Aku harus merelakan uang jajan hanya untuk membantu hantu. Serius, aku masih belum bisa menerima, jika sekarang terlihat seperti pengasuh hantu.
"Ini rumah Bibi Rachel. Jika kamu ingin lihat tempat kejadian di mana aku tewas, kamu harus pergi ke taman belakang rumah."
Sebelum aku masuk, kutelan ludah sambil mengeratkan jaket. Sungguh, hawa dingin hantu berbeda dengan AC. Musim salju saja kalah.
Rasa ragu pun muncul. Apa bibi bernama Rachel ini akan menerima penjelasanku? Bagaimana jika dia menendang bokongku keluar dari rumahnya?
Aku menggeleng kepala dengan cepat. Dia pasti mengerti. Kuatkan keyakinanmu, Zoe.
Pintu di depanku terbuka. Munculah wanita dengan wajah yang sedikit keriput.
"Bibi Rachel?" Aku sudah siap, siap jika dia akan menendang bokongku keluar.
"Ya. Ada yang bisa saya bantu?" tanyanya dengan sopan.
Aku tidak tahu harus dengan kalimat apa untuk memulai. Gugup yang kuhadapi seketika hilang, ketika Karin berdiri di belakang Bibi Rachel.
"Lakukanlah dengan tenang."
Dengan tenang. Tarik napas, buang. "Jadi begini Bibi, saya memiliki informasi tentang Karin Ghotik yang tewas karen-"
"Ada informasi tentang keponakanku?" Bibi Rachel memotong kalimatku. Kedua tangannya menyentuh kedua lenganku dengan kencang.
"Maaf, aku sudah kehilangan kakakku dan sekarang keponakanku."
"Tidak apa. Saya mengerti keadaan anda."
"Kalau begitu, masuklah dulu." Itu yang kuharapkan dari tadi.
Aku duduk berhadapan dengan Bibi Rachel, sedangkan Karin duduk di sebelah bibinya. Wajah Karin sudah mulai bahagia.
"Jadi, ada informasi apa tentang keponakanku?"
Rasanya sedang di wawancarai. "Keponakan anda, Karin, mendatangi saya dan dia bilang ingin meminta maaf atas peristiwa yang terjadi."
"Tunggu, dia datang padamu? Kapan?" Bersiaplah Zoe, siapkan bokongmu.
"Dengarkan saya dulu. Pagi tadi, dia mendadak muncul dihadapan saya. Dia meminta bantuan untuk menyampaikan suatu hal. Pertama, dia ingin meminta maaf atas peristiwa yang terjadi. Dia melakukan itu, karena tekanan dan masa lalu-"
Belum selesai menjelaskan, Bibi Rachel sudah meneteskan air mata. Inilah yang tidak kusukai.
"Aku sudah berjanji pada ibunya. Menjaga anak tunggalnya. Setelah peristiwa itu terjadi, aku merasa gagal. Aku seperti sudah melanggar janji itu. Aku merasa ada yang aneh pada dirinya. Dia seperti menyembumyikan sesuatu. Seharusnya, aku bisa merasakan hal itu. Aku bahkan takut untuk tidur."
Air putih yang Bibi Rachel berikan, kuberikan kembali padanya.
Karin bergerak mendekat untuk membisikkan sesuatu.
"Bibi ... "
Bibi Rachel menoleh padaku.
" ... Aku menyesal telah melakukan hal bodoh yang seharusnya tidak kulakukan. Bibi benar, ada sesuatu yang kusembunyikan. Semuanya berada dibuku diariku." Aku menyampaikan semua bisikkan Karin.
"Buku diari?" tanya Bibi Rachel balik. "Aku tidak tahu di mana dia menyimpannya, tapi akan kucari."
"Akan kubantu." Aku mengikuti Bibi Rachel dari belakang.
Saat sampai di kamar, lagi-lagi aku mengeratkan jaket. Aura kamar ini lumayan buruk. Berbeda saat di ruang tamu.
Selagi Bibi Rachel mencari di meja belajar, aku mulai mencari di ranjang.
Mungkin saja Karin menyembunyikan buku diari di bawah bantal. Tidak, tidak ketemu. Di bawah selimut juga tidak, di kolong ranjang juga tidak ada, di bawah guling- Tunggu, ada sesuatu yang berbentuk di bawah sprei.
"Sepertinya aku menemukan sesuatu."
Bibi Rachel menoleh dan mulai membantu.
Buku diari Karin berwarna biru dengan gambar imut di sampul sekarang berada di tangan Bibi Rachel.
Aku menunggu Bibi Rachel selesai membaca.
Seorang pria datang dengan cepat masuk ke kamar Karin. "Rachel, kamu baik-baik saja?"
Sepertinya pria itu adalah suami Bibi Rachel.
"Aku seharusnya tahu, jika Karin masih memikirkan orang tuanya. Dia bahkan dijauhi dan diganggu oleh murid di sekolah. Karena tekanan, dia melompat dari-"
Pria itu memeluk Bibi Rachel supaya tenang.
Sepertinya, aku harus kembali ke ruang tamu. Pemadangan itu membuat iri.
"Ikut aku. Ada satu hal lagi yang harus kamu lakukan." Karin menyuruh untuk mengikuti. Semoga tidak disuruh untuk membersihkan lorong lagi.
Taman belakang. Karin bilang di taman inilah dia melakukan bunuh diri. Tapi, apa yang harus kulakukan?
"Saat aku melompat, cincinku lepas dari genggaman tangan. Maukah kamu mencarinya? Aku ingin memberikan cincin itu pada Bibi Rachel."
Baiklah. Tadi permintaan maaf, sekarang mencari cincin. Bukan tidak ingin membalas budi, tapi sekarang sudah menjelang malam. "Akan kucari."
Mulai dari pot bunga bahkan rumput kecil, aku mencari benda kecil yang kemungkinan akan sulit ditemukan.
"Apa yang sedang kamu cari?" Suara berat dari pria tadi mengejutkanku.
"Karin bilang dia kehilangan cincin di sekitar sini," jawabku jujur.
Aku kembali mencari. Dengan cepat, aku menemukan cincin berwarna emas di balik pot bunga besar. Saat berbalik, kulihat tempat kejadian dengan tepat lalu melihat ke lantai dua.
Aku mengerti kenapa Karin memilih untuk melompat. Kamarnya memiliki balkon dan ketinggian dari lantai satu ke lantai dua lumayan tinggi.
Aku menutup kedua mata untuk melihat bagaimana Karin tewas.
Karin menangis. Dia tidak bisa berpikir jernih. Yang dia inginkan hanyalah kembalinya orang tua. Karena sudah lelah dengan hidup, dia pergi ke balkon sambil melihat ke bawah. Seperti sedang mengukur seberapa tinggi lantai dua.
Dia pun mulai memanjati pagar balkon, melepas cincin lalu digenggam dan ... Semuanya hancur. Darah segar mengalir. Tak berapa lama Bibi Rachel muncul.
"Hey, nak!"
Teriakan pria itu menyadarkan pikiranku.
"Kamu baik-baik saja?" tanya Bibi Rachel mulai khawatir.
Aku juga melihat Karin yang menatap bingung.
Padahal tidak berlarian, tapi keringatku muncul. "Ini cincinnya. Karin menginginkan anda menyimpan ini." Setelah memberikan cincin, kutatap Karin sambil mengacungkan jempol.
"Ini cincin ibunya Karin, kakakku."
"Ibu memberikan cincinnya padaku."
Tatapan kedua orang dewasa itu bingung. Mungkin mereka mengira jika aku adalah Karin. "Tadi Karin berbisik."
"Apa Karin ada di sini?" tanya pria itu yang sampai sekarang belum kuketahui namanya.
"Paman Darrel, aku disini," ujar Karin yang sudah berdiri di antara Bibi Rachel dan Paman Darrel. "Apa kalian merelakanku pergi? Apa kalian sudah memaafkan kesalahanku?"
"Dia berada di tengah kalian. Dia juga bertanya apakah kalian memaafkan dan merelakannya pergi?" Aku menyampaikan pertanyaan Karin.
"Bibi bahkan belum bicara banyak denganmu, sayang. Kenapa begitu cepat ingin pergi?" tanya Bibi Rachel balik.
Karin bersiap pergi karena aku melihat ada cahaya menyilaukan. Sepertinya itu adalah gerbang menuju surga.
"Paman juga belum bisa membuatmu senang. Maafkan paman, jika ada kesalahan dan membuatmu tidak tenang." Giliran Paman Darrel yang meneteskan air mata.
"Paman tidak ada salah apa pun. Aku yang membuat kesalahan," balas Karin. Dia menatapku dengan senyuman manis. Wajah pucatnya berubah menjadi terlihat segar. "Kamu lihat cahaya silau itu?"
"Ya, aku lihat," jawabku mengikuti arah mata Karin. "Siapa dua orang dewasa itu? Orang tuamu?" tanyaku balik.
"Ya." Jawaban singkat keluar dari mulut Karin.
"Ibumu sangat cantik. Ayahmu juga tampan. Semoga kamu tenang di sana." Doaku menyertaimu, kawan.
"Kami memaafkanmu, sayang. Sampaikan maaf kami pada kedua orang tuamu, ya?" pinta Bibi Rachel pada Karin yang sudah mulai berjalan ke arah cahaya silau.
"Terima kasih, Bibi, Paman." Itulah kata terakhir yang Karin berikan. Cahaya silau itu pun menghilang begitu saja.
"Karin sudah tenang di sana."
"Terima kasih, Nak. Kami berutang budi padamu." Paman Darrel memberiku uang tebal.
"Tidak, Paman. Aku membantu karena tulus, bukan uang," tolakku sopan.
Aku keluar dari rumah itu dengan senyum lebar. Entah kenapa, aku merasa puas kali ini. Lebih cepat lebih baik.
Apa aku harus melakukan ini terus, ya?
Rumah tua dengan warna yang sudah memudar berada di depanku. Banyak tumbuhan liar tumbuh di sekitar rumah tersebut. Rumah itu terbuat dari kayu yang mungkin sudah berumur ratusan tahun, tidak layak digunakan.Aku tidak tahu itu rumah siapa, tapi aku merasa ada aura jahat. Sangat jahat, sehingga hawa dingin terus menyelimuti."Tolong kami ... "Suara bisikan terdengar dari belakang, lantas aku menoleh dengan cepat. Tidak ada. Tidak ada siapa pun. Hanya aku, rumah tua dan juga pohon tinggi."Tolong kami ... Tolong kami ... Tolong kami ... "Suara itu terdengar tidak hanya satu. Semua ini mulai menakutkan. Aku pilih masuk ke rumah tua itu tanpa peduli. Aku ketakutan!Setelah masuk ke rumah tua, suara itu menghilang. Aku menghela napas lega. Hanya saja, ada sesuatu yang menjanggal.Darah. Kulihat bany
Segar rasanya setelah mandi, sikat gigi, cuci wajah, dan sekarang waktunya tidur. Wajah pantulanku di cermin ternyata cantik juga. Halo, namaku Zoe Veronica. Lama-lama aku gila ketika tertawa sendiri.Tawaku seketika terhenti saat melihat uap di cermin. Aku sudah mematikan air panas dari tadi. Anehnya, uap di cermin itu menunjukkan sesuatu.'DS adalah Darwin South'Bagus. Jadi huruf yang kutulis di kertas tadi adalah inisial si pembunuh.Bagaimana uap itu bisa memberikku petunjuk, jika aku tidak merasakan hawa dingin? Lupakan itu, setidaknya sudah dapat tambahan informasi. Saat aku ingin membuka pintu kamar mandi, terdengar ada suara langkah kaki berat. Ibu? Tidak mungkin. Ibu tidak mengijinkan orang memakai sepatu di dalam rumah. Sepatu itu terdengar seperti sepatu boots.Rasa takut pun muncul, setelah tidak mendengar s
Hari ini adalah hari libur. Hari ini juga waktunya untuk mengakhiri Darwin South. Dia tidak bisa dibiarkan terus menerus. Aku sangat yakin, kemarin malam dia memburu gadis lain.Berita penculikan muncul pagi ini. Bukan tentang empat gadis lagi. Gadis ini bernama Olivia Paw.Mengingat kapak berdarah itu membuatku semakin takut. Aku tidak bisa membayangkan apa yang terjadi pada Olivia."Maaf, aku terlambat. Adikku sangat menyebalkan." William datang sambil berlari. Napasnya tidak beraturan. "Siap?""Ya, siap." Sejujurnya aku tidak siap. Hati, mulut dan pikiran tidak bisa bekerja sama.William sepertinya terlihat ... tidak siap juga. Senyumnya sangat kaku. Kantung matanya juga terlihat hitam. Sepertinya, dia tidak tidur.Bau rumah Darwin tercium sangat amis. Rasanya aku ingin mual. "Tekan belnya," suruhku pada William.Dia mengikuti apa yang kusuruh.
Seorang wanita berlari dari pria yang mengejar. Wanita itu terus berlari, walaupun pria itu sudah meneriaki nama."Sofia! Kenapa kamu lakukan ini padaku? Kenapa kita harus putus?"Wanita itu dengan berani membalikkan tubuh. "Kita tidak bisa melanjutkan hubungan ini lagi. Kita sudah selesai.""Apa maksud dari selesai ini adalah pria difoto ini?" Pria yang sudah dijadikan mantan pun mengeluarkan foto pria lain. "Apa benar dia tunanganmu?"Jika aku menjadi wanita itu, aku akan pindah planet. Berani sekali dia menipu pria kaya itu. Kaya iya, tampan iya, gagah iya, romantis juga iya."Iya, dia tunanganku. Dan sebentar lagi kita akan menikah," balas wanita itu dengan senyum licik.Tidak ada yang beres dengan wanita itu. Pasti ada sesuatu yang dia rencanakan."Kamu membohongiku? Kenapa? Hanya ingin hartaku?"
Aku membuka kedua mata dengan berat. Rasanya tidak ingin bangun, tapi sekolah harus tetap berlanjut.Tunggu, ini bukan kamarku. Aku di mana? Aku diculik? Aku melihat sekeliling kamar dan sungguh, ini bukan kamarku. Ini seperti kamar laki-laki.Terdapat foto di sana. Satu pria dan satu wanita. Aku baru sadar. Pria difoto ini adalah Nikki. Tampan, tapi mengingat dia pernah mencekik, membuatku tidak menyukainya.Biar kutebak, wanita ini pasti Anette. Tidak buruk juga. Pakaiannya sangat mewah dengan perhiasan serba berlian. Pasti dibelikan oleh Nikki."Kenapa begitu?"Eh? Suara orang? Kupikir hanya aku di sini. Kutaruh kembali foto itu dan keluar dari kamar.Aku bisa melihat ada tiga orang di bawah. Ya, aku di lantai dua. Salah satunya wanita dan aku yakin dia adalah Anette, lalu ada dua pria. Pasti salah satunya Nikki.
Saat turun dari taksi, aku terpukau dengan rumah Anette. Sangat bagus, tapi sayang, aura jahat terasa sekali. Nikki memang meneror Anette tanpa belas kasih."Kamu tinggal sendiri?" tanya William sambil menunggu Anette yang sedang membuka pintu."Orang tuaku tahu apa yang terjadi. Mereka lebih memilih meninggalkanku," jawab Anette dengan nada sedih."Tentu saja, mereka pasti kecewa berat- Aw!"Sekali lagi, kusikut perut William. Tidak peduli dia meringis kesakitan. Dia tidak mengerti perasaan wanita sama sekali."Kalian tunggu di sini saja. Kalau mau minum atau makan, ambil saja di dapur. Aku ingin mengumpulkan semua barang Nikki," pesan Anette langsung meninggalkan kami berdua.Aku mengikuti William ke dapur untuk melihat seisi rumah, sedangkan William dengan santai mengambil makanan di kulkas."Menurutmu, apa Nikki akan memaafkan Anette semudah itu, walaupun Ane
Hari baru, wajah baru. Karena kesulitan tidur, wajah ini terlihat buruk. Mata seperti mata panda. Rasanya ingin kupecahkan kaca di depan."Zoe, kalau kamu nanti pulang sekolah, tapi rumah masih dikunci, kabari Ibu ya.""Hm? Memangnya Ibu mau ke mana?" tanyaku sambil menoleh pada ibu."Tante Grace mengajak Ibu ke rumah temannya yang baru saja menjadi pengantin baru. Keluarga Thompson. Mereka bingung bagaimana cara menaruh barang-barang yang nyaman dilihat. Nanti Ibu akan dijemput Tante Grace."Ugh ... Tante Grace yang menyebalkan. "Salam untuk Keluarga Thompson.""Kamu tidak ingin memberi salam pada Tante Grace?" tanya Ibu sambil memberiku bekal makan."Tante Grace tidak akan berubah. Aku berangkat dulu ya, Bu."Aku lupa memberi tahu, jika ibu mempunyai ahli, yaitu mendekorasi ruangan. Makanya, Tante Grace memanggil ibu. Semua dekorasi di rumah juga ibu yang mengu
"Kakak?"Huh? Kakak? Aku menoleh ke belakang. Di sana ada anak perempuan dengan wajah pucat dan pakaian yang basah. Dia terlihat seperti berumur 6 tahun."Kakak sedang apa di sini?" tanyanya dengan wajah polos.Aku mendekatinya, lalu jongkok supaya tinggi kami sama."Dan siapa mereka semua?""Ada ibuku, tanteku dan kedua orang tuamu," jawabku dengan santai.Dia memiringkan kepala seperti orang bigung. Lucu sekali. Aku jadi menginginkan seorang adik."Orang tuaku? Orang tuaku sudah pergi dan mereka tidak kembali. Mereka bukan orang tuaku. Aku tidak kenal mereka."Lantas, aku langsung bingung. Jika Keluarga Thompson bukan orang tuanya, lalu anak ini siapa? Kenapa bisa ada di sini?"Namaku Isabelle Brooks. Aku sudah berada di sini sebelum mereka datang."Brooks? Entah kenapa, aku seperti pernah dengar marga itu. Aku te