LOGIN
"Sisa makanannya kasih ke Lastri saja, Nur. Mungkin bisa buat makan malam. Aku yakin mereka sering kelaparan tengah malam karena nggak ada makanan di kontrakan. Kasihan kan, mau makan aja susah. Kalau kita 'kan sudah biasa makan kenyang dan enak-enak pula. Jadi, bungkus saja semuanya."
Budhe Umayah memberi perintah pada Bi Nurul. Yang diperintah pun manut saja, buru-buru membungkus semua makanan sisa khitanan itu dengan plastik bening lalu memberikannya pada Emak yang masih sibuk cuci piring di dapur. Bi Umayah ada istri Pakde Rudy, kakak satu-satunya Emak yang memiliki usaha bengkel motor dan mobil. Sementara Bi Nurul adalah adik ipar Emak. Dia istri Paklek Gino, juragan lele di kampungku. "Yang ini tinggal kuah-kuahnya aja, Mbak. Masa iya dimasukin sekalian? Apa nggak dibuang saja?" Bi Nurul masih menimbang-nimbang sayur sop di hadapannya. "Masukin aja semuanya. Lumayan itu masih ada sari-sari dagingnya, Nur. Mereka terbiasa makan sama tempe kok, jadi makan begini sudah cukup mewah. Nanti juga bakal habis. Kalau nggak habis, bisa diangetin buat besok. Jadi, jatah masaknya bisa ditabung buat beli rumah. Kasihan 'kan, mereka belum punya rumah sendiri bahkan sampai anak lulus SMA masih betah ngontrak." Budhe Umayah kembali melirik Emak lalu menatapku sekilas. Aku yang kini masih membantu Emak membersihkan dapur. Rasanya begitu sesak, tiap kali melihat Emak dan Bapak begitu diremehkan keluarga besar hanya karena kemiskinan kami. Khususnya karena sampai usiaku delapan belas tahun, Emak dan Bapak masih mengontrak. Budhe Umayah sering bilang jika keluargaku hanya membuat malu saja karena belum bisa mandiri seperti yang lainnya. Sibuk meremehkan, tapi tak mau mengulurkan tangan. Emak dan Bapak memang masih ngontrak hingga saat ini. Sejak dulu mereka memiliki jatah warisan rumah sederhana kakek, tapi sayangnya rumah yang kami tinggali dulu hangus dilalap si jago merah hingga tak bersisa. Akhirnya, tanah bekas rumah pun dijual dan dibagi rata untuk tiga saudara, Pakde Rudy, Emak dan Paklek Gino sekalipun sebenarnya sudah jatah Emak. Namun, lagi-lagi Emak tak ingin ribut dengan dua saudara lelakinya. Lebih baik mengalah daripada ada pertempuran darah, begitu katanya. Hasil penjualan tanah itulah yang digunakan Pakde dan Paklek untuk usaha. Sementara uang yang didapat Emak memang jauh lebih kecil di antara mereka, semua habis untuk biaya hidup dan operasi usus buntu almarhum nenek. "Las, kalau sudah beres ganti halaman belakang ya! Tadi ada beberapa tamu yang makan-makan di sana. Jangan lama-lama soalnya masih ada pekerjaan lain yang menunggu." Emak tak menjawab sepatah katapun, hanya mengangguk lalu buru-buru ke halaman belakang sesuai perintah kakak iparnya. Kedua mataku berkaca melihat Emak yang tak pernah dianggap keluarga. Emak hanya dianggap saudara saat dibutuhkan tenaganya saja. Sering kali kudengar anak-anak budhe dan bibi yang bilang jika keluargaku tak pantas bersanding dengan mereka. Kami yang nelangsa, sementara mereka memiliki segalanya. "Jangan pulang dulu, Las! Kalian pulang terakhir saja sampai semua beres! Nanti aku kasih upah, tenang saja. Lumayan buat bayar kontrakan." Emak mengangguk pelan lalu mengedipkan matanya ke arahku. "Kamu juga, ngapain bengong di situ! Bukannya buru-buru malah melamun. Eh, kamu lihatin Hasbi?" tuduh Budhe tiba-tiba membuat banyak pasang mata menatapku risih. "Sadar diri kamu, Na. Lihatin dia sampai lepas bola matamu pun tak akan membuat dia melirikmu. Kalian berbeda, bagai langit dan bumi. Jadi, jangan mimpi terlalu tinggi!" Aku nyaris membalas tuduhan Budhe, hanya saja lagi-lagi Emak menyikut lenganku. Emak memang selalu mengalah dan tak suka keributan, karena itulah memintaku untuk tetap diam dan fokus dengan pekerjaan yang kupegang. "Sudah, fokus saja sama kerjaanmu. Nggak usah lirik sana sini segala. Ganjen banget jadi perempuan. Buruan beresin dapur. Itu sampah di ruang tamu sama ruang tengah juga masih banyak. Harus buru-buru dibersihkan, takutnya banyak lalat dan jadi sarang penyakit," perintah Budhe Umayah lagi seolah tak memberiku kesempatan untuk istirahat sejenak. "Na! Kamu nggak bude* kan? Diajak ngomong orang tua kok diam saja. Begitu tuh didikan orang yang nggak sekolah!" Budhe Umayah kembali menghina Emak yang memang sekolah dasar saja tak tamat. Menjadi anak satu-satunya perempuan kakek dan nenek, nyatanya tak membuat emak beruntung seperti orang-orang. Emak justru dikekang dan tak dibiarkan bebas menuntut ilmu, bahkan tak diperbolehkan bekerja jauh untuk mencari pengalaman. Kakek dan almarhum nenek justru meminta Emak untuk di rumah dengan segala pekerjaan rumahannya di saat mereka sibuk bekerja. Oleh karena itulah, emak cukup rendah diri di depan kedua iparnya sebab mereka berasal dari kota yang memiliki banyak pengalaman. Sementara Emak hanya tahu soal perdapuran. "Cukup, Budhe. Kalau tak menghinaku dan keluargaku sehari saja, apa akan membuat budhe muntah-muntah? Nggak kan? Kenapa sih terus menghina Emakku. Asal budhe tahu, Emak memang nggak sekolah karena dia mengalah. Dia rela di rumah saja agar kedua saudara lelakinya bisa mengenyam pendidikan meski hanya sampai bangku SMP. Harusnya budhe berterima kasih pada Emak yang rela mengurus semua keperluan rumah di saat kakek dan nenek sibuk ke kerja untuk biaya hidup dan sekolah pakde dan paklek. Ken-- Belum selesai bicara, tangan mulus itu sudah menampar pipiku di depan orang banyak. Sebagian tamu undangan memang belum pulang. Mereka masih menikmati camilan yang disediakan budhe di ruang tengah setelah makan siang usai. Puluhan pasang mata menatapku beberapa saat. Tak ada satu pun yang berniat menolong sebab mereka memang tak ingin berurusan dengan budhe yang cukup disegani di kampung ini. "Tutup mulutmu! Nggak sadar apa kamu, bisa sekolah sampai lulus SMA juga karena aku, budhemu! Kalau nggak aku yang biayain kamu sekolah, nasibmu akan sama seperti Emakmu itu. Bodo*, minim pengalaman dan miskin. Tahu kamu!" sentak Budhe begitu kesal. Emak menarik pergelangan tanganku lalu minta maaf pada Budhe atas kelancanganku, katanya. Dia yang salah, tapi lagi-lagi Emak yang minta maaf dan mengalah. Selalu begitu, entah sampai kapan. Ingin rasanya kukatakan pada semua orang, jika aku sekolahku memang Budhe yang biayai, tapi aku tak ongkang-ongkang kaki. Aku selalu menuruti perintah anak emasnya itu untuk mengerjakan semua tugas-tugasnya. Dia terima beres karena memang malas berpusing ria. Aku juga membantunya mengurus toko ketika pulang sekolah. Bukankah itu lebih dari cukup untuk membiayai sekolahku? "Buruan kerja! Ngelamun terus. Gimana mau punya duit banyak kalau kerjamu cuma melamun!" Budhe Umayah kembali menyentakku. Aku ingin lihat bagaimana reaksi Budhe Umayah, jika mereka tahu aku akan bekerja sebagai asisten pribadi Mas Rama. Dia adalah anak sulung Pak Ginanjar, pengusaha properti sukses di kampung sebelah yang tak sengaja kutolong saat kecelakaan kemarin malam. Pak Ginanjar menjanjikan gaji cukup besar untukku, asal sabar menghadapi anak sulungnya itu. *Bakda shalat subuh, aku memberanikan diri untuk mengetuk pintu kamar Mas Rama. Barang kali dia sudah nggak sejutek kemarin atau mungkin mau kubuatkan kopi baru. Kulihat dua cangkir kopi yang kubuat semalam masih utuh tak tersentuh. Tak tahu apa alasannya dia membiarkan kopi itu dingin. Mungkin saja dia lupa lalu malas meminumnya saat kopi mulai dingin. Iya kan?Tok ... tok ... tok "Mas Rama, sudah shalat subuh belum? Apa mau saya bikinkan kopi lagi?" tanyaku lirih sembari mendekatkan telinga ke daun pintu, berharap bisa mendengar suara dari dalam kamar. Namun, sepertinya kamarnya dibuat kedap suara sebab nggak terdengar apapun dari luar. Aku bergeming beberapa saat di sana sembari menunggu sosok itu keluar atau paling tidak membalas pertanyaanku. Kutunggu beberapa menit benar-benar tak ada yang menyahut. Kuhirup napas dalam lalu menghembuskannya panjang.Tak menyerah, aku kembali mengetuk pintu. Aku tunggu lagi sembari tetap mendekatkan telinga ke daun pintu. Untuk ketukan ketiga
Suara berisik di area dapur membuatku buru-buru menyambar hijab di tepi ranjang lalu gegas mencari sumbernya. Nggak ada apapun di dapur, hanya saja rawon yang kusiapkan untuk Mas Rama di atas kulkas entah mengapa bisa tumpah ke lantai, padahal jelas tadi kuletakkan di tengah-tengah nggak mungkin tumpah kalau nggak ada yang nyenggol. "Ngapain kamu celingukan di situ?" Lagi, suara Mas Rama cukup mengagetkanku. Entah dari mana dia tiba-tiba muncul di belakang. "Nyari kucing, Mas. Rawonnya ditumpahin kucing," balasku tanpa menoleh. "Oh, kucing doyan rawon juga ternyata." "Iya, kucing milenial doyan rawon, steak, soto sama seblak." Aku mendongak, tak sengaja bersirobok dengannya yang berdiri tiga langkah saja dari tempatku jongkok. Mendadak pengin senyum, tapi kutahan. Bagaimana tidak? Kulihat bibirnya yang menghitam itu sedikit mengkilat bekas minyak. Kaos coklatnya kena cipratan rawon, aku yakin itu. Hanya saja dia nggak sadar kalau ada sisa rawon di kaosnya. "Ngapain senyum-senyum
"Maaf, Mas. Aku diminta juragan Ginanjar bersihin kamar Mas Rama," ujarku pada lelaki yang baru keluar kamar itu. Sedari tadi menunggu, akhirnya dia keluar juga dari persembunyian. Laki-laki itu melirikku sekilas lalu mendengkus kesal. "Nggak perlu. Aku bisa membersihkannya sendiri.""Pakaian kotornya, Mas. Biar aku cuci dan setrika." "Nggak, aku bisa bawa ke laundry," ujarnya lagi sembari melangkah menjauh. "Mas, makan dulu kalau gitu. Aku masakin rawon sama perkedel." Laki-laki itu menghentikan langkah tepat di tengah tangga. Tanpa menoleh, kembali melanjutkan langkahnya menuju lantai bawah. Ya Allah, benar-benar monster ajaib. Dingin dan kaku seperti manekin. Aku harus cari cara supaya dia mau menerima bantuanku, kalau terus begini, aku nggak mungkin makan gaji buta di sini. "Ngapain, Ri?" Pertanyaan Mas Hanif dari tangga menghenyakkanku. "Nggak, Mas. Cuma heran saja itu orang kenapa kaku banget kaya manekin hidup." Mas Hanif terbahak mendengar ucapanku. "Tapi kamu sudah ter
"Orang-orang udik sepertimu biasa main pelet kan? Penampilan tertutup tak menjamin bagus agamanya. Aku nggak sebodoh yang kamu kira!""Astaghfirullah, lemesnya itu mulut," pekikku lirih saat mendengar tuduhan lelaki itu. "Ngomong apa kamu?!" sentak laki-laki itu lagi."Mulutnya lemes, eh." Spontan aku menutup mulut saat keceplosan bicara. Perlahan mendongak lalu buru-buru menunduk saat tak sengaja beradu pandang dengan kedua matanya yang nyalang. Tak membalas ucapanku, monster tampan itu melangkah kembali ke lantai atas begitu saja. Kuhela napas panjang seraya kembali beristighfar. Ya Allah, makhluk seperti apa yang kuhadapi saat ini. Semoga saja dia bisa takluk denganku nanti. Nggak boleh nyerah. Pokoknya harus tetap semangat dan yakin jika hatinya akan luluh. Yakin, yakin, yakin hatinya bukan terbuat dari batu. "Neng ... kamu nggak apa-apa kan?" Bi Lilis menggoyang lenganku pelan. Gegas kubuka mata lalu menatapnya yang sudah berdiri persis di depanku. "Eh, nggak apa-apa, Bi." A
"Dia Riana dari kampung sebelah, Ram. InsyaAllah anak baik-baik. Semoga kamu cocok." Ibu Farida dengan sabar mengulang perkenalannya. Namun, laki-laki itu masih bergeming dengan tatapan sinisnya. "Penjilat!" tuduhnya padaku. "Jaga mulut anda ya, Mas. Saya kerja di sini bukan sengaja melamar, tapi juragan Ginanjar sendiri yang meminta. Memangnya saya jilat apa kok bisa-bisanya disebut penjilat." Cerocosku kesal saat mendengar kata menjijikkan itu. Ibu Farida mengusap lenganku pelan sembari mengedipkan kedua mata teduhnya. Sentuhan lembutnya membuatku tersadar seketika. Betapa bod*hnya aku sampai ikut tersulut emosi saat mendengar tuduhan tak benar itu padaku. "Seperti itu asisten yang baik? Belum apa-apa main bentak! Dia asisten apa preman?!" sindir laki-laki itu lagi sembari menutup pintu dengan kasar. Ingin rasanya mengumpat, tapi lagi-lagi aku malu jika sebrutal itu. Lantas apa bedanya aku dengan monster itu kalau sama-sama kasar. Ibu Farida yang sebegitu tak dihormatinya sebag
Aku semakin tercekat saat melihat laki-laki itu berhenti di tengah tangga lalu membalikkan badan sebentar menatapku. Tanpa senyum, dia kembali melanjutkan langkahnya menuju lantai atas. "Dia memang begitu, terlalu kaku, Ri. Kamu nggak mundur saat ini juga kan?" Juragan Ginanjar menatapku beberapa saat setelah menoleh ke arah anak sulungnya yang telah menghilang di ujung tangga. "Ng-- nggak dong, Juragan. Saya akan tetap bekerja seperti janji saya tadi." Juragan Ginanjar dan istrinya pun saling tatap lalu tersenyum tipis. "Syukurlah kalau begitu. Biar ibu yang antar kamu ke kamar. Ohya, kamar kamu bersebelahan dengan kamar Rama di lantai atas. Di sana juga ada kamar Latifa dan Razqa. Semoga betah ya, Ri. Selamat bekerja." Aku kembali mengangguk. "Ohya satu lagi, tiap minggu kamu boleh cuti. Terserah mau pulang atau sekadar jalan di luar." Kuhela napas lega saat mendengar kata cuti, setidaknya aku bisa pulang ke rumah seminggu sekali untuk melepas kangen. Meski emak atau bapak bisa







