Share

Bag-2

KAYU JATI YANG MENJADI PENUTUP RUMAH PUN MENGELUARKAN SUARA DERITAN. Kakek Samad yang dari tadi berdiri terus di samping istrinya, akhirnya dia mengayunkan kaki untuk melihat keadaan di luar rumah. Angin malam yang terus terasa, menggoyangkan pohon cengkih di depan rumahnya. Melihat ke atas, Kakek Samad tampak terlihat biasa saja, langit yang hanya berwarna hitam tak ada garis atau hiasan untuk memperindahnya. 

"Abah ...!" panggil Nek Iyam yang berada di depan pintu rumah. 

"Iya, Ambu. Ada apa?" tanya Kakek Samad sambil memalingkan tubuh ke arah pendamping hidupnya itu.

"Ambu penasaran dan khawatir dengan kondisi Nur. Apa nggak sebaiknya kita langsung melihat saja, biar kita tahu, Bah." Nek Iyam berkata di hadapan Kakek Samad. 

Kakek Samad mencoba untuk berpikir dulu selama beberapa detik lalu dia berkata, "Iya, sepertinya kita harus lihat langsung. Sekarang, kita langsung aja ke rumahnya dan jangan lupa ajak Ani biar nggak sendirian menunggu kita di sini." 

Nek Iyam mengajak seorang cucunya yang sedang berada duduk di kursi tengah rumahnya. Mata yang sembab, membuat guratan kecantikan sedikit tertutupi, Nek Iyam merangkulnya dan terus mencoba untuk menenangkannya. Alhasil, gejolak batin itu pun muncul di saat cucunya itu menceritakan panjang lebar terkait kondisi yang sedang dialami kakaknya. Nek Iyam mengucurkan air mata ke wajah yang sudah tidak bisa menampung beningnya air itu. Akhirnya, air yang keluar dari matanya menetes membasahi syal yang melingkar di lehernya.

"Geulis, kita lihat kakakmu, yuk!" ajak Nek Iyam yang berada tepat banget di samping cucunya. 

"A--aku takut, Nek. A--"

Nek Iyam memotong ucapan cucunya dan berkata, "Jangan takut, Geulis. Kan ada kakek dan nenek yang ada dekatmu." Nek Iyam mencoba untuk menguatkan cucunya yang menangis terus di sampingnya. 

"Tapi, Nek."

"Tenang saja, kan ada Kakek dan Nenek." Sekali lagi Nek Iyam mencoba menguatkan cucunya. 

Jarum jam sudah menunjukkan ke arah angka satu. Dini hari yang sangat sunyi, angin masuk dari pintu yang terbuka, sedangkan Kakek Samad masih duduk di kursi bambu buatan dirinya di teras rumah. Nek Iyam tampak berhasil menguatkan cucunya yang mempunyai paras sangat ayu pun langsung keluar, lalu mengajak suaminya siap pergi untuk melihat keadaan Nur. 

Selangkah dua langkah, mereka tapaki jalan yang masih tanah dan di sampingnya masih banyak pohon bertinggi besar. Kakek Samad dengan tangannya memegang senter, dia terus menjadi yang terdepan untuk menyinari jalan, lalu Nek Iyam menuntun cucunya yang sedang dalam masa ketakutan. 

Sekitar sepuluh menit perjalanan menuju rumah yang ditempati Ani, akhirnya mereka bertiga sampai juga. Benda yang menutupi rumah pun diketuk dan ucapan salam dilontarkan. Namun, mereka bertiga tidak mendapatkan respon dari orang yang ada di dalam rumah. 

"Buka saja, Kek! Tadi aku nggak kunci, kok." Ani berkata kepada kakeknya. 

Kakek Samad memalingkan wajahnya ke arah Ani dengan beberapa detik, lalu dia memegang daun pintu untuk membuka benda yang menjadi penutup lawang rumah. Seorang cucu yang berada di samping Nek Iyam pun terus merangkulnya. Wajahnya mulai pias dan kondisi suhu tubuhnya menjadi dingin. Alhasil, seorang wanita tua yang sedang sakit itu pun terus dekat cucunya. 

*

Lampu yang menerangi ruangan tengah rumah pun mati, langit-langit tampak mencekam. Seorang wanita yang dekat Nek Iyam pun menjerit dengan apa yang dia lihat. Dia tidak percaya dengan kondisi rumahnya yang mati dan hening. Wanita yang masih remaja itu langsung di peluk oleh Nek Iyam, sedangkan Kakek Samad mengaktifkan kembali tombol 'on' untuk lampu senter yang dia bawa. 

"Nur ... Nur ... Nur ...!" panggil Kakek Samad yang sambil menyorot-nyorot setiap sisi ruangan. "Kamu, di mana, Nak?!" lanjutnya dengan nada yang begitu tinggi. 

"Geulis, ini Emak dan Kakek. Geulis, di mana?!" Nek Iyam pun mencoba untuk memanggilnya. 

Namun, wajah Ani masih terisi oleh air yang keluar dari matanya. Dan tangannya terus menggenggam erat neneknya dengan jalan yang gontai, dia selalu berada di samping seorang wanita tua itu. 

Tiba-tiba saja jantung Kakek Samad serasa ingin copot dan keluar dari dalam tubuh, ketika melihat seorang wanita yang dia panggil-panggil sedang berjongkok di pojok kamarnya. tangan cucunya pun memegang seekor tikus yang bagian isi dalamnya sudah keluar lalu mulutnya penuh dengan darah binatang yang dia makan. Nek Iyam dan Ani yang berada di samping seorang lelaki tua itu pun terbujur kaku, ketika melihat Nur yang di luar dugaan memakan tikus hidup-hidup.

"Nur," lirih Kakek Samad yang tidak percaya dengan penglihatannya. Kemudian, dia mengayunkan kakinya mendekati wanita yang berada di pojok.

"Kakak, stop!" teriak adiknya yang berada di samping Nek Iyam. 

Nur tidak mengiyakan teriakkan sang adik yang begitu keras itu. Mungkin, dia sudah di luar kesadaran dengan sebuah tragedi sesosok hitam, bertubuh besar, sorot matanya memancarkan warna merah, sudah berhasil masuk ke dalam dirinya. Kakek Samad dengan senter yang masih berada di tangannya terus menyoroti aktivitas yang dilakukan cucunya. Nur terus memakan seekor hewan yang sudah mati itu dengan gigitan yang begitu tajam, sampai tulangnya terpisah, darah hewan bercampur dengan air liurnya, dan matanya terlihat sangat puas. Akan tetapi, orang tua yang memakai sarung dililitkan di leher terus mendekat dan menyorot. Kakek Samad dengan rasa yang begitu mendebarkan, dia memberanikan untuk mengambil paksa tikus yang berada di tangan cucunya, lalu dengan sigap langsung dilemparkan ke belakang tubuhnya.

Bab terkait

Bab terbaru

DMCA.com Protection Status