Share

Mas Firman Hampir Memukulku

SESAL ( Nikah Terpaksa )

Bab 7

By : Desy Irianti

Tanpa aku minta doakan yang baik-baik, sudah jelas dan pasti seorang Ibu akan mendoakan yang terbaik untuk untuknya.

"Pak, saya mau keluar dulu ya." Terdengar suara Mas Firman berpamitan sama Bapak yang sedang duduk di luar.

"Oh, iya. Hana tidak ikut?" Spontan Bapak bertanya pada Mas Firman, mata Bapak yang berusaha mencari sosok anak perempuannya di belakang tubuh menantu barunya.

Sah menjadi suami, pengantin baru, pergi sendiri mau kemana? Tanda tanya besar yang terlintas di pikiran orang yang melihat.

"Tidak, Pak." jawabnya dengan singkat dengan menggelengkan kepalanya.

Tanpa ada bilang satu kata pun Mas Firman kepadaku kalau dia ingin keluar, tidak tahu dia mau kemana, dan aku pun tidak bertanya padanya. Aku ingin dia yang memberitahu sebelum ditanya, tapi itu tidak mungkin.

Tidak ada dia menghargaiku sebagai istrinya, tegur sapa pun masih sangat sulit dilakukannya. Aku takut lama-lama akan ketahuan sama Ibu tentang rumah tangga yang tidak sehat ini. Mereka punya mata dan perasaan yang kuat. Bisa merasa tanpa diberitahu.

Tanpa aku sadari Ibu memperhatikan aku dan Mas Firman yang jarang sekali berbicara, sampai akhirnya Ibu bertanya. Untuk hari ini, masih bisa aku sangkal pertanyaanya. Besok, lusa aku tidak tahu apalagi yang harus dijawab.

"Kamu kemana, Mas?" Ku kirim pesan melalui aplikasi hijau, aku rasa aku berhak tahu kemana dia pergi. Walaupun sebenarnya aku tidak ingin mengawasinya.

Hanya centang dua tanpa adanya warna biru, tulisan online yang aku lihat di aplikasi hijaunya. Pastinya dia tidak mau menjawab pesan yang aku kirim. Berat hatinya untuk memberitahu.

Sepuluh menit aku tunggu akan adanya jawaban dari suamiku, tak ada juga balasan yang masuk. Tak sabar aku menunggu balasannya, langsung aku menelponnya tapi sia-sia, tidak diangkat.

Tiga jam berlalu tanpa ada balasan pesan yang telah aku kirim, membuat emosiku yang semakin meletup-letup di hati. Ingin sekali aku luapkan saat bertemu dengannya.

Bukan karena aku sangat mencintainya, bukan karena aku merindukannya sebagai pasangan yang baru menikah. Untuk menghindari pertanyaan yang akan datang dari Ibu. Selalu memperhatikan gerak-gerikku dari semalam, tatapan matanya seperti banyak yang ingin dia tanyakan padaku. Terhenti di rasa segan yang sekarang ini anaknya mempunyai kehidupan baru.

Terdengar suara motornya Mas Firman, akhirnya dia sudah kembali pulang. Akhirnya, pertanyaan itu tidak akan datang padaku.

"Kamu dari mana, Mas? Susah ya jawab pesan dariku? Susah ya jawab telpon dariku?" Kujejali pertanyaan saat dia masuk ke dalam kamar.

Dilewatinya saja semua pertanyaanku, seperti tidak ada aku di kamar ini. Mencuci muka sampai dia mengganti baju kemejanya dengan kaos oblong dan langsung mencari remot tv dan santai duduk diatas kasur.

Tanpa melihat aku yang berdiri dari tadi di depan kaca rias, sambil melihat wajahku yang sudah tidak ada senyum lagi.

"Kamu anggap apa aku ini, Mas? Luar biasa sekali kelakuanmu!" kesalku semakin memuncak.

"Kamu mau aku seperti apa rupanya? Dari awal aku sudah bilang, jangan berharap lebih dari pernikahan ini. Jangan pernah mengatur kebiasaan yang sudah ada. Dari awal sudah Mas bilang kan!" sambutnya dengan emosi.

"Terus sampai kapan?"

"Mas juga tidak tahu sampai kapan!"

Enteng sekali dia menjawab tidak tahu sampai kapan! Ingin sekali kuremas mulutnya yang selalu santai menjawab. 

Aku yang semakin panas, membara emosi di dada melihat kelakuannya sekarang ini di depan mata.

"Terus! Kamu anggap aku ini apa? Apa tidak ada sedikitpun rasa hasratmu padaku. Atau kamu laki-laki tidak normal?"

"Bagus mulut kamu ya!" Tertangkap tangan kanannya mendekati pipiku. 

Aku sempat menutup mata sambil menggeser bagian kepala, takut kalau sampai dihantamnya. Sedikit lagi tangan dia menempel di pipi.

Tak sadar bibirku mengucapkan kata seperti itu, pastinya membuat dia semakin marah dan murka padaku. Aku tahu, kata ini tidak pantas aku keluarkan dari bibirku. Tapi, aku juga manusia biasa yang memiliki kesabaran, sekarang ini emosiku yang tidak dikontrol dengan baik. Tingginya emosi sekarang ini, membuatku mengeluarkan kata yang terlintas di pikiran tanpa aku saring dahulu.

Ini semua terjadi karena dia juga, Mas Firman yang membuatku sampai begini. 

"Apa? Kamu mau pukul aku? Pukul! Pukul nih! Menyodorkan bagian pipi ke arahnya.

Kusambut tatapan sinisnya, kutantang Mas Firman untuk memukulku, walau sebenarnya aku takut. Belum pernah aku ribut dengan orang lain.

Aku yang hanya memiliki teman beberapa orang saja yang menyebabkan aku tidak pernah ribut. Bapak, Abang, tidak pernah membuat sampai begini.

Terdengar begitu kasar napas yang dia atur, beberapa menit kami bertatapan sinis berhadapan sambil berdiri.

Sedikit demi sedikit dia melepas baju yang dipakai, matanya terus memandangku tanpa berkedip, sampai akhirnya dia juga melepas pakaianku satu per satu sampai tidak tersisa.

"Ini kan yang kamu! Seperti ini yang kamu harapkan!" Mata sinisnya terus menatap bola mataku. 

Terdiam membisu, tertunduk tak bisa aku menjawab pertanyaan darinya.

Tetesan air mata yang mengalir begitu saja saat adegan ini terjadi, bukan seperti ini yang aku mau. Tidak ada rasa kenikmatan yang aku dapatkan. Pelampiasan nafsu yang terpaksa, membuatku terasa sakit. Sakit sekali.

"Sudah! Ahhhh." Kata yang terucap saat selesai.

Langsung dia menggeser tubuhnya ke pinggir tempat tidur dan tertidur dengan pulas yang memakai selimut menutupi tubuhnya.

Aku yang masih menangisi kejadian ini dengan tubuh tertutup selimut tebal, masih merasa perih di bagian sensitifku.

Tidak ada perbuatan dosa di sini, aku yang sudah sah menjadi istrinya wajib melayani semua keinginannya. Tapi bukan seperti ini yang aku mau. 

Masih banyak cara yang lebih baik dari ini, tanpa harus adanya pertengkaran sebelumnya yang membuat terpaksa.

Begitu miris malam yang aku nantikan dengan suami halalku, tak ada belaian lembut, manisnya kata-kata tidak terdengar di telinga selama waktu itu. Hanya tetesan air mata yang terus mengalir tanpa bisa kucegah selama beberapa menit kejadian.

Mas Firman berhak miliki aku sepenuhnya, dia juga berhak mengambil kehormatanku yang selama ini aku jaga untuk suamiku kelak. Tapi, tidak bisa dia mencintaiku sepenuh hati. Sedikit rasa cinta pun tidak ada di hatinya.

Andai ada sedikit rasa cinta darinya, pastinya aku akan memupuk rasa cinta itu agar bisa tumbuh subur. 

Posisi tidur miring dengan membelakanginya sambil menetes terus air mata ini. Menoleh ke belakang, tanpa ada rasa bersalah ataupun tidak enak, Mas Firman bisa tidur dengan nyenyak. 

Sunyi senyap, hanya suara jam dinding yang menemaniku entah sampai kapan aku tetap mendengar suaranya.

Bab terkait

Bab terbaru

DMCA.com Protection Status