Share

9. MELUPAKAN MASA LALU

Sebelum semua menjadi gelap, matanya menangkap samar-samar wajah pria di atasnya.

“A … Ayah?” bibir Yu Ping mengepak terbuka namun terlalu lemah untuk berkata-kata. Perlahan matanya menutup, ia ingin tertidur dan tak bangun lagi.

***

Entah berapa lama tak sadarkan diri, Yu Ping kecil terbangun saat hari sudah gelap. Ia melihat sekeliling, menyadari bahwa dirinya sedang berada di dalam sebuah pondok bambu yang sederhana.

Ia juga mengamati bajunya sudah berganti dengan baju berwarna putih bersih, siapa yang sudah begitu baik menolongnya?

Ayah angkat sudah meninggal, kakak perempuan meninggalkannya, dan paman Wu Qing juga sudah pergi,

Mungkinkah paman Wu Qing mengkhawatirkan dirinya lalu kembali menyelamatkannya?

Saat mendengar suara orang memasak di luar pondok, Yu Ping seketika bersemangat. Tak salah lagi, orang yang telah menyelamatkannya pasti Wu Qing alias Pendekar Pedang Pendek.

Saking senangnya, tanpa memedulikan bahwa tubuhnya masihlah sangat lemah, bocah itu meninggalkan tempat tidurnya menuju ke pintu depan seraya berteriak memanggil sang paman.

“Paman Wu!” namun karena masih lemah, ia jatuh menggelosor di lantai yang dingin.

Pintu depan yang terbuat dari bambu terbuka, masuk seorang pria berambut abu-abu dan berperawakan sedang sambil membawa nampan berisi semangkuk bubur obat.

“Kau sudah bangun?” pria itu melihat ke arahnya sekilas lalu meletakkan nampan yang dibawanya ke atas meja.

“Paman ini siapa? Apakah Paman yang menolongku?” tanya Yu Ping kebingungan.

“Panggil saja aku Paman Wu Xian,” pria yang kira-kira berusia 50 tahun an itu membantunya berdiri, “Paman sudah membuatkanmu bubur obat agar cepat pulih.”

Yu Ping menurut saat paman Wu Xian menyuruhnya duduk dan menyantap bubur obat yang masih hangat.

“Aku melihatmu pingsan di depan pintu gerbang perguruan Hoa San, sebenarnya siapa kamu ini, Nak? Dan mengapa berlutut di depan gerbang Hoa San sampai pingsan segala?” Wu Xian menatap bocah di hadapannya dengan penuh perhatian.

“Namaku Yu Ping, Paman! Aku kemari untuk menjadi murid Hoa San namun ditolak. Aku tak mau menyerah karena sudah tak ada tujuan lain selain tempat ini.”

“Mengapa begitu? Bukankah masih ada perguruan silat lain di luar sana?”

“Aku ingin menjadi pendekar terkuat agar kelak … “ Yu Ping menunduk, ia hampir saja keceplosan bicara di depan orang yang baru dikenalnya.

Paman yang mengaku bernama Wu Xian terlihat bukan orang jahat, wajahnya teduh seperti ayah angkatnya hanya sedikit lebih tua.

Rambut, alis dan jenggotnya berwarna abu-abu. Bajunya pun berwarna abu-abu khas murid-murid Perguruan Hoa San. Apakah paman ini juga merupakan murid Hoa San? Tetapi mengapa tinggal di pondok sederhana?

“Agar kelak bisa membalas dendam?” tebak si paman Wu Xian. Yu Ping menunduk, meneruskan makannya yang tertunda.

Setelah selesai, ia memandang Wu Xian, “Paman Wu Xian, apakah Paman juga murid Hoa San?”

“Paman hanya seorang pesuruh,” jawab Wu Xian tenang. Ia mengambil mangkuk yang sudah habis isinya dari tangan Yu Ping. “Kau istirahat saja agar besok bisa sehat kembali!”

“Paman Wu Xian, tolong bantulah aku agar bisa menjadi murid di Hoa San!” Yu Ping mendadak berlutut di hadapan pria itu.

“Selama hatimu diliputi dendam, lupakanlah!” Wu Xian mengibaskan tangannya tak mau meladeni Yu Ping.

“Paman tidak mengerti apa yang telah kualami,” gumam Yu Ping sedih. “Aku menyaksikan mereka menyembelih ayahku seperti hewan, dan merampas kakak perempuanku.”

Wu Xian tertegun, ia memandang bocah yang masih berlutut di depannya dengan iba. Bocah itu pasti sudah memikul beban dan penderitaan bertubi-tubi.

Sembari mengelus jenggotnya, Wu Xian melempar pandangan ke luar jendela, “Kemarahan tak ubahnya menggenggam bara api di tanganmu untuk dilemparkan ke orang lain, tapi tanganmu sudah terbakar lebih dahulu.”

Yu Ping termenung mendengar kata-kata paman itu, “Paman ingin mengatakan padaku bahwa kemarahan dan kebencian hanya akan melukai diri sendiri?”

Wu Xian mengangguk, “Benar, Nak. Jangan memikirkan masa lalu, jangan pula memimpikan masa depan. Konsentrasikan dirimu pada saat sekarang!”

Setelah mengeluarkan kata-kata bijak, Wu Xian meninggalkan Yu Ping seorang diri untuk beristirahat.

Semalaman Yu Ping memikirkan kata-kata paman berambut abu-abu, baru bisa tertidur saat subuh.

Keesokan hari, bocah itu sudah merasa lebih segar dan bertenaga. Hidungnya mencium bau yang sangat harum, cacing-cacing di dalam perut seperti meronta-ronta minta makanan.

Maklumlah kemarin ia hanya makan semangkuk bubur.

Benar saja, di meja makan sudah tersedia sepiring sayuran hijau dan semangkuk nasi.

Di samping piring ada sepucuk surat, ia meraih surat itu dan membacanya.

Yu Ping, apabila kau sudah merenungkan kata-kata Paman,

dan memilih untuk melupakan masa lalu,

maka kau boleh tinggal di pondok ini selama kau mau.

Karena Paman sangat sibuk bekerja,

bantulah Paman mengisi air ke dalam gentong hingga penuh.

Air bisa kau temukan di sungai di kaki gunung.

Tidak boleh beristirahat selama perjalanan.

Yu Ping tersenyum, apa salahnya membalas budi baik paman Wu Xian.

Maka setelah menyelesaikan makan paginya, ia pun bersiap untuk melakukan yang diperintahkan dalam surat yang ditulis oleh sang paman.

Pekerjaan yang diberikan bukanlah pekerjaan yang cocok untuk anak usia 12 tahun.

Mengambil air di sungai jaraknya sangat jauh dan harus menuruni gunung sangatlah berat.

Namun Yu Ping bukanlah anak yang mudah menyerah, ia melakukannya dengan senang hati.

Bagi Yu Ping membalas kebaikan paman Wu Xian adalah sudah seharusnya.

Sama seperti ketika ia masih tinggal bersama ayah dan ibu angkatnya.

Ketika malam tiba, paman Wu Xian akan membawakan makanan untuk mereka berdua.

Yu Ping sebenarnya masih ingin belajar ilmu silat dari tetua Hoa San namun karena khawatir membuat pamannya marah, ia pun tak berani meminta lagi.

Suatu hari, saat mengambil air di sungai, Yu Ping menemukan sehelai saputangan sutra yang diombang ambingkan arus sungai.

Penasaran, ia menangkap saputangan itu dan memperhatikan dengan seksama.

Saputangan itu berwarna merah muda, teksturnya halus dan aromanya harum sekali. Ia mengendus saputangan itu, seperti terbius oleh wewangiannya.

“Hey, kau yang disana!” tiba-tiba terdengar teriakan merdu di belakang punggungnya.

Karena kaget dan panik, Yu Ping segera menyembunyikan saputangan itu di balik lengan bajunya.

Ia berbalik dan nyaris tersedak saat melihat sosok anak perempuan seumuran dengannya berlari mendekat.

Gadis itu elok parasnya, tubuh mungil dibalut gaun berwarna merah muda yang panjangnya nyaris menyentuh tanah. Rambut digelung ke atas sebagian, sebagian lagi dikuncir dua.

“Apakah kau melihat saputangan hanyut di sekitar sungai ini?” tanya gadis itu padanya.

Yu Ping tak mampu menjawab, ia takut begitu bibirnya terbuka, jantungnya ikut meloncat keluar karena berdebar terlalu kencang.

Komen (2)
goodnovel comment avatar
Evita Maria
makasih, semoga berkenan mengikuti terus kiyah yu ping ini ya kak
goodnovel comment avatar
Sabam Silalahi
mantap bah
LIHAT SEMUA KOMENTAR

Bab terkait

Bab terbaru

DMCA.com Protection Status