Suasana makan malam yang semula menyenangkan, kini berubah canggung. Dikarenakan putri semata wayang Pak Ahmad dan Bu Linda menolak dijodohkan. Bukan tanpa sebab mengapa Embun seperti itu. Mengingat memang sudah bukan zamannya lagi. memaksa anak untuk menikah sesuai pilihan orang tua. Hatinya tengah mendambakan seorang pemuda yang ia kenal sejak semester awal.
“Embun boleh menolak?” sekali lagi ia bertanya dengan nada pelan.Pertanyaan itu tidak langsung dijawab. Linda dan Ahmad justru saling tatap seakan melakukan telepati. Memikirkan bagaimana putri mereka setuju dan memahami bahwa ini demi kebaikannya sendiri. Wanita paruh baya itu menaruh sendok dan meraih tangan Embun untuk diusap. Kebiasaan sang ibu ketika hendak menjelaskan sesuatu agar putrinya mengerti.“Nak, kami tahu kalau kamu sudah cukup dewasa untuk memilih pasangan hidupmu. Mama sama papa cuma jadi perantara, mengenalkan. Setidaknya temui, kenalan dulu, siapa tahu cocok. Kalau tidak, ya sudah… belum jodoh namanya.”Lengang sejenak. Embun menatap sendu, “kalau cuma kenalan, kenapa sudah nentuin tanggal nikah?”Pertanyaan itu sontak membuat Linda menyikut lengan suaminya. Pria paruh baya dengan alis tebal hanya bisa tertawa canggung. “Maaf, Papa terlalu semangat waktu ngebahasnya.”“Papa bahas sama teman yang mana? Bukannya teman papa maupun mama rata-rata sudah menikah anaknya?”Hubungan antara Embun dengan kedua orang tuanya sangat dekat. Tidak ada yang mereka tutup-tutupi selain masalah kerjaan dan ekonomi. Linda dan Ahmad sudah sepakat untuk tidak membahas permasalahan itu di depan Embun, baik sejak dia kecil maupun sudah dewasa. Agar putri mereka dapat tumbuh tanpa harus ikut memikirkan beban kedua orang tuanya. Mereka selalu membiasakan diri untuk berkabar jika telat pulang maupun pergi. Kedekatan keluarga ini membuat satu sama lain mengenal baik teman masing-masing.Ahmad berdehem sambil menegak air mineral sebelum menjawab. “Papa punya teman yang sudah lama lost contact. Kamu tidak akan tahu, karena belum pernah ketemu.”“Terus karena terlalu semangat reuni, Papa jadi main jodohkan putrinya, begitu?” sebenarnya nada suara Embun santai. Tapi cukup membuat sang ayah keringat dingin. Pak Ahmad paling tidak mau berurusan dengan putrinya ketika marah.“Teman papamu itu tidak berhenti membanggakan putranya yang seorang polisi. Kau tahu sendiri bagaimana papamu ini. Tidak mau kalah saing, jadilah dia ikut membanggakanmu di depan temannya itu. Karena saling pamer anak masing-masing, muncullah ide saling menjodohkan anak satu sama lain. Katanya biar bisa jadi besan.” Linda segera menyahut menimpali agar suasana tidak semakin canggung.Sayangnya penjelasan dari sang ibu tidak meluluhkan hati putrinya. Justru bibir Embun semakin maju. Ia tetap tidak ingin dijodohkan, terlebih setelah tahu calon suaminya pria berseragam. Belum apa-apa gadis itu sudah membayangkan setinggi apa ego sang pria. Embun tidak suka dengan pria yang omongannya tinggi. Tidak juga suka pada pria kaku seperti kanebo kering.“Aduh, jauh-jauh deh!” tiba-tiba Embun berseru saat isi kepalanya semakin kalut. “Embun paling tidak bisa berhadapan dengan pria menyebalkan seperti itu!”“Loh, loh, loh? Memangnya kamu kenal dengan calon suamimu?” Ahmad bertanya setengah kaget. Seingatnya ia bahkan belum memberitahukan siapa nama laki-laki itu.“Anak teman, Pah! Bukan calon suami.” Embun menyergah cepat, “belum kenal saja, Embun sudah kebayang gimana angkuhnya dia saat nanti bertemu.”Linda menggelengkan kepala melihat sikap keras kepala putrinya. Tidak tahu harus bagaimana membujuknya, ia memilih mengeluarkan selembar foto. Mungkin dengan melihat lebih dulu potret laki-laki yang dijodohkan dengannya. Dapat meluluhkan sedikit kepala batu putrinya dan mau mencoba bertemu. Soal ia mau menikah atau tidak, bisa dipikirkan belakangan.“Mama tidak pernah mengajarimu untuk menilai seseorang dari bentuk luarnya saja. Apa lagi hanya bermodalkan asumsi tidak jelas. Sekarang coba kamu lihat dulu wajahnya, siapa tahu berubah pikiran. Mama tahu kalau yang seperti ini tipemu.”“Ih, Mama sok tahu!” Embun mendelik tidak terima.Sang ayah ikut menimpali, “kalau kamu lihat aslinya, lebih ganteng. Mirip Lee Min Ho!”“Memang papa tahu, Lee Min Ho kayak gimana?” gelengan kepala dari sang ayah membuat Embun tertawa. “Kalau dia seganteng dan sekaya Siwon, bolehlah Embun pikir-pikir lagi.”Meski dengan niat ogah-ogahan, akhirnya Embun mengambil selembar foto di atas meja. Dilihatnya seorang pemuda berkulit sedikit gelap dengan rahang tegas. Matanya tajam sehitam jelaga dengan rambut dipangkas pendek. Ia memiliki tahi lalat di dagu bagian kiri bawah. Jujur saja, pemuda ini memang tampan dan berkarisma. Tapi ada satu hal yang membuat bola mata Embun hampir meloncat keluar.“Ka, Kak Adzriel? Mama sama Papa mau menjodohkan Embun dengan Kak Adzriel?” untuk memastikan, gadis itu bertanya sambil melihat kedua orang tuanya.“Iya, apa kamu mau, nak?”Untuk pertanyaan kali ini, tidak butuh waktu lama menjawabnya.“Embun mau, Mah!”...Continue…Setiap melihat kalender, semakin Adzriel gugup. Sampai saat ini dia belum juga mendekati Embun. Melihatnya saat di kantin dan di taman selalu lebih dari cukup baginya. Sungguh, pemuda itu baru sadar betapa pengecutnya dia. “Tidak bisa! Aku harus dapat nomornya sebelum wisuda.” Adzriel memantapkan diri saat duduk sendiri di taman. Percobaan pertama dia lakukan di kantin. Meski banyaknya orang disana sedikit membuat ragu. Adzriel mencoba menguatkan diri. Sudah sepuluh menit sebelum bel istirahat dia menunggu. Ketika melihat kantin mulai ramai, mata sehitam jelaga menyisir sekitar. “Embun, mau makan siang apa?”Adzriel sontak mencari suara yang menyapa Embun. Ia menemukannya tidak jauh darinya. Sekitar tiga meja. Adzriel sontak berdiri, membuat kaget beberapa orang di sekitarnya. Ia menunduk pelan, meminta maaf.“Hei, kita bertemu lagi.” Adzriel bergumam pelan, mengulang kata seperti mantra.Langkah semakin dekat, degup jantung kian menderu. Adzriel merasa keringat dingin turun di pel
Ini sudah yang kedua kalinya, mata sehitam jelaga mengunci sosok seorang gadis.Embun Kinanti, nama penolongnya.Entah ini disebut beruntung atau apes. Adzriel baru mengetahui keberadaan Embun sangat terlambat. Tidak lama lagi dia akan wisuda. Belum lagi perbedaan tingkatan mereka. Tidak banyak waktu untuk mendekatinya. “Ini yang kamu minta, Riel.”Seorang pemuda bertindak mencurigakan. Memakai pakaian tertutup sambil celingak-celinguk. Sudah mirip pengedar narkoba. Bedanya barang yang sedang dia selundupkan berupa secarik kertas kecil. Adzriel menerimanya dengan kening berkerut. Agak heran dengan tingkah ajaib temannya. Padahal dia hanya meminta tolong sesuatu. Tapi tingkahnya sudah seperti informan paling berbahaya dan dicari.“Lepaskan topimu!” kata Adzriel jengkel. Ia menyambar topi yang menutupi kepala temannya. Pria bermata sipit itu kaget, sontak mengambil kembali topinya. “Eh! Jangan! Nanti ketahuan lagi kalau aku yang bocorin jadwal adik tingkat. Mau ditaruh dimana wajah
“Selamat datang di Toko Florist, jenis buket seperti apa yang diinginkan, Kak?”Mata sehitam jelaga melirik sekeliling. Aroma lembut dan wangi bunga memenuhi indra penciumannya. Adzriel mengerutkan kening, tidak tahu harus memilih apa.“Bisa rekomendasikan buket untuk permintaan maaf? Padukan dengan warna ungu dan putih.” Ucap Adzriel setelah terdiam.“Baik, mohon ditunggu Kak.”Adzriel mengangguk singkat, lantas duduk di kursi tunggu yang sudah disediakan. Semburat merah terlihat samar di telinga akibat menahan malu.Ia agak malu pada dirinya sendiri. Berbekal pengetahuan selama mengamati Embun setahun pernikahan. Hanya informasi kecil inilah yang dia ketahui.Tiga puluh menit kemudian.“Terima kasih telah menunggu. Ini buket pesanannya, Kak.”Sebuah buket berukuran sedang dengan paduan ungu dan putih sesuai permintaan siap dibawa. Adzriel menatap sejenak, ia tidak tahu banyak soal bunga.Seharusnya ini indah, bukan? Batinnya meragu. “Terima kasih, simpan saja kembaliannya.” Usai me
Keadaan Universitas saat malam hari cukup sepi. Mengingat jam memang sudah menunjukan pukul dua belas malam. Lampu-lampu taman sebagian dibiarkan padam. Begitu pula dengan pencahayaan di lorong kampus. Penjaga kampus hari ini ada dua orang yang berjaga. Satu duduk memantau CCTV di ruang kendali. Satu lagi melakukan patroli setiap beberapa jam. Memutari tiap sudut bangunan luas berlantai tiga. Satpam di ruang kendali mengawasi tiap layar komputer ditemani secangkir kopi hitam. Setiap beberapa menit sekali, layar akan berkedip. Memperlihatkan kondisi sekitar kampus secara bergantian. Sementara itu koleganya sudah sejak tadi berpatroli di lantai dua bagian barat.Pada kamera pengawas bernomor tiga yang menunjukan area taman kampus bagian belakang. Terdapat pergerakan cepat tepat ketika layar berkedip cepat. Sehingga luput dari mata pengawas penjaga malam itu. Embun menyelinap masuk ke dalam kampus. Melompati pagar setinggi satu meter dengan mudah. Saat ini ia memakai pakaian serba hit
Embun dan Merry sibuk mengatur strategi demi menjebak pelaku perundungan bersama teman-temannya. Matahari sudah tumbang ke sisi barat ketika selesai dan mereka keluar dari cafe.Sebelum mereka menjalankan rencana. Selama beberapa hari ini Embun sibuk berkeliling kampus. Berpura-pura mengerjakan tugas, membawa laptopnya ke setiap sudut kampus. Terkadang hanya duduk, menikmati makan siang sementara matanya mengawasi. Mencari titik-titik CCTV terpasang dan di mana yang tidak. Embun datang ke rumah Merry. Mengeluarkan sebuah kertas berisi denah kampus. Saking detailnya sudah seperti cetak biru asli milik kampus. Ini tentunya mengundang rasa penasaran Merry. “Kamu tidak perlu tahu, Mer. Fokus saja pada rencana kita,” itulah jawaban Embun ketika ditanya. Embun menunjuk salah satu titik, letaknya berada di belakang kampus. Tempatnya tidak ramai, Embun sudah memastikannya. Di sanalah mereka akan memasang perangkap. ***“Kau siap, Mer?” suara Embun terdengar pada earphone yang Merry kenaka
Saat itu Embun baru saja menjadi mahasiswa baru di Universitas yang ada di Jakarta. Tidak jauh dari rumah, sehingga cukup pulang pergi dengan transportasi umum. Tidak perlu nge-kost ataupun cari kontrakan tiga petak. Dengan begitu ia bisa sedikit menurunkan kekhawatiran orang tuanya.Selain itu, Embun sudah berjanji pada sang ibu.“Tidak ada party, tidak ada trik sulap, dan tidak ada segala jenis, macam, bentuk aksi hobimu itu.”Embun sontak buka mulut, hendak protes tidak terima. Sayangnya kalah cepat dari Linda. Wanita paruh baya itu segera menambahkan lagi, setengah mengancam. “Kalau kamu masih bandel juga, biar Mama buang semua peralatan hobimu itu!”“Eh, jangan atuh, Mah! Bun belinya penuh perjuangan itu, mana harus nabung setengah tahun…”Mama melengos tidak peduli, sambil bersedekap dada. Matanya mendelik tajam, “janji dulu!” katanya menuntut. “Iya Bun janji. Embun janji tidak banyak tingkah selama kuliah. Embun hiatus dari segala jenis kegiatan hobi dan fokus belajar. Sudah,