KAYU JATI YANG MENJADI PENUTUP RUMAH PUN MENGELUARKAN SUARA DERITAN. Kakek Samad yang dari tadi berdiri terus di samping istrinya, akhirnya dia mengayunkan kaki untuk melihat keadaan di luar rumah. Angin malam yang terus terasa, menggoyangkan pohon cengkih di depan rumahnya. Melihat ke atas, Kakek Samad tampak terlihat biasa saja, langit yang hanya berwarna hitam tak ada garis atau hiasan untuk memperindahnya.
"Abah ...!" panggil Nek Iyam yang berada di depan pintu rumah.
"Iya, Ambu. Ada apa?" tanya Kakek Samad sambil memalingkan tubuh ke arah pendamping hidupnya itu.
"Ambu penasaran dan khawatir dengan kondisi Nur. Apa nggak sebaiknya kita langsung melihat saja, biar kita tahu, Bah." Nek Iyam berkata di hadapan Kakek Samad.
Kakek Samad mencoba untuk berpikir dulu selama beberapa detik lalu dia berkata, "Iya, sepertinya kita harus lihat langsung. Sekarang, kita langsung aja ke rumahnya dan jangan lupa ajak Ani biar nggak sendirian menunggu kita di sini."
Nek Iyam mengajak seorang cucunya yang sedang berada duduk di kursi tengah rumahnya. Mata yang sembab, membuat guratan kecantikan sedikit tertutupi, Nek Iyam merangkulnya dan terus mencoba untuk menenangkannya. Alhasil, gejolak batin itu pun muncul di saat cucunya itu menceritakan panjang lebar terkait kondisi yang sedang dialami kakaknya. Nek Iyam mengucurkan air mata ke wajah yang sudah tidak bisa menampung beningnya air itu. Akhirnya, air yang keluar dari matanya menetes membasahi syal yang melingkar di lehernya.
"Geulis, kita lihat kakakmu, yuk!" ajak Nek Iyam yang berada tepat banget di samping cucunya.
"A--aku takut, Nek. A--"
Nek Iyam memotong ucapan cucunya dan berkata, "Jangan takut, Geulis. Kan ada kakek dan nenek yang ada dekatmu." Nek Iyam mencoba untuk menguatkan cucunya yang menangis terus di sampingnya.
"Tapi, Nek."
"Tenang saja, kan ada Kakek dan Nenek." Sekali lagi Nek Iyam mencoba menguatkan cucunya.
Jarum jam sudah menunjukkan ke arah angka satu. Dini hari yang sangat sunyi, angin masuk dari pintu yang terbuka, sedangkan Kakek Samad masih duduk di kursi bambu buatan dirinya di teras rumah. Nek Iyam tampak berhasil menguatkan cucunya yang mempunyai paras sangat ayu pun langsung keluar, lalu mengajak suaminya siap pergi untuk melihat keadaan Nur.
Selangkah dua langkah, mereka tapaki jalan yang masih tanah dan di sampingnya masih banyak pohon bertinggi besar. Kakek Samad dengan tangannya memegang senter, dia terus menjadi yang terdepan untuk menyinari jalan, lalu Nek Iyam menuntun cucunya yang sedang dalam masa ketakutan.
Sekitar sepuluh menit perjalanan menuju rumah yang ditempati Ani, akhirnya mereka bertiga sampai juga. Benda yang menutupi rumah pun diketuk dan ucapan salam dilontarkan. Namun, mereka bertiga tidak mendapatkan respon dari orang yang ada di dalam rumah.
"Buka saja, Kek! Tadi aku nggak kunci, kok." Ani berkata kepada kakeknya.
Kakek Samad memalingkan wajahnya ke arah Ani dengan beberapa detik, lalu dia memegang daun pintu untuk membuka benda yang menjadi penutup lawang rumah. Seorang cucu yang berada di samping Nek Iyam pun terus merangkulnya. Wajahnya mulai pias dan kondisi suhu tubuhnya menjadi dingin. Alhasil, seorang wanita tua yang sedang sakit itu pun terus dekat cucunya.
*
Lampu yang menerangi ruangan tengah rumah pun mati, langit-langit tampak mencekam. Seorang wanita yang dekat Nek Iyam pun menjerit dengan apa yang dia lihat. Dia tidak percaya dengan kondisi rumahnya yang mati dan hening. Wanita yang masih remaja itu langsung di peluk oleh Nek Iyam, sedangkan Kakek Samad mengaktifkan kembali tombol 'on' untuk lampu senter yang dia bawa.
"Nur ... Nur ... Nur ...!" panggil Kakek Samad yang sambil menyorot-nyorot setiap sisi ruangan. "Kamu, di mana, Nak?!" lanjutnya dengan nada yang begitu tinggi.
"Geulis, ini Emak dan Kakek. Geulis, di mana?!" Nek Iyam pun mencoba untuk memanggilnya.
Namun, wajah Ani masih terisi oleh air yang keluar dari matanya. Dan tangannya terus menggenggam erat neneknya dengan jalan yang gontai, dia selalu berada di samping seorang wanita tua itu.
Tiba-tiba saja jantung Kakek Samad serasa ingin copot dan keluar dari dalam tubuh, ketika melihat seorang wanita yang dia panggil-panggil sedang berjongkok di pojok kamarnya. tangan cucunya pun memegang seekor tikus yang bagian isi dalamnya sudah keluar lalu mulutnya penuh dengan darah binatang yang dia makan. Nek Iyam dan Ani yang berada di samping seorang lelaki tua itu pun terbujur kaku, ketika melihat Nur yang di luar dugaan memakan tikus hidup-hidup.
"Nur," lirih Kakek Samad yang tidak percaya dengan penglihatannya. Kemudian, dia mengayunkan kakinya mendekati wanita yang berada di pojok.
"Kakak, stop!" teriak adiknya yang berada di samping Nek Iyam.
Nur tidak mengiyakan teriakkan sang adik yang begitu keras itu. Mungkin, dia sudah di luar kesadaran dengan sebuah tragedi sesosok hitam, bertubuh besar, sorot matanya memancarkan warna merah, sudah berhasil masuk ke dalam dirinya. Kakek Samad dengan senter yang masih berada di tangannya terus menyoroti aktivitas yang dilakukan cucunya. Nur terus memakan seekor hewan yang sudah mati itu dengan gigitan yang begitu tajam, sampai tulangnya terpisah, darah hewan bercampur dengan air liurnya, dan matanya terlihat sangat puas. Akan tetapi, orang tua yang memakai sarung dililitkan di leher terus mendekat dan menyorot. Kakek Samad dengan rasa yang begitu mendebarkan, dia memberanikan untuk mengambil paksa tikus yang berada di tangan cucunya, lalu dengan sigap langsung dilemparkan ke belakang tubuhnya.
"AAA ...!" Sontak saja Nur yang dari tadi berdiri di samping neneknya berteriak, lalu menjerit ketika melihat kepala tikus yang ada di hadapannya.Nek Iyam dengan refleks melemparkan kaos yang berada di meja untuk menutupinya. Namun, langit-langit kamar sangat mencekam, suara burung di dini hari sangat nyaring sekali. Telinga Ani pun ditutupi oleh tangannya dan Nek Iyam selalu membaca ayat-ayat suci yang dia simpan di otaknya."Hehhhhhh ...." Suara napas panjang terdengar dari seorang wanita yang berjongkok di pojok kamar."Geulis, aya naon denganmu?!" Nek Iyam berteriak dari jarak dua meter menuju wanita yang sedang di luar kondisinya.Seorang lelaki tua yang sudah tepat berdiri di hadapan Nur, dia terus menyoroti wajah cucunya dengan senter. Kemudian, dia menantap dengan serius wajah yang suram, mulutnya mengeluarkan air liur bercampur darah tikus, dan rambut panjangnya acak
SUARA AZAN SUBUH SUDAH BERKUMANDANG DI LANGIT-LANGIT TEMPAT TINGGAL NUR. Kakek Samad pun membangunkan istrinya dan Ani yang sedang tertidur pulas. Namun, ketika dia mengetuk-ngetuk pintu kamar yang ditempati Nur, lelaki tua itu tidak mendapatkan balasan yang dilemparkan kepadanya. Alhasil, dia hanya bisa menyuruh istri dan salah satu cucunya untuk segera bersih-bersih serta mengambil air wudu.Hanya kepada Allah-lah manusia bisa meminta, itulah yang terpikir oleh Kakek Samad. Tak bisa dipungkiri Allah menciptakan semua makhluk sehingga Kakek Samad langsung bersujud kepada-Nya. Nek Iyam yang melihat suaminya sedang memohon pun langsung meneteskan air mata. Dia tidak kuat dan terharu melihat itu semua.Lelaki tua itu tampak menunggu istri dan cucunya untuk melaksanakan salat berjamaah. Wajah yang tampak tidak semangat, kusut, dan matanya pun terlihat sembab akibat air yang terus turun. Percikan air keran yang menetes ke lantai meng
SETELAH NUR KELUAR KAMAR MANDI, Nek Iyam langsung memanggil cucunya itu. Namun, lelaki tua yang berada di sampingnya hanya bengong saja sampai mulutnya seperti pintu guha. Nur terlihat biasa saja, dia berjalan mendekati neneknya dengan keadaan handuk masih melilit menutupi rambutnya."Ada apa, Nek?" tanya Nur yang sudah berada persis di depan neneknya."Kamu, sehat?" Nek Iyam balik tanya."Sehat, dong. Emang kenapa, sih, Nek?""Nggak ada apa-apa.""Terus, dari kapan Nenek dan Kakek ada di sini?""Dari semalam. Kamu, nggak ingat, ya?""Nggak, Nek," jawab Nur, "mungkin aku sudah tidur, ya?" lanjutnya.Nek Iyam hanya mengangguk saja. Dia tidak mungkin untuk menceritakan hal sebenarnya kepada Nur dan kakeknya pun hanya bisa mengikuti apa yang dikatakan Nek Iyam. Memang, mereka pun merasakan ada yan
JANTUNG RIKI BERDETAK SANGAT KENCANG, di saat mengetahui ada wanita yang dia idamkan selama ini masuk ke warung bubur ayam. Tidak enak diam. Tidak fokus untuk makan. Hanya satu yang dirasakan olehnya, bunga-bunga cinta itu muncul kembali di indahnya suasana pagi hari. Tak lupa dia menatap Ani sambil melayangkan sapaan yang dibarengi senyuman khas.Indah bola matanya sangat menusuk sanubari Riki. Sampai-sampai, Riki dibuat salah tingkah oleh kehadiran Ani di warung itu. Namun, dia juga sangat merasa beruntung bisa bertemu Ani di waktu pagi-pagi sebelum berangkat kerja. Katanya, ini rejeki bisa memandang indah wajahnya di pagi hari. Ani hanya bisa tersenyum kepada Riki. Mungkin saja, dia juga gugup ketika melihat Riki berada juga di warung bubur ayam.Ada benarnya kata orang-orang, cinta akan semakin tumbuh bila berhadapan langsung dengan orang yang dicintainya. Dan semua itu akan terasa sangat indah bila bisa bersama serta saling menjag
KAKEK SAMAD MELIHAT ADA BENDA YANG MENCURIGAKAN. Dia pun langsung membuka benda itu yang berada di lemari orang tuanya Nur. Terlihat ada kain putih bertuliskan tinta emas dan sebuah keris. Kakek Samad menggeleng-gelengkan kepalanya. Dia tidak percaya dengan apa yang dimiliki oleh orang tua Nur ini.Setelah memikirkan apa yang dilihat itu, dia langsung memberitahukan Nek Iyam untuk bisa mengetahui hal ini. Dengan membawa sebuah kotak yang dia temukan. Lelaki tua itu pun memperlihatkan semua benda yang dia temukan kepada Nek Iyam. Nek Iyam tampak sekali mengkerutkan dahi, dia tidak percaya dengan kelakuan anaknya yang menyimpan barang semacam itu."Bah, ini nggak mungkin!""Nggak mungkin gimana? Ini sudah ada buktinya!""Kita tahu anak kita, anak yang baik-baik. Jadi, ini nggak mungkin!" Nek Iyam, tetap dengan pendiriannya."Coba ingat kembali dengan k
CINTA ANI TUMBUH, TETAPI TERTAHAN OLEH KEADAAN. Tidak semua orang bisa merasakan apa yang diinginkan. Semua itu pasti ada halangan dan rintangan yang harus dilewati. Memang, akan terasa hampa bila keinginan tidak tercapai. Namun, Ani mengerti dengan keadaan yang harus lebih mementingkan kesehatan kakaknya daripada dia main cinta.Pagi yang mulai datang lagi dibarengi suara burung yang terus berkicau. Ani sangat beruntung masih bisa menghirup oksigen secara gratis di pagi hari. Dia juga sangat bahagia jikalau masuk ke hari libur kerja. Berarti, dia mempunyai kesempatan lebih untuk bisa mengurus kakaknya dan menemaninya.Sudah kebiasaan dia di pagi hari jikalau sedang libur kerja. Ani selalu membersihkan halaman serta rumah yang terlihat berantakan, sedangkan kakaknya hanya bisa merundung kegalauan. Wajahnya tampak sekali suram dan yang lebih dikhawatirkan oleh Ani pun ketika kakaknya berbicara sendiri. Dia sangat sedih kalau sudah
SEORANG LELAKI TAMPAN BERADA DI DEPAN RUMAH ANI. Matanya menyorot terus ke arah rumah Ani seperti ada yang sedang dicari, sedangkan jalanan di depan rumah wanita itu tampak sepi sekali. Malam pun sudah semakin merangkak. Dan mungkin saja, orang-orang sudah pada istirahat.Ani yang berada di ruang tengah rumah pun dia sangat sibuk sekali dengan laptopnya. Dia berkutat terus dengan benda itu, biasanya sampai tengah malam. Katanya, dia harus mengerjakan pekerjaan yang terpenting dulu. Berbanding terbalik dengan seorang wanita yang sedang dirundung galau—kakaknya—sudah istirahat.Ani hanya sendiri saja berada di ruangan tengah rumah. Andaikan, dia melihat ke arah luar rumah. Pasti, hatinya akan merekah seperti bunga mawar yang indah. Namun, dia juga tidak mengetahui ada sesosok lelaki idaman berada di depan rumahnya. Dan lelaki itu menunggunya untuk keluar rumah. Sebab, kalau Riki yang mengetuk pintu rumah dan mengucap sa
"LIHAT, TUH! SI NUR SUDAH MULAI BICARA SENDIRI, KETAWA SENDIRIAN. DIA BENAR-BENAR GILA, YA?" tanya seseorang kepada teman-temannya yang sedang lewat di depan Nur.Mereka itu terdiri dari ibu-ibu yang mau pergi ke pasar. Mereka sering sekali melewati jalur depan rumah Nur. Maklum saja, jalur rumah wanita itu salah satu jalan yang cepat untuk mencapai pasar. Jadi, banyak warga yang selalu lewat jalan itu.Di beranda rumah, Nur duduk sambil memandang bunga mawar yang tertanam di sebuah pot hitam. Dia sangat menyukai tempat itu. Sampai-sampai, dia bisa menghabiskan waktunya hanya untuk memandangi bunga. Kadang kala, Nur sangat sedih jikalau ada satu bunga yang gugur. Namun, setelah dia mengalami kegalauan, bunga mawar yang ditanamnya tidak terurus.Setiap hari yang dijalaninya, tampak sekali tidak ada kebahagian. Gejolak batin pun terus berteriak kesedihan di dalam dadanya. Dia terlalu memikirkan Diki, sehingga jalan hidup y