"Baiklah, aku bersedia menjadi istrimu. Tetapi Yang Mulia harus menyembuhkan temanku ini lebih dulu!" kata Huli Bai setelah meneguhkan hati. Raja Siluman menyeringai puas mendengar keputusan siluman rubah yang sudah lama ia incar namun tak pernah dihiraukan.
“Keputusan yang bijaksana, tetapi bila aku menyembuhkan temanmu lebih dulu, kau bisa saja mengkhianatiku!” Raja Siluman menatap Huli Bai tajam, “Berikan aku bukti bila kau tak akan mengingkari janji!”Huli Bai mendengus dalam hati, siluman tua ribuan tahun itu benar-benar cerdik.Wanita siluman itu pun berlutut dan mengangkat tangan kanannya, “Aku Huli Bai bersumpah, akan meninggalkan dan melupakan Liu Kang selamanya, menikah dengan Raja Siluman dan berbakti kepadamu saja. Bila aku melanggar sumpah, biarlah aku mati disambar petir!”Raja Siluman tertawa senang mendengar sumpah calon istrinya, “Bagus sekali, aku sekarang percaya padamu.”“Tidak!” Tiba-tiba terdengar teriakan Liu K"Akhirnya kita menemukan korban gadis muda untuk Dewa Air!" lapor pemilik losmen bersemangat. “Bagus, Dewa sudah sangat marah karena kalian terlambat beberapa hari dari seharusnya!” Pria berjubah biru gelap mendengus. “Pendeta Song, jangan salahkan kami. Gadis di kota ini sudah hampir habis dijadikan persembahan!” Pemilik losmen menunduk, sebenarnya hatinya sangat sedih bukan main. Dahulu, kota kecil Zhu Zhi merupakan kota yang makmur karena letaknya sangat strategis yaitu berada di dekat sungai Huang Ho. Sampai suatu ketika terjadi bencana air bah yang menewaskan banyak warga dan menghancurkan pertanian maupun perdagangan mereka. Tak lama kemudian muncullah pria bernama Pendeta Song, pendeta yang mengaku mampu berkomunikasi dengan Dewa Air Sungai Huang Ho. Ia memberitahukan bahwa Dewa Air murka karena penduduk telah mencemari sungai Huang Ho. Penduduk yang putus asa percaya begitu saja, bahkan bersedia menuruti apapun yang diminta oleh Dewa Air agar bencana tidak terjadi
"Pak Tua, Anda dari mana saja tadi?" tiba-tiba terdengar suara renyah perempuan di belakang Xue Yi. Pemilik losmen tertegun, suara itu ... mengapa mirip suara gadis yang sudah ia lemparkan ke sungai tidak lama berselang? Qi Yue? Tubuh pemiik losmen gemetar melihat sosok Qi Yue, ia seperti melihat hantu. “Pak Tua, mengapa wajahmu pucat sekali?” tanya Qi Yue lagi. “Tadi kami semua tertidur di lantai, apakah Bapak tahu apa yang telah terjadi?” Pemilik losmen hanya menggelengkan kepala, sementara pikirannya berkecamuk. Kalau Qi Yue yang berdiri di depannya ini bukan hantu, lalu raga siapa yang telah ia buang ke sungai Huang Ho barusan? Tiba-tiba pria tua itu teringat sesuatu. “Ding Ding?” Pemilik losmen berlari menuju ke ruang bawah tanah, namun ruangan itu kosong. Ia berbalik dan mencari putrinya di tempat-tempat lain di rumahnya namun Ding Ding tak jua ditemukan. “Apakah Ding Ding telah menukar dirinya dengan gadis asing itu?” lutut pemilik losmen lemas membayangkan kemungkinan ia t
Di saat bersamaan Xin Ru muncul, matanya memindai sekeliling dan berhenti pada sosok gadis yang meringkuk di atas papan dengan baju terkoyak.“Pendeta Busuk, selama ini kau sudah mengelabui penduduk kota dengan menyebarkan cerita kutukan Dewa Air di Sungai Huang Ho. Sungguh licik!” bentak Xin Ru gusar.“Bukan hanya itu,” imbuh Qi Yun, “Aku sudah menyelidiki juga, ia bekerja sama dengan para mucikari, menjual gadis-gadis kota ini pada mereka setelah dicuci otak sehingga tak ingat lagi asal usulnya!”“Ha-ha-ha, kalian bicara tanpa bukti. Penduduk kota tak akan mempercayai orang asing, mereka akan lebih mendengarkanku!” Pendeta Song tertawa licik.“Kau tidak akan keluar dari sini hidup-hidup!”desis Qi Yun, tatapannya dingin mengancam.“Kita tidak bisa membunuhnya,” cegah Xin Ru. “Kita harus membawanya ke pengadilan kota agar dia dapat diadili!”Qi Yun menjadi sangat kesal namun tak dapat membantah. Pendekar di sampingnya benar, kalau ia membunuh Pendeta Song, maka penduduk kota akan mera
Tanpa diketahui Qi Yun, Xin Ru memandangnya dari jauh, air mata nyaris menitik turun. “Qi Yun, kau kah itu, Adikku?” bisik gadis itu. Masih lekat dalam ingatan ketika ibu kandung Yu Ping, Xian Lian mengatakan bahwa kakaknya bernama Qi Yun. Ia tidak tahu apakah harus memberitahukan kepada pemuda itu bahwa mereka adalah saudara sekandung atau sebaiknya tetap merahasiakannya. Selagi merenung, Xue Yi melambaikan tangan memanggilnya untuk duduk bersama. Dengan canggung, Xin Ru berjalan ke arah meja mereka dan duduk berhadapan dengan adik kandungnya. “Saudara Qi, perkenalkan Nona Xin Ru ini adalah kakak angkat Yu Ping!” Xue Yi memperkenalkan mereka berdua. “Suatu kehormatan bagiku berkenalan dengan Nona Xin Ru!” Qi Yun tersenyum, menangkupkan kedua tangan ke depan dada dan dibalas dengan gerakan sama oleh gadis itu. Xin Ru memperhatikan wajah pemuda di hadapannya dengan teliti. Alis tebal, sorot mata dalam, rahang kuat, semuanya mengingatkan gadis itu pada Wang Ji, ayah mereka. “Nona
Gunung Hoa San dikenal sebagai gunung suci dan tertutup, hanya di acara tertentu saja didatangi oleh orang-orang di luar penghuni Perguruan Hoa San.Menjelang pertemuan para pendekar dari seluruh perguruan silat, di daerah gunung tersebut mulai terlihat banyak aktivitas.Ketua Wang sebagai ketua perguruan Hoa San memerintahkan para murid untuk mempersiapkan semua, seperti memetik banyak sayuran dari kebun untuk hidangan, juga membersihkan dan menyiapkan kamar peristirahatan para tamu.Ketua Wang sendiri menyembunyikan diri dalam ruang pertapaan. Belakangan ia diliputi kegelisahan dan ketakutan karena mendapat kabar dari Tetua Cheng melalui merpati pos. Tetua Cheng memberitahukan bahwa Yu Ping tidaklah mati, melainkan masih hidup dan telah menguasai seruling sakti sang naga. Itu berarti pemuda mantan murid Hoa San tersebut akan menjadi lawan yang tak mungkin bisa ia kalahkan.“Seandainya saja aku dapat menguasai ilmu pamungkas ‘Menggapai Langit Menyentuh Bumi,’ tentu aku tidak akan te
Tetua Hui merupakan sesepuh tertua setelah Wang menjadi ketua Hoa San, seorang yang tak banyak bicara dan tertutup. Ia memiliki perawakan kurus dan tinggi yang sama dengan Ketua Wang, dari jauh orang akan sulit membedakan keduanya.“Kakak Wang, ada sesuatu yang sebenarnya sudah lama ingin kutanyakan kepadamu,” Tetua Hui menatap serius kakak seperguruan sekaligus ketuanya. Ketua Wang terlihat tak sabar karena ingin segera menyudahi percakapan dan menjalankan aksi mencari korban pengganti untuk mengkamuflase dirinya.“Adik Hui, bagaimana kalau kita membicarakannya besok pagi?” Ketua Wang mencoba membujuk Tetua Hui untuk pergi. “Aku berencana keluar menemui para tamu yang sudah datang ke perguruan kita.”Sambil berbicara, Ketua Wang membuka pintu kamar untuk mempersilahkan adik seperguruannya keluar. “Apakah kau yang membunuh Murid Pertama?”DEG! Tangan Ketua Wang yang sedang memegang daun pintu menegang.“Apa maksudmu? Bukankah sudah jelas pembunuh Ketua Wu Xian dan Murid Pertama adala
Tanpa disadari oleh Ketua Baru Hui, Wang membubuhkan serbuk Pembebas Jiwa dalam jumlah banyak ke dalam minumannya. Hui terlena oleh pujian dan sanjungan murid-murid yang memang lebih menyukai dirinya daripada Wang. Hal ini dikarenakan mereka curiga bahwa Wang adalah pembunuh sebenarnya dari Ketua Hoa San terdahulu dan Murid Pertama.Setelah perjamuan makan malam selesai, Ketua Hui menuju kamarnya untuk beristirahat. Di dalam kamar, ia duduk di atas meja dan menyiapkan tinta hitam untuk menulis. Ketua baru Hoa San itu menorehkan tinta dengan kuas di atas kertas, setelah selesai ia melipatnya lalu menyembunyikan di bawah pot pohon bonsai kecil kesayangan yang diletakkan di atas meja sudut.Terdengar ketukan di pintu, Ketua Hui sebenarnya ingin beristirahat namun karena merasa sudah menjadi ketua maka ia harus bersedia meluangkan waktu bagi semua murid Hoa San.Dengan malas ia membuka pintu, dan lebih malas lagi mengetahui siapa orang yang ada di baliknya.“Hari sudah malam, mengapa me
Ketika Yu Ping tiba di perguruan Hoa San, semua mata memandang kepadanya. Ketua Wang dalam rupa adik seperguruannya-Hui, terlihat sangat tegang. Penampilan Yu Ping sudah jauh berbeda dengan dulu waktu masih menjadi murid Hoa San.Kalau dulu ia bertubuh kurus dan lusuh, kini memiliki perawakan tubuh tinggi tegap, dan berwajah tampan dengan alis tebal, sorot mata tajam, serta garis rahang yang kuat. Cara berjalannya pun terlihat penuh percaya diri, Yu Ping yang sekarang telah menjadi dewasa dan gagah.“Salam hormat pada Guru Hui!” Yu Ping menangkupkan kedua tangan di depan dada dengan sedikit membungkuk. Ia sempat mendengar pria tua di depannya menghela napas lega.“Yu Ping, lama tak bertemu. Bagaimana kabarmu?” Ketua Wang menirukan suara adik seperguruannya, berpura-pura ramah. Dalam hati mengutuk murid kesayangan Wu