Mertua dan menantu itu beberapa lama saling pandang. Isi pikiran mereka sepertinya serupa, tetapi keduanya sama-sama tak percaya dan ingin membantah. Terdiam tanpa kata, tetapi air muka dan tatapan mereka telah saling mengungkapkan segalanya.
“Kita nggak boleh gegabah menuduh dulu, Ranti. Nggak mungkin Irwan itu ....” Ucapan Bu Ine terhenti. Pikirannya berkecamuk akan tetap mencurigai putranya sendiri atau mencoba mencarikan alasan yang lain lagi demi menjawab tanda tanya besar dalam hati. Sebagai ibu, ia tentu berkeinginan membela Irwan dengan segenap hati. Tapi fakta-fakta yang barusan terungkap membuat naluri sebagai wanitanya juga terlukai. Ia jadi sedikit merasa kasihan pada nasib Ranti selama ini. Kuat sekali wanita itu hanya dijatah tiga juta dengan kebutuhan yang sedemikian banyaknya. Dan menantunya itu sama sekali tak pernah terdengar mengeluh atau protes selama ini. Mau tak mau hatinya jadi ikut terenyuh. Hatinya seluas apa si Ranti ini, pikirnya sambil merasa bersalah telah sering ikut mencaci dan mengatai menantu satu-satunya ini. Sementara Ranti tak mau berasumsi apa-apa. Kecurigaan yang selama ini selalu ditepisnya dengan terus berusaha berprasangka baik terhadap suami sendiri kini terasa semakin nyata. Dihelanya napas panjang dan kemudian mendudukkan diri di ranjang. Koper penuh bajunya tergeletak begitu saja di lantai. Sambil melirik kembali ke arah koper menantunya, Bu Ine mencoba membujuk Ranti. “Kamu tinggal dulu aja di sini, Ranti. Setidaknya temani Ibu sampai Irwan kembali ke rumah ini. Ibu yakin dia cuma marah sebentar aja, nanti juga kembali—“ Ranti segera memotong perkataan mertuanya, “Mas Irwan pergi ke mana sekarang, Bu? Biar Ranti cari aja sampai ketemu!” Ranti bangkit dengan tekad yang membulat. Setidaknya ia harus tahu di mana Irwan sekarang. Pergi ke mana pria yang telah melempar talak kepadanya itu. “Mana Ibu tahu, Ranti. Mungkin ... mungkin ke rumah temannya, atau—“ “Atau ke rumah selingkuhannya!” tukas Ranti dengan nada pasti. Kecurigaannya selama ini semakin terlukis nyata di pikiran. Kalau tidak selingkuh, tidak mungkin uang sisa gaji Irwan tak pernah ada. Pasti semua diberikan untuk wanita simpanannya! Ya, hanya itu kemungkinan paling logis yang bisa disimpulkan. “Ranti! Sudah Ibu bilang kan jangan gegabah menuduh sembarangan! Irwan itu nggak mungkin punya wanita lain—“ “Tapi kalau begitu ke mana perginya sisa uang gaji yang banyak itu, Bu? Dipakai untuk apa kalau bukan untuk wanita lain? Pantas saja Mas Irwan itu selalu mengataiku buluk dan nggak cantik lagi. Rupanya sudah kepincut sama wanita lain. Wanita lain dibiayai begitu banyak ya pastilah bisa perawatan diri!” Ranti mencerocos lepas kendali. Permasalahan ekonomi mungkin masih sanggup dia atasi dan maklumi. Tapi kalau sudah perkara perselingkuhan, itu hal yang lain lagi. Demi apa pun ia tak akan mau mengampuni pengkhianatan seperti itu! “Jangan ngawur, Ranti. Bisa aja mungkin Irwan pakai uangnya untuk investasi atau disimpan untuk anak-anak kalian nanti, atau ....” Bu Ine mengajukan berbagai kemungkinan yang bisa untuk membela putranya. Ia sendiri tak percaya kalau Irwan sampai tega berbuat seperti itu kepada istrinya sendiri. Padahal dulu Irwan dan Ranti serasi dan saling mencintai. Wanita itu kembali mencoba menghubungi Irwan. Namun tetap saja, hanya dering panggilan tanpa jawaban yang terdengar dari telepon genggam. Tiba-tiba Ranti teringat kalau beberapa kali Irwan pernah menyebutkan nama seorang wanita rekan kerjanya. Mona, ya, itu nama yang beberapa kali disebut Irwan kala pria itu dengan teganya mencerca penampilan Ranti saat akan diajak kondangan. Saat itu bahkan Irwan batal mengajak Ranti ikut karena katanya malu kalau sampai Ranti jadi bahan gunjingan. “Kamu itu harusnya belajar gimana caranya berpenampilan! Masa’ mau ke kondangan bos aku kamu kayak gitu dandannya? Bisa malu aku! Biar aku pergi sendiri aja! Atau sama Mona sekalian!” “Mona? Mona siapa, Mas?” Kala itu batin Ranti sebenarnya sudah terusik. Tapi Irwan tak menggubris dan langsung pergi begitu saja dengan alasan sudah sangat terlambat menghadiri undangan jamuan. Ranti yang malang. Bahkan untuk kondangan ia sudah tak lagi punya gamis yang pantas. Apa daya, bukan ia tak bisa berdandan atau menjaga penampilan, tetapi gamis mewah semasa single-nya sudah tak lagi muat ukuran di badan. Dan dua tahun menikah Irwan belum pernah melebihkan uang untuk Ranti bisa beli gamis apalagi peralatan make up atau skin care. Tapi dia menuntut Ranti bisa tampil cetar saat akan diajak kondangan? Gimana bisa? Sementara uang hasil novelnya saja banyak yang terpakai untuk menutup kebutuhan bulanan. Biaya kontrol Bu Ine yang tak sedikit juga dengan sukarela ia tanggung demi mengabdi pada mertua dan suami. Dianggapnya membantu suami adalah juga kewajibannya sebagai istri. Sampai ia lupa dengan keperluan dirinya sendiri. Tapi apa balasan Irwan kini? Bukannya berterima kasih dan menjaga kesetiaan diri pada janji suci rumah tangga mereka, tetapi malah bermain api seenaknya sendiri! “Aku tahu ke mana Mas Irwan, Bu!” Spontan Ranti berdiri dan beranjak pergi. Ia hanya mengambil tas tangan berisi HP dan dompet untuk kemudian memesan ojek online. “Ranti! Ke mana kamu? Ibu ikut!” seru Bu Ine yang mencoba mengikuti langkah sang menantu. Ranti sudah tak mau menanggapi rengekan mertuanya itu. Pikirannya dipenuhi oleh kemungkinan terburuk yang tampaknya segera akan ia hadapi. Sambil menunggu sang ojek datang, jemarinya berselancar membuka akun sosial media Irwan. Di-scroll-nya untuk memeriksa beberapa unggahan foto terbaru Irwan bersama para rekan kerjanya. Ia yakin akan mendapati Mona di salah satu tag foto-foto bersama tersebut. Dan ya, beberapa saat meneliti, ditemuinya nama Mona di sana. Sebuah profil lengkap dengan tag alamat serta foto-foto di depan rumahnya membuat Ranti yakin ke mana ia akan pergi mencari sang suami. Bu Ine yang tertinggal hanya bisa mondar-mandir di ruang tamu sendiri. Ia terus mencoba menghubungi nomor Irwan kembali. Meski sedari tadi tak pernah ada niatan Irwan untuk menjawab panggilannya sama sekali. Pria yang sedang menuju ke rumah wanita lain dambaannya itu sedang dipenuhi emosi. Dalam kondisi seperti itu, mana mau ia menjawab panggilan ibunya? Sudah pasti hanya akan mendapat omelan lagi dan lagi. Sudah cukup! Ia pria dewasa yang punya kebutuhan dan kesenangan diri pribadi. Bukan hanya untuk melayani dua wanita merepotkan yang ada di rumah tadi, pikirnya berkeras hati. Dengan kesal dilemparnya ponsel ke jok belakang mobil agar dering berisiknya tak terdengar lagi. “Cuma Mona yang bisa menghiburku malam ini! Penat banget di rumah cuma disuguhi wajah buluk istri!” pungkasnya berbicara sendiri sambil mempercepat laju mobilnya ke arah rumah wanita yang ia sebut Mona tadi. bersambung ….Hukuman terberat bukan dipenjara atau membayar sejumlah besar denda yang diajukan oleh perusahaan milik Jodi. Bukan!Irwan sama sekali tak keberatan kalau ia harus dipenjara selama beberapa saat atau menumpuk utang hanya untuk membayar denda asalkan setelah itu ia masih bisa memiliki Ranti!Ya, kini Irwan benar-benar sadar dan menyesal setengah mati mengapa dulu ia sampai terpikir untuk mengkhianati istri tercintanya itu. Sungguh, ia mengutuk hari di mana Mona berhasil meruntuhkan kesetiaannya. Hari di mana ia terpesona oleh bujuk rayu wanita sial*n itu. Astaga! Andai bisa ia mengulang waktu!Pengacara dari perusahaan barunya sudah membereskan semua urusan jaminan hingga ia tak perlu sampai menginap di balik tahanan. Tapi meskipun pulang ke rumah, pikirannya hanya terpusat pada satu hal. Bagaimana ia bisa mendapatkan kembali simpati dan cinta dari Ranti, mantan istri yang masih sangat dicintai serta diharapkannya itu.Tapi nyatanya kuasa hukum Jodi justru memberikannya dua pilihan, be
"Ada apa ini?"Sambil berusaha bersikap setenang mungkin, Irwan menghampiri tiga petugas tesebut dan mempersilakan mereka duduk kembali di sofa ruang tamu."Ini surat penahanan Anda, Pak Irwan. Harap bersikap kooperatif karena sudah berkali-kali surat panggilan interogasi datang, tetapi Anda sama sekali tidak memberikan respon." Seorang petugas yang sepertinya adalah senior di antara dua lainnya itu berkata sambil menyodorkan sebuah amplop putih panjang.Irwan mengambil dan membuka lalu membacanya dalam hati. Betul yang petugas itu katakan. Ia benar-benar harus ditahan saat itu juga. Astaga!"Tapi, Pak. Bukankah seharusnya saya berhak mendapatkan bantuan pengacara? Perusahaan baru saya sudah pasti akan bersedia menyediakan pengacara mahal untuk saya--""Silakan, Pak. Di pengadilan nanti Bapak bebas didampingi pengacara. Tapi saat ini yang penting Anda harus ikut kami," jawab sang petugas senior lagi.Irwan tak punya pilihan lain. Ia izin untuk berganti pakaian dulu ke kamar sambil mel
"Apa? Berani nyamperin kamu ke rumah? Mau apa katanya?" Jodi yang mendapat laporan dari Ranti segera terpantik emosi."Tau tuh, katanya mau bicara empat mata. Pake bilang minta ampun dan sumpah nggak akan ngulangin kesalahan lah, apa lah, ish." Ranti menjelaskan sambil bibirnya mengerucut kesal sendiri atas sikap Irwan tadi.Mereka berdua tengah makan siang di cafe dekat MP Distro milik Ranti. Biasanya mereka juga sekalian membahas hal-hal penting mengenai distro yang berhubungan dengan Jodi dan tentu saja juga diselipi urusan pribadi."Lalu, kamu kasih dia kesempatan lagi?" tanya Jodi sambil hatinya ketar-ketir. Bagaimana pun, Irwan adalah cinta pertama Ranti. Dan banyak sekali orang yang bilang bahwa namanya cinta pertama itu pasti susah hilang sama sekali meski sudah berpisah sekalipun. Siapa yang tidak khawatir?"Ya nggak, lah. Langsung kutinggalin dia di sana. Biarin deh ngomong sama pagar sana sekalian! Enak amat minta dimaafin setelah apa yang dia perbuat!" Ranti masih menggebu
Malam-malam dingin terus menyelimuti Irwan. Dalam kesepian, ia terus merindui sosok Ranti, sang mantan istri. Di ranjang, di sudut-sudut kamar, di depan meja rias, bahkan di dalam kamar mandi, seringkali ia dapati bekas-bekas aroma Ranti yang masih tertinggal.Ah, kenapa ia begitu gegabah? Kenapa sampai sebodoh itu menggugat cerai istri sebaik Ranti cuma demi seorang Mona yang nyatanya sama sekali tak sepadan?vLihat sekarang, Ranti bisa kembali jadi bahkan jauh lebih cantik dari dulu semasa perawan. Dan pekerjaan? Kini wanita itu sudah jauh melampaui pencapaian Irwan sendiri, apalagi Mona! Tidak ada apa-apanya!Ranti pandai memasak, menu yang ia sediakan tak pernah gagal memanjakan lidah Irwan maupun ibunya. Ranti juga pandai mengambil hati sang mertua dengan bersikap penurut serta tanpa banyak protes dan bersedia melayani apa pun pinta Bu Ine. Berbanding terbalik sekali dengan Mona yang sebagai wanita taunya hanya bersolek, belanja dan menghabiskan duit! Selain itu nol!"Kembalilah
“Kamu kok jadi jarang banget pulang ke rumahku, sih?” protes Mona di kantor hari itu.“Ya aku kan harus nemenin Ibuku, Mon. Lagipula kan kita udah selalu ketemu di kantor." Irwan menjawab santai karena ia tak begitu tertarik lagi dengan Mona. Baginya, mengejar Ranti kembali merupakan sebuah misi yang jauh lebih penting ketimbang menuruti kemauan wanita di depannya itu.“Ya beda dong, Sayang ….” Mona merapatkan tubuhnya dan menyentuhkan jemari ke rahang Irwan.Biasanya Irwan akan meleleh lalu turut mencumbu wanita itu, tapi tidak kali ini. Irwan justru menepis tubuh Mona dan bangkit dari kursi putarnya untuk keluar dari ruangan.“Dengar, Mona. Kita masih baru di perusahaan ini, jadi jaga sikapmu sebelum kita bisa dapat peringatan atau parahnya dipecat lagi seperti dulu!”Mona memelototi Irwan yang meninggalkannya begitu saja di ruangan.“Sial! Kenapa sih dia? Kayaknya udah ada yang lain lagi ini!” gerutu Mona menyipitkan mata sambil bertekad akan menyelidiki.Tidak mungkin Irwan cuek p
"Aku pulang langsung atau boleh mampir dulu?" tanya Jodi saat sudah sampai di depan pagar rumah Ranti.Ranti menengok jam tangan yang menunjuk angka 9 dan kemudian menggelengkan kepalanya pelan. "Udah kemalaman banget, Jod. Kapan-kapan aja ya mampirnya.""Bukain gih gerbangnya," pinta Jodi kemudian seraya bersiap memutar mobil untuk masuk rumah."Loh, kubilang pulang aja, ini udah kemaleman," ulang Ranti yang sejenak mengira Jodi salah mengartikan ucapannya tadi."Iya aku langsung pulang. Ini cuma mau masukin mobil dulu kok," sergah Jodi yang tak sabar lalu keluar sendiri dan dengan cepat mendorong pintu besi berwarna hitam itu menggeser ke samping hingga terbuka semua.Ranti masih terperangah. Gimana sih, kan disuruh pulang, kok malah mobilnya dimasukin? Pikirannya tak sampai menerka maksud Jodi.Sementara Jodi memilih melanjutkan tindakan. Memasukkan mobil sedan maticnya ke teras, bersebelahan dengan mobil ayah Ranti. Kemudian ia keluar dari kursi kemudi dan menyerahkan kunci pada R