Share

Bermodalkan Kuota Ponsel

SESAL ( Nikah Terpaksa )

Bab 6

By : Desy Irianti

"Han, hari ini mau masak apa?" tanya Ibu yang tiba-tiba sudah berada di dapur. Aku tidak pernah meminta Ibu untuk membantu bertempur di dapur, kebiasaan Ibu yang sudah menjadi tanggung jawab setiap harinya harus bermain di tempat ini.

Aku yang tidak terbiasa melakukan rutinitas di dapur setelah sholat subuh, tapi aku kalahkan malas yang selalu melekat setiap hari di tubuh ini demi kewajiban menyiapkan makanan untuk seorang suami.

"Mau masak ayam goreng, sambal terasi dan sayur asem. Ini yang masih ada di kulkas."

"Kamu bisa masaknya?" Ibu memastikan aku yang selama ini tidak pernah melakukan pekerjaan ini. Wajar saja kalau Ibu meragukan pekerjaan ini yang harus aku lakukan untuk seterusnya.

Bermodalkan kuota ponsel, aku sudah menyimpan resep ini yang tadi malam aku searching di g****e. Setidaknya ada usaha yang aku lakukan.

"Bisa, Bu. Sudah ada resepnya dari g****e." jawabku dengan cengar cengir.

Berusaha dulu, masalah rasa biar nanti di koreksi sama Ibu. Pastinya jawaban biasa saja dari Mas Firman.

"Firman tidur lagi ya habis subuh? Tidak keluar kamar." tanya Ibu sambil memperhatikan sekitar ruangan.

Tidak tahu harus berbohong apa jujur yang harus aku ucapkan, bangunpun tidak Mas Firman untuk sholat subuh. Yang ada repetan dari mulutnya saat aku bangunkan.

Kalau aku jelekkan sifatnya, malu juga aku sebagai istrinya.

"Iya, Bu. Tidur lagi, sama seperti aku yang dulu." Senyumku menghiasi wajah yang mengalihkan agar tidak disambung pertanyaan lagi. Kalau sampai ada pertanyaan lagi pastinya aku akan berbohong lagi.

Kami yang terbiasa bangun untuk sholat subuh, didikan yang keras. Walaupun setelah subuh aku tidur lagi sampai jamnya nanti mendekati rutinitas setiap hari baru bangun.

Masih bisa aku sembunyikan sifat buruk Mas Firman, aku ingin segera cepat pindah dari sini sebelum semua sifat buruknya diketahui oleh orang tuaku.

Penyesalan yang tiada guna aku keluhkan, tidak ada manfaatnya, daripada terus aku pikirkan membuat beban pikiran bertambah, lebih baik aku alihkan pikiran ini untuk memikirkan pekerjaan.

Selesai sudah, semua masakan yang kubuat tersaji diatas meja dengan rapi.

"Bu, kita makan bareng ya."

"Iya, Ibu panggil Bapak dan Sany. Kamu panggil suami kamu."

Lupa kalau aku sudah punya suami, serasa masih sendiri karena kehadirannya seperti ada dan tiada.

Aku yang tidak tahu Mas Firman sudah bangun atau tidak, saat aku tinggalkan tadi masih tertidur dengan pulasnya. Bahkan seperti orang mati yang tidak bisa bangun lagi.

Melangkahkan kaki masuk ke dalam kamar, saling memandang dengan waktu beberapa detik. Mas Firman sudah rapi dan sedang nonton tv. Kupikir masih dengan keadaan yang masih sama.

"Mas, sudah di tunggu untuk sarapan."

Tanpa ada jawaban dari mulutnya, dia langsung bangun dan berjalan keluar. Belum pernah aku berjalan berdampingan dengannya, yang ada bersusun ke belakang seperti anak tk mau masuk ke kelas.

"Firman, kita makan sama ya." ucap Ibu menyapanya saat aku dan Mas Firman sampai di meja makan.

Melihat Ibu yang selalu mengambilkan nasi ke piring untuk Bapak, aku lakukan sama seperti itu untuk melayani Mas Firman.

Masih terasa sangat kaku suasananya, Mas Firman yang susah untuk beradaptasi dengan suasana baru.

"Rencana kamu kapan mau pindahnya, Nak?" tanya Bapak yang sudah menganggap Mas Firman seperti anak kandung sendiri. Tak ada perbedaan antara aku anak kandung dan Mas Firman sebagai menantu.

Aku yang tidak tahu kapan pastinya akan meninggalkan rumah ini, tanpa adanya diskusi denganku, kutunggu jawaban Mas Firman di sini.

"Secepatnya, Pak. Tapi sampai sekarang saya juga belum dapat kontrakannya."

"Maksud Bapak begini, daripada kalian ngontrak, dan kalian juga tidak mau di sini, kalian bangun saja rumah. Ada tanah Ibu yang di ujung simpang sana."

"Saya tidak mau merepotkan, Pak." jawabnya Mas Firman. Aku yakin itu hanya penolakannya secara halus. 

"Tidak ada yang direpotkan, Bapak sama Ibu memang sudah menyiapkan tanah untuk anak jika sudah menikah. Abang Hana juga sudah buat rumah sendiri, ini giliran kalian, untuk Sany juga nanti ada."

Pandangan Mas Firman langsung terkumpul ke arahku, aku yang pura-pura tidak melihatnya dan tidak pula mengiyakan apa yang di beri bapak. Biarkan saja dia yang berpikir, dan aku ingin lihat apakah aku akan diminta saran ataupun tanggapan oleh suamiku ini yang terlalu kaku dan dingin.

"Kamu bagaimana, Han?" tanya Ibu yang memperhatikan tingkahku dari tadi.

"Aku terserah Mas Firman saja, sebagai istri aku ngikut aja, Bu." 

Tak ada sedikitpun aku melihat wajahnya saat membahas masalah rumah yang akan kami tempati. Menunduk dan melihat wajah orang tua saat aku ditanya mereka. 

Apapun keputusan Mas Firman, aku akan ikuti kemauan dia. Walau sampai saat ini tidak ada dia bahas denganku sebagai istri yang menemaninya di rumah nanti.

"Kamu pikirkan ya, Nak." ucap Bapak.

Tinggal aku berdua dengan Mas Firman yang belum selesai makan, berusaha tetap diam sebelum dia yang ngajak ngobrol.

Sampai akhirnya makanan yang aku ambil di piring habis, belum ada satu kata pun yang keluar dari mulutnya.

Krekkk…

Mas Firman menggeser kursi dan langsung meninggalkanku yang masih duduk di kursi makan, tanpa ada basa basi pamitan, seperti tidak ada orang di sini. Dia pergi begitu saja dari kursi yang diduduki tadi.

Memperhatikannya dari belakang saat dia berjalan. Kututup mata sejenak sambil menghela napas panjang ketika tubuh tingginya sudah tidak terlihat di mata.

"Han, kamu jangan marah ya? Ibu perhatikan  kamu dengan Firman sepertinya kalian itu dingin sekali, apa ada masalah?"

Aku yang masih memegang piring bekas makan jadi terkejut. Apa yang harus aku jawab atas pertanyaan Ibu. Inilah yang aku takutkan kalau lama-lama tinggal satu rumah dengan Ibu Bapak, pasti mereka akan selalu memperhatikan. Tanpa harus aku jawab, lama kelamaan yang tahu sendiri.

"Hahh! Nggak kok, Bu. Perasaan Ibu saja kali, kalau kami jarang bicara mungkin belum terbiasa saja karena kami juga belum saling kenal, masih perlu banyak waktu untuk beradaptasi."

"Ibu perhatikan kalian tidak pernah ngobrol, atau sekedar bertanya, ataupun bercanda."

"Bu, pernikahan ini hasil dari perjodohan yang hanya beberapa kali saja kami bertemu, pasti kami masih kaku dengan situasi sekarang ini. Cepat atau lambat pasti akan berubah nantinya." Usahaku meyakinkan Ibu kalau tidak ada masalah diantara aku dan Mas Firman.

"Banyak juga orang yang menikah hasil dari perjodohan, mereka bisa bahagia, Kok. Kalau ada masalah kamu cerita sama Ibu, ya." sambung Ibu lagi.

"Doakan saja aku dan Mas Firman ya, Bu."

Bab terkait

Bab terbaru

DMCA.com Protection Status