Share

Bab.6: Pov Gunawan

Aku berangkat kerja dengan perasaan kesal bercampur emosi. Semua gara-gara Hanum, istriku. Seenaknya dia memintaku membawanya kontrol ke rumah sakit, padahal obatnya saja masih belum habis. Dia bilang harus diperiksa oleh dokter sekalian mengganti plester yang menutupi luka pasca caesarnya, memangnya tidak memakai biaya?

Semuanya tidak gratis, sementara uang tabunganku sudah berkurang dua puluh juta karena dipinjam oleh kak Lala untuk membayar tunggakkan arisannya. Aku tidak rela kalau sampai dia dikeroyok oleh teman-temannya karena belum membayar arisan, padahal sudah menang diawal.

Aku menolak permintaan Hanum mentah-mentah. Wanita itu memang lebay, padahal proses persalinannya secara caesar sehingga tidak perlu capek-capek mengejan karena proses keluar bayi bukan lewat jalan lahir. Setahuku persalinan caesar keluar lewat perut melalui jalan operasi, itupun sebelumnya disuntik bius terlebih dahulu sehingga tidak akan merasakan rasa sakit.

Hanum … kenapa dia sekarang berubah? Padahal sebelumnya dia istri yang penurut, tetapi tiba-tiba berubah menjadi seorang pembangkang. Sikapnya semakin aneh pasca melahirkan secara caesar. Aku diam-diam sering memergokinya menangis tanpa sebab.

Selain itu, emosinya pun terkadang berubah-ubah. Apa inikah yang dinamakan penyakit pasca melahirkan yang sering dialami oleh wanita pasca melahirkan? Kalau tidak salah, namanya ‘Baby Blues Syndrome.

Dia memang mengeluhkan kelelahan begadang karena bayinya, sehingga meminta bergantian untuk menjaga. Tentu aku menolak, karena salahnya juga air asinya belum juga keluar sehingga bayinya menangis karena kelaparan.

Aku juga tidak mau mengeluarkan uang untuk membeli susu formula untuk bayi itu. Walaupun tidak dipungkiri, wajah bayi ketiga ini sangat mirip denganku. Namun tetap saja, aku tidak bisa bersikap peduli karena jenis kelaminnya bukan laki-laki.

“Bang Gun, stok oli dan beberapa suku cadang di gudang sudah menipis. Sebaiknya segera pesan kepada sales yang biasa Bapak Hartawan pesan,” lapor Hadi salah satu pekerja yang sikapnya sejak awal kurang menyukaiku.

Dia selalu mencari kesalahan untuk menjatuhkanku di depan pak Hartawan, ayahnya Hanum.

“Aku sudah tahu, nggak usah kamu ingatkan lagi. Urus saja pekerjaanmu sana, biar itu menjadi urusanku!” ketusku dengan wajah sinis.

Laki-laki seperti Hadi memang jangan pernah diberi hati, karena dia type orang yang tidak tahu berterima kasih. Padahal sebenarnya aku termasuk orang yang royal kepada karyawan dengan memberikan bonus kepada mereka jika pendapatan bengkel mengalami kenaikan.

Aku beruntung diberi kepercayaan penuh mengelola bengkel milik mertua. Namun semua hasil pendapatan wajib disetorkan ke rekening khusus bengkel setiap bulannya. Bagiku yang berotak pintar ini tidak masalah karena semua laporan bisa dimanipulasi.

Kebetulan ayah mertua tidak terlalu perhatian dengan bengkelnya, jadi aku bisa leluasa mengeruk pendapatan tiap bulannya. Aku harus membalas semua kebaikan Mbak Sita dan Kak Rahmat. Berkat mereka, aku tumbuh menjadi laki-laki yang sehat, tampan, serta pintar. Oleh sebab itu, aku tidak keberatan jika harus mengirimi mereka uang setiap bulannya.

Masalah Hanum yang meminta jatah bulanannya dinaikkan, akan aku pikirkan nanti. Kalau dia tetap memaksa, tinggal pecat saja Bik Inah dan uang gajinya bisa aku gunakan untuk menambah jatah bulanan Hanum.

Aku segera menghubungi kontak sales baru yang bisa memesan oli dan suku cadang dengan harga jauh lebih murah. Sehingga aku bisa mendapatkan keuntungan lebih besar. Untuk keuntungan ini, akan aku transfer ke rekening pribadi.

Sore harinya aku pulang ke rumah dengan malas, karena yang aku lihat wajah Hanum yang semakin hari semakin terlihat tidak menarik dan tidak terawat

Belum lagi mendengar jerit tangisan kedua anakku, sekarang ditambah bayi yang suaranya melengking mencapai belasan oktaf mengalahkan penyanyi kelas dunia.

Mau bagaimana lagi, semuanya harus diterima agar tetap bisa hidup enak dan membantu perekonomian kedua kakakku. Namun aku heran saat melihat suasana rumah yang terlihat sepi dan pintu tidak terkunci. Kemana perginya Hanum dan anak-anak?

Dadaku bergemuruh menahah emosi, tubuhku lelah selepas bekerja tetapi dia malah tidak berada dirumah. Setelah memeriksa kesemua penjuru rumah yang kosong melompong, aku mendatangi rumah Bu Andi tetangga yang rumahnya terletak bersebrangan. Kebetulan ia sedang menyapu halaman rumahnya, lebih baik aku tanyakan kepadanya.

“Permisi Bu Andi. Apakah Ibu melihat Anak dan Istri saya?” tanyaku seraya menyunggingkan senyum.

“Memangnya Pak Gunawan tidak tahu, Istri Bapak dibawa ke rumah sakit oleh Kakaknya. Katanya Bu Hanum ditemukan pingsan dikamarnya. Kalau anak-anak sudah dibawa sama Bik Inah kerumahnya!” jawab Bu Andi dan berhasil membuatku bagai tersambar petir disiang hari.

Aku bergegas meninggalkan Bu Andi tanpa berpamitan. Mengendarai motor menuju rumah sakit untuk mengetahui keadaan Hanum. Bisa gawat kalau sampai kak Lala bahkan ayah tahu kalau aku sudah meninggalkan Hanum yang sedang sakit.

Aku mengendarai motor dengan kecepatan penuh agar segera tiba di rumah sakit. Setibanya di tempat tujuan, aku bergegas memarkirkan kendaraan dan berlari menuju bagian informasi. Setelah mendapatkan informasi, aku setengah berlari menuju lift untuk sampai ke lantai dua rumah sakit tempat Hanum dirawat.

Sepanjang perjalanan, jantungku berpacu lebih cepat dari biasanya. Kak Lala dan ayah pasti marah besar karena kesalahanku. Kenapa Hanum tidak menghubungiku? Aku jadi ingat, terakhir Hanum meminta dibelikan kuota dua bulan yang lalu. Pasti kuotanya habis sehingga tidak bisa menghubungiku.

Otakku rasanya buntu memikirkan alasan yang tepat untuk menjawab pertanyaan kedua orang yang aku segani itu.

“Hanum!” panggilku saat memasuki kamar perawatannya.

Benar saja, kak Lala dan ayah berada disana. Mereka menatapku dengan tatapan penuh amarah.

“Mau apa kamu datang kemari?” bentak kak Lala kepadaku. Sorot matanya seperti elang yang siap menerkam mangsanya.

“Mengapa Kak Lala berbicara seperti itu? Aku suaminya Hanum, wajar jika aku datang kesini!” jawabku dengan dengan mimik wajah dibuat sendu. Aku berpura-pura bersedih melihat keadaan Hanum agar terlihat meyakinkan.

“Suami macam apa kamu, membiarkan Adikku pingsan di rumah sendirian?” hardiknya lagi.

Kilatan amarah terpancar dari sorot matanya. Aku sedikit gugup, tetapi berusaha menampilkan wajah bersalah agar akting yang dijalani terlihat natural.

Aku tidak menanggapi ucapan kak Lala, malah berjalan mendekat ke arah Hanum dan memeluknya. Aku kembali berakting supaya kak Lala tidak terus-terusan menyalahkan.

“Hanum sayang, kenapa kamu tidak menghubungiku kalau kamu sakit? Tadi pagi saat aku akan pergi bekerja, kamu terlihat baik-baik saja,” ucapku masih dengan wajah dibuat sesedih mungkin.

Hanum terlihat meneguk saliva dan memalingkan wajahnya. Jangan sampai wanita cengeng ini mengadu kepada ayahnya kalau aku sengaja meninggalkannya saat dia sedang kesakitan.

“Kamu lihat kan, Adikku sudah muak melihatmu. Sebaiknya kamu pergi dan jangan pernah ganggu adikku lagi. Aku dan Ayah masih sanggup merawat dan membiayainya tanpa kamu!” kali ini suara kaka Lala semakin meninggi.

Sementara ayah mertua hanya terdiam menjadi pendengar setia. Padahal biasanya beliau yang sellau membelaku.

Ya Tuhan...apakah ini akhir dari sandiwaraku?

Bab terkait

Bab terbaru

DMCA.com Protection Status