Share

Praduga

Amarahku memuncak sampai ke ubun-ubun. Tadi mbok Yem dengan susah payah menenangkan aku di belakang. Tangisku pecah di pelukan perempuan tua itu. Meski aku tidak bisa menuduh mas Irwan secara langsung, tapi bagaimana mungkin sperma orang lain bisa ada di sekitar pakaian jika itu bukan miliknya sendiri?

"Aku sakit hati, Mbok. Apa yang musti aku lakukan? Oh, apa aku labrak saja ya mas Irwan sekarang?" tanyaku putus asa.

"Jangan, Nya. Tenang dulu. Ini kan belum tentu benar kalau punya tuan."

"Mbok ini, ya bagaimana lendir orang lain bisa menempel di baju dan celananya kalau bukan miliknya sendiri? Masa ini punya coby?"

Aku kembali terisak, tak mungkin kan itu lendir milik kucingku yang memang sedang birahi?

"Nya, coba diselidiki dulu betul-betul. Mbok bukannya mau mengajari Nyonya, tapi kalau Nyonya gegabah, nanti malah gak akan dapat bukti apa-apa."

Aku menghentikan isak perlahan, mengatur nafas yang tadi sesak karena tangis. Namun, betul juga apa yang dikatakan oleh mbok Yem. Aku harus bisa menemukan bukti lain jika memang mencurigai suamiku berselingkuh.

"Jadi maksud Mbok, aku musti pura-pura gak tahu dulu?"

Mbok Yem mengangguk perlahan. Aku menarik nafas panjang. Benar, nampaknya aku memang tak boleh gegabah. Aku harus bisa membuktikan kebenarannya. Meski sekarang rasanya aku jijik dan tidak sanggup melihat atau berdekatan dengan suamiku.

"Mbok, beberapa hari lagi kebetulan Rafa libur. Kalau aku titip Rafa di rumah Mbok barang sehari, apa boleh?" tanyaku penuh harap kepada mbok Yem yang segera mengangguk dan tersenyum kecil.

"Ya boleh, Nya, itu cucu saya pasti senang ada Den Rafa."

Aku menghela nafas lega, sepertinya aku memang harus menyelidiki semua ini. Tak apalah menitipkan Rafa kepada mbok Yem kelak karena aku akan melakukan pengintaian di malam hari. Tak mungkin aku meninggalkan Rafa sendirian kelak.

Tunggu kau, Mas, akan aku buktikan kecurigaanku terhadap kecuranganmu selama ini.

"Ya sudah, Mbok kembali ke dapur ya. Nanti kita pura-pura gak tahu kalau mas Irwan sudah bangun."

Mbok mengangguk lagi, lalu meninggalkanku sendiri yang termenung di sofa ruang tengah. Aku duduk dengan kepala berdenyut nyeri setelah lelah berpikir. Kalau saja tak ingat hari sudah beranjak pukul enam pagi dan aku harus pergi bersama Rafa ke sekolahnya, mungkin aku sudah akan sibuk dengan membongkar isi ponsel mas Irwan yang aku yakin, banyak sekali menyimpan rahasia kecurangannya terhadapku.

Namun, aku memilih diam dulu. Aku harus bertindak dengan tenang, dengan terukur dan rapi agar mas Irwan tak curiga bahwa aku sudah mencium permainannya.

"Tenang, Inggit, jangan gegagah."

Aku menarik nafas panjang lalu menghembuskannya kasar. Perlahan aku bangkit dari posisiku, aku segera naik dan masuk ke dalam kamar. Kulihat, suamiku yang tak setia itu sedang tidur dengan pulas. Lalu, mataku menangkap sebuah tanda merah di leher belakangnya.

Aku segera mendekat, untuk mempertegas penglihatan. Hatiku berdenyut nyeri, meski tak begitu jelas, tapi aku tahu betul tanda apa itu. Ya Tuhan, sungguh jahat kamu, Mas. Sekarang aku betul-betul yakin kalau kamu memang sudah main serong dengan orang lain di luar sana.

Lalu, mataku menangkap ponsel yang tergeletak di atas nakas. Baru saja aku hendak meraihnya, aku tersentak ketika suara pintu dibuka.

"Ma, papa jadi ikut kan?"

Kulihat Rafa baru saja bangun, dia sedang mengucek matanya. Aku sedih, sedih karena harus mengatakan bahwa hari ini, ayahnya kembali tak bisa menemani kami.

"Ehmmm, Rafa mandi dulu ya. Nanti kita bicarakan di bawah sambil sarapan."

"Tapi papa ikut kan, Ma?"

Aku tak bisa menjawab dengan suara, aku hanya mengangguk kecil membuat Rafa segera ke kamarnya sendiri untuk mandi. Rafa pasti kecewa kalau aku sempat berbohong kepadanya.

***

"Papa mana, Ma? Kok enggak sarapan bareng kita?" tanya Rafa yang telah berseragam rapi. Aku menatapnya sendu, bingung harus mengatakan apa.

"Papa hanya bisa mengantar Rafa dan Mama, sebab Papa harus bertemu dengan klien."

Suara yang diikuti ketukan langkah sepatu dari atas membuat aku dan Rafa serentak menoleh. Mbok Yem sedang menuangkan susu untuk puteraku itu. Kami jadi saling lirik.

Aku juga tak tahu jika mas Irwan sudah bangun dan sekarang turun ikut bergabung untuk sarapan bersama meski agak terlambat. Namun, yang aku kecewa, dia tetap saja tidak bisa ikut bersama kami.

"Kenapa sih Papa gak pernah bisa datang," keluh Rafa sambil mengaduk-aduk makanannya dengan tak berselera.

"Rafa, Papa benar-benar gak bisa. Kamu sama Mama saja dulu. Ini klien penting buat Papa."

"Sepenting apa sih, Mas, sampe kamu gak bisa meluangkan waktu cuma beberapa jam di sekolah anak kita?"

"Kamu gak akan paham, Sayang. Udahlah, aku ini kerja buat kalian, jangan didebat terus."

Melihat Rafa yang mulai tak nyaman karena pertengkaran kecil ini, aku segera tersenyum kepadanya.

"Rafa, gak apa ya, Nak. Papa benar-benar lagi gak bisa. Nanti pasti Papa punya waktu bareng kita lagi."

Dan Rafa hanya mengangguk kecil lalu kembali melanjutkan makannya dengan perlahan.

Ketika sudah berada di dalam mobil, aku dan mas Irwan sama sekali tak bicara. Entahlah, semenjak aku mencium kecurangannya, aku mulai malas untuk bicara bahkan melihatnya saja aku muak.

"Nanti bisa pulang pakai taksi kan? Aku gak bisa memperkirakan kelar meeting jam berapa."

"Ya, gak masalah," jawabku singkat.

Suamiku menoleh, melihat dengan kening berkerut sementara aku tak lagi memperdulikan keheranannya. Aku ingin segera sampai, sebab sekarang melihatnya terlalu lama membuatku benar-benar mual. Ingatan tentang lendir di pakaiannya, tanda merah di belakang lehernya, membuat aku geli. Entahlah nanti bukti apa lagi yang akan aku temukan dan perempuan macam apa yang selama ini menjadi selingkuhannya.

Aku hanya sedang mempersiapkan diri untuk mendapatkan kejutan apalagi dari suami yang tidak setia ini kelak.

Saat sampai di sekolah Rafa dengan banyaknya para orangtua murid yang sudah hadir hingga sampai acara berlangsung, hatiku masih saja nyeri. Aku gelisah, ingin rasanya aku menyusul mas Irwan ke kantornya sekarang. Namun, melihat wajah Rafa yang sedang bernyanyi bersama teman-temannya di atas panggung yang dengan senyum khasnya menatap ke arahku, aku jadi lebih tenang.

Senandung dari hatiku untuk Mama...

Nyanyian Rafa dan teman-temannya membuat aku tersentuh dan menitikkan airmata. Aku jadi berpikir, jika benar mas Irwan main serong, bagaimana nanti nasin puteraku? Haruskah dia aku pisahkan dari ayahnya? Haruskah ada perpisahan?

Entahlah, sekarang aku hanya bisa berharap semoga saja praduga selama ini salah. Semoga saja mas Irwan tak benar-benar mengkhianati kesetiaanku selama ini. Aku meraih tisu, mengusap airmata yang kian banyak jatuh.

Bab terkait

Bab terbaru

DMCA.com Protection Status