Share

Bab 4. Tuduhan

Jasad Kharisma sudah dikuburkan. Dapat kudengar tangisan orang-orang terdekat Kharisma. Kedua orangtua juga adiknya. Begitu juga ibuku. Ibu yang duduk di kursi roda, akibat asam uratnya yang naik, tetap ikut mengantar Kharisma hingga ke peristirahatan terakhir, setelah semalam tidur di rumahku.

Mereka semua menangis tersedu. Meratapi kepergian Kharisma yang tiba-tiba. Tidak ada yang menyangka bahwa wanita dengan tinggi 175 cm itu, pergi secepat ini.

Aku berdiri di bawah pohon kamboja. Terhalang dua makam lain dari tanah kuburan dimana jasad Kharisma dikubur. Penguburan jasad Kharisma kuserahkan semuanya pada pengurus jenazah di komplek rumahku.

Aku menolak ikut turun ke dalam liang lahat. Sedikitpun, aku tak menyentuh jasad itu. Aku jijik. Hatiku terlalu sakit. Aku pun menyaksikan penguburan jasadnya dari sini. Tidak berniat mendekat sama sekali.

Kulihat mereka semua terisak. Papa mertuaku, terlihat memeluk papan nisan kuburan anak pertamanya itu. Papa mertua menangis. Begitu pun Mama mertuaku yang berjongkok di samping suaminya. Mereka menangis tersedu-sedu. Aku hanya menyaksikan kesedihan mereka di balik kacamata hitamku kini.

Aku pun melihat pengasuh putriku ikut menangis. Pengasuh yang direkrut Kharisma sejak putri kami berusia 40 hari.

Sedangkan putriku, Davina, nampak tertidur dalam gendongan pengasuhnya, yang tengah menangisi kepergian majikannya.

Aku mengusap ujung mataku. Aku tidak akan membiarkan, setetes pun airmataku keluar lagi. Kharisma tidak pantas aku tangisi. Meski kepergiannya memang meninggalkan luka menganga di relung hatiku. Tapi airmataku terlalu berharga, untuk meratapi kepergian seorang pengkhianat sepertinya.

Setelah ketua kepengurusan jenazah selesai berdoa. Perlahan para pelayat mulai meninggalkan area pemakaman. Tersisa kedua mertua serta adik ipar. Juga ibuku dan Nakula, yang berada di belakang kursi roda ibu.

Bu Titi, pengasuh Davina pun beranjak menjauh dari makam majikannya. Membawa serta Davina yang terlelap dalam gendongannya.

Jasad Kharisma tiba dengan mobil ambulance pukul 10 malam. Karena aku menolak otopsi terhadap jasad istriku. Maka pihak kepolisian hanya melakukan visum luar dan menyerahkan jasadnya setelah visum luar serta pemeriksaan terhadap obat-obatan selesai.

"Berdasarkan hasil visum, tidak ada tanda-tanda kekerasan yang dialami Bu Kharisma. Tidak ada luka yang mengarah pada kekerasan fisik maupun seksu*l. Berdasarkan pemeriksaan, Bu Kharisma bersama rekan prianya mengalami kelebihan obat."

"Obat yang kami periksa, merupakan jenis obat kuat, obat perangs*ng, serta obat terlarang, yang dikonsumsi bersamaan dan berlebihan sehingga mengakibatkan korban overdosis hebat dan kehilangan nyawa."

Penjelasan Pak Hamdan saat di kantor polisi kemarin, masih terekam jelas dalam ingatanku. Hatiku nyeri. Perkiraanku mengenai obat itu ternyata tidak salah. Obat yang ditemukan di laci nakas kamar penginapan kemarin, memang jenis obat ku*t serta obat perangs*ng.

Tapi untuk apa Kharisma mengkonsumsi obat-obatan itu?

Obat ku*t serta obat perangs*ng? Astaga. Aku jijik sekali membayangkannya.

Pak Hamdan juga mengatakan, bahwa ada obat terlarang yang kemarin berhasil diperiksa. Tapi sejak kapan, Kharisma mulai mengenal obat terlarang? Aku sama sekali tidak mengetahuinya.

Setelah semalam jasadnya tiba. Keluarga Kharisma baru aku beritahu menjelang shubuh. Sehingga hanya beberapa jam saja mereka dapat melihat jasad Kharisma. Karena pukul enam pagi tadi, aku meminta tim pengurus jenazah untuk menyolatkan dan segera mengubur jasad istri pengkhianat itu.

Kulihat adik ipar berjalan mendekat ke arahku. Matanya yang bulat nampak sembab. Hidungnya yang bangir, nampak kemerahan. Karena tak berhenti menangisi kakak kesayangannya.

"Apa yang sebenarnya terjadi Bang? Apa penyebab kematian Kak Risma? Semua ini membuat pihak keluarga sangat shock, Bang!" ucap Karina—adik iparku.

Aku memejam. Kematian Kharisma sungguh aib bagiku. Apa aku harus katakan yang sebenarnya pada mereka? Apa mereka sanggup menerima kebenarannya?

"Jawab, Bang!" hardik Karina garang.

Kuhela nafas panjang. "Abang jelaskan di rumah!" balasku singkat. Lalu aku berbalik badan dan berjalan meninggalkan Karina.

***

Semua sudah berkumpul di ruang tengah rumahku. Ibu, Mama dan Papa mertua, serta Karina. Nakula tidak ada. Dia pergi setelah proses pemakaman selesai tadi. 

Aku seperti pesakitan yang tengah dituntut. Semua mata tertuju padaku. Apalagi keluarga Kharisma. Mereka sudah tak sabar menunggu penjelasanku. Karena saat mereka datang ke rumah ini. Aku tidak menyambut mereka. Aku berpura-pura sibuk menyiapkan pemakaman. Padahal persiapan pemakaman, sudah selesai diatur Nakula. Aku hanya mencari cara agar tidak didesak oleh kedua mertuaku saja.

"Dewa, tolong ceritakan semuanya pada kami. Apa yang terjadi pada Kharisma sebenarnya?" Mama mertuaku mulai bertanya.

"Iya, Dewa! Bicaralah! Apa penyebab kematian putri Papa? Ini terlalu mengejutkan, Dewa!" sahut Papa mertua.

Aku menghela nafas dalam-dalam. Mengumpulkan segenap kekuatan untuk berbicara yang sebenar-benarnya. Aku putuskan, akan mengatakan semua kebenarannya. Sekalipun kenyataan itu adalah aib. Benar kata Nakula. Mereka berhak tahu apa yang menimpa anak mereka.

"Ma, Pa, Dewa akan mengatakan yang sebenarnya. Tapi apa Mama dan Papa akan percaya pada Dewa?" tanyaku.

"Iya, tentu saja, Dewa! Kamu suami dari Kharisma. Kamu yang bertanggung jawab sepenuhnya atas putri Papa!"

"Kharisma tewas karena overdosis, Pah!" jawabku akhirnya. Tanpa basa-basi lagi.

"APAAA?!" Semuanya berucap serempak. Raut wajah mereka tidak percaya dengan apa yang aku katakan.

"Kamu jangan ngarang, Dewa! Ibu nggak percaya, kalau menantu ibu meninggal karena hal seperti itu!" bela Ibuku.

"Iya, Dewa! Mama tahu sekali seperti apa anak Mama!" sahut Mama mertuaku.

Aku mengeraskan rahang. "Kharisma, tewas di dalam kamar di penginapan Puncak Bogor sana! Dewa melihat dengan mata kepala sendiri, Kharisma ditemukan tidak bernyawa bersama seorang pria!" jelasku menekan.

Mama mertuaku menutup mulutnya. Sedangkan Ibu, menggeleng tidak percaya. Papa mertua terlihat mengusap wajahnya gusar.

"Kamu jangan mengada-ada, Dewa! Jangan bohongi kami! Katakan yang sejujurnya! Atau jangan-jangan, kamu sendiri yang menyebabkan putri Papa meninggal? Tapi kamu malah merekayasa cerita ini!" sangkal Papa mertua.

Mataku sontak membulat mendengar penyangkalannya barusan. Aku? Merekayasa cerita? Untuk apa? Apa untungnya? Ck.

Tanpa kata, aku bergegas naik ke lantai dua rumahku. Masuk ke dalam kamar dan mengambil surat keterangan dari pihak kepolisian.

Prakk!

Aku menghempaskan dengan kasar amplop putih berlogo kantor polisi di atas meja, tepat di hadapan Papa mertuaku. Lalu kembali duduk di tempatku.

Papa mertua mengambil amplop di hadapannya. Membukanya lalu membaca isi yang terlampir di dalamnya. Aku juga sudah menyertakan lembar foto. Saat Kharisma bersama Guntur ditemukan pertama kali.

Foto yang aku dapat dari Pak Hamdan. Lantas aku mencetaknya lebih dulu kemarin. Foto yang sebenarnya menjijikan dan mengenaskan. Dua insan yang tengah bermaksiat, akhirnya harus meregang nyawa.

Mama serta Papa mertuaku saling tatap. Mereka bungkam. Lalu menyimpan kembali surat serta foto itu di atas meja. Kini, surat itu tengah dibaca Karina.

Aku menarik sudut bibir. "Masih mau menuduh Dewa merekayasa?" sindirku.

"Putri kebanggaan Mama dan Papa itu, ternyata tidak lebih dari perempuan murahan dan pemakai obat terlarang!" cibirku. 

Mama serta Papa mertuaku diam membisu.

Plukk!

Karina melempar tepat mengenai wajahku, surat keterangan kepolisian yang diremasnya. "Semua ini karena elo, Bang!" ucapnya lantang seraya berdiri.

Aku yang tersulut emosi, juga berdiri. "Apa-apaan kamu hah?" tanyaku geram.

"Kak Risma selingkuh itu, gara-gara elo, Bang! Elo gak bisa jadi suami idaman! Elo gak bisa bahagiain kakak gue! Elo itu lemah di atas ranjang! Bukan Kakak gue yang murahan. Tapi elo yang nggak bisa puasin dia! Makanya dia selingkuh dari elo!" pungkas Karina menyudutkanku.

Tanganku mengepal mendengar ucapan Karina barusan.

Apa Karina sudah tahu kalau Kharisma itu selingkuh? Sialan!

Bab terkait

Bab terbaru

DMCA.com Protection Status