Masuk"Makasih es krim sama jajannya, Om!" ucap Rafqa saat keluar dari mobil Mas Rama. Dia membawa satu kantong kresek berisi makanan dan minuman yang dipilihnya sendiri. Dia tampak begitu bahagia dengan senyum lebar menghiasai wajahnya yang imut dan tampan.Rafqa melompat-lompat sembari berlari kecil memasuki rumah. Dengan tergesa, aku pun mengikuti jagoan kecil yang mulai menaiki anak tangga itu. Saat melihatku mengikutinya, Rafqa justru mempercepat langkah. Sesekali menoleh ke belakang lalu berlari saat menaiki tangga sampai lantai atas. Anak lelaki itu benar-benar seperti tak memiliki rasa lelah. Energinya full membuatku terengah-engah saat mengejarnya. Sampai kamar, Rafqa meletakkan kantong kreseknya di atas ranjang lalu mengambil salah satu camilan yang dia bawa. Dengan senyum tipis dia mengangsurkan satu bungkus snack untukku."Ini buat Mbak Ria ya," ucapnya kemudian."Makasih, Sayang Rafqa. Kamu baik sekali," balasku sembari mengusap puncak kepalanya pelan. Rafqa kembali tersenyu
"Om, kenapa marah-marah terus sama Mbak Ria?" Pertanyaan polos dari Rafqa membuat laki-laki di sebelahku tersedak seketika. Dia melirikku sekilas lalu menatap Rafqa dari spion kecilnya."Nggak kok, Raf. Om Rama sama Mbak Ria berteman, tadi cuma bercanda bukan marah-marah." "Bercanda?" Mas Rama mengangguk cepat lalu kembali melirikku seolah minta pembelaan. "Iya, Rafqa. Om Rama cuma bercanda kok." Aku menoleh ke belakang sembari tersenyum tipis. Rafqa pun mengangguk lalu kembali sibuk dengan snack di tangannya.Sampai mini market, Rafqa menarik tanganku pelan. Dia pun memintaku membawa keranjang belanja dan memasukkan apapun yang dia inginkan ke sana. "Ambil yang kamu mau," ucap Mas Rama yang tiba-tiba sudah berdiri di sampingku. "Nggak usah, Mas." Aku menolak lirih. Tanpa banyak tanya dia mengambil beberapa es krim, camilan dan cokelat lalu memasukkannya begitu saja ke keranjang yang kubawa. "Sini biar aku yang bawa," pintanya. Aku pun memberikan keranjang itu ke tangannya. Set
"Gimana kalau kamu jadi pengganti mamanya Rafqa, Ri?" Pertanyaan itu membuatku tercekat mendadak. "Mak-- maksudnya, Mas?" Aku menatapnya lekat. Sepertinya Mas Hanif tak sadar apa yang diucapkannya."Maksudku bagaimana kalau kamu jadi baby sitternya Rafqa?" Ulangnya sembari menj*tak keningnya sendiri. Mas Hanif mendadak gugup dan sedikit salah tingkah. "Kalau boleh sih mau banget, Mas. Mending main sama Rafqa bisa bikin awet muda karena banyak senyum dan ketawa daripada jadi asisten adik Mas Hanif itu, rasanya sakit kepala setiap hari," ujarku sembari meringis kecil. "Gimana kalau nanti saya bilang papa soal ini?" Mas Hanif melipat tangannya ke dada sembari menatapku lekat. "Bagus itu, Mas. Lebih cepat lebih baik." Aku menghela napas lega. "Ngapain? Rafqa sudah punya baby sitter kan? Nggak perlu tukar-menukar, biar saja Riana jadi asistenku." Tiba-tiba kudengar suara bariton itu dari depan kamar Rafqa. Aku tak melihat sosoknya sebab terhalang tembok. Hanya saja, Mas Hanif menoleh
"Ri, bisa minta tolong sebentar?" Pertanyaan Mas Hanif dari ambang pintu cukup mengagetkanku. Kebetulan pintu kamar memang terbuka dan tak salah jika dia tiba-tiba muncul di sana. "Kamu nangis, Ri? Kalau boleh tahu, ada masalah apa?" tanya laki-laki itu yang entah mengapa mendadak gugup lalu melangkah perlahan ke arahku. Aku sempat tercekat, buru-buru menghampirinya lalu mengajaknya keluar kamar. "Nggak apa-apa kok, Mas. Cuma baca pesan dari bapak, entah mengapa air mata ini nongol begitu saja." Aku mencoba tertawa kecil untuk meyakinkan laki-laki yang kini masih bergeming di sebelahku itu. "Yakin?" tanyanya lagi sembari mengernyitkan dahi. Aku mengangguk pelan. "Iya, Mas. Nggak ada masalah serius kok. Santai aja. Ohya, tadi mau minta tolong apa ya, Mas?" Aku balik bertanya untuk mengalihkan pembicaraan. "Oh itu, aku minta tolong kamu buat jagain Rafqa sebentar. Mama ada arisan dan aku ada urusan mendadak. Baby sitter Rafqa juga belum datang. Jadi, dia nggak ada yang jaga." Mas H
Cumi saos tiram, udang tepung dan tumis jamur sudah siap di meja makan. Kusobek diary lalu menuliskan memo seperti biasanya. |Menu hari ini sudah siap, Mas. Silakan dicoba satu sendok, kalau enak lanjut kalau nggak enak stop. Dijamin nggak ada racun.|Seperti biasa, kuselipkan sobekan kertas itu di bawah sendok yang kuletakkan di atas meja. Sengaja agar mencolok dan bisa dia baca dengan mudah. Jika terlalu tersembunyi takut nggak dibaca atau nggak lihat memonya. Setelah selesai memasak, aku sarapan lebih dulu lalu kembali ke kamar. Rencananya akan istirahat sebentar sembari membaca pesan yang sedari tadi masuk ke handphoneku. [Bapak sudah dapat kontrakan baru, Nduk. Nggak jauh dari masjid Al Huda. Sebulan lima ratus ribu dengan tiga ruang seperti biasanya. Nggak terlalu bagus, tapi masih layak huni. Alhamdulillah. Kamu nggak perlu cemas, Nduk. Bapak, Emak sama adikmu lebih tenang di sini. Semoga saja kontrakan ibu membawa keberkahan dan kebahagiaan buat keluarga kita] Pesan pertam
"Memangnya masakanku nggak enak? Belum nyoba kok sudah menilai buruk," ujarku kesal tanpa menoleh ke arah laki-laki itu. "Memangnya sudah pernah masak seafood?" tanyanya dengan ekspresi meremehkan. Aku kembali meliriknya yang melipat tangan ke dada. "Belum sih, tapi-- "Nah! Yang biasa masak aja belum tentu enak apalagi yang trial. Entah gimana rasanya nanti. Masak aja kalau memang mau masak, tapi makan sendiri. Aku pergi. Jangan lupa bersihkan kamar. Sebelum aku balik harus sudah beres," perintahnya membuatku tersenyum seketika. Permintaannya kali ini cukup mengejutkan. Akhirnya setelah tiga hari tinggal di sini, laki-laki sedingin salju itu membiarkanku masuk ke kamarnya dengan suka rela, tanpa harus diminta. Lega sekali rasanya. Aku yakin sedikit demi sedikit bisa meluluhkan kekakuan hatinya. Lihat saja nanti. "Ngapain senyum-senyum nggak jelas begitu?" Bola mataku melotot seketika saat mendengar suaranya kembali. Kupikir dia sudah menghilang di tangga, ternyata masih berdiri d







