“Oke, biar Abi saja, Mi.” Haris lalu berjalan ke arah Agni, karena merasa lebih kuat dibanding Salma yang sedang hamil.Namun, hal mengejutkan terjadi.“Jangan sentuh aku!” teriakAgni dengan nyala marah di matanya. Ditepis tangan Haris dengan kasar.Haris terkejut, begitu jugadengan Salma. Apa yang terjadi dengan gadis itu? Agni memperlihatkanbetapa dia sangat benci pada Haris. Bahkan didekati saja tidak mau.Untuk sesaat suasana jadi aneh. Agni berusaha mengendalikan emosinya, ia kemudian minta maaf pada Haris.“Maaf, Bi. Agni hanya risih saja kalau Abi yang memapah dan memegangi tubuh Agni. Em, Agni sudah gede ....” Gadis kecil itu menyahut pelan, seolah –olah telah menyesal karena bersikap kasar pada orang tuanya.“Ah, ya sudah sama Umi saja.” Salma tidak berpikir panjang dan membawa Agni ke kamarnya.Saat ke duanya sudah bergerak menjauh, Haris tiba –tiba memanggil Salma.“Mi!”Salma berhenti sejenak, begitu juga Agni. “Ya?” wanita itu pun menoleh.“Ehm, kita bicara sekarang ya
“Ya. Umi pasti lelah.” Kini langkahnya mendekat pada Salma dan memeluknya dari belakang.“Ya.” Sakma menjawab datar. Meski sedikit terkejut sang suami serapat ini.“Kalau begitu, Abi akan memijat Umi pakai minyak zaitun.” Pria itu melepaskan pelukan. Lalu membuka resleting daster yang Salma kenakan.Istrinya itu hanya perlu melupakan yang terjadi, dan mereka akan menjalani rumah tangga seperti dulu lagi. Dengan begitu semua akan tetap baik –baik saja.Salma memejamkan mata. Menikmati setiap hal yang Haris lakukan sebagai seorang suami. Merasakan sentuhan demi sentuhan yang memang hangat dan getaran dalam hatinya tidak seperti dulu, sebelum ia mengetahui suaminya sudah tidur dengan wanita lain selama enam bulan lamanya.Wanita itu tak tahu apa menyerah dengan mudah seperti ini benar? Tapi menolak keinginan suaminya juga tidak benar setelah memutuskan untuk memaafkannya, dan kembali pada kewajiban sebagai seorang istri. Wanita itu berbalik, dan mendapati senyuman Haris yang menatapnya d
Inggit mendengkus ketika mobil yang mereka kendarai akhirnya parkir di halaman rumah minimalis. Albi ke luar, menutup pintu pagar. Tidak menerima tamu siapa pun yang datang, bahkan jika itu Pak Jokowi.Dengan malas, perempuan itu akhirnya ke luar dari mobil. Menutup pintunya dan bersandar di sana sambil memperhatikan apa yang Albi lakukan sekarang. Meski sudah terkurung seperti ini, setidaknya rasa takutnya tidak sebesar ketika berada bersama Mbah Wono semalam.“Kamu sangat bersemangat, Al.” Inggit menyilang tangan di dada.Albi mendekat. Mengunci tubuh wanita itu. Memandangi wajah cantik Inggit. Wanita yang juga dia anggap miliknya.“Kamu mencintaiku bukan?” tanya Albi. Kelopak matanya berkedip –kedip menunggu jawaban dari Inggit. Melihat wajah tampan itu begitu dekat dengannya, memancing emosi Inggit untuk mengakui bahwa dia menyukai pria itu. Kalau tidak, mana mungkin dia membiarkan Albi menyentuhnya?Inggit mengangguk pelan. Pria itu tersenyum simpul, sebelum akhirnya mendaratka
Albi kesal, sudah dua hari, menghubungi nomor Inggit tidak juga diangkat. Dia bahkan sampai nekad semalam, menerobos masuk ke rumah itu. Namun, tidak menemukan siapa pun. Sepertinya Inggit benar –benar menghindarinya, dengan tidur di rumah orang tuanya.Pemuda itu mana berani nekad ke sana? Bisa –bisa dia dilaporkan keamanan, atau paling parah dikirim santet. Albi bergidik membayangkan betapa Bapak Inggit sangat berambisi ketika menginginkan sesuatu.Kekesalannya sekarang, membuatnya ingat kejadian dua hari lalu, di rumahnya. Inggit serius ketika mengatakan jangan menghubunginya. “Heh, hanya karena kondom!”“Kamu sudah mau pergi?” tanya Albi pada Inggit yang sibuk mengenakan pakaiannya. Hari itu Albi menegur Inggit. Padahal mereka baru saja selesai melakukan sesuatu. Dia bahkan juga memuaskan wanita itu.Inggit belum menjawab. Matanya kemudian tak sengaja melihat dompet yang menyembul di kantong celana Albi. Celana itu tergeletak persis di depannya duduk di sisi ranjang menghadap lant
“Halo, Adek Agni!” Pak Willis menggerak –gerakkan telapak tangan tepat di depan wajah Agni yang sedang melamun.“Ah, ya.” Gadis remaja itu tersentak. Ia lalu memandang wajah Pak Willis dalam. “Pak, bukannya Bapak bilang ke Abi kalau istri mudanya berselingkuh?” Gadis itu terpikirkan sesuatu sekarang.“Hah?” Mata Willis melebar menatap Agni.Bagaimana anak sekecil ini bisa membahas perselingkuhan? Dari mana dia bia tahu kalau Willis sudah memergoki istri ke dua Bapaknya berselingkuh? Tidak mungkin kan Haris curhat pada orang lain, apa lagi pada anaknya sendiri.“Bapak tidak usah kaget begitu.” Agni menggigit bibir bawahnya. Ternyata begini rasanya bicara dengan gaya orang dewasa dan menghadapi lawan bicara orang dewasa pula dengan bahasan –bahasan dewasa.“Sudah, sebaiknya kamu pulang saja, Dik. Nanti orang tua kamu cemas.” Pak Willis tidak mau terlibat dalam masalah yang serius. Pria itu lalu berjalan pergi meninggalkan Agni.Namun, dengan cepat gadis kecil itu meraih tangan Pak Willi
“Buanglah, Pak. Bisa jadi nanti sudah hilang syirnya karena ada masa kedaluarsanya.” Inggit mengingatkan.“Kamu pikir roti!” Karim membantahnya. Dia tidak mau kehilangan Haris lagi. Inggit bahkan tidak bisa diandalkan. “Pak, ayolah. Apa Bapak akan baik –baik saja dengan ini? Bukannya yang Bapak mau cuma Mas Haris. Dia udah balik loh, Pak. Dia minta ini bukan tanpa alasan, karena Ustaz –nya sudah tahu dan sudah memperingatkan!” Inggit mulai kesal.“Apa itu artinya Haris juga sadar kalau dulu dia juga ....”“Ya, pasti Pak. Tapi, Mas Haris menepis pikiran –pikiran itu. Bapak tau anak Bapak ini cantik, jadi tanpa itu pun dia pasti benar –benar mencintaiku.” Inggit mengucapkan dengan percaya diri. “Nah ... bener kan? Kalian main dukun?!” seru Ibu Inggit yang tiba –tiba saja datang. “Haiss ....” Karim mendesis. Malas sekali membahas hal seperti ini dengan istrinya yang bawel. Mungkin dia sejalan dengannya, tapi walau bagaimana, Ibu Inggit adalah kakak dari Wawan yang sok agamis, jadi pas
“Apa kamu akan mengatakan semua yang kamu ketahuii pada Umi?” tanya Maya, sang driver ke pada gadis kecil yang berada di seberang meja.Mereka kini berada di sebuah Kafe dan memakan menu sederhana yang disediakan. Perjalanan masih jauh. Karena merasa tak nyaman pada Pak Willis, mereka memilih langsung pulang ketimbang merepotkannya dengan makan siang.Agni terkesan menyuap makanan dengan engga. Dia tahu meski tak berselera tetap saja harus makan. Kalau tidak, dia akan sakit dan menambah beban Uminya yang sudah begitu berat.“Umi sedang hamil, Mbak. Hamil besar.” Agni menyahut lemah. “Apa akan baik –baik saja kalau tahu Abi masih menipunya?” Kini Agni mengangkat kepala menatap wanita dewasa yang mentraktirnya makan tersebut.Maya tersenyum miris. Dia tidak tahu apa yang harus dikatakan? Benar juga, Uminya Agni sedang hamil tua dan harus bersiap melewati proses persalinan. Bagaimana jika masalah berat yang disandingkan dengan kondisi itu, akan berefek pada kesehatannya dan janin dalam k
Haris terus tersenyum. Salma rupanya selain baik juga polos. Dia juga sangat mencintai Haris, sehingga pria itu tidak kesulitan mengatasi situasi rumit yang menerpa. “Maafkan aku Salma.” Pria itu bicara seolah Salma ada di hadapannya. “Bukan aku tidak mau menginggalkan Inggit, tapi aku harus memperhatikan keselamatan kamu, mengingat betapa Pak Karim bisa melakukan apa pun demi ambisinya. Aku juga tidak mau berdosa karena menelantarkannya. Bayangkan saja, aku yang pertama kali menikahinya. Dia kehilangan kegadisan karena aku. Apa iya aku dengan begitu jahat dan mudahnya menjadikannya janda? Bukankah perceraian sangat dibenci Allah, dan kita diperbolehkan berbohong untuk menjaga keharmonisan rumah tangga? Itulah yang aku lakukan sekarang. Aku tidak mau merusak rumah tangga kita yang kata kamu bahkan sudah kita jaga selama lebih 15 tahun. Karenanya aku berbohong. Suatu saat kamu pasti paham. Toh waktuku tetap lebih banyak buat kamu dan anak –anak kita. Inggit sudah mau mengalah, dan b