LOGIN"Ri, bisa minta tolong sebentar?" Pertanyaan Mas Hanif dari ambang pintu cukup mengagetkanku. Kebetulan pintu kamar memang terbuka dan tak salah jika dia tiba-tiba muncul di sana. "Kamu nangis, Ri? Kalau boleh tahu, ada masalah apa?" tanya laki-laki itu yang entah mengapa mendadak gugup lalu melangkah perlahan ke arahku. Aku sempat tercekat, buru-buru menghampirinya lalu mengajaknya keluar kamar. "Nggak apa-apa kok, Mas. Cuma baca pesan dari bapak, entah mengapa air mata ini nongol begitu saja." Aku mencoba tertawa kecil untuk meyakinkan laki-laki yang kini masih bergeming di sebelahku itu. "Yakin?" tanyanya lagi sembari mengernyitkan dahi. Aku mengangguk pelan. "Iya, Mas. Nggak ada masalah serius kok. Santai aja. Ohya, tadi mau minta tolong apa ya, Mas?" Aku balik bertanya untuk mengalihkan pembicaraan. "Oh itu, aku minta tolong kamu buat jagain Rafqa sebentar. Mama ada arisan dan aku ada urusan mendadak. Baby sitter Rafqa juga belum datang. Jadi, dia nggak ada yang jaga." Mas H
Cumi saos tiram, udang tepung dan tumis jamur sudah siap di meja makan. Kusobek diary lalu menuliskan memo seperti biasanya. |Menu hari ini sudah siap, Mas. Silakan dicoba satu sendok, kalau enak lanjut kalau nggak enak stop. Dijamin nggak ada racun.|Seperti biasa, kuselipkan sobekan kertas itu di bawah sendok yang kuletakkan di atas meja. Sengaja agar mencolok dan bisa dia baca dengan mudah. Jika terlalu tersembunyi takut nggak dibaca atau nggak lihat memonya. Setelah selesai memasak, aku sarapan lebih dulu lalu kembali ke kamar. Rencananya akan istirahat sebentar sembari membaca pesan yang sedari tadi masuk ke handphoneku. [Bapak sudah dapat kontrakan baru, Nduk. Nggak jauh dari masjid Al Huda. Sebulan lima ratus ribu dengan tiga ruang seperti biasanya. Nggak terlalu bagus, tapi masih layak huni. Alhamdulillah. Kamu nggak perlu cemas, Nduk. Bapak, Emak sama adikmu lebih tenang di sini. Semoga saja kontrakan ibu membawa keberkahan dan kebahagiaan buat keluarga kita] Pesan pertam
"Memangnya masakanku nggak enak? Belum nyoba kok sudah menilai buruk," ujarku kesal tanpa menoleh ke arah laki-laki itu. "Memangnya sudah pernah masak seafood?" tanyanya dengan ekspresi meremehkan. Aku kembali meliriknya yang melipat tangan ke dada. "Belum sih, tapi-- "Nah! Yang biasa masak aja belum tentu enak apalagi yang trial. Entah gimana rasanya nanti. Masak aja kalau memang mau masak, tapi makan sendiri. Aku pergi. Jangan lupa bersihkan kamar. Sebelum aku balik harus sudah beres," perintahnya membuatku tersenyum seketika. Permintaannya kali ini cukup mengejutkan. Akhirnya setelah tiga hari tinggal di sini, laki-laki sedingin salju itu membiarkanku masuk ke kamarnya dengan suka rela, tanpa harus diminta. Lega sekali rasanya. Aku yakin sedikit demi sedikit bisa meluluhkan kekakuan hatinya. Lihat saja nanti. "Ngapain senyum-senyum nggak jelas begitu?" Bola mataku melotot seketika saat mendengar suaranya kembali. Kupikir dia sudah menghilang di tangga, ternyata masih berdiri d
"Assalamualaikum, Pak. Tumben bapak telepon pagi-pagi, ada apa, Pak?" tanyaku setelah menekan tombol hijau di layar. Di seberang sana terdengar sedikit keributan, membuatku semakin tak tenang. "Wa'alaikumsalam, Nduk. Ini ada sedikit masalah, Nduk. Kita diusir dari kontrakan." Dadaku memanas seketika. Bagaimana bisa diusir, padahal kemarin aku sudah kasih bapak uang buat bayar kontrakannya? "Ya Allah, Pak. Kok bisa diusir? Apa bapak lupa nggak ngasih uang kontrakan ke Bu Hajah?" tanyaku sedikit bergetar. "Sudah, Nduk. Uang dari kamu kemarin langsung bapak kasih ke Bu Hajah dan Alhamdulillah diterima dengan baik kok, cuma entah kenapa sekarang dikembalikan dan diusir. Bapak juga nggak tahu salahnya di mana." Aku tahu bapak menahan suka dalam suara seraknya. Rasa kesal, sedih, bingung dan mungkin emosi tercampur menjadi satu, tapi bapak tak bisa berbuat apa-apa. Tak mungkin marah-marah pada pemilik kontrakan bukan? "Emakmu sudah mohon-mohon sama Bu Hajah, tapi tetap saja nggak berha
"Tumben Mas Rama mau masuk pasar segala. Biasanya mana pernah, Neng." Bi Lilis mulai bercerita setelah duduk dengan nyaman di mobil yang dikendarai Pak Dono, salah satu supir juragan Ginanjar. "Ohya, Bi? Untung dia datang, kalau nggak, mana mungkin Sesil mau ganti rugi." "Itu beneran budhe sama sepupu Neng Riana?" Seolah tak percaya dengan penjelasanku tadi, Bi Lilis kembali bertanya. "Beneran, Bi. Jadi, Emak punya dua saudara laki-laki. Budhe Umayah tadi adalah istri dari kakaknya Emak. Cuma ya begitu sikapnya, selalu meremehkan kami karena kami orang nggak punya sementara mereka orang berada." Tiba-tiba mataku menghangat tiap kali mengingat semua sikap mereka pada keluargaku. "Ya Allah mirisnya. Masih ada aja orang begitu di zaman sekarang." Bi Lilis mengusap dada sembari beristigfar. "Sabar ya, Neng. InsyaAllah nanti akan dapat balasannya sendiri. Bibi doakan supaya Neng betah di rumah juragan, supaya bisa bantu orang tua di rumah. Setidaknya nggak terus diinjak-injak sama mer
"Kenapa, Bi?" Laki-laki itu beralih ke Bi Lilis yang buru-buru membawa tas belanjanya kembali. Ada beberapa barang yang hilang entah tercecer di mana. Biarlah. "Ganteng banget!" pekik perempuan itu tak ada malu-malunya sama sekali. Dia menatap Mas Rama lekat dengan mata berbinar. Setelahnya berkedip-kedip dengan senyum semringah. Seperti baru saja dapat rezeki nomplok. Budhe Umayah sempat menyikut lengan anak sulungnya itu saat dia menutup mulutnya dengan telapak tangan saking terpesona dengan ketampanan Mas Rama. Aku pun memutar bola mata jengah sembari menghela napas panjang. Katanya sudah punya Mas Hasbi, kenapa ada Mas Rama melirik juga? Benar-benar perempuan buaya nggak tahu malu dan nggak tahu diri. Bisa-bisanya menatap lelaki seperti itu. "Ingat Hasbi." Lirih kudengar suara Budhe Umayah mengingatkan anak perempuannya yang genit itu. Sesil menghela napas panjang sembari menatap mamanya sekilas."Apaan sih, Ma. Mas Hasbi memang tampan, tapi yang ini auranya beda. Tampan, mach







