bagaimana lagi Kakek Samad untuk bisa mengobrol dengan Nur yang sedang dirundung kesuraman. Semuanya itu hanya untuk menunggu dan menunggu saja.

Setelah melaksanakan salat Subuh berjamaah bersama istri dan cucunya. Kakek Samad langsung mengajak kedua wanita yang sedang dekat di sampingnya untuk rapat keluarga. Dia pun mengeluarkan semua pendapatnya. Akan tetapi, wanita yang menjadi istrinya pun tidak kalah untuk mengeluarkan pendapatnya. Ani pun hanya bisa menyimak pendapat-pendapat kakek dan neneknya. 

*

Pagi yang dingin menggerogoti tubuh tua Kakek Samad. Dia terus menahan rasa yang begitu dingin dengan menggesek-gesekkan kedua telapak tangannya saling berbalasan. Namun, Kakek Samad tidak luput terus memantau Nur yang sedang berada di dalam kamarnya. Sesekali, dia mengetuk kayu jati penutup kamarnya dan memanggilnya, tetapi hanya keheningan yang didapat.

"Kek, sekarang sudah jam setengah tujuh. Aku mau berangkat kerja dulu, ya," ucap Ani yang berada di hadapan kakeknya serta dia sudah berpakaian rapi.

"Iya, hati-hati, ya, Neng." 

"Aku nitip kakak, ya, Kek!" Ani mencium tangan kakeknya dan langsung dia pamit dengan mengucapkan salam. 

Nek Iyam yang baru saja dari dapur ia bertanya, "Abah, itu Ani mau ke mana?"

"Katanya, 'Mau kerja.' Ambu, buatin kopi, dong!" pinta lelaki tua itu kepada istrinya.

"Di sini nggak ada kopi. Jadi, air putih saja, tuh!" Nek Iyam menunjuk dispenser yang ada di pojok tengah rumah.

"Sungguh terlalu." Kakek Samad langsung monyong seperti keong, sedangkan istrinya hanya bisa tertawa. 

"Abah mau cari angin dulu keluar, ya," kata Kakek Samad. "Ambu, duduk saja di sini untuk nungguin Nur keluar dari kamar!" lanjutnya dia menuruh istrinya. 

"Hmmm, sok gaya mau cari angin. Ntar, awas saja kulit yang sudah lepet tuh kemasukan angin, hehe." Nek Iyam berbicara lalu dia tertawa. 

"Tenang saja, kalau masuk angin mah, kan, ntar dikerokin."

"Ambu mah ogah ngerokinnya juga, takut kulit lepetnya kebawa, hehe." Nek Iyam menertawakannya. 

"Sialan." Kakek Samad memonyongkan mulutnya seperti keong terus dia langsung berjalan menuju teras rumah. 

*

Bersantai mencari angin segar di teras sambil duduk di kursi yang berbahan kayu, Kakek Samad terlihat sangat menikmati sekali. Namun, alangkah ramahnya dia, setiap orang yang lewat depannya tidak luput disapa. Dan Nek Iyam pun keluar untuk mendekati suaminya. Tampak terlihat, tangan Kakek Samad mengetuk-ngetuk kepalanya sambil menyandar ke tembok. Sungguh, dia sangat pusing untuk berbuat apa lagi, selain hanya menunggu cucunya yang sedang dirundung kegalauan keluar kamar.

"Abah, kita ini sudah menikah selama lima puluh tahun. Tapi, baru sekarang ambu merasakan kepusingan yang teramat sangat." Nek Iyam yang sudah berada di samping suaminya. 

Lelaki tua yang sedang menyandar ke tembok itu pun hanya bisa mengangguk-anggukan kepalanya. 

"Apakah Ani bisa disembuhkan lagi, ya?" tanya Nek Iyam. 

"Insyaallah, bisa. Sekarang, kita tunggu saja Ani keluar kamarnya, ya!" Kakek Samad dengan langsung berdiri dan masuk kembali ke rumah.

Rumah peninggalan orang tuanya Nur dan Ani ini tampak sekali bagus dan sangat modern. Oleh karena itu, banyak sekali orang-orang yang selalu melirik rumah ini di saat mereka melewatinya. Namun, kemodernan itu tampak sekali tidak berguna jika penghuni rumahnya sakit. 

*

Lelaki tua yang dari subuh menunggu cucunya keluar kamar. Akhirnya, wajah yang sudah keriput itu tampak kaget sekali ketika dia melihat Nur keluar kamarnya dengan kondisi yang baik-baik saja. Oleh karena itu, Kakek Samad langsung menghadangnya ketika Nur berjalan mau ke kamar mandi. 

"Nur ...!" panggil Kakek Samad. Nur langsung berdiam dan Kakek Samad pun tampak aneh sekali ketika melihat gigi cucunya itu yang bersih tidak ada darah sedikit pun. 

'Terus yang semalam, siapa?' Hatinya berkata. Kemudian, dia berlari ke kamar yang semalam ditempati Nur, tetapi sewaktu sudah masuk ke dalam. Dia tidak mendapatkan tanda-tanda darah hasil perbuatan semalam kepada tikus pun tidak ada. Tampak sekali sprei dan semua isi kamar sangat bersih semua. Lelaki tua itu hanya bisa menggeleng-gelengkan kepalanya lalu dia langsung keluar kamar lagi.

"Ambu ... Ambu ..., ke sini sebentar!" teriak Kakek Samad. 

Wanita yang berambut panjang dan sangat cantik itu pun langsung berjalan lagi ke kamar mandi. Dan kakeknya pun hanya bisa bengong saja ketika melihat kejadian yang dialaminya, sedangkan Nek Iyam yang baru saja masuk kembali ke rumah dengan membawa kacang panjang pemberian tetangga langsung mendekati suaminya. Dengan tatapan yang nanar, Kakek Samad mencoba untuk menerangkan kejadian yang baru saja dialaminya. Akan tetapi, dia sedikit ragu dengan keterangan yang nantinya dikira bohong oleh istrinya. Oleh karena itu, lelaki yang sudah lima puluh tahun mendampingi Nek Iyam pun langsung memberhentikan keterangannya, sampai menungggu cucunya keluar kamar mandi.

Related chapters

Latest chapter

DMCA.com Protection Status