LOGIN"Mogok lagi motornya." Ucapan bapak membuatku buru-buru menutup handphone lalu menyimpannya ke saku gamis.
"Kenapa senyum-senyum begitu, Mbak? Dapat pesan dari siapa sih? Pacar?" Liana menatapku dengan alis tertaut. Sepertinya dia begitu penasaran dengan isi pesan yang kubaca barusan. "Kepo ah. Bocil dilarang kepo," ledekku sembari mencibir. Liana mengomel pelan sembari mencubit lengan. Dengan sedikit terburu, aku menghampiri bapak yang masih memeriksa motornya. Motor bapak mungkin memang sudah tak layak pakai, sering kali mogok dan bocor tiap kali diajak jalan agak jauh. "Kalau mau ngobrol soal budhemu, kita pulang dulu. Lihat itu, mereka masih di teras memperhatikan kita dari tadi." Bapak setengah berbisik saat aku berdiri di samping bapak. Aku gegas menoleh ke samping. Benar kata bapak, budhe dan Sesil masih di teras rumah yang sembari menatap ke arah kami sedari tadi. "Kenapa, Man? Mogok lagi?" Pertanyaan Pakde membuat bapak berdiri lalu membalas pertanyaannya. "Iya, Mas. Mogok. Maklum motor tua memang sepantasnya istirahat." Bapak menanggapi dengan senyum lebar. Begitulah bapak, selalu sabar dan ikhlas menjalani segala takdirNya tanpa mengeluh. Meskipun sering mendapatkan caci maki atau bahkan fitnah, bapak selalu menanggapinya dengan santai. "Allah nggak tidur, Nduk. Allah mboten sare." Hanya itu. Simple dan tak neko-neko. Kadang aku berpikir, kenapa pribadi bapak dan emak terlalu berbeda jika dibandingkan denganku dan Liana. Aku dan Liana cenderung sama. Tak sabaran, kesal dan benci tiap kali keluarga besar Emak memperlakukannya dengan semena-mena. Sebenarnya Pakde Rudy tak demikian, hanya saja dia memang tipe suami-suami takut istri. Jadi, terlalu patuh pada apapun yang diinginkan anak dan istrinya sekalipun itu menyakiti hati adik kandungnya sendiri. Pakde melangkah perlahan menghampiri kami yang masih bergerombol di samping gerbang. Emak dengan kresek di tangan yang berisi aneka sayur sisa, Liana yang berdiri tanpa ekspresi dan aku yang masih memperhatikan usaha bapak untuk memperbaiki motor bututnya itu. "Sudah sore bahkan hampir maghrib. Nginep saja semalam, besok pagi baru pulang," saran Pakde Rudy setelah berusaha membantu bapak, tapi nihil. Motor tetap tak bisa jalan. "Nginep, Mbak." Liana menyikut lenganku. Seperti biasa, aku dan dia memang paling malas ada acara nginep segala. Yang ada hanya akan mendengar celotehan nggak penting dari budhe Umayah dan anak sulungnya itu. Membosankan. "Nggak ya, Pak. Kita pulang sekarang kan?" Aku menatap ke arah bapak penuh harap. "Naik apa, Nduk? Angkot sudah habis. Kalaupun ada angkot, Emakmu juga nggak bisa naik. Bisa pusing seharian kalau dipaksa naik angkot. Benar kata Pakde, malam ini kita nginep saja di sini. Besok bapak bawa motor ini ke bengkel. Kalian bisa naik angkot berdua karena Emak ikut sama bapak seperti sebelumnya." "Iya, Nduk. Mau hujan juga itu, geluduk." Pakde terus membujuk. Aku menunggu perintah dari Emak. Jika emak bilang iya, mau tak mau aku pun ikut mengiyakannya. Namun, jika emak menggeleng, makan aku pun bersikeras menggeleng sepertinya. "Mogok, Pa?!" Budhe Umayah mulai bertanya. Perempuan dengan kaftan gold itu melangkah terburu mengikuti suaminya yang berdiri di samping bapak. "Mogok lagi, Ma. Papa minta mereka nginep aja biar besok motornya dibawa ke bengkel dulu sama Nurman. Lagipula mau hujan, takut mereka kehujanan di jalan. Kalau sakit bersamaan malah repot nanti. Iya kan?" Pakde Rudy tampak begitu iba. Ekspresinya berbanding terbalik dengan ekspresi budhe yang menegang. "Mau tidur di mana kalau mereka nginap semua, Pa? Papa ini ih!" Mimik wajah Pakde Rudy pun berubah seketika. Memerah mungkin karena malu mendengar balasan istri yang tak sesuai ekspektasinya. "Di rumah banyak kamar loh, Ma. Kok tidur di mana?" Tak ingin melihat saudaranya berdebat dengan sang istri, Emak pun angkat bicara. "Kamu nggak jadi nginep kok, Mas. Ini biar dititip di rumahnya Bu Ayu saja, besok baru diambil taruh di bengkel." Emak tersenyum tipis meski kutahu dari wajahnya menyiratkan luka. "Mau hujan, Las. Nggak ada angkot. Itu adzan Maghrib juga sudah berkumandang. Masuk ayo, besok aja kalian pulangnya." Pakde tetap bersikeras, tapi lagi-lagi Emak menggeleng pelan. "Kamu ke masjid sebelah saja, Mas. Habis itu pulang jalan kaki sama-sama. Lumayan lama juga kami nggak jalan kaki kok, Mas. Mumpung weekend kan kata anak-anak muda memang waktunya buat jalan-jalan. Sudah kamu masuk aja, Mas. Kami ke rumah Bu Ayu dulu." Emak tetap dengan keputusannya dan kami bertiga tak akan bisa membantah. Kami tahu apa yang Emak rasakan tidaklah mudah. Helaan napas kasar terdengar. Ada kecewa dan kesal yang terlintas di hati Pakde. Namun, mungkin memang itu lebih baik daripada Emak harus melihat kakaknya cekcok dengan sang istri hanya demi membelanya. "Sudahlah, Pa. Orang mereka sendiri yang nggak mau menginap di rumah kita kok kamu yang ribet!" Budhe kembali menyahut. "Iya, itu semua gara-gara kamu, Ma. Kamu memang keterlaluan." "Kok malah nyalahin mama sih, Pa? Ingat ya, Pa. Kesuksesan papa itu berkat doa istri dan anak-anak. Bukan berkat doa mereka. Jadi, jangan sampai mereka bergantung dan memanfaatkan papa setelah papa sukses. Mereka nggak ada hak. Kalau papa kenapa-kenapa, mama dan anak-anak juga yang repot. Saudara tahu apa!" Pakde meradang. Dia hanya menggelengkan kepala pelan lalu meninggalkan kami begitu saja tanpa sepatah katapun saking kesalnya melihat kelakuan istri yang keterlaluan baginya. "Ayo pulang," ajak Emak kemudian setelah menyeka kedua sudut matanya yang basah. "Seneng kalian ya lihat papanya Sesil marah-marah begitu? Puas kalian kan? Dasar gembel!" Sakit sekali mendengar kata-kata itu keluar dari bibir perempuan yang seharusnya bisa merangkul Emak yang berstatus iparnya. "Kami gembel, tapi nggak pernah minta apapun dari budhe dengan cuma-cuma. Ingat ya, Budhe. Apapun yang kamu terima dari budhe itu adalah hasil dari kerja keras yang kami lakukan. Selayaknya pekerja yang mendapatkan upah. Jadi, jangan sok menjadi pahlawan kesiangan!" ucapku lantang lalu menarik lengan Liana dan Emak bersamaan. ***Bakda shalat subuh, aku memberanikan diri untuk mengetuk pintu kamar Mas Rama. Barang kali dia sudah nggak sejutek kemarin atau mungkin mau kubuatkan kopi baru. Kulihat dua cangkir kopi yang kubuat semalam masih utuh tak tersentuh. Tak tahu apa alasannya dia membiarkan kopi itu dingin. Mungkin saja dia lupa lalu malas meminumnya saat kopi mulai dingin. Iya kan?Tok ... tok ... tok "Mas Rama, sudah shalat subuh belum? Apa mau saya bikinkan kopi lagi?" tanyaku lirih sembari mendekatkan telinga ke daun pintu, berharap bisa mendengar suara dari dalam kamar. Namun, sepertinya kamarnya dibuat kedap suara sebab nggak terdengar apapun dari luar. Aku bergeming beberapa saat di sana sembari menunggu sosok itu keluar atau paling tidak membalas pertanyaanku. Kutunggu beberapa menit benar-benar tak ada yang menyahut. Kuhirup napas dalam lalu menghembuskannya panjang.Tak menyerah, aku kembali mengetuk pintu. Aku tunggu lagi sembari tetap mendekatkan telinga ke daun pintu. Untuk ketukan ketiga
Suara berisik di area dapur membuatku buru-buru menyambar hijab di tepi ranjang lalu gegas mencari sumbernya. Nggak ada apapun di dapur, hanya saja rawon yang kusiapkan untuk Mas Rama di atas kulkas entah mengapa bisa tumpah ke lantai, padahal jelas tadi kuletakkan di tengah-tengah nggak mungkin tumpah kalau nggak ada yang nyenggol. "Ngapain kamu celingukan di situ?" Lagi, suara Mas Rama cukup mengagetkanku. Entah dari mana dia tiba-tiba muncul di belakang. "Nyari kucing, Mas. Rawonnya ditumpahin kucing," balasku tanpa menoleh. "Oh, kucing doyan rawon juga ternyata." "Iya, kucing milenial doyan rawon, steak, soto sama seblak." Aku mendongak, tak sengaja bersirobok dengannya yang berdiri tiga langkah saja dari tempatku jongkok. Mendadak pengin senyum, tapi kutahan. Bagaimana tidak? Kulihat bibirnya yang menghitam itu sedikit mengkilat bekas minyak. Kaos coklatnya kena cipratan rawon, aku yakin itu. Hanya saja dia nggak sadar kalau ada sisa rawon di kaosnya. "Ngapain senyum-senyum
"Maaf, Mas. Aku diminta juragan Ginanjar bersihin kamar Mas Rama," ujarku pada lelaki yang baru keluar kamar itu. Sedari tadi menunggu, akhirnya dia keluar juga dari persembunyian. Laki-laki itu melirikku sekilas lalu mendengkus kesal. "Nggak perlu. Aku bisa membersihkannya sendiri.""Pakaian kotornya, Mas. Biar aku cuci dan setrika." "Nggak, aku bisa bawa ke laundry," ujarnya lagi sembari melangkah menjauh. "Mas, makan dulu kalau gitu. Aku masakin rawon sama perkedel." Laki-laki itu menghentikan langkah tepat di tengah tangga. Tanpa menoleh, kembali melanjutkan langkahnya menuju lantai bawah. Ya Allah, benar-benar monster ajaib. Dingin dan kaku seperti manekin. Aku harus cari cara supaya dia mau menerima bantuanku, kalau terus begini, aku nggak mungkin makan gaji buta di sini. "Ngapain, Ri?" Pertanyaan Mas Hanif dari tangga menghenyakkanku. "Nggak, Mas. Cuma heran saja itu orang kenapa kaku banget kaya manekin hidup." Mas Hanif terbahak mendengar ucapanku. "Tapi kamu sudah ter
"Orang-orang udik sepertimu biasa main pelet kan? Penampilan tertutup tak menjamin bagus agamanya. Aku nggak sebodoh yang kamu kira!""Astaghfirullah, lemesnya itu mulut," pekikku lirih saat mendengar tuduhan lelaki itu. "Ngomong apa kamu?!" sentak laki-laki itu lagi."Mulutnya lemes, eh." Spontan aku menutup mulut saat keceplosan bicara. Perlahan mendongak lalu buru-buru menunduk saat tak sengaja beradu pandang dengan kedua matanya yang nyalang. Tak membalas ucapanku, monster tampan itu melangkah kembali ke lantai atas begitu saja. Kuhela napas panjang seraya kembali beristighfar. Ya Allah, makhluk seperti apa yang kuhadapi saat ini. Semoga saja dia bisa takluk denganku nanti. Nggak boleh nyerah. Pokoknya harus tetap semangat dan yakin jika hatinya akan luluh. Yakin, yakin, yakin hatinya bukan terbuat dari batu. "Neng ... kamu nggak apa-apa kan?" Bi Lilis menggoyang lenganku pelan. Gegas kubuka mata lalu menatapnya yang sudah berdiri persis di depanku. "Eh, nggak apa-apa, Bi." A
"Dia Riana dari kampung sebelah, Ram. InsyaAllah anak baik-baik. Semoga kamu cocok." Ibu Farida dengan sabar mengulang perkenalannya. Namun, laki-laki itu masih bergeming dengan tatapan sinisnya. "Penjilat!" tuduhnya padaku. "Jaga mulut anda ya, Mas. Saya kerja di sini bukan sengaja melamar, tapi juragan Ginanjar sendiri yang meminta. Memangnya saya jilat apa kok bisa-bisanya disebut penjilat." Cerocosku kesal saat mendengar kata menjijikkan itu. Ibu Farida mengusap lenganku pelan sembari mengedipkan kedua mata teduhnya. Sentuhan lembutnya membuatku tersadar seketika. Betapa bod*hnya aku sampai ikut tersulut emosi saat mendengar tuduhan tak benar itu padaku. "Seperti itu asisten yang baik? Belum apa-apa main bentak! Dia asisten apa preman?!" sindir laki-laki itu lagi sembari menutup pintu dengan kasar. Ingin rasanya mengumpat, tapi lagi-lagi aku malu jika sebrutal itu. Lantas apa bedanya aku dengan monster itu kalau sama-sama kasar. Ibu Farida yang sebegitu tak dihormatinya sebag
Aku semakin tercekat saat melihat laki-laki itu berhenti di tengah tangga lalu membalikkan badan sebentar menatapku. Tanpa senyum, dia kembali melanjutkan langkahnya menuju lantai atas. "Dia memang begitu, terlalu kaku, Ri. Kamu nggak mundur saat ini juga kan?" Juragan Ginanjar menatapku beberapa saat setelah menoleh ke arah anak sulungnya yang telah menghilang di ujung tangga. "Ng-- nggak dong, Juragan. Saya akan tetap bekerja seperti janji saya tadi." Juragan Ginanjar dan istrinya pun saling tatap lalu tersenyum tipis. "Syukurlah kalau begitu. Biar ibu yang antar kamu ke kamar. Ohya, kamar kamu bersebelahan dengan kamar Rama di lantai atas. Di sana juga ada kamar Latifa dan Razqa. Semoga betah ya, Ri. Selamat bekerja." Aku kembali mengangguk. "Ohya satu lagi, tiap minggu kamu boleh cuti. Terserah mau pulang atau sekadar jalan di luar." Kuhela napas lega saat mendengar kata cuti, setidaknya aku bisa pulang ke rumah seminggu sekali untuk melepas kangen. Meski emak atau bapak bisa







