Share

SESAL SUAMI(GAGAL MENJAGA KEWARASAN ISTRI)
SESAL SUAMI(GAGAL MENJAGA KEWARASAN ISTRI)
Author: Irma Juita

Bab.1: Suami Egois

"Kamu bayar sendiri biaya persalinanmu. Itu karena salahmu tidak melahirkan anak laki-laki sesuai keinginanku!” bentak Mas Gunawan.

Laki-laki bermanik mata hitam itu adalah suami yang sudah memperistriku selama empat tahun. Dia tidak mempedulikan kondisiku yang sedang dalam perawatan di sebuah rumah sakit pasca operasi caesar.

“Tega kamu, Mas. Bukannya mengucapkan selamat atau berterimakasih karena sudah melahirkan anakmu, tetapi malah menyalahkanku. Padahal aku hampir saja kehilangan nyawa di meja operasi tadi,” ujarku seraya terisak. Tak terasa buliran bening menetes dari kedua netraku.

“Aku tidak sudi punya anak perempuan lagi, karena hanya akan menjadi beban buatku!” hardik Mas Gunawan lagi.

“Astagfirullah, Mas. Ini sudah takdir dari Tuhan. Anak laki-laki atau perempuan sama saja, yang terpenting lahir dengan sehat dan sempurna!” timpalku dengan suara serak membuatku Mas Gunawan terlihat semakin tersulut emosi.

“Ini bukan masalah takdir. Semua ini terjadi karena kamu jadi Adik Ipar pembangkang. Kamu selalu membantah nasihat kak Sita yang selalu memberikan resep agar mempunyai anak laki-laki. Lihat hasilnya, kamu dan ketiga anakmu hanya menjadi beban buatku!” kali ini Mas Gunawan berteriak meluapkan emosinya. Mungkin karena di ruangan ini hanya ada kami berdua, hingga dia bertindak sesuka hati.

"Astagfirullah, nyebut Mas. Jadi selama ini kamu merasa terbebani olehku dan anak-anak?" tanyaku dengan wajah yang telah basah dipenuhi air mata.

"Iya, karena kamu tidak bisa menghasilkan uang. Selama ini aku sendiri yang banting tulang memenuhi kebutuhan hidup kita. Aku hanya minta anak laki-laki saja kamu tidak bisa. Dasar perempuan tidak berguna!” semburnya lagi, semakin membuatku menangis tersedu.

"Bukannya kamu sendiri yang meminta aku berhenti bekerja, agar fokus mengurus rumah tangga? Kenapa sekarang kamu mengeluh, Mas?" ucapku mempertanyakan alasan ucapannya dulu saat meminta berhenti bekerja.

"Iya itu dulu, saat aku hanya membiayamu saja. Sekarang aku harus membiayai dua anak perempuan yang kamu lahirkan dan sekarang bertambah satu lagi. Dasar si*l!!”

Mas Gunawan meninju brankar dan membuat tubuhku ikut bergetar. Seketika tangisanku berhenti. Aku menatap Mas Gunawan dengan perasaan takut. Dia memang tidak pernah bermain tangan kepadaku, namun kebiasaan buruknya melampiaskan emosi kepada benda di sekitarnya.

Mas Gunawan terlihat belum puas meluapkan amarahnya kepadaku. Beruntung aku terselamatkan oleh kedatangan dua orang perawat yang masuk ke dalam ruangan. Mereka membawa beberapa peralatan medis serta obat -obatan. Mas Gunawan pergi menjauh dengan menarik kursi dan membawanya ke dekat jendela.

"Bu Hanum, bagaimana kondisinya saat ini? Selamat ya Bu, atas kelahiran putri ketiganya!" ucap salah seorang perawat wanita yang berkulit putih dan berwajah cantik.

Tangannya dengan cekatan memperbaiki jalan infusan yang mengalir di pergelangan tanganku. Sementara perawat yang satunya terlihat memeriksa tekanan darah dan mencatatnya di berkas yang dibawanya.

Dengan cepat aku mengusap air mata di wajah, seraya berusaha menyunggingkan senyum kepada kedua perawat itu. Sebisa mungkin aku menyembunyikan kepedihan hati. Sementara Mas Gunawan hanya memperhatikanku dari kejauhan dan terlihat tidak peduli dengan yang dilakukan kedua perawat itu.

"Sebentar lagi efek biusnya mungkin akan segera hilang. Ibu yang sabar ya, jika mulai terasa nyeri di bagian perut, silakan tarik napas dalam dan buang perlahan-lahan. Saya akan menyuntikkan obat, agar membantu meredakan rasa sakitnya!" ucap perawat itu berpesan kepadaku.

"Sus, kira-kira kapan kateternya bisa dibuka? saya sudah enggak nyaman!" tanyaku lagi.

"Kateter dibuka setelah dua belas jam pasca operasi, Ibu yang sabar ya!" jawab salah seorang perawat.

Aku mengangguk paham. Tak lama berselang, tiba-tiba salah seorang perawat berkulit putih itu menengok ke arah Mas Gunawan.

"Bapak suaminya Ibu Hanum?" tanya perawat cantik itu kepadanya.

Mas Gunawan nampak terkejut, lalu segera bangkit dari tempat duduk dan berjalan menghampiri kami.

"I-iya, Sus. Ada apa?" tanyanya sedikit gugup.

"Tolong istrinya dijaga dengan baik ya Pak, jangan sampai ditinggalkan sendiri. Karena kondisi fisik Ibu masih sangat lemah dan memerlukan bantuan. Apalagi nanti setelah obat biusnya habis, Bapak harus menghibur Ibu agar tidak fokus pada rasa sakitnya. Sama satu lagi, si Ibu harus banyak makan yang berserat seperti buah dan sayur agar BAB nya lancar!" perawat itu berpesan pada Mas Gunawan.

Mas Gunawan mengangguk pelan. Tak lama berselang, kedua perawat itu pun berpamitan keluar ruangan. Sepeninggal kedua perawat itu, Mas Gunawan kembali duduk di dekat jendela dan sibuk dengan ponselnya.

"Mas, Aku haus!" ucapku seraya melirik ke arah Mas Gunawan. Aku belum bisa banyak bergerak karena rasa nyeri yang semakin terasa di bagian perut.

“Dasar wanita lemah,” umpat Mas Gunawan kembali menggores perih di hati. Aku hanya terdiam mendengar umpatannya.

"Kamu ini bisanya cuma menyusahkan saja. Coba kalau melahirkan normal, pasti nggak bakal serepot ini!" sungutnya seraya berlalu keluar ruangan tanpa berpamitan.

Mungkin dia akan membelikanku makanan dan minuman. Aku diharuskan berpuasa dari sebelum operasi berlangsung, sehingga wajar jika saat ini merasa haus dan lapar. Tak lama, Mas Gunawan kembali ke ruangan dengan membawa sebuah kantong plastik hitam berisi air mineral dalam botol ukuran besar. Hanya minuman, tanpa ada makanan.

Padahal perutku terasa sangat lapar hingga mengeluarkan bunyi. Namun apa daya, Mas Gunawan hanya membelikanku minuman. Aku harus minum banyak untuk mengganjal rasa lapar.

"Ini minumnya!" ucap Mas Gunawan dengan wajah sinis.

"Aku belum boleh banyak bergerak, Mas. Bisa tolong bantu aku minum!" ucapku dengan wajah memelas.

Mas Gunawan mendengkus seperti menahan rasa kesal, namun akhirnya perlahan dia mendekat ke arahku. Dia mengubah posisi brankar sebelumnya menjadi setengah duduk, lalu membantuku minum menggunakan sedotan. Aku minum banyak sekali, hingga menghbiskan setengah dari isi air mineral itu.

Tak lama kemudian, petugas rumah sakit mengantarkan jatah makan siang. Aku berucap syukur dalam hati, karena sebentar lagi rasa lapar yang mendera segera terobati. Kali ini tanpa diminta, Mas Adnan mengambil makanan yang terletak di atas nampan yang tertutup plastik bening. Setelah membuka pembungkusnya, dia menyuapiku.

Aku tersenyum mendapatkan perlakuan manis darinya. Dengan semangat aku membuka mulutku lebar, agar Mas Gunawan tidak kesusahan saat menyuapi. Namun baru saja beberapa suapan aku terima, makanan yang berada di tangannya sudah kosong. Tak hanya itu, setelah menghabiskan jatah makan siang, dia juga menghabiskan camilan dan buah-buahan yang disediakan untukku.

"Mas, camilan dan buahnya kenapa dihabiskan juga? Aku masih lapar. Kamu tidak ingat pesan dari perawat tadi? aku harus banyak makan buah agar lancar BAB!" ucap Hanum dengan wajah sedih.

"Kamu baru habis dioperasi, jangan makan terlalu banyak. Pencernaanmu masih belum stabil. Kamu juga jangan dulu makan buah, bisa-bisa rahimmu menciut lagi karena makan yang asam-asam. Ingat pesan Mbak Sita!" jawab Mas Gunawan dengan wajah tanpa dosa.

Aku hanya bisa pasrah dengan perlakuan Mas Gunawan. Tidak mungkin kami bertengkar hanya karena makanan. Mataku menerawang menatap langit-langit rumah sakit. Aku teringat ayah dan kakak Lala.

"Mas, tolong ambilkan tasku!" ucapku.

Mas Gunawan terlihat beranjak dari tempat duduknya dengan malas. Dia melangkah perlahan menuju lemari kayu berukuran kecil yang berada di samping brankar dan mengambil tasku. Dia menyerahkan tas masih dengan wajah sinisnya.

"Mau nelpon siapa kamu?" tanya Mas Gunawan dengan tatapan menyelidik.

"Mau mengabari Ayah dan Kak Lala kalau aku sudah melahirkan. Sekalian minta bantuan untuk membayar biaya persalinannku!" jawabku. Wajah Mas Gunawan terlihat terkejut mendengar jawabanku.

"Jangan minta bantuan Ayahmu, Aku malu!" cegah Mas Gunawan.

"Kalau aku nggak minta bantuan Ayah, bagaimana caranya mengganti uangmu? Apa sebaiknya minta tolong sama Kak Lala saja, ya?" tanyaku dan semakin membuatnya panik.

Kenapa Mas Gunawan terlihat panik saat aku akan meminta bantuan ayah dan kak Lala?

Related chapters

Latest chapter

DMCA.com Protection Status