Sebelum semua menjadi gelap, matanya menangkap samar-samar wajah pria di atasnya.
“A … Ayah?” bibir Yu Ping mengepak terbuka namun terlalu lemah untuk berkata-kata. Perlahan matanya menutup, ia ingin tertidur dan tak bangun lagi.***Entah berapa lama tak sadarkan diri, Yu Ping kecil terbangun saat hari sudah gelap. Ia melihat sekeliling, menyadari bahwa dirinya sedang berada di dalam sebuah pondok bambu yang sederhana.Ia juga mengamati bajunya sudah berganti dengan baju berwarna putih bersih, siapa yang sudah begitu baik menolongnya?Ayah angkat sudah meninggal, kakak perempuan meninggalkannya, dan paman Wu Qing juga sudah pergi,Mungkinkah paman Wu Qing mengkhawatirkan dirinya lalu kembali menyelamatkannya?Saat mendengar suara orang memasak di luar pondok, Yu Ping seketika bersemangat. Tak salah lagi, orang yang telah menyelamatkannya pasti Wu Qing alias Pendekar Pedang Pendek.Saking senangnya, tanpa memedulikan bahwa tubuhnya masihlah sangat lemah, bocah itu meninggalkan tempat tidurnya menuju ke pintu depan seraya berteriak memanggil sang paman.“Paman Wu!” namun karena masih lemah, ia jatuh menggelosor di lantai yang dingin.Pintu depan yang terbuat dari bambu terbuka, masuk seorang pria berambut abu-abu dan berperawakan sedang sambil membawa nampan berisi semangkuk bubur obat.“Kau sudah bangun?” pria itu melihat ke arahnya sekilas lalu meletakkan nampan yang dibawanya ke atas meja.“Paman ini siapa? Apakah Paman yang menolongku?” tanya Yu Ping kebingungan.“Panggil saja aku Paman Wu Xian,” pria yang kira-kira berusia 50 tahun an itu membantunya berdiri, “Paman sudah membuatkanmu bubur obat agar cepat pulih.”Yu Ping menurut saat paman Wu Xian menyuruhnya duduk dan menyantap bubur obat yang masih hangat.“Aku melihatmu pingsan di depan pintu gerbang perguruan Hoa San, sebenarnya siapa kamu ini, Nak? Dan mengapa berlutut di depan gerbang Hoa San sampai pingsan segala?” Wu Xian menatap bocah di hadapannya dengan penuh perhatian.“Namaku Yu Ping, Paman! Aku kemari untuk menjadi murid Hoa San namun ditolak. Aku tak mau menyerah karena sudah tak ada tujuan lain selain tempat ini.”“Mengapa begitu? Bukankah masih ada perguruan silat lain di luar sana?”“Aku ingin menjadi pendekar terkuat agar kelak … “ Yu Ping menunduk, ia hampir saja keceplosan bicara di depan orang yang baru dikenalnya.Paman yang mengaku bernama Wu Xian terlihat bukan orang jahat, wajahnya teduh seperti ayah angkatnya hanya sedikit lebih tua.Rambut, alis dan jenggotnya berwarna abu-abu. Bajunya pun berwarna abu-abu khas murid-murid Perguruan Hoa San. Apakah paman ini juga merupakan murid Hoa San? Tetapi mengapa tinggal di pondok sederhana?“Agar kelak bisa membalas dendam?” tebak si paman Wu Xian. Yu Ping menunduk, meneruskan makannya yang tertunda.Setelah selesai, ia memandang Wu Xian, “Paman Wu Xian, apakah Paman juga murid Hoa San?”“Paman hanya seorang pesuruh,” jawab Wu Xian tenang. Ia mengambil mangkuk yang sudah habis isinya dari tangan Yu Ping. “Kau istirahat saja agar besok bisa sehat kembali!”“Paman Wu Xian, tolong bantulah aku agar bisa menjadi murid di Hoa San!” Yu Ping mendadak berlutut di hadapan pria itu.“Selama hatimu diliputi dendam, lupakanlah!” Wu Xian mengibaskan tangannya tak mau meladeni Yu Ping.“Paman tidak mengerti apa yang telah kualami,” gumam Yu Ping sedih. “Aku menyaksikan mereka menyembelih ayahku seperti hewan, dan merampas kakak perempuanku.”Wu Xian tertegun, ia memandang bocah yang masih berlutut di depannya dengan iba. Bocah itu pasti sudah memikul beban dan penderitaan bertubi-tubi.Sembari mengelus jenggotnya, Wu Xian melempar pandangan ke luar jendela, “Kemarahan tak ubahnya menggenggam bara api di tanganmu untuk dilemparkan ke orang lain, tapi tanganmu sudah terbakar lebih dahulu.”Yu Ping termenung mendengar kata-kata paman itu, “Paman ingin mengatakan padaku bahwa kemarahan dan kebencian hanya akan melukai diri sendiri?”Wu Xian mengangguk, “Benar, Nak. Jangan memikirkan masa lalu, jangan pula memimpikan masa depan. Konsentrasikan dirimu pada saat sekarang!”Setelah mengeluarkan kata-kata bijak, Wu Xian meninggalkan Yu Ping seorang diri untuk beristirahat.Semalaman Yu Ping memikirkan kata-kata paman berambut abu-abu, baru bisa tertidur saat subuh.Keesokan hari, bocah itu sudah merasa lebih segar dan bertenaga. Hidungnya mencium bau yang sangat harum, cacing-cacing di dalam perut seperti meronta-ronta minta makanan.Maklumlah kemarin ia hanya makan semangkuk bubur.Benar saja, di meja makan sudah tersedia sepiring sayuran hijau dan semangkuk nasi.Di samping piring ada sepucuk surat, ia meraih surat itu dan membacanya.Yu Ping, apabila kau sudah merenungkan kata-kata Paman,dan memilih untuk melupakan masa lalu,maka kau boleh tinggal di pondok ini selama kau mau.Karena Paman sangat sibuk bekerja,bantulah Paman mengisi air ke dalam gentong hingga penuh.Air bisa kau temukan di sungai di kaki gunung.Tidak boleh beristirahat selama perjalanan.Yu Ping tersenyum, apa salahnya membalas budi baik paman Wu Xian.Maka setelah menyelesaikan makan paginya, ia pun bersiap untuk melakukan yang diperintahkan dalam surat yang ditulis oleh sang paman.Pekerjaan yang diberikan bukanlah pekerjaan yang cocok untuk anak usia 12 tahun.Mengambil air di sungai jaraknya sangat jauh dan harus menuruni gunung sangatlah berat.Namun Yu Ping bukanlah anak yang mudah menyerah, ia melakukannya dengan senang hati.Bagi Yu Ping membalas kebaikan paman Wu Xian adalah sudah seharusnya.Sama seperti ketika ia masih tinggal bersama ayah dan ibu angkatnya.Ketika malam tiba, paman Wu Xian akan membawakan makanan untuk mereka berdua.Yu Ping sebenarnya masih ingin belajar ilmu silat dari tetua Hoa San namun karena khawatir membuat pamannya marah, ia pun tak berani meminta lagi.Suatu hari, saat mengambil air di sungai, Yu Ping menemukan sehelai saputangan sutra yang diombang ambingkan arus sungai.Penasaran, ia menangkap saputangan itu dan memperhatikan dengan seksama.Saputangan itu berwarna merah muda, teksturnya halus dan aromanya harum sekali. Ia mengendus saputangan itu, seperti terbius oleh wewangiannya.“Hey, kau yang disana!” tiba-tiba terdengar teriakan merdu di belakang punggungnya.Karena kaget dan panik, Yu Ping segera menyembunyikan saputangan itu di balik lengan bajunya.Ia berbalik dan nyaris tersedak saat melihat sosok anak perempuan seumuran dengannya berlari mendekat.Gadis itu elok parasnya, tubuh mungil dibalut gaun berwarna merah muda yang panjangnya nyaris menyentuh tanah. Rambut digelung ke atas sebagian, sebagian lagi dikuncir dua.“Apakah kau melihat saputangan hanyut di sekitar sungai ini?” tanya gadis itu padanya.Yu Ping tak mampu menjawab, ia takut begitu bibirnya terbuka, jantungnya ikut meloncat keluar karena berdebar terlalu kencang.“Apakah kau melihat saputangan hanyut di sekitar sungai ini?” tanya gadis itu padanya. Yu Ping tak mampu menjawab, ia takut begitu bibirnya terbuka, jantungnya ikut meloncat keluar karena berdetak terlalu kencang. Si makhluk cantik melambaikan tangan di depan mata Yu Ping, “Kau tidak apa-apa?” Yu Ping ingin menjawab namun lidahnya terasa kelu, hanya bibirnya saja yang mengepak terbuka seperti ikan mencari oksigen di permukaan air. “Oh kau gagu ya?” tatapan gadis itu berubah menjadi iba padanya. Mata Yu Ping membeliak, ia menggoyang-goyangkan kedua tangan. “Kau tidak melihat saputanganku, ya sudah tak apa-apa!” bibir si cantik tersenyum sangat manis. Saat gadis bergaun merah muda itu melambaikan tangan dan berbalik pergi, ia tak pernah menyadari telah membawa sekeping hati Yu Ping bersamanya. Yu Ping masih tak mempercayai bahwa ia bertemu dengan manusia bukannya hantu. Bahkan sesampainya di pondok, ia sibuk menjemur saputangan yang ditemukannya dan memandangi secarik kain terse
“Ingatlah bahwa kau harus menjadi pendekar nomor satu di dunia agar dapat membalaskan dendam kematian ayahmu, raja Qi You!" perintah Xian Lian dengan keras.“Qi Yun tak akan mengecewakan hati Ibu,” bocah laki-laki seumuran Yu Ping itu mengangguk tegas. Sebentar kemudian ia sudah berlatih jurus Pedang Bayangan kembali. Kali ini bocah tampan itu berfokus penuh pada pedang di tangannya. Saat berfokus itulah, gerakannya menjadi lebih cepat dari sebelumnya. Ia berputar ke sana kemari seperti sedang menari di bawah sinar bulan purnama. Kedua kakinya hampir tak menapak tanah saat melesat ke arah dinding batu, berpijak lalu berlari menapak dinding batu tersebut dengan kecepatan tinggi melawan gravitasi bumi. Setelah cukup tinggi, ia menghentakkan kedua kaki, melesat terbang seraya menggerak-gerakkan pedang di tangan sekaligus memutar tubuhnya hingga dari kejauhan tampak seperti bola bercahaya bergulung-gulung di atas tanah.
“Hiih … dia bersisik!” beberapa bergidik melihat punggung Yu Ping. “Siluman!” teriak yang lain. Wajah Yu Ping pucat, ia teringat dengan peristiwa di sungai lima tahun lalu dimana anak-anak sebayanya ketakutan dan memanggil dirinya siluman air. Gara-gara berita siuman air itu menyebar, desanya mengalami bencana besar. Kini murid-murid Hoa San sudah mengetahui tentang sisik di punggungnya juga, akankah Hoa San mengalami nasib yang sama dengan desa kelahirannya dulu? Tiba-tiba saja murid Pertama dan Ketiga membekuknya dari belakang, kedua tangan dikunci di belakang punggung. Kali ini Yu Ping tak melawan, ia membiarkan dirinya digiring ke aula gedung Hoa San. Murid Pertama dan Ketiga memegangi kedua bahunya, memaksanya berlutut. Lagi-lagi pemuda itu tak memberikan perlawanan meski sebenarnya tidak sulit mengalahkan mereka berdua. Tetua Wang muncul bersama dua tetua lain karena mendengar suara
Murid Ketiga memutuskan untuk mendekat dan mengintai dari lubang jendela. Tampak olehnya tetua Wang dan sosok misterius berdiri berhadap-hadapan, lilin dimatikan hingga ruangan menjadi gelap namun murid Ketiga masih dapat melihat siluet keduanya. “Memanggilku kemari ada berita penting apa?” tanya tamu misterius berbaju hitam. “Aku menemukan bocah dengan sisik emas, sepertinya dia bukan anak sembarangan,’ terang tetua Wang. “Bocah bersisik emas? Kalau benar, dia adalah buronan yang selama ini dicari-cari oleh raja Qi!” kata pria misterius di depan tetua Wang. Buronan? Murid Ketiga menutup mulut dengan kedua tangan, khawatir berteriak saking kagetnya. Jadi murid kesayangan ketua Hoa San itu seorang buronan? Hmm, kalau aku laporkan ke penegak hukum di kota maka aku akan mendapatkan uang banyak, tiba-tiba muncul niat jahat di kepala murid Ketiga. Bila Guru Besar mengetahui siapa murid kesayangan yang sebenarnya tentu dia akan m
“Sebuah pukulan tangan kosong ke batang leher dengan tenaga dalam yang sangat kuat tanpa ada bekas pukulan dan memar di kulit, hanya satu orang yang bisa melakukannya. Tidak lain Pendekar Tapak Sakti, Liu Heng dari perguruan Kun Lun!” Tiga tetua saling memandang tak percaya, sementara para murid terlihat bengong tak mengerti. “Tetapi hal itu tidak mungkin,” tetua Wang mendekati jenazah murid Ketiga dengan penasaran. “Apa yang membuat Ketua Wu berpikiran pelakunya Liu Heng?” “Aku tidak yakin pelakunya adalah Liu Heng, tetapi orang yang membunuh murid kita menggunakan jurus yang dimiliki oleh pendekar Tapak Sakti!” Wu Xian mengelus jenggotnya. “Setahuku, Liu Heng sudah berubah menjadi gila karena melakukan kesalahan saat mempelajari jurus tertinggi Tapak Dewa!” kata tetua Wang lagi. “Benar,” Wu Xian mengangguk. “Masalah ini sangat pelik, kita tak bisa sembarangan menuduh karena selama ini perguruan Kun Lun dan Hoa San tidak pernah ada masalah sedangkan Liu Heng adalah mantan tetua
Jantung Yu Ping berdebar kencang. Meski sudah lima tahun berlalu, ia masih saja terpesona melihat sosok yang hanya bisa menghiasi mimpi dan kini berada di sampingnya. Qing Ning. “Kakak Pertama, apakah tidak malu sebagai murid Hoa San merundung anak kecil?” bentak Qing Ning dengan kedua tangan menumpu pada pinggangnya yang ramping. Mata indahnya memelototi kelima pria di depannya dengan ekspresi marah, membuat hati mereka menciut. Bagaimana tidak, Qing Ning adalah cucu dari ketua Hoa San, Wu Xian. Ilmu silatnya pun tak dapat dianggap enteng. Selain sangat cantik, ia juga pandai ilmu pedang. Bukan hanya Yu Ping, hampir semua pemuda di perguruan Hoa San mengagumi kecantikan gadis itu. Matanya besar dan indah berkilauan serta memiliki daya tarik kuat bagi setiap orang yang memandang, namun sinar mata itu juga mengandung ketegasan dan kewibawaan yang sepertinya diturunkan oleh Wu Xian, sang kakek. Anak kecil? mata Yu Ping membulat mendengar dirinya dipanggil dengan sebutan anak ke
“Malam ini kau akan mati di tanganku, Wu Xian!” Pria berbaju dan berkedok serba hitam itu mendekati tempat tidur, mengangkat tangan kanannya dan mengerahkan tenaga dalam penuh. Tangan kiri meraih selimut dan menariknya dengan cepat, seraya siap memukulkan tangan kanan ke arah leher Wu Xian. Namun ia terkejut bukan main, ketika selimut tersibak ternyata hanya ada sebuah bantal di baliknya. Ia menoleh ke kanan kiri, mencari keberadaan sosok Wu Xian dalam kegelapan. Menyadari ada sepasang mata sedang mengawasinya, pria berkedok itu perlahan mendongak ke atas, ke langit-langit tempat tidur. Ternyata Wu Xian sedari tadi bersembunyi di langit-langit, dengan kedua tangan dan kedua kaki berpijak pada empat tiang tempat tidur. Begitu musuh menengadah ke atas, Wu Xian langsung melompat turun sambil menghujamkan tinjunya ke arah pria misterius di bawahnya. Sosok itu meloncat ke belakang guna menghindari serangan hingga tinju Wu Xian menghantam tempat tidur yang terbuat dari papan kayu.
Sinar matahari pagi memancar indah, menghangatkan penghuni bumi sebelah utara. Di kaki pegunungan Qionglai yang memiliki pemandangan indah terutama di pagi hari, sudah banyak orang yang berlalu-lalang. Rata-rata dari mereka adalah pedagang, jasa ekspedisi, dan pengembara yang lewat dari Wenchuan menuju Sichuan atau sebaliknya. Namun hari itu sedikit berbeda, tak sedikit pria gagah perkasa dan bersenjata yang lewat di sepanjang jalan.Terlihat empat orang pemuda gagah memasuki sebuah kedai teh yang terletak di dataran berpasir. Di kedai itu sudah duduk seorang pemuda tampan berjubah putih menikmati tehnya dalam diam. Dari gerak-geriknya terlihat pemuda ini bukanlah pemuda sembarangan, terpelajar dan berilmu tinggi.Keempat pemuda yang baru masuk itu duduk berhadap-hadapan dan sesekali mencuri pandang ke arahnya. “Siapa pemuda itu, Kakak Pertama?” tanya seorang yang lebih muda, “Wajahnya asing tapi terlihat berilmu tinggi.” “Entahlah, mungkin dia juga salah satu peserta pertandinga