"Ah! Kenapa tidak kepikiran hal itu saja untuk membuktikan perselingkuhan Nina!" seru Rizki bersemangat. Dia lalu segera meraih ponselnya untuk menelepon seseorang.
"Halo..." Terdengar suara berat menyapa dari seberang telepon. "Halo, Adi! Kamu hari ini ngapain?" tanya Rizki. Adi dan Rizki bersahabat sejak SMA sampai sekarang. "Aku sedang nungguin toko. Emang kenapa?" tanya Adi. "Aku mau ke toko kamu sekarang, Di. Tunggu ya. Aku butuh sharing," ujar Rizki. "Hm, oke boleh. Baik, aku tunggu ya?!" "Iya. Oh ya, kamu kok nggak kaget aku sudah pulang dari berlayar dan sekarang sedang di darat?" "Lah, emangnya harus kaget gitu? Aku kan sudah tahu kalau kamu anak buah kapal. Jadi nggak kaget lah kalau kamu datang tak diundang dan pergi tak diantar," ujar Adi tertawa. Di seberang telepon, Rizki juga ikut terkekeh. "Ya sudah, aku mau siap- siap dulu ke toko kamu." "Oke, aku tunggu, Riz. Aku juga penasaran banget kamu mau ngomongin apa," ujar Adi. "Nanti juga tahu sendiri," sahut Rizki lalu mengakhiri panggilan telepon nya. Rizki bergegas membayar sotonya lalu menuju ke kamar Nina. "Aku mau ke tokonya Adi," ujar Rizki lalu meraih jaket dan dompetnya. "Hah? Lalu aku di sini sama siapa?" tanya Nina dengan ekspresi wajah sedih. "Aku cuma sebentar kok ke toko Adi. Sudah ya, aku tinggal dulu." "Tunggu, Mas! Kamu kenapa sih? Nggak kayak biasanya! Kamu biasanya kalau mau pergi me l uk aku dulu. Kenapa sekarang enggak? Terus harus banget ya ke toko nya Mas Adi sekarang? Kalau ada keperluan, kan kamu bisa bertemu dengan mas Adi saat aku sudah pulang dari rumah sakit?” tanya Nina. Rizki menghela napas panjang. "Nin, coba kamu pikir mana ada laki-laki yang mau jika istri nya sudah ti d ur dengan laki-laki lain. Bahkan mungkin bisa saja bukan hanya t id ur dengan satu tapi dengan banyak laki-laki," ujar Rizki. Wajah Nina memerah. "Jangan menuduh ku tanpa bukti, Mas!" "Kamu minta bukti?! Aku akan memberikan kamu bukti setelah ini! Sudah ya, aku pergi dulu. Dan oh ya, kenapa aku lebih memilih ke toko Adi sekarang dan bukan menunggu kamu keluar dari rumah sakit?! Itu urusan ku, Nin! Yang jelas, aku sebenarnya sudah tidak percaya lagi padamu," ujar Rizki sambil ngeloyor pergi. Tak dipedulikannya Nina yang berseru memanggilnya untuk kembali ke kamar. *** Rizki keluar dari mobil nya dan memasuki toko barang elektronik milik Adi. Karena beberapa karyawan Adi sudah mengenal Rizki, maka para karyawan Adi membiarkan Rizki langsung menuju ke ruang pribadi Adi di toko itu. "Pagi, Bro! Eh, ada tamu rupanya," sapa Rizki saat hendak masuk ke ruangan pribadi milik Adi yang berada di lantai dua toko itu. Rizki merasa canggung karena di depan ruangan pribadi milik temannya itu, Adi terlihat me me luk seorang perempuan yang tampak baru saja menangis. "Hei, Bro! Masuk masuk!" Adi mempersilahkan Rizki untuk masuk ke dalam ruangan pribadi nya. Lalu menoleh ke arah perempuan itu. "Masih ada temanku. Kamu pulang dulu ya. Nanti kita bicara kan lagi tentang hal itu," ujar Adi menjentik dagu perempuan itu. Perempuan itu tampak merengut lalu mau tak mau meninggalkan Adi. Adi pun lalu masuk ke dalam ruangannya dan duduk di samping Rizki. "Ada apa ini? Tampaknya sedang suntuk?" tanya Adi seraya meletakkan kopi kalengan dingin di hadapan Rizki. "Hahhh, kamu benar deh waktu bilang tentang pernikahan," ujar Rizki sambil membuka kaleng kopinya. "Kenapa memangnya dengan pernikahan?" tanya Adi bingung. "Hhhhh, istriku selingkuh. Dan aku nggak tahu selingkuhan nya siapa. Bahkan istri ku sampai mengalami penyakit ke la m in. Memang lebih baik nggak menikah ya biar nggak sakit hati," sahut Rizki lemes. "Hah, Nina selingkuh? Kayaknya nggak mungkin! Muka polos kayak dia?" Rizki hanya mengangguk lemah. "Kamu sih nggak akan pernah sakit hati. Kerjaan cuma gonta ganti cewek. Yang ada cewek - cewek itu yang sa kit ha ti sama kamu," ujar Rizki. "Hhhh, aku bilang juga apa, cewek itu gampang dirayu. Diberi perhatian sedikit dan d i tra n s fer dikit juga langsung deh memberikan apa yang kita mau," ujar Adi. Rizki menghela napas panjang. "Lalu apa rencana kamu, Riz?" "Aku mau cari bukti perselingkuhan istri ku agar bisa meng gu gat cerai dia. Karena kalau aku meng gu gat cerai tanpa ada bukti, yang ada aku kehilangan rumah dan mobil." Adi tampak berpikir sejenak. "Kalau menurut ku, kata mu, kamu kan sangat mencintai istrimu. Beri satu kesempatan lagi untuk bertobat. Percayalah Nina nggak akan mengulangi perselingkuhan nya lagi. Laki-laki yang jadi selingkuhan nya istri mu enggak akan mau berhubungan dengan nya lagi," ujar Adi sambil meminum kopi kalengannya. Rizki mengerutkan kening nya. "Darimana kamu tahu kalau selingkuhan Nina tidak akan berhubungan lagi dengan nya? Apa kamu mengetahui sesuatu?" tanya Rizki. Next?Tiga bulan berlalu sejak kematian Nina, Rizki dan Devita mulai mempersiapkan acara resepsi mereka. "Jadi tokonya akan tutup selama berapa hari, Bos?" tanya salah satu karyawan Rizki. "Tiga hari, mulai besok ya."Karyawan Rizki mengangguk. Dia tetap memandang Rizki seperti sedang memikirkan sesuatu. "Bos, hm, sebenarnya saya ingin menyampaikan sesuatu. Tapi takut dan ragu," ujar karyawan Rizki. "Bilang saja, saya sudah jinak kok," sahut Rizki sambil tertawa. "Kemaren saya menjenguk Dedi di penjara. Dia kan dipenjara setahun. Ada bukti bahwa dia hanya melakukan apa yang diperintahkan oleh almarhum mas Adi. Papanya mas Adi pun juga tidak keberatan dengan hukuman itu padahal sudah membuat istrinya meninggal. Karena bapaknya mas Adi bilang ke Dedi kalau bapak nya mas Adi ngerasa bersalah sudah gagal mendidik anak sehingga mengakibatkan orang lain di penjara juga," ujar karyawan Rizki. "Lalu apa hubungannya dengan ku?" tanya Rizki bingung. Dia memandang ke arah Devita yang duduk di s
Fuso itu juga mengerem mendadak agar tidak menabrak mobil Nina, namun terlambat, bemper sebelah kanan fuso itu menyambar mobil Nina, sehingga mobil Nina terdorong ke belakang lima puluh meter dalam keadaan ringsek. "Aaaaa! Mas!" jerit Devita kaget karena melihat tabrakan yang terjadi di hadapan nya. "Ya allah, innalillahi wa innalillahi roji'un! Kamu di sini saja, aku akan melihat siapa korban kecelakaan itu dan memanggil polisi," ucap Rizki sambil mengusap kepala Devita. Rizki bergegas menyebrang jalan. Rupanya bunyi tabrakan yang kencang tadi membuat beberapa warga yang mempunyai rumah di jalanan itu segera keluar dari rumah meskipun pada awalnya masing-masing pintu rumah mereka tertutup karena bersiap tidur. Beberapa orang mulai berkerumun di sekitar mobil Nina dan truk fuso. Dan alangkah terkejutnya Rizki, saat melihat korban yang berada di dalam mobil nahas itu. Tampak tubuh Nina yang bersandar di balik kemudi dalam keadaan terpejam. Bemper mobil depan Nina ringsek dan menje
Nina dengan cepat mengetik nomor yang tertera di poster itu lalu menelepon nya. "Halo, dengan toko Rizki di sini. Ada yang bisa dibantu?"Terdengar suara lelaki ramah di seberang telepon. Nina yang baru saja berganti nomor ponsel sangat yakin jika suara itu adalah suara Rizki, mantan suaminya. "Halo, Kak, saya butuh beberapa cemilan dan bahan makanan untuk ngegrill. Bisa diantar kan ke alamat saya?" tanya Nina. Jantung nya berdebar kencang. Berharap Rizki tidak mengenali suaranya lagi. Di seberang telepon, Rizki terdiam. Dia memang sudah lama tidak berkomunikasi dengan Nina, tapi dia yakin jika suara yang didengar nya saat ini adalah suara Nina, mantan istri nya. 'Wah, sepertinya ini suara Nina. Jangan - jangan dia merencanakan sesuatu pada ku atau Devita,' batin Rizki. 'Sebaiknya aku ikuti saja permainan Nina. Awas saja kalau dia sampai berbuat aneh- aneh pada Devita,' sambung Rizki dalam hati. "Oh, ya. Kami memang melayani pembelian secara COD. Jadi apa saja yang ingin dibeli?
Wajah Rizki terlihat keruh saat bersiap untuk membuka toko. "Kamu kenapa, Yang? Ada masalah? Kok mukanya ditekuk gitu?" tanya Devita. Dia menumpuk piring kotor setelah mereka makan dan mengumpulkannya di dalam wastafel. "Aku baru dapat pesan dari pengacara kalau kasus Nina berhasil saat naik banding di pengadilan. Dan sekarang dia bebas," ujar Rizki sambil menghela napas panjang. Gerakan Devita yang sedang membasuh piring dengan sabun menjadi terhenti. Dia menggigil sesaat. Teringat saat Nina yang menyuruh preman untuk menganggu dan menculiknya. Untung saja waktu itu Rizki berhasil menyelamatkan kehormatan nya. Kalau saja saat itu Rizki telat datang, Devita bahkan tidak berani untuk membayangkan nya. "Aku takut, Mas. Bagaimana kalau Nina mengincar kebahagiaan kita lagi?" tanya Devita terdiam di depan wastafel. Rizki yang hendak menuruni anak tangga untuk ke lantai bawah, membalikkan badan dan memeluk Devita erat. "Aku tidak akan membiarkan Nina mengambil kebahagiaan kita, Yang.
Pengacara nya menghela napas panjang, berpikir sejenak. "Bukan kapasitas saya untuk bicara. Mbak Nina lihat saja sendiri saat pulang nanti, sekarang mbak Nina pulang saja dulu," ujar pengacara Nina. Nina mengangguk, lalu tersenyum dan menoleh sejenak ke arah sel tempat dia dikurung kemarin. Telihat para perundungnya yang menatap Nina dengan rasa kesal. Nina yang tampak kurus dan terlihat dekil karena mengalami penganiayaan di dalam penjara oleh teman satu selnya, menatap ke arah teman- teman satu selnya dengan penuh dendam. Dia lalu mengacungkan jari tengah ke arah mereka, kemudian bergegas pergi. ***"Ini rumah siapa, Pak??" tanya Nina pada pengacara nya. "Ini rumah kamu, mbak Nina," ujar pengacara nya membuat Nina semakin bingung. "Bukan! Rumahku gede, Pak! Bukan kecil seperti ini!" ujar Nina seraya menggelengkan kepalanya. "Masuk saja dulu, Mbak Nina. Ada orang tua kamu di dalam," ujar pengacara nya mempersilahkan. Nina pun berjalan sampai ke arah teras rumahnya, dia lalu m
Devita terbangun saat mencium aroma nasi goreng yang lezat. Dia lantas duduk di ranjang sejenak lalu merenggang kan kedua tangan nya ke atas dan menuju ke kamar mandi. Usai sikat gigi, cuci muka dan berganti pembalut, dia menuju ke dapur yang berseberangan dengan kamar nya dan melihat Rizki yang sedang mengaduk masakannya di wajan. Devita menatap nya dengan takjub. Tampak Rizki menuangkan minyak cabai ke dalam wajan berisi nasi goreng lalu menggoyang - goyangkan pegangan wajannya dengan ahli dan tampak api dari kompor yang menjilat sampai ke wajan. "Wihh, bisa begitu ya?" tanya Devita takjub. Rizki menoleh ke arah istrinya. "Hei, kamu sudah bangun, Yang? Duduk gih, aku sedang memasak sarapan kita. Nasi goreng hitam! Ini pakai aneka seafood dan tinta cumi-cumi lho! Rasa pedas kesukaan kamu!" ujar Rizki tersenyum. Devita terdiam dan menatap sang suami penuh cinta. Bukannya menuruti instruksi suaminya untuk duduk, Devita justru mendekat ke arah Rizki dan memeluk nya dari arah belak
Saat langkah Rizki mendekat ke arah pohon tempat Adi bersembunyi, Adi segera berdiri lalu mengayunkan pisaunya ke arah Rizki. "Hiyaaat! Ma ti kamu, Rizki!" seru Adi sambil membabi buta mengayunkan pisaunya ke arah Rizki. Buaakkh! "Aarrghhh!"Alih - alih bisa melukai Rizki dengan ayunan pisau nya, tangan Adi justru terkena hantaman dahan pohon yang dibawa oleh Rizki. Adi berteriak saat pergelangan tangannya terasa patah terkena hantaman dahan pohon yang dibawa oleh Rizki. Kedua lelaki yang pernah menjadi sepasang sahabat itu pun berhadapan dengan sengit. Adi menggerak - gerakkan tangan kanannya yang terkena hantaman dahan pohon. 'Untung saja tidak patah,' batin Adi. Dia menoleh ke kanan dan ke kiri mencari pisau lipatnya yang terjatuh ke entah dimana. 'Duh, dimana pula pisau ku tadi!? Bagaimana mungkin aku melawan Rizki hanya dengan tangan kosong?' batin Adi panik. Tapi dia tetap berusaha untuk bersikap tenang. "Menyerahlah saja, Di! Bertanggungjawab lah atas segala hal yang te
Warning : Adegan gore! "Mampus saja kamu, Riz!" seru Adi sambil mendorong pisau di tangannya semakin mendekat ke arah perut Rizki dan Rizki pun sekuat tenaga menahan pisau Adi, dan dalam gerakan dorong- mendorong itu, tangan Rizki tanpa sengaja menekuk dan membalikkan arah tangan Adi, sehingga pisau Adi menghujam perut nya sendiri. "Aaarghh!" Adi berseru bertepatan dengan darah yang mengalir dari perutnya. Rizki dan Adi saling mendelik dalam diam. Cengkeraman tangan Rizki melonggar, sehingga genggamannya pada tangan Adi melemah. Adi berdiri terhuyung dan memegangi perutnya yang tertusuk pisau yang dipegangnya sendiri. Rizki membalikkan badannya dan perhatian nya tertuju pada Devita yang sudah terlepas dari tali yang mengikat tangannya dan lakban yang menutup mulut nya. "Mas!" seru Devita menghambur ke arah Rizki. Rizki dan Devita berpelukan dengan berurai air mata. "Kamu nggak apa- apa kan?" tanya Rizki sambil membingkai wajah istri nya dengan cemas. Devita menggeleng. "Alhamd
"Kenapa kamu nggak lapor polisi, Riz?" tanya teman pemilik gym nya dengan prihatin. Rizki menghela napas panjang. "Sudah. Tapi kata polisi harus menunggu 1x24 jam. Kecuali memang ada bukti ancaman."Teman Rizki berpikir sejenak. "Kalau begitu, apa tidak mungkin istri kamu pergi ke rumah temannya? Lalu HP nya rusak, sehingga dia tidak bisa menelepon kamu?" tanya teman Rizki.Rizki menggeleng."Tidak mungkin! Devita sangat hapal nomor HP ku. Jadi kalau dia memang harus menginap di rumah temannya dan HP nya rusak, dia pasti akan meninjam HP temannya untuk menghubungiku," ujar Rizki. "Kalau HP Devita tidak aktif dan dia juga tidak menghubungi ku, berarti kemungkinan nya hanya satu. Istriku sedang dalam bahaya. Kemungkinan dia diculik orang atau sedang dalam bahaya. Aku butuh bantuan kamu dan Falcon," sambung Rizki lagi. Temannya manggut-manggut. "Kita harus menyediakan alat untuk membela diri, Riz," ujar Johan. Dia lalu masuk ke dalam rumah dan membawa keluar semprotan merica, pisau