Setelah kemarin acara pernikahan mas Irwan dan Erika digelar, aku begitu terkejut ketika hari ini mendapati keduanya datang ke rumah. Padahal aku dan mas Irwan sudah sempat menyepakati bahwa Erika tidak akan tinggal di rumah ini karena aku masih menjaga perasaan Rafa. Namun, sekarang kenapa Erika ikut pulang bersama mas Irwan, bahkan membawa koper dan beberapa barangnya?"Kenapa dia ikut ke sini, Mas? Kita udah sepakat ya, dia nggak tinggal di sini sama kita. Kamu bisa bebas pergi dengannya dan tinggal dengannya, asal gak di sini," ujarku yang langsung melayangkan protes kepada mas Irwan. "Kenapa kamu yang mengatur? Ini kan rumah suamiku juga, jadi aku juga berhak untuk tinggal di sini dong! Enak aja kamu mau tinggal di sini sendirian sama anakmu aja! Aku juga lagi mengandung anaknya Mas Irwan, jadi aku juga berhak!" Aku memandang sengit Erika. Sudah dipastikan bahwa kehidupan rumah tangga ini akan kacau setelah kehadirannya di sini. Aku tidak akan pernah mau berbaikan dengan peremp
"Nggak pulang lagi, Mas?" tanyaku di telepon setelah berhasil membuat panggilan ke dua puluh dua kali yang baru diangkat suamiku."Masih banyak kerjaan, Sayang. Kamu tidur aja duluan ya. Ntar subuh aku pasti pulang." Jawaban yang sama yang aku dengar dari mas Irwan hampir seminggu belakangan ini. Kerjaan numpuklah, masih menemani atasan lah, menemani klienlah. Pulang selalu sudah subuh. Tiap pulang, langsung tidur, tak sempat mau ngobrol dengan istri lagi. Belum lagi, kadang tercium aroma alkohol dari mulutnya, padahal sudah berkali-kali aku katakan, aku tak suka dia minum-minum. Cuma aku ini bisa apa? Aku cuma seorang istri yang harus nurut kata suami. Pernah sekali aku bertengkar dengannya perkara hal yang sama, wah, mas Irwan langsung ngambek tak pulang berhari-hari. Katanya aku yang tak punya hati, suami capek kerja malah dimaki-maki. Padahal aku tidak memakinya, aku hanya mengeluarkan pendapatku sebagai seorang istri.Suamiku seorang yang bekerja di sebuah perusahaan properti d
Amarahku memuncak sampai ke ubun-ubun. Tadi mbok Yem dengan susah payah menenangkan aku di belakang. Tangisku pecah di pelukan perempuan tua itu. Meski aku tidak bisa menuduh mas Irwan secara langsung, tapi bagaimana mungkin sperma orang lain bisa ada di sekitar pakaian jika itu bukan miliknya sendiri? "Aku sakit hati, Mbok. Apa yang musti aku lakukan? Oh, apa aku labrak saja ya mas Irwan sekarang?" tanyaku putus asa. "Jangan, Nya. Tenang dulu. Ini kan belum tentu benar kalau punya tuan." "Mbok ini, ya bagaimana lendir orang lain bisa menempel di baju dan celananya kalau bukan miliknya sendiri? Masa ini punya coby?"Aku kembali terisak, tak mungkin kan itu lendir milik kucingku yang memang sedang birahi? "Nya, coba diselidiki dulu betul-betul. Mbok bukannya mau mengajari Nyonya, tapi kalau Nyonya gegabah, nanti malah gak akan dapat bukti apa-apa."Aku menghentikan isak perlahan, mengatur nafas yang tadi sesak karena tangis. Namun, betul juga apa yang dikatakan oleh mbok Yem. Aku h
"Papa nggak jemput kita, Ma?"Pertanyaan itu meluncur dari mulut Rafa ketika kami sudah keluar dari gerbang sekolah dan kini tengah berada di pinggir trotoar, menunggu taksi yang akan lewat. "Iya, Nak. Kita naik taksi saja ya." "Yaaaaa, padahal Rafa kan mau pergi ke kedai eskrim, Ma." "Ya udah, kita berdua aja ya dulu."Rafa tersenyum lalu mengangguk. Ada kedai eskrim langgananku dan Rafa, dekat dengan mall yang kerap kami kunjungi jika akhir pekan. Tak apalah menyenangkan puteraku meski harus naik taksi dua kali kelak. Kami tiba di kedai eskrim yang ternyata hari ini cukup ramai. Aku segera mengantri dengan Rafa yang sedang menunggu di meja yang telah kami pilih. Mataku menatap ke sekeliling, di seberang kedai ini terlihat orang-orang keluar masuk mall.Aku membawa dua cup eskrim yang akan aku nikmati bersama Rafa. Terlihat puteraku itu tersenyum senang saat aku menyerahkan satu cup eskrim kesukaannya. "Enak?" tanyaku kepadanya yang begitu lahap. "Enak, Ma. Sebenarnya lebih ena
Kepalaku masih saja berdenyut nyeri ketika aku terbangun. Aku mendengar suara air dari pancaran shower yang ada di dalam kamarku dan mas Irwan. Suamiku yang bajingan ini ternyata sudah pulang. Sudah puas mungkin dia bercumbu dengan gundiknya. Aku mengepalkan jemari yang tertaut terbenam ke dalam lengkungan seprai. Aku mencengkramnya kuat, menahan segala bentuk kemarahan yang sebenarnya ingin sekali aku ledakkan di depan wajah mas Irwan sekarang. Perlahan aku bangkit dari tempat tidur, ketika ku sibak tirai, ternyata senja telah memayungi langit. Tampak rumput di bawah sana basah, rupanya sempat hujan. Aku tak tahu, sebab sudah begitu pulas tidur tadinya selama beberapa jam. Lalu kemudian sayup-sayup terdengar mas Irwan keluar dari kamar mandi. Aku menoleh sesaat kepadanya. "Udah bangun? Aku tadi lihat kamu pulas tidurnya, jadi gak mau bangunin." Dia berkata dengan santai, perlahan bergerak mendekatiku. Aku diam saja ketika dia sekarang bergerak semakin mendekat, menyibak sedikit a
"Ngapain kok lama banget di toilet, Mas?" tanyaku kepada mas Irwan setelah dia kembali lagi ke meja kami. Nampak layar ponselnya menyala, nampaknya dia baru saja selesai berkomunikasi dengan perempuan itu sebelum benar-benar kembali ke meja ini. Aku juga sempat melihat perempuan itu makan dengan perlahan sembari melihat-lihat ponselnya. Sesekali bahkan perempuan itu tampak tertawa kecil, entah apa yang mereka bicarakan tadi lewat ponsel masing-masing. "Sakit perut, Sayang. Biasalah, aku kan gak bisa makanan yang pedas," kilahnya. Aku mengangkat bahu, berlagak seolah aku percaya dengan alasannya barusan. Aku berusaha untuk tetap tenang dan kembali makan dengan teratur. Sejauh ini, aktingku cukup bagus, meski aku sudah benar-benar gemetaran di dalam hati. "Kita balik aja langsung habis ini, Mas. Kasihan Rafa kalau tidurnya kemaleman." "Iya, Sayang. "Kami kembali sibuk dengan makanan masing-masing. Bisa aku rasakan jika dua manusia ini masih saling melirik. Aku berusaha untuk mengab
Aku masih tergugu menangis sembari ditemani mbok Yem. Mataku pasti nampak bengkak sekarang. Setelah menyaksikan kenyataan di rumah sakit tentang mas Irwan dan gundiknya tadi, rasanya duniaku benar-benar sudah hancur. Bukan lagi diambang kehancuran, tapi memang sudah hancur lebur. Setiap butiran airmata juga sesak di hati yang kurasa sekarang adalah penggambaran kekecewaanku yang semakin dalam. Aku tak bisa lagi sekarang hanya sekedar diam dan menunggu. Selama ini, aku hanya melihat di film-film yang menceritakan tentang perselingkuhan dan ketika aku merasakannya sekarang, aku jadi tahu bahwa begitu sakit dan terlukanya para istri yang telah dikhianati suami mereka. "Nyonya harus sabar, harus tenang. Mbok tahu ini sulit, tapi Nyonya tidak boleh terus-terusan bersedih seperti ini." Kalimat penenang yang sedari tadi keluar dari mulut mbok Yem nyatanya tak mampu meredam tangisku. Namun, usapan lembutnya di punggungku seakan memberi ketenangan tersendiri. Aku ini jauh dari keluargaku yan
Waktu beranjak pukul setengah delapan malam setelah aku selesai membacakan dongeng untuk Rafa yang telah memejamkan matanya. Mas Irwan masih berada di rumah, dia belum pergi. Aku menutup pintu kamar Rafa dengan hati-hati, takut nanti puteraku itu terbangun lagi. Gegas ku langkahkan kaki menuju ke kamarku dan mas Irwan yang memang berseberangan dengan kamar Rafa. Saat aku membuka pintu, kulihat tak ada mas Irwan di sana. Tapi pintu yang menuju ke balkon tampak terbuka sedikit. Pasti dia ada di sana. Aku bergerak ke sana, baru saja hendak menguak daun pintu lebih lebar, aku mendengar mas Irwan tengah asyik berteleponan dengan seseorang. Urung aku mendekatinya, aku lebih tertarik untuk menguping pembicaraannya dengan lawan bicaranya di telepon saat ini. "Sabar sebentar, Sayang."Terus aku mendengarkan dengan seksama. "Aku udah pesan hotel buat kita tiga hari ini. Aku tahu kamu udah mulai risih sama tetangga-tetangga kamu karna aku sering ke sana, jadi aku udah sewa kamar hotel lengkap