Share

SETELAH AKU DIMADU
SETELAH AKU DIMADU
Author: Kak Semok

Lendir?

"Nggak pulang lagi, Mas?" tanyaku di telepon setelah berhasil membuat panggilan ke dua puluh dua kali yang baru diangkat suamiku.

"Masih banyak kerjaan, Sayang. Kamu tidur aja duluan ya. Ntar subuh aku pasti pulang."

Jawaban yang sama yang aku dengar dari mas Irwan hampir seminggu belakangan ini. Kerjaan numpuklah, masih menemani atasan lah, menemani klienlah. Pulang selalu sudah subuh. Tiap pulang, langsung tidur, tak sempat mau ngobrol dengan istri lagi. Belum lagi, kadang tercium aroma alkohol dari mulutnya, padahal sudah berkali-kali aku katakan, aku tak suka dia minum-minum.

Cuma aku ini bisa apa? Aku cuma seorang istri yang harus nurut kata suami. Pernah sekali aku bertengkar dengannya perkara hal yang sama, wah, mas Irwan langsung ngambek tak pulang berhari-hari. Katanya aku yang tak punya hati, suami capek kerja malah dimaki-maki. Padahal aku tidak memakinya, aku hanya mengeluarkan pendapatku sebagai seorang istri.

Suamiku seorang yang bekerja di sebuah perusahaan properti dengan jabatan yang cukup tinggi. Penghasilannya cukup besar. Dari pekerjaannya itu, sekarang kami tinggal di rumah yang cukup besar berlantai dua dengan halaman yang cukup luas pula. Tentu itu dengan harus menabung beberapa tahun dulu. Aku juga termasuk istri yang pandai mengatur pengeluaran, jadi untuk hal ekonomi, hampir tak ada masalah sama sekali.

Cuma sekarang aku jadi berpikir macam-macam karena dia sering tak pulang. Naluriku sebagai seorang istri merasa tak tenang. Pernah terpikir suamiku main gila dengan perempuan lain. Tapi seringnya aku tepis prasangka itu. Mas Irwan orangnya gila bekerja, bukan gila main wanita. Begitulah bisik hatiku selalu menenangkan.

Tapi sekarang rasanya mulai wajar. Masa selalu lembur hampir setiap hari? Dengan alasan yang selalu sama pula. Wajarkan aku yang seorang istri ini jadi curiga? Apa aku perlu cek ponselnya ya? Selama ini kami memang saling percaya. Tak pernah sibuk mengotak atik ponsel lain. Apalagi kata mas Irwan, di dalam ponselnya banyak hal penting tentang pekerjaan.

"Ma."

Aku tersentak, menoleh sebentar ke arah pintu kamarku yang memang tak tertutup. Puteraku satu-satunya sedang berdiri sambil menguap. Usianya sudah tujuh tahun.

"Kok belum tidur, Nak?"

Aku segera menghentikan segala bentuk kecurigaan terhadap suamiku untuk sementara lalu mendekat kepada Rafa, puteraku itu.

"Haus, Ma, air minum habis."

Dia menunjukkan gelas di tangannya yang sudah kosong. Aku memang terbiasa meletakkan satu gelas air minum karena Rafa sering terbangun untuk minum.

"Oh, ya udah, balik kamar gih, sebentar lagi Mama ke sana sambil bawa air minum lagi."

"Mama cari papa lagi ya?"

Tanpa mengindahkan perintahku barusan, Rafa bertanya dengan malas. Anak sekecil itu ternyata bisa merasakan kegelisahan ibunya yang memang sedari tadi sedang tak tenang.

"Ehmmm, enggak. Tadi udah telepon papa, papa bilang masih ada kerjaan."

Akhirnya Rafa mengangguk, lalu berbalik dan meninggalkan kamarku menuju kamarnya sendiri. Aku menarik nafas panjang, mengarahkan mataku ke jam dinding yang sekarang bergerak ke pukul dua belas malam.

Gegas ku langkahkan kaki menuju ke dapur, menuruni perlahan anak tangga dengan perasaan gamang. Hatiku tiba-tiba saja tak tenang. Namun, aku harus segera mengantarkan minuman ini ke kamar puteraku.

Saat aku tiba di kamar, kulihat Rafa sedang menunggu sambil terkantuk-kantuk.

"Ini, minum lah. Habis ini langsung tidur ya, besok kan ada acara di sekolahnya Rafa."

"Papa ikut kan, Ma?"

Aku terdiam, dalam dua bulan ini, mas Irwan tak lagi mau ikut setiap ada acara di sekolah Rafa. Katanya kesibukan membuatnya tak bisa ikut hadir.

"Nanti Mama ajak papa ya."

Rafa hanya mengangguk kecil. Aku yakin, puteraku ini juga kecewa kepada ayahnya yang semakin hari sikapnya malah semakin cuek. Namun, aku mencoba untuk tetap berpikir positif, mungkin memang pekerjaan mas Irwan benar-benar tak bisa ditinggal walau hanya sebentar.

***

"Minum lagi, Mas?" tanyaku sambil menutup hidung setelah mencium bau alkohol dari mulut suamiku ketika dia ingin mengecup bibirku.

"Sedikit, Sayang."

"Sedikit!" balasku sarkas. "Tadi katanya ada kerjaan lagi, lembur lagi, kok malah minum-minum. Kamu lembur di diskotik memangnya?" tanyaku kesal.

"Udahlah, Nggit. Ini udah subuh, aku capek! Minum sedikit sama temen di kantor kan gak masalah. Itu cara kami mengusir ngantuk waktu lagi nyelesain kerjaan!" balasnya ketus sambil melempar baju kerjanya sembarangan.

"Terus enggak selesai juga kan kerjaannya? Besok pasti lembur lagi!"

Mas Irwan menatapku tak suka lalu mulai memejamkan matanya. Aku memejamkan mata sesaat. Di saat harusnya orang-orang mulai bangun dan beraktivitas atau menunaikan ibadah, suamiku ini malah baru mau tidur. Besok jam sembilan pagi dia sudah harus pergi lagi bekerja, pulang di jam seperti ini lagi. Aku mendengus tanpa sadar.

"Mas!" Aku mendekat, mengguncangkan tubuhnya hingga membuat dia kembali membuka mata dan menatapku dengan kesal.

"Apa lagi? Aku mau istirahat, Inggit! Nggak bisa ya kalo mau ngomong besok aja?"

"Kamu inget gak besok ada acara di sekolahnya Rafa. Anak kita tampil loh, Mas. Dia pengen kamu datang."

Mas Irwan tampak diam sebentar lalu dia menggeleng. "Enggak bisa, aku ada meeting besok sama klien."

Aku menatapnya dengan pandangan kecewa tapi mas Irwan tak peduli. Dia kembali merebahkan tubuhnya di atas kasur lalu tak lama kemudian tertidur pulas.

"Kamu nggak mikirin Rafa, Mas," desahku dengan perasaan sedih yang membuncah.

Ku tatap jam dinding yang sudah bergerak ke angka lima lalu segera pergi ke bawah, mengambil wudhu lalu menunaikan subuh yang sudah cukup terlambat ini.

Setelah itu, aku segera membuka pintu setelah mendengar seseorang memencet bel. Aku tersenyum, mendapati mbok Yem, art rumah kami yang datang subuh dan akan pulang di sore hari.

"Habis nangis ya, Nya?" tanyanya dengan pandangan heran.

Aku hanya tersenyum kecil lalu mengajaknya masuk. "Biasalah, Mbok," jawabku singkat.

"Yang sabar, Nya. Ini si Mbok langsung ke belakang ya."

Aku mengangguk, melepas mbok Yem menuju dapur untuk masak dan mencuci beberapa pakaian kotor. Kadang, aku memang seringkali curhat kepada mbok Yem tentang kegundahanku.

"Nyonya."

Aku segera menoleh, melihat mbok Yem kembali menuju ke arahku sambil membawa sesuatu. Benda yang sekarang berada di tangannya terjuntai, baju kerja suamiku yang tadi sempat aku pungut dan kemudian kuletakkan di atas mesin cuci.

"Kenapa, Mbok?" tanyaku heran.

"Ini, Nya."

Mbok Yem menunjukkan sesuatu yang menempel kepadaku di sana. Aku tak melihat apa, tapi kemudian saat ku amati lebih dekat, mataku membulat sempurna, itu tentu saja bukan lendir ingus tapi sesuatu yang lain. Batinku mulai bergejolak. Mbok Yem memandangku dengan tatapan yang juga bingung, sedih, campur aduk.

"Mboookkk!" tangisku pecah seketika.

Comments (1)
goodnovel comment avatar
Lemari Kertas
bab pertama udah dibikin gregetan
VIEW ALL COMMENTS

Related chapters

Latest chapter

DMCA.com Protection Status