Share

Bagian 4

Suasana makan malam yang semula menyenangkan, kini berubah canggung. Dikarenakan putri semata wayang Pak Ahmad dan Bu Linda menolak dijodohkan. Bukan tanpa sebab mengapa Embun seperti itu. Mengingat memang sudah bukan zamannya lagi. memaksa anak untuk menikah sesuai pilihan orang tua. Hatinya tengah mendambakan seorang pemuda yang ia kenal sejak semester awal.

“Embun boleh menolak?” sekali lagi ia bertanya dengan nada pelan.

Pertanyaan itu tidak langsung dijawab. Linda dan Ahmad justru saling tatap seakan melakukan telepati. Memikirkan bagaimana putri mereka setuju dan memahami bahwa ini demi kebaikannya sendiri. Wanita paruh baya itu menaruh sendok dan meraih tangan Embun untuk diusap. Kebiasaan sang ibu ketika hendak menjelaskan sesuatu agar putrinya mengerti.

“Nak, kami tahu kalau kamu sudah cukup dewasa untuk memilih pasangan hidupmu. Mama sama papa cuma jadi perantara, mengenalkan. Setidaknya temui, kenalan dulu, siapa tahu cocok. Kalau tidak, ya sudah… belum jodoh namanya.”

Lengang sejenak. Embun menatap sendu, “kalau cuma kenalan, kenapa sudah nentuin tanggal nikah?”

Pertanyaan itu sontak membuat Linda menyikut lengan suaminya. Pria paruh baya dengan alis tebal hanya bisa tertawa canggung. “Maaf, Papa terlalu semangat waktu ngebahasnya.”

“Papa bahas sama teman yang mana? Bukannya teman papa maupun mama rata-rata sudah menikah anaknya?”

Hubungan antara Embun dengan kedua orang tuanya sangat dekat. Tidak ada yang mereka tutup-tutupi selain masalah kerjaan dan ekonomi. Linda dan Ahmad sudah sepakat untuk tidak membahas permasalahan itu di depan Embun, baik sejak dia kecil maupun sudah dewasa. Agar putri mereka dapat tumbuh tanpa harus ikut memikirkan beban kedua orang tuanya. Mereka selalu membiasakan diri untuk berkabar jika telat pulang maupun pergi. Kedekatan keluarga ini membuat satu sama lain mengenal baik teman masing-masing.

Ahmad berdehem sambil menegak air mineral sebelum menjawab. “Papa punya teman yang sudah lama lost contact. Kamu tidak akan tahu, karena belum pernah ketemu.”

“Terus karena terlalu semangat reuni, Papa jadi main jodohkan putrinya, begitu?” sebenarnya nada suara Embun santai. Tapi cukup membuat sang ayah keringat dingin. Pak Ahmad paling tidak mau berurusan dengan putrinya ketika marah.

“Teman papamu itu tidak berhenti membanggakan putranya yang seorang polisi. Kau tahu sendiri bagaimana papamu ini. Tidak mau kalah saing, jadilah dia ikut membanggakanmu di depan temannya itu. Karena saling pamer anak masing-masing, muncullah ide saling menjodohkan anak satu sama lain. Katanya biar bisa jadi besan.” Linda segera menyahut menimpali agar suasana tidak semakin canggung.

Sayangnya penjelasan dari sang ibu tidak meluluhkan hati putrinya. Justru bibir Embun semakin maju. Ia tetap tidak ingin dijodohkan, terlebih setelah tahu calon suaminya pria berseragam. Belum apa-apa gadis itu sudah membayangkan setinggi apa ego sang pria. Embun tidak suka dengan pria yang omongannya tinggi. Tidak juga suka pada pria kaku seperti kanebo kering.

“Aduh, jauh-jauh deh!” tiba-tiba Embun berseru saat isi kepalanya semakin kalut. “Embun paling tidak bisa berhadapan dengan pria menyebalkan seperti itu!”

“Loh, loh, loh? Memangnya kamu kenal dengan calon suamimu?” Ahmad bertanya setengah kaget. Seingatnya ia bahkan belum memberitahukan siapa nama laki-laki itu.

“Anak teman, Pah! Bukan calon suami.” Embun menyergah cepat, “belum kenal saja, Embun sudah kebayang gimana angkuhnya dia saat nanti bertemu.”

Linda menggelengkan kepala melihat sikap keras kepala putrinya. Tidak tahu harus bagaimana membujuknya, ia memilih mengeluarkan selembar foto. Mungkin dengan melihat lebih dulu potret laki-laki yang dijodohkan dengannya. Dapat meluluhkan sedikit kepala batu putrinya dan mau mencoba bertemu. Soal ia mau menikah atau tidak, bisa dipikirkan belakangan.

“Mama tidak pernah mengajarimu untuk menilai seseorang dari bentuk luarnya saja. Apa lagi hanya bermodalkan asumsi tidak jelas. Sekarang coba kamu lihat dulu wajahnya, siapa tahu berubah pikiran. Mama tahu kalau yang seperti ini tipemu.”

“Ih, Mama sok tahu!” Embun mendelik tidak terima.

Sang ayah ikut menimpali, “kalau kamu lihat aslinya, lebih ganteng. Mirip Lee Min Ho!”

“Memang papa tahu, Lee Min Ho kayak gimana?” gelengan kepala dari sang ayah membuat Embun tertawa. “Kalau dia seganteng dan sekaya Siwon, bolehlah Embun pikir-pikir lagi.”

Meski dengan niat ogah-ogahan, akhirnya Embun mengambil selembar foto di atas meja. Dilihatnya seorang pemuda berkulit sedikit gelap dengan rahang tegas. Matanya tajam sehitam jelaga dengan rambut dipangkas pendek. Ia memiliki tahi lalat di dagu bagian kiri bawah. Jujur saja, pemuda ini memang tampan dan berkarisma. Tapi ada satu hal yang membuat bola mata Embun hampir meloncat keluar.

“Ka, Kak Adzriel? Mama sama Papa mau menjodohkan Embun dengan Kak Adzriel?” untuk memastikan, gadis itu bertanya sambil melihat kedua orang tuanya.

“Iya, apa kamu mau, nak?”

Untuk pertanyaan kali ini, tidak butuh waktu lama menjawabnya.

“Embun mau, Mah!”

.

.

.

Continue…

Related chapters

Latest chapter

DMCA.com Protection Status