SUARA AZAN SUBUH SUDAH BERKUMANDANG DI LANGIT-LANGIT TEMPAT TINGGAL NUR. Kakek Samad pun membangunkan istrinya dan Ani yang sedang tertidur pulas. Namun, ketika dia mengetuk-ngetuk pintu kamar yang ditempati Nur, lelaki tua itu tidak mendapatkan balasan yang dilemparkan kepadanya. Alhasil, dia hanya bisa menyuruh istri dan salah satu cucunya untuk segera bersih-bersih serta mengambil air wudu.
Hanya kepada Allah-lah manusia bisa meminta, itulah yang terpikir oleh Kakek Samad. Tak bisa dipungkiri Allah menciptakan semua makhluk sehingga Kakek Samad langsung bersujud kepada-Nya. Nek Iyam yang melihat suaminya sedang memohon pun langsung meneteskan air mata. Dia tidak kuat dan terharu melihat itu semua.
Lelaki tua itu tampak menunggu istri dan cucunya untuk melaksanakan salat berjamaah. Wajah yang tampak tidak semangat, kusut, dan matanya pun terlihat sembab akibat air yang terus turun. Percikan air keran yang menetes ke lantai mengubah suasana tidak hening. Entah, harus bagaimana lagi Kakek Samad untuk bisa mengobrol dengan Nur yang sedang dirundung kesuraman. Semuanya itu hanya untuk menunggu dan menunggu saja.
Setelah melaksanakan salat Subuh berjamaah bersama istri dan cucunya. Kakek Samad langsung mengajak kedua wanita yang sedang dekat di sampingnya untuk rapat keluarga. Dia pun mengeluarkan semua pendapatnya. Akan tetapi, wanita yang menjadi istrinya pun tidak kalah untuk mengeluarkan pendapatnya. Ani pun hanya bisa menyimak pendapat-pendapat kakek dan neneknya.
*
Pagi yang dingin menggerogoti tubuh tua Kakek Samad. Dia terus menahan rasa yang begitu dingin dengan menggesek-gesekkan kedua telapak tangannya saling berbalasan. Namun, Kakek Samad tidak luput terus memantau Nur yang sedang berada di dalam kamarnya. Sesekali, dia mengetuk kayu jati penutup kamarnya dan memanggilnya, tetapi hanya keheningan yang didapat.
"Kek, sekarang sudah jam setengah tujuh. Aku mau berangkat kerja dulu, ya," ucap Ani yang berada di hadapan kakeknya serta dia sudah berpakaian rapi.
"Iya, hati-hati, ya, Neng."
"Aku nitip kakak, ya, Kek!" Ani mencium tangan kakeknya dan langsung dia pamit dengan mengucapkan salam.
Nek Iyam yang baru saja dari dapur ia bertanya, "Abah, itu Ani mau ke mana?"
"Katanya, 'Mau kerja.' Ambu, buatin kopi, dong!" pinta lelaki tua itu kepada istrinya.
"Di sini nggak ada kopi. Jadi, air putih saja, tuh!" Nek Iyam menunjuk dispenser yang ada di pojok tengah rumah.
"Sungguh terlalu." Kakek Samad langsung monyong seperti keong, sedangkan istrinya hanya bisa tertawa.
"Abah mau cari angin dulu keluar, ya," kata Kakek Samad. "Ambu, duduk saja di sini untuk nungguin Nur keluar dari kamar!" lanjutnya dia menuruh istrinya.
"Hmmm, sok gaya mau cari angin. Ntar, awas saja kulit yang sudah lepet tuh kemasukan angin, hehe." Nek Iyam berbicara lalu dia tertawa.
"Tenang saja, kalau masuk angin mah, kan, ntar dikerokin."
"Ambu mah ogah ngerokinnya juga, takut kulit lepetnya kebawa, hehe." Nek Iyam menertawakannya.
"Sialan." Kakek Samad memonyongkan mulutnya seperti keong terus dia langsung berjalan menuju teras rumah.
*
Bersantai mencari angin segar di teras sambil duduk di kursi yang berbahan kayu, Kakek Samad terlihat sangat menikmati sekali. Namun, alangkah ramahnya dia, setiap orang yang lewat depannya tidak luput disapa. Dan Nek Iyam pun keluar untuk mendekati suaminya. Tampak terlihat, tangan Kakek Samad mengetuk-ngetuk kepalanya sambil menyandar ke tembok. Sungguh, dia sangat pusing untuk berbuat apa lagi, selain hanya menunggu cucunya yang sedang dirundung kegalauan keluar kamar.
"Abah, kita ini sudah menikah selama lima puluh tahun. Tapi, baru sekarang ambu merasakan kepusingan yang teramat sangat." Nek Iyam yang sudah berada di samping suaminya.
Lelaki tua yang sedang menyandar ke tembok itu pun hanya bisa mengangguk-anggukan kepalanya.
"Apakah Ani bisa disembuhkan lagi, ya?" tanya Nek Iyam.
"Insyaallah, bisa. Sekarang, kita tunggu saja Ani keluar kamarnya, ya!" Kakek Samad dengan langsung berdiri dan masuk kembali ke rumah.
Rumah peninggalan orang tuanya Nur dan Ani ini tampak sekali bagus dan sangat modern. Oleh karena itu, banyak sekali orang-orang yang selalu melirik rumah ini di saat mereka melewatinya. Namun, kemodernan itu tampak sekali tidak berguna jika penghuni rumahnya sakit.
*
Lelaki tua yang dari subuh menunggu cucunya keluar kamar. Akhirnya, wajah yang sudah keriput itu tampak kaget sekali ketika dia melihat Nur keluar kamarnya dengan kondisi yang baik-baik saja. Oleh karena itu, Kakek Samad langsung menghadangnya ketika Nur berjalan mau ke kamar mandi.
"Nur ...!" panggil Kakek Samad. Nur langsung berdiam dan Kakek Samad pun tampak aneh sekali ketika melihat gigi cucunya itu yang bersih tidak ada darah sedikit pun.
'Terus yang semalam, siapa?' Hatinya berkata. Kemudian, dia berlari ke kamar yang semalam ditempati Nur, tetapi sewaktu sudah masuk ke dalam. Dia tidak mendapatkan tanda-tanda darah hasil perbuatan semalam kepada tikus pun tidak ada. Tampak sekali sprei dan semua isi kamar sangat bersih semua. Lelaki tua itu hanya bisa menggeleng-gelengkan kepalanya lalu dia langsung keluar kamar lagi.
"Ambu ... Ambu ..., ke sini sebentar!" teriak Kakek Samad.
Wanita yang berambut panjang dan sangat cantik itu pun langsung berjalan lagi ke kamar mandi. Dan kakeknya pun hanya bisa bengong saja ketika melihat kejadian yang dialaminya, sedangkan Nek Iyam yang baru saja masuk kembali ke rumah dengan membawa kacang panjang pemberian tetangga langsung mendekati suaminya. Dengan tatapan yang nanar, Kakek Samad mencoba untuk menerangkan kejadian yang baru saja dialaminya. Akan tetapi, dia sedikit ragu dengan keterangan yang nantinya dikira bohong oleh istrinya. Oleh karena itu, lelaki yang sudah lima puluh tahun mendampingi Nek Iyam pun langsung memberhentikan keterangannya, sampai menungggu cucunya keluar kamar mandi.
SETELAH NUR KELUAR KAMAR MANDI, Nek Iyam langsung memanggil cucunya itu. Namun, lelaki tua yang berada di sampingnya hanya bengong saja sampai mulutnya seperti pintu guha. Nur terlihat biasa saja, dia berjalan mendekati neneknya dengan keadaan handuk masih melilit menutupi rambutnya."Ada apa, Nek?" tanya Nur yang sudah berada persis di depan neneknya."Kamu, sehat?" Nek Iyam balik tanya."Sehat, dong. Emang kenapa, sih, Nek?""Nggak ada apa-apa.""Terus, dari kapan Nenek dan Kakek ada di sini?""Dari semalam. Kamu, nggak ingat, ya?""Nggak, Nek," jawab Nur, "mungkin aku sudah tidur, ya?" lanjutnya.Nek Iyam hanya mengangguk saja. Dia tidak mungkin untuk menceritakan hal sebenarnya kepada Nur dan kakeknya pun hanya bisa mengikuti apa yang dikatakan Nek Iyam. Memang, mereka pun merasakan ada yan
JANTUNG RIKI BERDETAK SANGAT KENCANG, di saat mengetahui ada wanita yang dia idamkan selama ini masuk ke warung bubur ayam. Tidak enak diam. Tidak fokus untuk makan. Hanya satu yang dirasakan olehnya, bunga-bunga cinta itu muncul kembali di indahnya suasana pagi hari. Tak lupa dia menatap Ani sambil melayangkan sapaan yang dibarengi senyuman khas.Indah bola matanya sangat menusuk sanubari Riki. Sampai-sampai, Riki dibuat salah tingkah oleh kehadiran Ani di warung itu. Namun, dia juga sangat merasa beruntung bisa bertemu Ani di waktu pagi-pagi sebelum berangkat kerja. Katanya, ini rejeki bisa memandang indah wajahnya di pagi hari. Ani hanya bisa tersenyum kepada Riki. Mungkin saja, dia juga gugup ketika melihat Riki berada juga di warung bubur ayam.Ada benarnya kata orang-orang, cinta akan semakin tumbuh bila berhadapan langsung dengan orang yang dicintainya. Dan semua itu akan terasa sangat indah bila bisa bersama serta saling menjag
KAKEK SAMAD MELIHAT ADA BENDA YANG MENCURIGAKAN. Dia pun langsung membuka benda itu yang berada di lemari orang tuanya Nur. Terlihat ada kain putih bertuliskan tinta emas dan sebuah keris. Kakek Samad menggeleng-gelengkan kepalanya. Dia tidak percaya dengan apa yang dimiliki oleh orang tua Nur ini.Setelah memikirkan apa yang dilihat itu, dia langsung memberitahukan Nek Iyam untuk bisa mengetahui hal ini. Dengan membawa sebuah kotak yang dia temukan. Lelaki tua itu pun memperlihatkan semua benda yang dia temukan kepada Nek Iyam. Nek Iyam tampak sekali mengkerutkan dahi, dia tidak percaya dengan kelakuan anaknya yang menyimpan barang semacam itu."Bah, ini nggak mungkin!""Nggak mungkin gimana? Ini sudah ada buktinya!""Kita tahu anak kita, anak yang baik-baik. Jadi, ini nggak mungkin!" Nek Iyam, tetap dengan pendiriannya."Coba ingat kembali dengan k
CINTA ANI TUMBUH, TETAPI TERTAHAN OLEH KEADAAN. Tidak semua orang bisa merasakan apa yang diinginkan. Semua itu pasti ada halangan dan rintangan yang harus dilewati. Memang, akan terasa hampa bila keinginan tidak tercapai. Namun, Ani mengerti dengan keadaan yang harus lebih mementingkan kesehatan kakaknya daripada dia main cinta.Pagi yang mulai datang lagi dibarengi suara burung yang terus berkicau. Ani sangat beruntung masih bisa menghirup oksigen secara gratis di pagi hari. Dia juga sangat bahagia jikalau masuk ke hari libur kerja. Berarti, dia mempunyai kesempatan lebih untuk bisa mengurus kakaknya dan menemaninya.Sudah kebiasaan dia di pagi hari jikalau sedang libur kerja. Ani selalu membersihkan halaman serta rumah yang terlihat berantakan, sedangkan kakaknya hanya bisa merundung kegalauan. Wajahnya tampak sekali suram dan yang lebih dikhawatirkan oleh Ani pun ketika kakaknya berbicara sendiri. Dia sangat sedih kalau sudah
SEORANG LELAKI TAMPAN BERADA DI DEPAN RUMAH ANI. Matanya menyorot terus ke arah rumah Ani seperti ada yang sedang dicari, sedangkan jalanan di depan rumah wanita itu tampak sepi sekali. Malam pun sudah semakin merangkak. Dan mungkin saja, orang-orang sudah pada istirahat.Ani yang berada di ruang tengah rumah pun dia sangat sibuk sekali dengan laptopnya. Dia berkutat terus dengan benda itu, biasanya sampai tengah malam. Katanya, dia harus mengerjakan pekerjaan yang terpenting dulu. Berbanding terbalik dengan seorang wanita yang sedang dirundung galau—kakaknya—sudah istirahat.Ani hanya sendiri saja berada di ruangan tengah rumah. Andaikan, dia melihat ke arah luar rumah. Pasti, hatinya akan merekah seperti bunga mawar yang indah. Namun, dia juga tidak mengetahui ada sesosok lelaki idaman berada di depan rumahnya. Dan lelaki itu menunggunya untuk keluar rumah. Sebab, kalau Riki yang mengetuk pintu rumah dan mengucap sa
"LIHAT, TUH! SI NUR SUDAH MULAI BICARA SENDIRI, KETAWA SENDIRIAN. DIA BENAR-BENAR GILA, YA?" tanya seseorang kepada teman-temannya yang sedang lewat di depan Nur.Mereka itu terdiri dari ibu-ibu yang mau pergi ke pasar. Mereka sering sekali melewati jalur depan rumah Nur. Maklum saja, jalur rumah wanita itu salah satu jalan yang cepat untuk mencapai pasar. Jadi, banyak warga yang selalu lewat jalan itu.Di beranda rumah, Nur duduk sambil memandang bunga mawar yang tertanam di sebuah pot hitam. Dia sangat menyukai tempat itu. Sampai-sampai, dia bisa menghabiskan waktunya hanya untuk memandangi bunga. Kadang kala, Nur sangat sedih jikalau ada satu bunga yang gugur. Namun, setelah dia mengalami kegalauan, bunga mawar yang ditanamnya tidak terurus.Setiap hari yang dijalaninya, tampak sekali tidak ada kebahagian. Gejolak batin pun terus berteriak kesedihan di dalam dadanya. Dia terlalu memikirkan Diki, sehingga jalan hidup y
"AYO, KITA MAKAN!" ajak Nek Iyam kepada Ani dan sekalian menyuruhnya untuk membangunkan Nur yang masih istirahat.Semalam, makanan yang dibawa oleh Nek Iyam tidak dimakan. Jadi, pagi harinya oleh Nek Iyam dipanaskan kembali. Dan masih untung, makanan tersebut belum basi ataupun bau.Aroma makanan yang menyeruak sehingga mengisi full ruangan meja makan. Duh, pasti enak, batinnya Ani berbicara di kala mencium aroma makanan. Akan tetapi, lelaki tua—Kakek Samad—yang rambutnya sudah memutih itu baru saja tiba dari depan rumah. Alangkah nikmatnya rasa yang tercium oleh mereka. Sampai, cacing-cacing yang ada di perut pun mulai berdemo ingin segera dikasih makan.Nek Iyam sibuk dengan menata piring-piring di meja makan, sedangkan Ani yang disuruh untuk membangunkan kakaknya langsung pergi ke kamar. Wanita muda itu mengayunkan kakinya dengan memegang sebuah ponsel.Alunan m
LANGIT YANG CERAH MENJADI SAKSI KETIKA SEORANG LELAKI SEDANG BERUCAP KEPADA ANI. Wanita itu pun tidak menyangka kepada apa yang diucapkan oleh Riki. Mulut Ani menjadi kaku di saat ucapan lelaki yang duduk di sampingnya itu menerobos masuk telinga. Dia bingung harus menjawab apa. Pikirannya pun tidak menampilkan jawaban-jawaban yang mau dia lontarkan. Sungguh, dia hanya dibuat terpaku atas ucapan yang Riki lemparkan kepadanya."Aku mau main ke rumahmu, boleh?" tanya Riki.Ani terdiam dengan pertanyaan itu. Dia tidak tahu harus menjawab apa. Dalam hati yang bergejolak, jantung berdetak kencang. Wajahnya menunduk, seakan-akan itu kode yang baik bagi lelaki di sampingnya."Ya, udah. Ntar malam, aku ke rumahmu!" kata Riki mantap."Eh, t--tapi ....""Pokoknya, aku akan ke rumahmu titik." Riki memotong ucapan Ani.Siang yang begitu bers