Share

Bagian 6

Kereta besi berwarna biru langit berhenti di sebuah rumah berlantai dua. Salah satu rumah di komplek perumahan cluster di daerah Jakarta Barat. Embun turun dari kursi penumpang, disusul supir taksi membantu menurunkan barang bawaan. Setelah bayar ongkos dan mengucapkan terima kasih, Embun menyeret koper memasuki halaman rumah. Rumah ini adalah hadiah pernikahan dari orang tua Adzriel. Betapa bersyukurnya gadis itu saat mendengarnya di acara lamaran waktu lalu.

Menggunakan kunci cadangan, Embun membuka pintu depan. Ia melangkah masuk sambil menatap kagum desain rumah yang minimalis dan elegan. Siapa sangka gaya rumah ini sesuai seleranya yang menyukai tipe LDk. Walau bedanya ada beberapa sekat di antara dua area. Tetapi itu tidak mengurangi rasa senangnya dan malah semakin menyukai rumah barunya. 

Embun berjalan menuju kamar utama, letaknya ada di samping ruang tengah. Wanita itu membuka pintu, masuk dan segera membuka koper. Ia harus secepatnya selesai beres-beres, merapikan semua pakaiannya. Embun bergerak gesit, mulai sibuk memasukan baju di lemari. Ia juga membuka kardus berisikan pakaian Adzriel yang memang sudah dikirimkan ke sana jauh-jauh hari. Setelah selesai, Embun lanjut bersih-bersih rumah. Mulai dari menyapu, mengepel, memastikan tidak ada debu setitikpun. 

Tidak terasa waktu sudah menunjukan pukul empat sore. Embun sudah selesai bersih-bersih dan rumah juga tercium aroma citrus yang menyegarkan. Dilanjutkan dengan membersihkan diri, wanita itu berencana pergi ke supermarket terdekat untuk belanja kebutuhan dapur.

Embun mendorong kereta dorong di area sayur-sayuran. Ia membeli kebutuhan sayur menggunakan kartu yang ditinggalkan Adzriel di atas nakas kamar hotel. Sebuah note berwarna kuning dengan tulisan tangan suaminya. Pria itu memberitahu bahwa Embun bisa menggunakan kartu debit itu sesuka hati. Karena itu ia memakainya untuk belanja bulanan, mengisi kulkas di rumah. Supaya nanti ketika Adzriel pulang, lelaki itu akan memuji dirinya karena melihat rumah sudah bersih, dan makanan sudah siap di meja.

Selama berbelanja, sesekali Embun mengecek ponsel. Siapa tahu, ada pesan masuk dari Adzriel. Walau nyatanya meski sudah sampai di rumah dan selesai membuat makan malam, tidak kunjung ada balasan. Embun menaruh piring di meja makan, semua sudah siap disajikan. Wanita itu duduk dan mengeluarkan ponsel, berpikir sejenak sebelum memberanikan diri kembali mengirim pesan. 

Ka Riel, kapan pulang? Embun sudah siapkan makanan kesukaan Kak Riel, Loh! —terkirim.

Satu jam berlalu menjadi dua jam. Masih tidak ada balasan maupun status terbaca. Sekali lagi Embun mengirim pesan. 

Kak Riel sudah makan? Kalau belum, nanti kita makan sama-sama yah. Embun juga belum makan supaya bisa makan bareng Kak Riel, —terkirim.

Sekali lagi dua jam berlalu hingga jam di dinding menunjukan pukul sebelas malam. Sudah empat jam lebih Embun menunggu. Perutnya sudah berbunyi sejak tiga jam lalu, tetapi ia abaikan dan menahannya. Tepat pukul setengah dua belas, satu notif muncul di layar ponsel. Embun membuka ponsel dengan hati berdebar, gugup dan tegang. Saat nama Adzriel tertera di layar, senyuman manis merekah begitu saja. 

Saya tidak pulang sampai tiga hari kedepan, —terbaca.

Embun sontak bersandar di punggung kursi, menghela napas kecewa. Ia menaruh ponsel sambil memasang wajah cemberut. Meski perutnya sudah lapar sejak tadi, napsu makannya hilang bersama pesan masuk dari Adzriel. Tapi jika tidak dimakan, mubazir juga. Alhasil ia beranjak mengambil piring dan nasi, kemudian makan seorang diri. Masakan yang dibuat sambil membayangkan senyum Adzriel begitu menyantap seharusnya lezat. Sayangnya ia harus susah payah menelan tiap sendok nasi di mulutnya. 

Tiga hari berlalu dengan cepat sekaligus terasa lama. Akhirnya suara mobil masuk garasi rumah terdengar. Embun berlari dari arah dapur menuju teras, siap menyambut kedatangan suami. Kereta besi keluaran Jepang, Honda BRV putih terparkir rapi. Sedetik kemudian, Adzriel keluar dari mobil dengan wajah kusut dan kantung mata tebal. Sepertinya ia beberapa hari ini tidak tidur, lembur mungkin. 

Embun yang khawatir dengan kondisi suaminya segera menghampiri. “Kak Adzriel mau langsung tidur, atau makan dulu? Embun bawain tas dan bajunya, yah.” katanya sambil mengulurkan tangan dan mengambil tas serta seragam di bahu Adzriel.

“Saya mau istirahat,” jawab Adzriel tanpa melihat wajah Embun. Ia berjalan memasuki rumah dan langsung pergi ke kamar utama dan menutup pintu. 

Debaran jantung Embun kian bertalu, ia senang dapat melihat Adzriel. Setelah beberapa hari tidak bertemu, akhirnya ia bisa melakukan tugasnya sebagai istri. Embun segera menaruh pakaian kotor suaminya ke mesin cuci. Kemudian ia menyiapkan Air Humidifier Aroma terapi untuk diletakan di kamar. Berharap aroma terapinya mampu memberikan rasa rileks dan menghilangkan letih sang suami. Embun membuka pintu pelan-pelan, tidak ingin membangunkan Adzriel.

Sebelum ia menutup pintu, Embun kembali melihat sekali lagi wajah suaminya. Sedikit tidak tega melihat gurat lelah dan letih di wajah Adzriel. Mungkin menyajikan makan malam kesukaan Adzriel dan teh jahe akan membantu meningkatkan mood suaminya. Embun tersenyum tipis, segera menutup pintu kamar dan menuju dapur untuk masak. 

.

.

.

Continue…

Bab terkait

Bab terbaru

DMCA.com Protection Status