Share

Bab.7: Keputusan yang Salah

"Nggak usah kebanyakan drama kamu, cepat pergi dari sini dan jangan pernah menampakkan batang hidungmu lagi!" bentak kak Lala pada sosok laki-laki di hadapanku ini dengan wajah memelas.

Namun tiba-tiba ayah yang berada di dekatku terlihat memegangi dadanya. Nafasnya terlihat naik turun. Aku dan kak Lala langsung panik. Pasti penyakit jantung ayah kumat lagi. Kak Lala segera berlari keluar ruangan, sepertinya hendak memanggil bantuan. Sementara Mas Gunawan terlihat terkejut dengan keadaan ayah mertuanya.

Dia berinisiatif untuk memapah ayah ke arah sofa yang berada di pojokan ruangan. Lalu kemudian membaringkannya perlahan. Ayah masih memegangi dadanya dan matanya terlihat terpejam. Selang beberapa lama kemudian, kak Lala datang bersama seorang laki-laki yang aku duga sebagai dokter.

Laki-laki berpakaian putih serta berkacamata itu memeriksa kondisi ayah.

"Sebaiknya Ayah Anda dipindahkan ke ruang IGD, untuk pemeriksaan lebih lanjut!" ucapnya setelah selesai melakukan pemeriksaan.

"Baik, Dok. Lakukan yang terbaik untuk Syah saya!" ujar kak Lala patuh.

Tak lama kemudian, datang beberapa petugas rumah sakit yang membawa brankar dan memindahkan ayah ke atasnya. Kak Lala mengikuti mereka dan meninggalkanku dengan Mas Gunawan.

Setelah kepergian mereka, sikap Mas Gunawan berubah kesikap aslinya. Wajahnya tidak lagi terlihat sedih dan memelas. Dia memang pandai bersandiwara.

"Kamu lihat sendiri kan, kondisi Ayahmu? Kamu tahu, kalau aku adalah menantu kesayangannya. Beliau pasti sangat kecewa jika tahu kebenaran yang sesungguhnya dan itu akan memperparah kondisinya kesehatannya!" ucap Mas Gunawan berbisik ke telingaku. Dia tersenyum penuh kemenangan.

Aku menangis tersedu mendengar ucapannya yang mirip sebuah ancaman. Aku ingin berbicara jujur kepada kak Lala dan ayah mengenai kebenaran yang sesungguhnya, tetapi takut kondisi ayah akan semakin parah.

Aku belum siap menerima hal terburuk. Tinggal ayah satu-satunya orang tuaku yang tersisa. Ayahku memang memiliki riwayat penyakit jantung yang biasanya kambuh jika ada yang membebani fikirannya. Aku tidak mau menambah beban fikirannya jika menceritakan kebenaran yang sesungguhnya.

Malam harinya, kak Lala kembali datang ke ruanganku, saat Mas Gunawan sedang keluar.

"Bagaimana kondisimu sekarang?" tanyanya dengan penuh perhatian.

"Alhamdulillah sudah membaik, Kak. Sepertinya besok sore juga aku sudah diperbolehkan pulang!"

"Kamu boleh pulang ke rumahmu, tetapi tidak dengan lelaki itu!" ucap kak Lala ketus.

"Memangnya kenapa, Kak?" tanyaku berpura-pura tidak tahu.

"Kakak takut kondisimu akan semakin buruk jika kamu masih bertahan dengan laki-laki tidak bertanggung jawab seperti dia. Kamu harus sehat dan menjaga kewarasan kamu, Hanum!" ujar kak Lala memberi alasan.

Aku menarik napas dan menghembuskannya perlahan. Kak Lala benar. Aku mulai merasa kewarasanku terganggu pasca persalinan ketiga ini. Salah satu penyebabnya adalah karena sikap Mas Gunawan yang semakin hari semakin menjadi.

"Aku waras dan baik-baik saja, Kak. Sebaiknya kakak fokus pada kesehatan ayah saja. Kejadian kemarin bukan karena Mas Gunawan, tetapi murni kesalahanku. Aku menolak ajakannya untuk kontrol ke rumah sakit!" ucapku berbohong. Sudah kesekian kalinya aku menutupi kebenaran yang sesungguhnya.

Tuhan ... maafkan aku karena belum bisa mengatakan yang sebenarnya. Aku mempunyai alasan sendiri. Kesehatan dan keselamatan ayah lebih penting dibandingkan dengan kewarasanku. Mencoba bertahan semampuku.

"Apa kamu yakin dengan keputusan kamu?" tanya kak Lala meyakinkan diri.

"Yakin, Kak. Mas Gunawan tidak mungkin berani macam-macam, karena semua yang kami miliki adalah milik ayah. Kakak jangan terlalu khawatir, ya!" ucapku seraya memeluknya. Aku berusaha meyakinkannya dengan keputusan yang diambil. Kak Lala membalas pelukan dan mengusap pelan rambutku.

"Baiklah, kalau itu memang sudah keputusanmu. Kamu harus tahu, Kakak tidak ingin terjadi sesuatu yang buruk kepadamu. Kakak sayang kamu, Hanum," ucapnya seraya menatap mataku lekat.

Aku berusaha menahan buliran air yang siap menerjang keluar dari sarang. Jangan sampai membuat kak Lala curiga.

"Aku juga sayang sama Kak Lala!" ucapku lirih.

...

Keesokan sore harinya, aku sudah diperbolehkan pulang oleh dokter. Dokter berpesan agar aku datang untuk kontrol setelah tiga hari. Mengagendakan agar aku kontrol ke rumah sakit setelah tiga hari kemudian. Selama di rumah sakit, Mas Gunawan yang merawatku. Dia bersandiwara menjadi suami yang baik karena ada kak Lala dan ayah di rumah sakit.

"Kamu baik-baik di rumah, ya. Maaf kakak nggak bisa antar kamu pulang karena harus jaga ayah!" ucap kakak Lala setelah aku datang berkunjung menjenguk ayah di ruangannya.

"Aku akan baik-baik saja, Kak. Tolong kabari terus kondisi ayah. Aku hanya bisa bantu doa ya, kak!" ucapku seraya kembali memeluk kak Lala. Kami pun saling berpelukan sebagai salam perpisahan. Dadaku terasa sesak menahan tangis, karena setelah ini aku akan kembali di kehidupan nyataku. Mendapatkan perlakuan semena-mena dari Mas Gunawan.

"Gunawan, jaga Adikku baik-baik. Jangan sampai kejadian kemarin terulang lagi. Aku pastikan kamu akan menyesal dilahirkan kedua ini jika sampai menyakiti Hanum!" ancam kak Lala pada Mas Gunawan. Dia terlihat menenguk saliva dan tersenyum dipaksakan.

"Kakak percaya sama aku, Hanum akan baik-baik saja dan hidup bahagia bersamaku!" ucapnya dengan penuh percaya diri.

Ucapan Mas Gunawan terasa bagai jarum yang menusuk telingaku, sakit namun tidak terlihat. Mas Gunawan mendorong kursi roda yang aku naiki meninggalkan ruang perawatan ayah. Kali ini dia berinisiatif untuk memakai kursi roda untukku. Tidak seperti saat persaliananku sebelumnya. Aku harus menahan rasa sakit karena tidak memakai kursi roda.

Saat tiba di halaman rumah sakit, seorang lelaki datang menghampiri kami. Dia adalah Pak Darma, sopir pribadi ayah.

"Non Hanum, biar saya antar pulang ke rumah!" ucapnya menawarkan diri.

"Tidak usah, Pak Darma. Biar kami pesan taxi online saja," tolakku ramah.

Mas Gunawan mencubit kecil lenganku, sebagai kode agar tidak menolak tawarannya. Aku tahu yang ada dalam fikirannya. Dia pasti merasa rugi harus mengeluarkan uang untuk ongkos pulang.

"Non Lala yang meminta saya mengantar Non Hanum selamat sampai rumah!" ucap Pak Darma kemudian.

Kak Lala memang kakak yang baik dan peduli kepada adiknya. Aku merasa terharu karena perlakuannya. Akhirnya aku mengangguk menyetujui tawaran sopir pribadi ayah itu. Mas Gunawan membantu memapahku memasuki mobil.

Butuh waktu satu jam untuk tiba di rumah, karena kondisi jalanan macet parah. Ternyata Bik Inah sudah berada dirumah bersama anak-anak.

"Mama," panggil Hana putri sulungku.

Ia menghambur ke pelukan disusul adiknya Hani yang juga tidak mau kalah dengan kakaknya. Kami saling melepas kerinduan. Sehari bagai seabad jika terpisah dengan anak-anak

"Bik Inah, maaf ya jadi merepotkan," ucapku merasa tidak enak karena menambah tugasnya.

"Tidak apa-apa, Bu. Saya senang bisa membantu. Dede bayi sedang tidur dikamar, habis menyusu. Kakaknya Bu Hanum membelikan beberapa kaleng susu formula. Dede bayi lahap sekali menyusu jadinya tidak rewel!" lapor Bik Inah dengan wajah sumringah.

Aku bernafas lega karena Bik Inah menjaga anak-anak dengan baik. Terutama kepada bayi yang belum sempat aku beri nama. Aku sebenarnya sudah menyiapkan nama bayi laki dan perempuan, namun rencananya minta persetujuan dulu dengan Mas Gunawan. Tak lama berselang, Bi Inah pun berpamitan pulang. Sementara aku dan anak-anak masuk ke dalan rumah untuk beristirahat.

...

Satu minggu telah berlalu, pasca aku melahirkan secara caesar. Kak Lala mengabariku jika ayah telah sembuh dan kembali beraktifitas seperti sedia kala. Kondisi tubuhku pun terasa sedikit lebih baik.

Namun bayiku tetap rewel ketika malam hari. Rupanya bukan lapar penyebabnya rewel setiap malam. Sepertinya dia sedang mengalami proses adaptasi lingkungan. Aku masih saja begadang hampir tiap malam hingga menjelang pagi.

Aku sangat lelah. Ditambah lagi sudah dua hari Bik Inah izin karena berhalangan. Alhasil kondisi tubuhku semakin menurun. Sementara sikap Mas Adnan masih belum berubah. Dia masih saja bersikap dingin dan cuek kepadaku dan ketiga anaknya.

Sudah hampir dua minggu, Bik Inah belum kunjung ada kabar. Aku sangat kelelahan karena selain mengerjakan pekerjaan rumah, ditambah mengurus anak-anak.

"Mas, Bik Inah kenapa belum kembali ya? Aku capek, Mas. Aku harus mengurus pekerjaan rumah tangga sekaligus menjaga anak-anak!" aduku berharap ada solusi darinya.

"Baguslah kalau dia gak kembali lagi, itu artinya gaji Bik Inah bisa buat nambah jatah bulanan kamu, kan?" jawabnya santai.

"Kamu tega, Mas. Aku bisa-bisa sakit dan kewarasanku terganggu kalau begini terus. Apalagi kamu tidak mempedulikan kami!"

"Berisik sekali mulutmu, membuatku sakit kepala. Mending aku keluar cari angin segar!" ucapnya seraya berlalu meninggalkanku sambil memainkan ponselnya.

Aku perhatikan, akhir-akhir ini Mas Gunawan semakin intens bermain ponsel. Bukan bermain game, tetapi sibuk membalas chat yang entah dari siapa. Tak jarang dia terlihat menelepon seseorang dan menghindariku.

Naluriku mengatakan kalau Mas Gunawan sedang mengalami puber kedua. Apa mungkin Mas Gunawan menduakanku?

...

Keesokan harinya aku terkejut saat tidak mendapati Mas Gunawan di kamar. Berarti semalaman dia tidak pulang. Kemana sebenarnya Mas Gunawan?

Aku langsung berpikiran yang bukan-bukan tentangnya. Mas Gunawan tidak pernah seperti ini sebelumnya. Meskipun sikapnya selalu dingin, namun dia selalu pulang ke rumah setiap harinya.

Saat aku berada diambang kebimbangan mencari keberadaan Mas Gunawan, tiba-tiba ponselku berbunyi, menandakan ada pesan masuk.

[Suamimu berada di bengkel sejak semalam bersama ....] pesan masuk dari nomor yang tidak dikenal.

Aku segera mengetikan pesan balasan, karena pesannya membuat penasaran.

[Bersama siapa? Apakah dia bersama seorang perempuan?] balasku.

[Sebaiknya Anda datang ke bengkel sekarang dan lihat sendiri.]

....

Bab terkait

Bab terbaru

DMCA.com Protection Status