Share

10. CINTA PERTAMA

“Apakah kau melihat saputangan hanyut di sekitar sungai ini?” tanya gadis itu padanya.

Yu Ping tak mampu menjawab, ia takut begitu bibirnya terbuka, jantungnya ikut meloncat keluar karena berdetak terlalu kencang.

Si makhluk cantik melambaikan tangan di depan mata Yu Ping, “Kau tidak apa-apa?”

Yu Ping ingin menjawab namun lidahnya terasa kelu, hanya bibirnya saja yang mengepak terbuka seperti ikan mencari oksigen di permukaan air.

“Oh kau gagu ya?” tatapan gadis itu berubah menjadi iba padanya.

Mata Yu Ping membeliak, ia menggoyang-goyangkan kedua tangan.

“Kau tidak melihat saputanganku, ya sudah tak apa-apa!” bibir si cantik tersenyum sangat manis.

Saat gadis bergaun merah muda itu melambaikan tangan dan berbalik pergi, ia tak pernah menyadari telah membawa sekeping hati Yu Ping bersamanya.

Yu Ping masih tak mempercayai bahwa ia bertemu dengan manusia bukannya hantu.

Bahkan sesampainya di pondok, ia sibuk menjemur saputangan yang ditemukannya dan memandangi secarik kain tersebut tak puas-puas seakan benda itu mewakili pemiliknya.

Ketika Wu Xian datang membawakan makan malam, ia mengamati perubahan sikap Yu Ping dari seorang yang ceria menjadi pemurung dan suka melamun.

Bocah laki-laki yang beranjak dewasa itu makan tanpa semangat, matanya menerawang ke langit-langit pondok yang terbuat dari rumbia.

“Kau ini melamun apa? Mengapa dari tadi tidak bersemangat?” tegur Wu Xian.

Yu Ping menggeleng lesu, namun tiba-tiba ia teringat sesuatu lalu memandang pamannya dengan tatapan manis penuh perhatian.

“Paman Wu Xian yang baik hati.”

Wu Xian sedang menyumpit sayur di mangkuknya ketika melirik dengan curiga ke arah Yu Ping, “Hmm?”

“Apakah Paman tahu ada gadis yang tinggal di sekitar gunung ini?”

“Gadis yang mana?” Wu Xian memasang wajah bodoh.

“Gadis seumuranku, sepertinya hanya dia satu-satunya perempuan di daerah sini!” sahut Yu Ping penuh semangat.

Wu Xian tersenyum mendengar penuturan Yu Ping, membuat si bocah menjadi malu.

“Paman, mengapa tidak menjawab malah mentertawakanku?” bibir Yu Ping mengerucut.

“Jadi perubahan sikapmu ini karena memikirkan gadis cantik ya?” Wu Xian terkekeh melihat wajah Yu Ping berubah merah seperti kepiting rebus.

“Paman akan beritahu atau tidak? Kalau tidak, aku tidak mau makan!” Yu Ping merajuk. Ia meletakkan sumpit di tangan ke atas mangkuk nasinya dengan bibir masih cemberut.

“Tentu saja Paman tahu siapa dia,” Wu Xian tersenyum geli ketika wajah Yu Ping berubah dari cemberut menjadi penuh rasa ingin tahu. Punggungnya tegak, kedua siku di atas meja, dan mata berbinar-binar siap mendengarkan.

“Paman akan memberitahu asal dengan satu syarat!”

“Aduh Paman, aku pasti melakukan apapun yang Paman minta asal Paman ceritakan padaku siapa gadis itu!” tukas Yu Ping tak sabar.

“Baik, janji laki-laki sejati?”

“Janji laki-laki sejati!” Yu Ping mengangguk mantap.

“Nama gadis itu, Qing Ning. Dia adalah salah satu penghuni gedung Hoa San.”

“Qing Ning?” Yu Ping menyebut nama indah tersebut dengan penuh perasaan sambil membayangkan wajah jelita sang gadis.

“Tapi mengapa ia tak memakai baju seperti Paman?”

“Dia adalah cucu ketua perguruan Hoa San, tentu saja perlakuannya agak berbeda. Hoa San tak pernah menerima murid wanita. Namun karena kedua orang tua Qing Ning meninggal sewaktu gadis itu masih sangat kecil, maka ia diizinkan tinggal di sini sampai sekarang.”

“Kasihan sekali,” gumam Yu Ping turut sedih. Ternyata nasib Qing Ning tak sesempurna wajahnya, tak ada beda dengan dirinya.

“Kau sedang jatuh cinta dengan cucu ketua Hoa San,” kata-kata paman Wu Xian mengejutkannya. Jatuh cinta? Apa pula itu?

“Apa itu jatuh cinta, Paman?” tanyanya polos.

“Perasaan senang, sedih, rindu, dan benci menjadi satu itulah perasaan jatuh cinta.”

Yu Ping tersenyum, kalau benar ia jatuh cinta, maka Qing Ning adalah cinta pertamanya.

“Tetapi kau juga harus hati-hati dengan cinta. Karena dari cinta timbul kesedihan, dan dari cinta timbul ketakutan.”

Yu Ping mendengarkan nasihat pamannya dengan seksama meski ia masih belum mengerti benar apa maknanya.

“Karena aku sudah mengatakan yang mau kau dengar, sekarang giliran Paman memberitahu apa yang harus kau lakukan untukku!” Wu Xian menggerak-gerakkan alis abu-abunya.

“Apa yang Paman mau dariku, katakan saja!” Yu Ping menepuk dada.

“Mulai besok tugasmu bukan hanya memikul air untuk mengisi gentong di depan rumah. Kau juga harus menanak nasi dan memasak sayur. Selain itu kau harus melakukan push-up 100 kali setiap hari sebelum memulai pekerjaan harian. Juga belajar kuda-kuda.”

“Belajar kuda-kuda?”

“Ya, bukankah kau ingin belajar ilmu bela diri?”

Yu Ping merasa sangat senang, ia pun bangun dari kursi lalu berlutut di depan Wu Xian, “Terimalah hormatku, Guru!”

“Kau tidak malu memiliki guru seorang pembantu?” Wu Xian tertawa terkekeh.

“Guru selamanya adalah guru bagiku, yang mengajarkan arti kehidupan dan perjuangan dalam menjalaninya!” mata Yu Ping berkaca-kaca. “Aku sangat bangga menjadi murid Guru.”

Wu Xian manggut-manggut sambil mengelus jenggot abu-abunya, “Tak salah aku mengambilmu sebagai murid, kelak kau akan menjadi pendekar sejati!”

***

Di waktu yang sama, nun jauh di bawah jurang.

Terlihat sosok remaja laki-laki berusia 12 tahun sedang berlatih ilmu pedang. Anak laki-laki itu berwajah tampan, rambutnya yang panjang sebagian digelung ke atas, alisnya tebal dan sorot matanya sangat dalam, menunjukkan hati yang teguh.

Gerakannya sangat lincah saat memainkan pedang, selain lincah juga sangat cepat hingga pedang di tangannya terlihat seperti gulungan sinar yang bergerak kesana-kemari dengan indahnya.

Tiba-tiba dari arah lain, berkelebat bayangan hitam menyerang dengan sebilah pedang. Bocah itu menangkis dengan cepat menggunakan pedangnya. Terdengar dentingan keras dua pedang beradu, gesekannya menimbulkan bunga api.

Bayangan hitam berubah menjadi sosok pria berusia 40 tahun-an, berwajah dingin tanpa senyum, dan perawakannya tinggi tegap dibalut jubah panjang berwarna hitam khas pendekar.

Dari gerakannya, terlihat ilmunya masih di atas kemampuan si bocah tampan. Sebentar saja ia berhasil mendorong anak laki-laki itu hingga surut ke belakang, menabrak dinding batu di belakangnya.

Pertarungan dihentikan, pria itu mundur beberapa langkah ke belakang memberi ruang pada si bocah untuk mengatur napas.

“Saat berlatih, jangan sampai lengah!” tegur pria itu.

“Maafkan aku, Guru!” bocah itu mengepalkan kedua tangan di depan dada.

“Berlatih jurus Pedang Bayangan membutuhkan konsentrasi tinggi, seluruh tenaga dan pikiran hanya terpusat pada pedang di tangan. Sekali kau memikirkan hal lain, maka hal itu akan melemahkanmu.”

“Qi Yun mengerti, Guru. Akan belajar lebih tekun!’

Seorang wanita cantik yang mengamati sedari tadi dari kejauhan,menghampiri mereka berdua. Wajahnya menunjukkan bahwa ia sangat marah.

“Ibu!” anak laki-laki bernama Qi Yun itu menyambut ibunya dengan memberi hormat.

Wanita yang tak lain adalah mantan ratu Xian Lian menamparnya dengan keras hingga ia terhuyung ke samping.

“Qi Yun, kau harus belajar lebih keras untuk menjadi pendekar hebat! Bukankah Ibu sudah mengatakannya berulang kali padamu?” bentak Xian Lian marah.

Kelembutan seorang wanita telah lama menguap habis dari sosok Xian Lian, yang ada hanya kemarahan dan kebencian yang mengakar di dalam hati.

“Ingatlah bahwa kau harus menjadi pendekar nomor satu di dunia agar dapat membalaskan dendam kematian ayahmu, raja Qi You!"

Bab terkait

Bab terbaru

DMCA.com Protection Status