Share

ANCAMAN

Author: NawankWulan
last update Last Updated: 2025-12-09 10:23:17

"Man! Nasehati anak sulungnya itu supaya belajar sopan santun. Anak sekolahan kok nggak punya unggah-ungguh. Kaya nggak pernah dididik orang tua saja!" sentak Budhe Umayah yang masih duduk di sofa. Tak selang lama dia mengambil tas jinjing bermerknya yang berharga puluhan juta itu.

Bapak yang baru saja masuk rumah setelah membereskan halaman, mendadak terdiam lalu menatapku lekat saat mendengar bentakan Budhe Umayah. Meski hanya dengan menatapku dan tanpa bicara sepatah katapun, aku tahu jika bapak menanyakan kesalahanku kali ini.

Aku membisu. Sebenarnya tak ingin melawan bapak. Hanya saja bapak sering memintaku agar lebih tenang dan tak mudah terlibat dalam perdebatan dengan siapapun, apalagi dengan orang yang lebih tua. Buat apa berdebat apalagi dengan Budhe Umayah karena baginya, salah ataupun benar, aku akan tetap dianggap salah. Hasil akhirnya pun sudah bisa ditebak. Bapak akan turun tangan untuk memintaku mengalah dan minta maaf.

"Na ...." Emak menggoyang lenganku dengan mata berkaca.

"Riana nggak salah, Mak. Ngapain minta maaf segala?" protesku untuk ke sekian kalinya.

"Benar, Mak. Kenapa sih kita harus selalu mengaku salah meskipun bukan kita yang salah?" Liana, adikku yang baru menginjak kelas tiga sekolah menengah atas itu pun ikut protes. Seperti biasa, aku dan dia memang sejalan dalam banyak hal.

"Mengalah dan minta maaf belum tentu salah kok, Nak. Itu hanya secuil bentuk hormat pada orang yang lebih tua," lirih Emak sembari mengusap lenganku dan Liana yang duduk di sampingku.

Kami lesehan di atas karpet, sementara Budhe Umayah dan Sesil duduk di sofa sembari menyilangkan kedua kakinya. Benar-benar seperti ratu dan upik abu,bukan selayaknya saudara.

"Harusnya anak budhe itu yang diajari unggah-ungguh, bukan aku dan Liana." Tak menuruti perintah Emak, aku justru semakin membuat Budhe meradang.

"Lihat tuh, Man! Kedua anak perempuanmu itu memang nggak punya aturan. Masih ingusan saja sudah belagu, apalagi kalau sudah besar. Masih miskin saja sudah sombong, apalagi kalau punya sedikit harta pasti makin jumawa!" sentak Budhe Umayah lagi.

"Maaf ya, Budhe. Kata-kata itu jauh lebih cocok untuk keluarga budhe sendiri." Aku kembali menyahut. Kutarik perlahan tangan Emak, tapi wanita bermata teduh itu justru terisak. Dia tak beranjak dari tempat duduknya dan tetap memintaku untuk minta maaf tanpa kutahu di mana letak salahku.

Melihatnya seperti itu, jelas aku tak tega. Mau tak mau, aku pun mengikuti perintahnya untuk minta maaf pada wanita modis itu meski sebenarnya enggan.

"Aku minta maaf kalau banyak salah, Budhe." Lirihku mencoba meredam kekesalan dalam dada.

"Kenapa? Takut nggak bisa bayar kontrakan dan nggak bisa makan?" sindir wanita itu lagi.

"Nggak usah dibantu kalau masih belagu, Ma." Sesil ikut menimpali. Dia melirikku sinis lalu membuang muka.

"Ohya, Na. Jangan pernah menggoda Mas Hasbi ya! Ingat, kamu itu siapa dan dia itu siapa. Dia bakal nikahin aku dua tahun lagi setelah dia lulus kuliah. Jangan jadi perempuan penggoda, sebab aku tak akan melepaskanmu begitu saja kalau sampai Mas Hasbi berpaling dariku apalagi cuma gara-gara kamu!" ancam Sesil entah berapa kalinya.

Sejak dulu dia memang terlalu berambisi dengan Mas Hasbi. Kakak tingkatku itu memang memiliki pesona yang di atas rata-rata. Selain tampan, kaya dan ramah, dia juga pintar soal akademik.

Pesonanya membuat banyak teman seangkatan bahkan adik ataupun kakak kelas jatuh hati. Mungkin aku pun sama, hanya saja benar kata Sesil, aku cukup tahu diri.

Apalagi kedua orang tuanya terang-terangan tak menyukaiku. Karena itu pula aku tak ingin berjuang karena kupikir hanya sia-sia belaka. Bagiku, restu orang tua adalah segalanya.

"Ambil nih! Ingat, ajari anakmu sopan santun dan jangan belagu kalau kamu masih butuh duitku!" Budhe menatap tajam pada Emak yang melangkah perlahan sembari sedikit membungkukkan badan saat mengambil amplop putih itu dari atas meja.

"Iya, Mbak. Nanti akan kuajari kedua anakku untuk lebih menghormati orang lain, apalagi orang yang lebih tua dari mereka," ujar Emak dengan senyum tipis. Senyum yang terasa begitu dipaksakan.

"Sekalian ajari mata anak perempuan bibi itu supaya nggak jelalatan lihat calon suami orang!" tukas Sesil sinis.

Tak menjawab, Emak hanya menatapku sesaat. Aku pun menggelengkan kepala sebab tak pernah merasa curi-curi pandang pada laki-laki itu. Justru aku yang sering melihatnya melirik ke arahku meski aku pura-pura tak tahu.

"Bi!" sentak Sesil saat melihat Emak diam saja tak membalas perintahnya.

"Jangan bentak Emakku!" Liana tak mau kalah.

"Apa sih bocah ingusan!"

"Ingusan, tapi--

Tak ingin ribut, emak menarik lenganku dan Liana bersamaan setelah pamit pada Budhe dan Pakde yang baru datang setelah mengantar Paklek ke halaman sebelum mereka pulang.

Sesil masih saja ngoceh saat aku dan Liana menjauh dari tempat duduknya. Sementara Budhe Umayah terus menenangkan anak emasnya itu agar tak perlu mengkhawatirkan Hasbi.

"Hasbi nggak buta, Sayang. Dia tahu mana berlian dan mana kerikil kali. Tenang sajalah, lagipula orang tua Hasbi mana mau punya menantu melarat. Mereka nggak akan setuju."

"Aku tahu, Ma. Tapi namanya lelaki, kadang khilaf juga kalau lihat perempuannya terus menggoda." Isak Sesil tanpa kulihat ekspresinya.

"Sudah, jangan didengerin." Ibu berujar lirih.

"Kamu tenang saja deh. Riana nggak bisa macam-macam. Kalau sampai dia merebut Hasbi dari kamu, mama nggak akan bantu keluarganya lagi. Tahu sendiri kan, selama ini mereka bergantung pada kita? Hasil dari jualan kopi sama cuci setrika berapa sih? Mana cukup buat hidup mereka berempat."

Aku masih jelas mendengarnya. Sepertinya Budhe Umayah juga sengaja memperkeras suara agar kami semua mendengar obrolannya. Bapak yang baru mengambil motornya dari halaman belakang hanya menatap kami bergantian.

"Ada apalagi?" tanyanya singkat.

"Biasalah, Pak. Mak Lampir sama nenek sihir!" sahut Liana yang mendapatkan cubitan Emak. Takut jika dua perempuan itu kembali mendengar ucapan Liana.

"Mbak, aku doakan Mbak lekas dapat kerja supaya mereka tak terlalu merendahkan kita," ucap Liana dengan mata berkaca. Aku mengangguk pelan lalu buru-buru mengambil handphone jadulku saat terdengar ada sebuah pesan masuk di sana.

[Mbak Riana ya? Maaf ini Yuni. Saya diminta bapak untuk memberi tahu Mbak Riana kalau besok pagi sebelum jam tujuh harus sudah sampai di rumah ya? Ada beberapa hal yang akan bapak jelaskan mengenai Mas Rama]

Aku tersenyum tipis saat membaca pesan itu. Waktunya untuk membuktikan pada keluarga besar Emak yang sombong itu jika aku juga bisa sukses tanpa harus terus tunduk, mengalah dan merendahkan harga diri di depan mereka. Lihat saja nanti. Akan kubuat mereka menyesal sudah meremehkan Emak dan Bapakku selama ini.

***

Continue to read this book for free
Scan code to download App
Comments (1)
goodnovel comment avatar
Winwin Tri Winwin
ayok semangat riana dan liana.. ...
VIEW ALL COMMENTS

Latest chapter

  • SETELAH DINIKAHI ANAK JURAGAN   KASAR (1)

    Bakda shalat subuh, aku memberanikan diri untuk mengetuk pintu kamar Mas Rama. Barang kali dia sudah nggak sejutek kemarin atau mungkin mau kubuatkan kopi baru. Kulihat dua cangkir kopi yang kubuat semalam masih utuh tak tersentuh. Tak tahu apa alasannya dia membiarkan kopi itu dingin. Mungkin saja dia lupa lalu malas meminumnya saat kopi mulai dingin. Iya kan?Tok ... tok ... tok "Mas Rama, sudah shalat subuh belum? Apa mau saya bikinkan kopi lagi?" tanyaku lirih sembari mendekatkan telinga ke daun pintu, berharap bisa mendengar suara dari dalam kamar. Namun, sepertinya kamarnya dibuat kedap suara sebab nggak terdengar apapun dari luar. Aku bergeming beberapa saat di sana sembari menunggu sosok itu keluar atau paling tidak membalas pertanyaanku. Kutunggu beberapa menit benar-benar tak ada yang menyahut. Kuhirup napas dalam lalu menghembuskannya panjang.Tak menyerah, aku kembali mengetuk pintu. Aku tunggu lagi sembari tetap mendekatkan telinga ke daun pintu. Untuk ketukan ketiga

  • SETELAH DINIKAHI ANAK JURAGAN   KENA 'PELET'

    Suara berisik di area dapur membuatku buru-buru menyambar hijab di tepi ranjang lalu gegas mencari sumbernya. Nggak ada apapun di dapur, hanya saja rawon yang kusiapkan untuk Mas Rama di atas kulkas entah mengapa bisa tumpah ke lantai, padahal jelas tadi kuletakkan di tengah-tengah nggak mungkin tumpah kalau nggak ada yang nyenggol. "Ngapain kamu celingukan di situ?" Lagi, suara Mas Rama cukup mengagetkanku. Entah dari mana dia tiba-tiba muncul di belakang. "Nyari kucing, Mas. Rawonnya ditumpahin kucing," balasku tanpa menoleh. "Oh, kucing doyan rawon juga ternyata." "Iya, kucing milenial doyan rawon, steak, soto sama seblak." Aku mendongak, tak sengaja bersirobok dengannya yang berdiri tiga langkah saja dari tempatku jongkok. Mendadak pengin senyum, tapi kutahan. Bagaimana tidak? Kulihat bibirnya yang menghitam itu sedikit mengkilat bekas minyak. Kaos coklatnya kena cipratan rawon, aku yakin itu. Hanya saja dia nggak sadar kalau ada sisa rawon di kaosnya. "Ngapain senyum-senyum

  • SETELAH DINIKAHI ANAK JURAGAN   MANEKIN

    "Maaf, Mas. Aku diminta juragan Ginanjar bersihin kamar Mas Rama," ujarku pada lelaki yang baru keluar kamar itu. Sedari tadi menunggu, akhirnya dia keluar juga dari persembunyian. Laki-laki itu melirikku sekilas lalu mendengkus kesal. "Nggak perlu. Aku bisa membersihkannya sendiri.""Pakaian kotornya, Mas. Biar aku cuci dan setrika." "Nggak, aku bisa bawa ke laundry," ujarnya lagi sembari melangkah menjauh. "Mas, makan dulu kalau gitu. Aku masakin rawon sama perkedel." Laki-laki itu menghentikan langkah tepat di tengah tangga. Tanpa menoleh, kembali melanjutkan langkahnya menuju lantai bawah. Ya Allah, benar-benar monster ajaib. Dingin dan kaku seperti manekin. Aku harus cari cara supaya dia mau menerima bantuanku, kalau terus begini, aku nggak mungkin makan gaji buta di sini. "Ngapain, Ri?" Pertanyaan Mas Hanif dari tangga menghenyakkanku. "Nggak, Mas. Cuma heran saja itu orang kenapa kaku banget kaya manekin hidup." Mas Hanif terbahak mendengar ucapanku. "Tapi kamu sudah ter

  • SETELAH DINIKAHI ANAK JURAGAN   PUJIAN

    "Orang-orang udik sepertimu biasa main pelet kan? Penampilan tertutup tak menjamin bagus agamanya. Aku nggak sebodoh yang kamu kira!""Astaghfirullah, lemesnya itu mulut," pekikku lirih saat mendengar tuduhan lelaki itu. "Ngomong apa kamu?!" sentak laki-laki itu lagi."Mulutnya lemes, eh." Spontan aku menutup mulut saat keceplosan bicara. Perlahan mendongak lalu buru-buru menunduk saat tak sengaja beradu pandang dengan kedua matanya yang nyalang. Tak membalas ucapanku, monster tampan itu melangkah kembali ke lantai atas begitu saja. Kuhela napas panjang seraya kembali beristighfar. Ya Allah, makhluk seperti apa yang kuhadapi saat ini. Semoga saja dia bisa takluk denganku nanti. Nggak boleh nyerah. Pokoknya harus tetap semangat dan yakin jika hatinya akan luluh. Yakin, yakin, yakin hatinya bukan terbuat dari batu. "Neng ... kamu nggak apa-apa kan?" Bi Lilis menggoyang lenganku pelan. Gegas kubuka mata lalu menatapnya yang sudah berdiri persis di depanku. "Eh, nggak apa-apa, Bi." A

  • SETELAH DINIKAHI ANAK JURAGAN   RENCANA RIANA

    "Dia Riana dari kampung sebelah, Ram. InsyaAllah anak baik-baik. Semoga kamu cocok." Ibu Farida dengan sabar mengulang perkenalannya. Namun, laki-laki itu masih bergeming dengan tatapan sinisnya. "Penjilat!" tuduhnya padaku. "Jaga mulut anda ya, Mas. Saya kerja di sini bukan sengaja melamar, tapi juragan Ginanjar sendiri yang meminta. Memangnya saya jilat apa kok bisa-bisanya disebut penjilat." Cerocosku kesal saat mendengar kata menjijikkan itu. Ibu Farida mengusap lenganku pelan sembari mengedipkan kedua mata teduhnya. Sentuhan lembutnya membuatku tersadar seketika. Betapa bod*hnya aku sampai ikut tersulut emosi saat mendengar tuduhan tak benar itu padaku. "Seperti itu asisten yang baik? Belum apa-apa main bentak! Dia asisten apa preman?!" sindir laki-laki itu lagi sembari menutup pintu dengan kasar. Ingin rasanya mengumpat, tapi lagi-lagi aku malu jika sebrutal itu. Lantas apa bedanya aku dengan monster itu kalau sama-sama kasar. Ibu Farida yang sebegitu tak dihormatinya sebag

  • SETELAH DINIKAHI ANAK JURAGAN   PERKENALAN

    Aku semakin tercekat saat melihat laki-laki itu berhenti di tengah tangga lalu membalikkan badan sebentar menatapku. Tanpa senyum, dia kembali melanjutkan langkahnya menuju lantai atas. "Dia memang begitu, terlalu kaku, Ri. Kamu nggak mundur saat ini juga kan?" Juragan Ginanjar menatapku beberapa saat setelah menoleh ke arah anak sulungnya yang telah menghilang di ujung tangga. "Ng-- nggak dong, Juragan. Saya akan tetap bekerja seperti janji saya tadi." Juragan Ginanjar dan istrinya pun saling tatap lalu tersenyum tipis. "Syukurlah kalau begitu. Biar ibu yang antar kamu ke kamar. Ohya, kamar kamu bersebelahan dengan kamar Rama di lantai atas. Di sana juga ada kamar Latifa dan Razqa. Semoga betah ya, Ri. Selamat bekerja." Aku kembali mengangguk. "Ohya satu lagi, tiap minggu kamu boleh cuti. Terserah mau pulang atau sekadar jalan di luar." Kuhela napas lega saat mendengar kata cuti, setidaknya aku bisa pulang ke rumah seminggu sekali untuk melepas kangen. Meski emak atau bapak bisa

More Chapters
Explore and read good novels for free
Free access to a vast number of good novels on GoodNovel app. Download the books you like and read anywhere & anytime.
Read books for free on the app
SCAN CODE TO READ ON APP
DMCA.com Protection Status