Home / Romansa / SETELAH TALAK TIGA / Bos M3sum Plus Killer

Share

Bos M3sum Plus Killer

last update Last Updated: 2023-03-03 05:13:33

"Masuk!" 

Terdengar seruan itu dari dalam, aku menormalkan debaran jantung yang mendadak lebih cepat, 'calm down, Hanin! You can!" batinku menyugesti diri, kutarik napas dalam lantas mengembuskan pelan, menekan hendel pintu itu pelan lalu melangkah masuk.

Ruangan bernuansa krem—putih gading menyapa indra penglihatanku, dua sofa memanjang warna dark blue terletak rapi membentuk sudut sembilan puluh derajat, dengan sebuah meja persegi di depannya.

Dinding ruangan terdapat beberapa ornamen berupa lukisan abstrak menggantung keren. Di tengah ruangan sebuah meja berdiri kokoh, di atasnya terdapat papan bentuk persegi panjang bertuliskan 'Abizar Permana—Direktur Utama' jantungku terasa makin berdebar saja melihat betapa angkuh atasanku.

Dia duduk membelakangiku di kursi kebesarannya, menatap gedung-gedung menjulang di luar sana dari sekat kaca di hadapannya. Aku mengayunkan langkah pasti, meredam rasa gugup, mengumpulkan keberanian berdiri tegak di depan meja itu.

"Anda memanggil saya, Pak?" tanyaku dengan suara dibuat selugas mungkin. 

"Ya! Siapa namamu?" tanyanya tanpa menoleh, aku mengernyit bingung, bukankah profilku sudah dilihatnya sebelum ini, dan suara itu, sepertinya aku pernah mendengarnya, tapi ... di mana ya?

"Pendengaranmu tidak bermasalah 'kan? Saya tidak menerima sekretaris tuna rungu," Kedua netraku melebar sempurna. Oh, Tuhan, sepertinya keberuntunganku tidak sempurna kali ini.

"Maaf, tidak, Pak! Pendengaran saya berfungsi normal. Nama saya Hanindiya Atmojo," sahutku cepat, dasar bos killer! Lihat saja akan kubuat dia mengakui kinerjaku nanti.

"Alright, sekarang katakan apa tujuanmu bekerja?" tanyanya lagi, aku menghela napas besar, memang untuk apa lagi selain cari uang, dia benar-benar menguji kesabaranku.

"Tujuan saya ingin ikut andil memajukan perusahaan dengan menyumbangkan tenaga, Pak," Aku menjawab demikian agar pria itu sedikit merasa kagum, atau minimal speechless lah, tetapi reaksinya benar-benar diluar dugaan.

"Jadi kamu kerja cuma-cuma? Nggak perlu digaji, begitu?" Demi apa pun ini sangat menyebalkan, jika tidak mengingat aku butuh pekerjaan ini, ogah melayani si bos tengil macam dia.

"Maksud saya, selain mendapat penghasilan tentunya, Pak!" sahutku setengah menggeram, dia tertawa. Wtf! Apa dia memperlakukan semua pekerjanya begini, seperti ... lelucon?

"Oke, jawab satu pertanyaan saya yang terakhir maka kamu boleh bekerja mulai besok," Apa lagi kali ini.

"Baik, Pak!" 

"Selain jago karate dan menuduh orang lain dengan sebutan mesum kamu punya skill apa lagi?" Seluruh tubuh terasa meremang mendengar ucapannya, bahkan sekarang aku bisa mendengar jelas detak jantung yang semakin bertalu, sepintas bayangan kejadian beberapa hari lalu terlintas di pelupuk mata.

Pupil mataku semakin melebar saat kursi itu berputar cepat menghadapku, rekam memori otak dan penglihatanku semakin memperjelas praduga menit sebelumnya. Ya Tuhan beri aku kekuatan teleportasi atau keahlian menghapus ingatan. Kenapa dunia sesempit ini, itu pria yang kutendang tulang keringnya dua hari lalu, dia terlihat santai menyatukan dua tangan di meja, menatap intens padaku yang masih terperangah menatapnya.

"Wah! Hebat! Ternyata kau punya skill melotot dan mangap yang patut diacungi jempol," ucapnya seraya bertepuk tangan. Aku gelagapan, mengalihkan pandangan pada lukisan di samping kanan, ke mana saja asal tidak menatap wajahnya.

Ya Tuhan bagaimana sekarang, aku menggigit bagian dalam bibirku hanya agar rahang berhenti gementar. Bukan tanpa sebab, bagaimana kalau dia tidak menerimaku, atau membalas kelakuanku tempo hari, kemungkinan terburuk, aku digiring dan dipermalukan di depan karyawan lain. Oh Tuhan, jangan sampai.

"Hei! Kau tidak mau minta maaf padaku? Kulitku masih memar akibat tendanganmu kemarin," ucapnya, aku menutup mulut yang terbuka sempurna. Namun, demi tatapan tajam yang dilayangkan pria itu aku menormalkan ekspresi, menggantinya dengan rasa bersalah, jika ingin mendapatkan jabatan itu aku harus jadi pelakon yang baik.

"Saya minta maaf, Pak," ucapku dengan suara pelan.

"No, Hanindiya Atmojo! Maaf tidak bisa membuatmu jera, kau akan mendapat hukuman atas perlakuanmu kemarin," tuturnya membuatku tersentak kaget.

"Kau harus memenuhi permintaan saya,"

"Tapi permintaan apa, Pak?" tanyaku bingung.

"Apa pun. Tanpa kecuali," ucapnya penuh penekanan, netraku melebar. Kali ini pikiran buruk menyergapi, bagaimana kalau dia benar-benar mesum, lalu meminta yang bukan-bukan padaku.

"Tenang saja, aku tidak akan mengajakmu ke ranjang," ucapnya. Lagi, aku tersentak, netraku memicing, jangan-jangan dia memiliki ilmu membaca pikiran orang lain, buktinya dia bisa menebak jalan pikiranku. 

"Bagaimana?" tanyanya menyentakku dari lamunan. Aku mengangguk ragu, dapat kulihat dia tersenyum lebar penuh kemenangan seraya mengibaskan tangannya ke udara.

"Out!" 

Heh? Oh my Allah ... lelaki itu benar-benar—

"I said get out Hanindiya Atmojo! come back tomorrow and start your work!" Dia mengulang kata-katanya lagi, aku mengangguk seraya berbalik hendak ke luar dari tempat yang lebih mirip ruangan interogasi tersebut.

"Wait!" Apa lagi, sih! Aku berbalik.

 "Yes, Sir," sahutku mengukir senyum. Dia memindaiku dari ujung kaki hingga ujung kepala.

"Besok gunakan pakaian yang tidak terlalu ketat, agar semua yang menatap cara berjalanmu tidak kau anggap mesum," Oh, damn! Bagaimana bisa pemimpin perusahaan besar begini adalah pria bad atitude seperti dia.

"Baik, Pak!" ucapku semanis mungkin lantas berbalik menarik hendel pintu dan benar-benar keluar dari kandang singa itu. Aku melangkah ke arah lift, memasukinya hendak turun ke bawah.

Netraku menatap pantulan diri, mencari kebenaran dari ucapan bos mesum itu barusan. Aku memutar, berdiri menyamping, melihat bagian belakang yang masih wajar, walau pun terlihat sedikit menonjol pada bagian pant*t, memang mau di kemanakan bokongku jika tak boleh tampak bentuknya sedikit pun. 

"Haahhh ... Dasar! sudah jadi bos killer, mesum pula!" geramku masih melihat-lihat di mana letak ketat pada pakaianku ini.

Aku berhenti saat getar ponsel terasa di dalam tas, gegas kurogoh tas kulit warna moka terfav selama kerja, tak butuh waktu lama benda pipih itu sudah ada di tanganku, aku tak perlu mengobrak-abrik terlalu lama, karena tak banyak barang yang kubawa, hanya lipstick, bedak padat dan botol parfum untuk jaga-jaga jika wajah dan aroma tubuh perlu di touch up.

Tertera sebaris nomor asing di layar ponselku, gegas kuangkat saja, siapa tahu itu panggilan penting, baru menempelkan di telinga, suara yang beberapa menit lalu memenuhi runguku dengan ocehan menyebalkannya kembali terdengar, kali ini lebih parah.

"Jangan latihan dansa di lift perusahaan, kami menyediakannya hanya untuk sarana naik-turun saja," Setelah berkata demikian, dia segera mematikan sambungan panggilan kami.

Refleks aku menengadah kemudian melihat sebuah cctv tergantung di sudut lift, kutepuk jidatku. Bodoh, bodoh, bodoh! Kenapa aku bisa lupa kalau ada cctv. Ya Allah, malunya, aku menutup wajah, dia pasti sedang menikmati ekspresiku di ruangannya.

Tapi tunggu—dari mana dia mendapat nomorku? 

Wait!

 Of course dari Map berisi profilku. Sepertinya otakku jadi lemot dua tahun tidak bekerja. Huffff! Hari yang si*l.

Continue to read this book for free
Scan code to download App

Latest chapter

  • SETELAH TALAK TIGA   Tamat

    Beberapa minggu kemudian…Hari itu, langit cerah dan angin berembus pelan di halaman belakang rumah keluarga Permana. Sebuah acara kecil diadakan dengan tenda putih sederhana dan beberapa kursi berderet rapi. Hanin duduk di salah satu kursi tersebut, mengenakan gaun pastel sederhana dengan senyum hangat di wajahnya yang cerah, secerah suasana hatinya. Di pangkuannya, putri kecil mereka, Daisyhara, mengenakan bando bunga dan memeluk boneka beruang.Sementara Abizar duduk di sebelah Hanin, tangannya tak lepas merangkul bahu sang istri mesra. Ia tampak jauh berbeda dari sebelumnya, tatapan matanya terlihat penuh minat bahagia.Di depan sana, eyang dengan mikrofon di tangannya sedang memberi sambutan singkat untuk para tamu mereka.“Saya ucapkan terima kasih untuk semua yang sudah hadir hari ini, acara yang saya persiapkan, untuk menyambut cucu menantu saya, Hanindiya.” tuturnya seraya tersenyum sambil memandang pada Hanin.Tepuk tangan kecil mengiringi ucapan sang eyang. Beberapa kerab

  • SETELAH TALAK TIGA   Sesal Tak Berujung

    Abizar masih terduduk, memeluk tubuh Hanin yang kini terkulai lemas dalam rengkuhannya. Wajahnya penuh ketakutan dan rasa bersalah, ia menekan luka tembak di punggung istrinya dengan tangannya yang berlumuran darah. Nafasnya tercekat, setiap detik terasa seperti seumur hidup.“Bertahan, Sayang… tolong bertahanlah kumohon .…” bisiknya sambil menatap wajah Hanin yang semakin pucat. Ia tidak peduli pada kebisingan di luar sana, tidak peduli pada polisi yang kini memasuki ruangan dengan langkah cepat.Beberapa polisi segera menghampiri, satu di antaranya berjongkok memeriksa kondisi Hanin. “Korban masih bernapas! Segera panggil ambulans!”Seorang petugas medis yang datang bersamaan segera mengambil alih. Mereka membawa tandu darurat, lalu dengan cepat dan hati-hati Abizar mengangkat tubuh Hanin.Pria itu turut masuk kedalam ambulans yang kemudian meluncur cepat ke rumah sakit.Sementara itu, Kiara sudah diamankan, diborgol dalam kondisi pingsan dengan luka tembak di betisnya. Polisi Lant

  • SETELAH TALAK TIGA   Di Gedung Tua

    Abimana tersadar dan mendapati dirinya sedang berada di dalam sebuah ruangan yang cukup temaram, aroma debu merasuk indra penciuman.Pria itu menoleh ke sekitar, kedua tangan dan tubuhnya sudah dalam kondisi terikat di sebuah kursi, rasa sakit berdenyut di belakang kepalanya. Napasnya memburu, pikirannya langsung tertuju pada Hanin.“Hanin… kau di mana?” gumamnya dengan suara serak.Pintu kayu di ruangan itu tiba-tiba berderit, terbuka perlahan. Abimana menajamkan pandangan, meski cahaya remang sulit membuatnya mengenali siapa yang masuk. Namun suara langkah sepatu hak tinggi yang familiar membuat dadanya berdesir penuh amarah.Kiara muncul dari balik pintu dengan senyum miring di wajahnya.“Akhirnya kamu bangun juga, Abizar,” ucapnya dengan nada meremehkan. “Aku sudah menduga kau tidak akan bisa tidur lebih lama setelah memori terakhirmu tentang istrimu itu.”“Dasar gila! Apa semua ini ulahmu?! Katakan di mana Hanin?!” Abimana berusaha memberontak meski tubuhnya terikat kuat. Wajahny

  • SETELAH TALAK TIGA   Kelicikan Yang Terbongkar

    POV Abimana *Aku tidak bisa menahan emosiku melihat Hanin yang muncul tiba-tiba dan menyerang Kiara. Rapat yang kami adakan seketika kacau, amarahku meluap, yang semakin membuatku naik pitam adalah, saat ia mengutarakan alasannya bahwa itu semua hanya karena cemburu buta.Nafasku masih memburu, menyugar rambut frustasi, kubiarkan istriku itu pergi begitu saja, dan sama sekali tidak berniat menyusulnya, aku butuh ketenangan di sini setidaknya untuk beberapa waktu.Namun sisi lain hatiku tetap terserlah rasa khawatir, jarak antara Kota Bandung dan Jakarta sangat jauh, dia datang ke sini seorang diri, apa mungkin Hanin pulang malam ini?Keresahan mulai merasuk, aku memandangi ponsel yang ditinggalkan istriku, bagaimana aku akan menghubunginya untuk memastikan dia tinggal atau pulang malam ini?Aaarrrgggh! Semua menjadi rumit karena emosiku yang tidak terbendung tadi. Kata-kata Hanin yang terakhir kembali terngiang, alisku mengerut dalam, apa yang tersimpan di dalam ponselnya.Dengan c

  • SETELAH TALAK TIGA   Melabrak Pelakor

    Terhitung sudah satu minggu Mas abi mendiamkanku, sementara itu aku tetap bekerja seperti biasanya dengan posisi baru yang diberikan oleh eyang.Hari ini aku berangkat seperti biasa, suamiku tidak masuk, menurut informasi yang kudengar dia ada rapat di luar kantor bersama dengan rekanan bisnisnya yang juga akan ditarik ke kantor kami untuk investasi besar-besaran, dalam sebuah project baru yang digadang-gadang akan menjadi proyek terbesar selama perjalanan bisnis Wira Bangsa Group.Namun anehnya aku tidak dilibatkan di dalam rapat itu, tapi aku juga tidak melihat kehadiran Kiara hari ini, berbagai sangka buruk pun mulai merasuk, apa mereka pergi bersama dan sengaja tidak mengajakku?Karena hati tak tenang aku kemudian menghubungi eyang, dengan lugas aku menceritakan semuanya tentang project tersebut tanpa melewatkan satupun, "Aku tidak diberitahu apa-apa, Eyang, dan aku juga tidak melihat Kiara di sini," aduku.Aku mengangguk mendengar perkataan eyang di seberang sana, pemikiran kami

  • SETELAH TALAK TIGA   Dingin

    Para karyawan lain telah berlalu pergi, begitu pun Kiara, di dalam ruangan luas yang terasa pengap sebab suasana mencekam, aku tinggal dengan Mas Abi dan eyang.Lelaki itu berdiri dengan sebelah tangan memegangi sandaran kursinya, ia meraup wajah berkali-kali, helaan napasnya pun terdengar berat.Aku melihat ke arah Eyang, wanita sepuh itu terlihat duduk dengan tegak, tatapannya menyorot lurus tak goyah. Cucunya mengintimidasi, sementara ia tak merasa bersalah dengan keputusan yang sudah diambil ini.“Apa ada lagi yang ingin kau bicarakan, Abimana?” tanya Eyang. Tampak lelaki itu tersenyum getir, ia menatap lekat pada wajah sepuh, “Aku sangat tersanjung dengan kejutan ini, Eyang. Sekarang, bolehkah aku bicara dengan Hanin sebentar?”“Tidak.” Ia menoleh dengan tatap tajam pada suamiku, “Aku tahu kau ingin menekan Hanin karena keputusanku. Dia tidak bersalah, asal kau tahu Abimana. Jika ingin protes atau menentang keputusan ini, bicara langsung pada eyang, jangan serang istrimu yang tid

More Chapters
Explore and read good novels for free
Free access to a vast number of good novels on GoodNovel app. Download the books you like and read anywhere & anytime.
Read books for free on the app
SCAN CODE TO READ ON APP
DMCA.com Protection Status