Share

Bab 4. Tuduhan

Penulis: Sity Mariah
last update Terakhir Diperbarui: 2022-09-16 12:36:38

Jasad Kharisma sudah dikuburkan. Dapat kudengar tangisan orang-orang terdekat Kharisma. Kedua orangtua juga adiknya. Begitu juga ibuku. Ibu yang duduk di kursi roda, akibat asam uratnya yang naik, tetap ikut mengantar Kharisma hingga ke peristirahatan terakhir, setelah semalam tidur di rumahku.

Mereka semua menangis tersedu. Meratapi kepergian Kharisma yang tiba-tiba. Tidak ada yang menyangka bahwa wanita dengan tinggi 175 cm itu, pergi secepat ini.

Aku berdiri di bawah pohon kamboja. Terhalang dua makam lain dari tanah kuburan dimana jasad Kharisma dikubur. Penguburan jasad Kharisma kuserahkan semuanya pada pengurus jenazah di komplek rumahku.

Aku menolak ikut turun ke dalam liang lahat. Sedikitpun, aku tak menyentuh jasad itu. Aku jijik. Hatiku terlalu sakit. Aku pun menyaksikan penguburan jasadnya dari sini. Tidak berniat mendekat sama sekali.

Kulihat mereka semua terisak. Papa mertuaku, terlihat memeluk papan nisan kuburan anak pertamanya itu. Papa mertua menangis. Begitu pun Mama mertuaku yang berjongkok di samping suaminya. Mereka menangis tersedu-sedu. Aku hanya menyaksikan kesedihan mereka di balik kacamata hitamku kini.

Aku pun melihat pengasuh putriku ikut menangis. Pengasuh yang direkrut Kharisma sejak putri kami berusia 40 hari.

Sedangkan putriku, Davina, nampak tertidur dalam gendongan pengasuhnya, yang tengah menangisi kepergian majikannya.

Aku mengusap ujung mataku. Aku tidak akan membiarkan, setetes pun airmataku keluar lagi. Kharisma tidak pantas aku tangisi. Meski kepergiannya memang meninggalkan luka menganga di relung hatiku. Tapi airmataku terlalu berharga, untuk meratapi kepergian seorang pengkhianat sepertinya.

Setelah ketua kepengurusan jenazah selesai berdoa. Perlahan para pelayat mulai meninggalkan area pemakaman. Tersisa kedua mertua serta adik ipar. Juga ibuku dan Nakula, yang berada di belakang kursi roda ibu.

Bu Titi, pengasuh Davina pun beranjak menjauh dari makam majikannya. Membawa serta Davina yang terlelap dalam gendongannya.

Jasad Kharisma tiba dengan mobil ambulance pukul 10 malam. Karena aku menolak otopsi terhadap jasad istriku. Maka pihak kepolisian hanya melakukan visum luar dan menyerahkan jasadnya setelah visum luar serta pemeriksaan terhadap obat-obatan selesai.

"Berdasarkan hasil visum, tidak ada tanda-tanda kekerasan yang dialami Bu Kharisma. Tidak ada luka yang mengarah pada kekerasan fisik maupun seksu*l. Berdasarkan pemeriksaan, Bu Kharisma bersama rekan prianya mengalami kelebihan obat."

"Obat yang kami periksa, merupakan jenis obat kuat, obat perangs*ng, serta obat terlarang, yang dikonsumsi bersamaan dan berlebihan sehingga mengakibatkan korban overdosis hebat dan kehilangan nyawa."

Penjelasan Pak Hamdan saat di kantor polisi kemarin, masih terekam jelas dalam ingatanku. Hatiku nyeri. Perkiraanku mengenai obat itu ternyata tidak salah. Obat yang ditemukan di laci nakas kamar penginapan kemarin, memang jenis obat ku*t serta obat perangs*ng.

Tapi untuk apa Kharisma mengkonsumsi obat-obatan itu?

Obat ku*t serta obat perangs*ng? Astaga. Aku jijik sekali membayangkannya.

Pak Hamdan juga mengatakan, bahwa ada obat terlarang yang kemarin berhasil diperiksa. Tapi sejak kapan, Kharisma mulai mengenal obat terlarang? Aku sama sekali tidak mengetahuinya.

Setelah semalam jasadnya tiba. Keluarga Kharisma baru aku beritahu menjelang shubuh. Sehingga hanya beberapa jam saja mereka dapat melihat jasad Kharisma. Karena pukul enam pagi tadi, aku meminta tim pengurus jenazah untuk menyolatkan dan segera mengubur jasad istri pengkhianat itu.

Kulihat adik ipar berjalan mendekat ke arahku. Matanya yang bulat nampak sembab. Hidungnya yang bangir, nampak kemerahan. Karena tak berhenti menangisi kakak kesayangannya.

"Apa yang sebenarnya terjadi Bang? Apa penyebab kematian Kak Risma? Semua ini membuat pihak keluarga sangat shock, Bang!" ucap Karina—adik iparku.

Aku memejam. Kematian Kharisma sungguh aib bagiku. Apa aku harus katakan yang sebenarnya pada mereka? Apa mereka sanggup menerima kebenarannya?

"Jawab, Bang!" hardik Karina garang.

Kuhela nafas panjang. "Abang jelaskan di rumah!" balasku singkat. Lalu aku berbalik badan dan berjalan meninggalkan Karina.

***

Semua sudah berkumpul di ruang tengah rumahku. Ibu, Mama dan Papa mertua, serta Karina. Nakula tidak ada. Dia pergi setelah proses pemakaman selesai tadi. 

Aku seperti pesakitan yang tengah dituntut. Semua mata tertuju padaku. Apalagi keluarga Kharisma. Mereka sudah tak sabar menunggu penjelasanku. Karena saat mereka datang ke rumah ini. Aku tidak menyambut mereka. Aku berpura-pura sibuk menyiapkan pemakaman. Padahal persiapan pemakaman, sudah selesai diatur Nakula. Aku hanya mencari cara agar tidak didesak oleh kedua mertuaku saja.

"Dewa, tolong ceritakan semuanya pada kami. Apa yang terjadi pada Kharisma sebenarnya?" Mama mertuaku mulai bertanya.

"Iya, Dewa! Bicaralah! Apa penyebab kematian putri Papa? Ini terlalu mengejutkan, Dewa!" sahut Papa mertua.

Aku menghela nafas dalam-dalam. Mengumpulkan segenap kekuatan untuk berbicara yang sebenar-benarnya. Aku putuskan, akan mengatakan semua kebenarannya. Sekalipun kenyataan itu adalah aib. Benar kata Nakula. Mereka berhak tahu apa yang menimpa anak mereka.

"Ma, Pa, Dewa akan mengatakan yang sebenarnya. Tapi apa Mama dan Papa akan percaya pada Dewa?" tanyaku.

"Iya, tentu saja, Dewa! Kamu suami dari Kharisma. Kamu yang bertanggung jawab sepenuhnya atas putri Papa!"

"Kharisma tewas karena overdosis, Pah!" jawabku akhirnya. Tanpa basa-basi lagi.

"APAAA?!" Semuanya berucap serempak. Raut wajah mereka tidak percaya dengan apa yang aku katakan.

"Kamu jangan ngarang, Dewa! Ibu nggak percaya, kalau menantu ibu meninggal karena hal seperti itu!" bela Ibuku.

"Iya, Dewa! Mama tahu sekali seperti apa anak Mama!" sahut Mama mertuaku.

Aku mengeraskan rahang. "Kharisma, tewas di dalam kamar di penginapan Puncak Bogor sana! Dewa melihat dengan mata kepala sendiri, Kharisma ditemukan tidak bernyawa bersama seorang pria!" jelasku menekan.

Mama mertuaku menutup mulutnya. Sedangkan Ibu, menggeleng tidak percaya. Papa mertua terlihat mengusap wajahnya gusar.

"Kamu jangan mengada-ada, Dewa! Jangan bohongi kami! Katakan yang sejujurnya! Atau jangan-jangan, kamu sendiri yang menyebabkan putri Papa meninggal? Tapi kamu malah merekayasa cerita ini!" sangkal Papa mertua.

Mataku sontak membulat mendengar penyangkalannya barusan. Aku? Merekayasa cerita? Untuk apa? Apa untungnya? Ck.

Tanpa kata, aku bergegas naik ke lantai dua rumahku. Masuk ke dalam kamar dan mengambil surat keterangan dari pihak kepolisian.

Prakk!

Aku menghempaskan dengan kasar amplop putih berlogo kantor polisi di atas meja, tepat di hadapan Papa mertuaku. Lalu kembali duduk di tempatku.

Papa mertua mengambil amplop di hadapannya. Membukanya lalu membaca isi yang terlampir di dalamnya. Aku juga sudah menyertakan lembar foto. Saat Kharisma bersama Guntur ditemukan pertama kali.

Foto yang aku dapat dari Pak Hamdan. Lantas aku mencetaknya lebih dulu kemarin. Foto yang sebenarnya menjijikan dan mengenaskan. Dua insan yang tengah bermaksiat, akhirnya harus meregang nyawa.

Mama serta Papa mertuaku saling tatap. Mereka bungkam. Lalu menyimpan kembali surat serta foto itu di atas meja. Kini, surat itu tengah dibaca Karina.

Aku menarik sudut bibir. "Masih mau menuduh Dewa merekayasa?" sindirku.

"Putri kebanggaan Mama dan Papa itu, ternyata tidak lebih dari perempuan murahan dan pemakai obat terlarang!" cibirku. 

Mama serta Papa mertuaku diam membisu.

Plukk!

Karina melempar tepat mengenai wajahku, surat keterangan kepolisian yang diremasnya. "Semua ini karena elo, Bang!" ucapnya lantang seraya berdiri.

Aku yang tersulut emosi, juga berdiri. "Apa-apaan kamu hah?" tanyaku geram.

"Kak Risma selingkuh itu, gara-gara elo, Bang! Elo gak bisa jadi suami idaman! Elo gak bisa bahagiain kakak gue! Elo itu lemah di atas ranjang! Bukan Kakak gue yang murahan. Tapi elo yang nggak bisa puasin dia! Makanya dia selingkuh dari elo!" pungkas Karina menyudutkanku.

Tanganku mengepal mendengar ucapan Karina barusan.

Apa Karina sudah tahu kalau Kharisma itu selingkuh? Sialan!

Lanjutkan membaca buku ini secara gratis
Pindai kode untuk mengunduh Aplikasi

Bab terbaru

  • SETELAH KEMATIAN ISTRIKU    Satu Setengah Tahun kemudian (END)

    Satu setengah tahun kemudian…...Aku berdiri di depan pagar rumahku. Menatap bangunan dua lantai yang ada di seberang rumah ini.Bangunan yang sudah satu tahun terakhir, menjadi kaffe baru milik Dewa.Setelah melalui perundingan dan pemikiran yang matang. Aku dan Dewa akhirnya mencapai kesepakatan.Aku resmi keluar dari Gwyna Group. Aku menjual saham serta kantor itu pada adik iparku. Juga rumah mewah peninggalan Mas Guntur pun, telah aku jual.Aku dan Dewa sepakat. Akan memulai hidup baru. Benar-benar baru. Tanpa sedikitpun jejak masa lalu.Begitu juga dengan Dewa. Empat bangunan kaffe miliknya, berhasil ia jual dengan harga tinggi.Dia lalu memilih bangunan rumah di seberang rumah kami, untuk dijadikan caffe miliknya.Dewa memulai bisnis kafe dari awal lagi. Bahkan dari nol. Kafe dengan nama baru, akan tetapi dia masih memperkerjakan Haris, orang kepercayaannya di kafe yang lama.Dia memilih membangun kafe di seberang rumah ini, agar dia tak perlu lagi meninggalkan keluarga kecil

  • SETELAH KEMATIAN ISTRIKU    Kehangatan Di bawah Selimut

    *********Aku melakukan apa yang Dewa inginkan. Dia telah melucuti celana training yang dipakainya. Kedua tanganku, bergerak menyentuh lalu menggenggam pusaka miliknya. Bergerak mengurut dari ujung hingga pangkal. Setelahnya, lantas meremas bagian pangkalnya. Hingga pusaka itu mulai menggeliat untuk berdiri.Dewa menegakkan tubuhnya cepat, untuk melepas kaos oblong yang melekat. Hingga sekarang, tubuh atasnya telah polos. Dewa kembali membungkuk lalu menyambar kembali bibirku. Kedua tangannya, mencoba menarik baju yang masih menutupi tubuhku. Hingga sampai di bagian dada, kami melepas cumbuan kami sejenak, agar bajuku terlepas.Kami melanjutkan cumb*an yang terhenti. Dewa dengan tubuhnya yang sudah polos, dan tubuh atasku yang hanya terbalut bra.Entah kenapa, cumb*an sore ini, terasa begitu panas. Kulit tubuh bagian atas tubuh kami, saliing bersentuhan. Tak ada jarak.Dewa menurunkan cumb*annya ke leher, lalu kedua bahuku yang polos. Turun ke bagian dada. Dan membuatku cukup terlena.

  • SETELAH KEMATIAN ISTRIKU    Langsung Praktek

    Pagi ini, aku tidak bangun terlambat lagi. Jam lima pagi, aku sudah berkutat di dapur. Menyiapkan sarapan untuk Naga dan juga aku. Sementara Dewa, dia hanya meminta untuk dibuatkan roti kupas isi selai seperti biasa. Tak ketinggalan, segelas cappucino hangat sebagai teman rotinya.Aku tengah membuat sup ayam. Juga nasi yang sudah kutanak menggunakan magic com. Aku memang membiasakan Naga untuk langsung makan nasi saat sarapan.Aku mematikan kompor. Saat sup ayam buatanku sudah mendidih dan matang. Aku menuangkan sedikit kuahnya pada sendok, lalu mencicipinya. Dan rasanya, selalu pas.Selesai membuat sup ayam. Lantas aku menanak air dalam panci kecil. Untuk menyeduh cappucino pesanan Dewa. Aku masih tidak mengerti, apa dia kenyang sarapan roti dan kopi seperti ini? Hanya dua lembar roti dan segelas kopi. Dan dia baru akan makan makanan berat, pada jam 11 siang nanti. Apa dia akan memiliki tenaga?Sedangkan sependek yang aku tahu, sarapan itu penting. Karena setelah semalaman kita tidur

  • SETELAH KEMATIAN ISTRIKU    Apalah Arti Sebuah Panggilan

    ********Setelah aku berhasil menemukan Dewa di rooftop kafe miliknya semalam. Aku dan Dewa, akhirnya sama-sama pulang ke rumah baru kami.Dan pagi ini.Aku kembali mendatangi pusara Davina, tentu bersama Dewa.Laki-laki dengan tatapan mata bak elang itu. Saat ini masih berjongkok di sisi gundukan tanah yang masih dipenuhi kelopak bunga tabur.Dia juga menaruh buket bunga mawar putih, di dekat papan nisan yang tertancap. Tangan besarnya, meraba, mengusap dan menelisik tulisan yang tertera di papan nisan tersebut.Kemudian, ia menempelkan keningnya, pada papan nisan. "Bagaimana pun, kamu pernah menjadi satu-satunya pelipur dalam hidup ini. Meski kenyatannya, kita bukanlah siapa-siapa. Semoga kamu selalu berada dalam kedamaian, Sa—yang. Tenanglah, dan berbahagialah di sana!" ucapnya setengah berbisik. Namun, masih dapat kutangkap. Sebab, aku berada dekat di sampingnya.Dan terakhir. Ia mencium papan nisan itu cukup lama. Hingga menyudahinya, dan mengajakku kembali ke rumah baru kami.**

  • SETELAH KEMATIAN ISTRIKU    Sangat Berarti

    Davina telah kembali pada pangkuan Sang Khaliq. Ia telah pergi menuju kedamaian yang abadi. Pusaranya dipenuhi kelopak bunga tabur. Di sisi papan nisan yang terukir namanya, Bu Titi menangis sesenggukan. Dengan tangan kirinya yang masih dipasangi arm sling.Bu Titi, aku serta Bi Ima. Masih terpekur di samping pusara, tempat peristirahatan terakhir anak kecil manis nan menggemaskan itu. Sama seperti Bu Titi, Bi Ima pun menangis pilu di sebelahku.Sekuat hati, aku menahan agar tak menangis. Tetapi, lelehan air mataku, bak tanggul yang bisa jebol kapan saja. Tangisku pun tak dapat dibendung."Bu, maapkan saya, Bu. Gara-gara saya, Davina jadi meninggal. Pak Dewa pasti marah sekali sama saya, Bu … Saya sudah membuat anaknya meninggal …." ujar Bu Titi di sela isakan tangisnya.Aku mengusap wajahku yang basah. Lalu mengusap-usap bahu Bu Titi. Perempuan seusia Bi Ima, yang tengah meratapi kepergian putri asuhnya ini."Nggak, Bu! Ini bukan karena Ibu. Kematian itu pasti datang. Semua ini, suda

  • SETELAH KEMATIAN ISTRIKU    Jati Diri Davina

    Tiba di RS Harapan. Aku serta Dewa buru-buru mencari keberadaan Davina. Setelah sebelumnya, menanyakan informasi tentangnya.Sampai di depan kamar dimana Davina ditangani. Bi Ima pun sudah ada di sana. Ia bangkit dari duduknya dan berhambur memelukku. Bi Ima terisak begitu saja."Gimana Davina sekarang, Bi? Kalian mau pergi kemana? Kenapa nggak hubungi saya kalau kalian mau pergi? Aghh!" Dewa melayangkan kepalan tangannya di udara.Sedangkan Bi Ima, tak berucap apa pun. Dia masih terisak dalam pelukanku. Aku pun hanya bisa mengusap-usap lengannya, agar ia sedikit tenang dan mau menceritakan apa yang sebenarnya terjadi.Klek!Pintu ruangan terbuka. Berbarengan dengan seorang dokter wanita yang keluar."Bagaimana? Sudah ada keluarga dari Ananda Davina? Korban harus segera mendapat transfusi darah," ujar sang dokter.Dewa maju dengan sigap ke hadapan dokter tersebut. "Saya ayahnya, Dok. Ambil darah saya. Selamatkan Davina, Dok!" ucap Dewa memohon.Dokter itu mengangguk cepat. "Baik. Mari

Bab Lainnya
Jelajahi dan baca novel bagus secara gratis
Akses gratis ke berbagai novel bagus di aplikasi GoodNovel. Unduh buku yang kamu suka dan baca di mana saja & kapan saja.
Baca buku gratis di Aplikasi
Pindai kode untuk membaca di Aplikasi
DMCA.com Protection Status