Share

Bagian 7

Mentari sudah tumbang digantikan rembulan saat pintu kamar utama dibuka. Adzriel keluar dari kamar terlihat lebih segar, rambutnya agak basah tanda habis keramas. Ia memakai kaos polos dan celana training hitam. Embun yang berada di ruang keluarga sedang menonton, sontak berdiri. Ia menghampiri suaminya, senyuman manis terpatri di wajah.

“Kak Riel pasti lapar, Embun sudah siapkan makan malam kesukaan kamu.”

Mata sehitam jelaga menatap tajam, lalu melengos, “saya makan di luar.” katanya mengejutkan Embun. 

“Tapi aku sudah masak loh, Kak. Sayang makanannya, nanti nangis lagi.” Embun berusaha membujuk, meski rayuannya lebih mirip kata-kata seorang ibu kepada anaknya. “Kata ibu, Kak Riel suka minum teh jahe selepas makan malam. Embun sudah siapkan seteko juga untuk temani Kak Riel bersantai di teras rumah.” selain suaranya yang lembut dan santun, Embun juga coba membujuknya dengan memegang lengan Adzriel. 

Tapi baru sedetik ia menyentuh lengan, Adzriel segera menepis tangan Embun. Raut wajah pemuda itu mengeras, bersama sorot mata penuh kebencian. Embun tersentak, jantungnya terasa berhenti berdetak dan tubuhnya menegang. Tanpa sadar ia menurunkan pandangan, menunduk takut. Sama sekali tidak mengerti letak kesalahannya dimana, atau alasan mengapa pria di depannya ini begitu menaruh benci padanya. 

“Saya bukan anak kecil, kamu tidak perlu mengurus saya.” suara berat bernada rendah itu terdengar menyeramkan di telinga Embun.

“Ta-tapi sudah tugas istri melayani suami. Embun memang seharusnya menyiapkan semua keperluanmu, Kak.” ucapnya sedikit terbata.

Adzriel mendengus kesal, membuat sang istri kembali tersentak. Ia memberikan lirikan tajam meski Embun tidak melihatnya. “Kalau tugasmu hanya melayani, saya bisa mempekerjakan asisten rumah tangga. Tidak perlu sampai menjadikanmu istriku. Lagi pula kita menikah karena dipaksa oleh orang tua kita. Untuk apa kamu masih berusaha menjadi istri yang baik?”

“Embun tidak terpaksa menikah denganmu, Kak.” sergahnya cepat. Matanya berkilat menahan goresan luka di hati. “Bukannya Kak Riel sudah tahu jawabannya? Saat Embun meminta Kakak bersikap lembut di malam pernikahan kita.”

Sejenak lengang saat dua pasang mata saling bersitatap. Adzriel memutuskan kontak mata dengan berpaling. “Saya tidak percaya, kita bahkan hanya bertemu satu kali saat perkenalan. Empat tahun dari mana? Omong kosong!” sinisnya sambil berlalu.

“Kak Riel!” panggilnya dengan suara serak.

Pemuda itu menghiraukan istrinya, ia melangkah menuju pintu depan. Saat sudah setengah membuka pintu, ia menoleh. “Segera pindah ke kamar sebelah, saya tidak mau sekamar denganmu. Jangan harap kejadian malam itu terulang lagi.”

Pintu ditutup dengan sedikit dibanting. Membuat rumah berlantai dua bergema. Embun menarik napas panjang, dadanya berdenyut nyeri. Ia tidak berbohong, seperti kata-katanya saat malam pertama. Relung hati milik Embun Kinanti sudah empat tahun lamanya menyimpan rasa pada sang suami. Setitik air mata jatuh tanpa bisa dicegah. Embun sontak menyeka pipi dengan punggung tangan. Menolak menangis.

Perasaan ini bukanlah cinta monyet. Meski Embun akui benih itu tertanam sejak pertama kali mereka bertemu. Namun kebun hati miliknya tidak sengaja tumbuh seperti bunga liar tanpa perawatan khusus. Melainkan memang dirawat sepenuh hati agar kelak mekar dengan indah.

“Kak Riel tidak tahu, sesulit apa aku menjaga hati ini setelah kau pergi.” Embun menyeka pipi, mencoba menghentikan hujan di wajahnya. Meski ia tahu memang seberat itu mencintai seorang diri, terluka saat perasaannya tidak terbalas. Namun wanita itu tidak bisa begitu saja melepas rasa yang ia simpan.

Satu tahun yang singkat penuh arti. Sebelum beberapa tahun belakangan ini hati dan logika saling berperang. Lubuk terdalam ingin menjaga kebun bunganya, sementara akal sehat meminta agar dicabut hingga ke akar. Perang batin yang tidak berkesudahan hingga takdir turun membawa berita. Kenyataan bahwa kini ia menjadi istri Adzriel seakan bagai mimpi di siang bolong. 

Masih jelas ingatan Embun ketika mereka bertemu lagi setelah sekian lama. Pertemuan antara dua keluarga demi membahas perjodohan. Di sebuah restoran masakan jawa, mereka duduk saling berhadap-hadapan. Obrolan para orang tua saat itu masuk telinga kanan keluar ke telinga kiri, alias tidak didengar. Netra gadis itu sudah terpaku pada Adzriel seutuhnya.

“Ternyata kita satu almamater, beda fakultas.” sampai suara pemuda itu menyadarkan Embun. 

Rupanya pemuda itu tidak mengenal ataupun mengingatnya. Adzriel bahkan baru tahu kalau mereka pernah satu kampus. Embun tersenyum getir dan menelan pahit. Nyatanya selama satu tahun memang hanya dirinya yang jatuh cinta seorang diri. Pertemuan penuh kesan itu ternyata tidak cukup penting untuk diingat oleh sang pria. Meski begitu Embun mana mungkin melewatkan kesempatan ini. 

Embun menepuk kedua pipi, menarik diri dari ingatan masa lalu. Kini perasaan sedih itu telah lenyap, berganti menjadi tekad. Ia akan berusaha mendapatkan hati suaminya. Tidak mengapa jika butuh waktu lama dan tenaga demi melunakan hati keras suaminya. Embun percaya bahwa kelak rumah tangga mereka akan manis pada waktunya dan bukankah lebih romantis jika menjalin cinta setelah menikah?

.

.

.

Continue… 

Bab terkait

Bab terbaru

DMCA.com Protection Status