Rumah tua dengan warna yang sudah memudar berada di depanku. Banyak tumbuhan liar tumbuh di sekitar rumah tersebut. Rumah itu terbuat dari kayu yang mungkin sudah berumur ratusan tahun, tidak layak digunakan.
Aku tidak tahu itu rumah siapa, tapi aku merasa ada aura jahat. Sangat jahat, sehingga hawa dingin terus menyelimuti.
"Tolong kami ... "
Suara bisikan terdengar dari belakang, lantas aku menoleh dengan cepat. Tidak ada. Tidak ada siapa pun. Hanya aku, rumah tua dan juga pohon tinggi.
"Tolong kami ... Tolong kami ... Tolong kami ... "
Suara itu terdengar tidak hanya satu. Semua ini mulai menakutkan. Aku pilih masuk ke rumah tua itu tanpa peduli. Aku ketakutan!
Setelah masuk ke rumah tua, suara itu menghilang. Aku menghela napas lega. Hanya saja, ada sesuatu yang menjanggal.
Darah. Kulihat banyak darah di lantai. Kuharap darah itu adalah darah hewan, tapi melihat hewan mati juga mengerikan. Mau atau tidak, harus mengikuti arah darah itu.
Dari pintu, melewati ruang tamu. Ruang tamu terlihat sangat rapi, ada beberapa barang bagus. Lalu, darah itu melewati dapur. Tidak ada yang salah dengan dapur, semua rapi. Terakhir, berhenti di ruang bawah tanah.
Kenapa ruang bawah tanah selalu terlihat menyeramkan? Saat lampu dinyalakan juga tidak ada yang berubah. Tapi anehnya, sudah tidak menemukan darah lagi. Bau aneh menusuk hidung.
Kututup mulut. Rasa mual datang. Ruang bawah tanah ini penuh dengan mayat! Banyak mayat gadis bertumpuk!
Sepertinya aku dijebak.
Saat ingin keluar dari ruang bawah tanah, ada tangan yang sangat dingin menahan kakiku.
"Kumohon ... bantu kami ... "
Suaranya terdengar sangat menyedihkan, tapi aku juga tidak berani melihat wajahnya.
"Kamu satu-satunya orang yang bisa sampai ke sini dalan keadaan hidup. Bantu kami membalaskan dendam pada pria pembunuh ini."
Aku menelan ludah. Masalah ini harus dibawa ke jalur hukum, dan berarti harus berurusan dengan pembunuh!
"Kalau kamu tidak ingin melakukannya, akan banyak korban lain. Cepatlah lakukan sesuatu. Kami membutuhkanmu. Kami tidak bisa seperti ini. Kami ingin pria itu mati. Mati!"
Aku menutup telinga dengan erat. Mereka terlalu banyak sehingga aku tidak bisa menampung suara yang kudengar. "Hentikan!"
"Zoe! Zoe, apa yang terjadi?"
Mataku terbuka dengan cepat. Ibu membuatku terbangun dari mimpi buruk. Langsung kupeluk ibu. Terima kasih sudah datang, bu.
"Kamu memeluk Ibu erat sekali. Apa mimpimu sangat buruk?"
Aku tidak bisa berbohong pada ibu. Apa pun yang kusimpan sendiri, ibu pasti tahu. Kuceritakan semuanya. Masalah Karin kemarin, juga sudah kuceritakan.
"Kamu harus mengumpulkan bukti dulu sebelum melapor pada polisi. Ini sudah masalah serius. Kamu tidak bisa mengerjakan semuanya sendiri."
Mudah untuk bicara seperti itu. Sekarang saja aku tidak bisa konsentrasi, karena teringat suara mereka.
***
Tanpa sadar, leher hampir saja tercekik karena tarikan dari belakang. Seseorang menarik syalku. Saat menoleh ke belakang- Oh ya, tentu saja. William mengganggu lagi.
"Lepas!" bentakku setelah dia melepas pegangan. Aku tidak ingin membuang waktu. Sebelum aku menuju kelas-
"Pffttt ... "
Suara tawa murid di taman sekolah terdengar sangat jelas. Mereka menertawaiku. Dan dinding bodoh ini, sejak kapan ada di depan? Hidungku jadi sasaran.
Aku kembali melihat orang yang menarik syal. William tertawa kencang. Menyebalkan sekali. Tertawa di atas penderitaan orang.
"Aku sudah tidak memegangmu," ujarnya sambil tertawa seakan dia tak bersalah.
Aku lebih baik pergi ke kelas saja. Ada apa hari ini? Apa mimpi tadi membuatku tidak fokus?
Entahlah, mimpi itu nyata atau tidak. Kalau memang nyata, pasti sangat sulit. Berita pembunuhan juga belum ada ditelevisi tadi pagi.
Kalau begini caranya, berarti pembunuh itu sangat pintar. Dia ahli dalam mengecoh perempuan. Tapi, kenapa pembunuh itu mengincar para gadis? Pikiranku ke mana-mana sekarang. Menjual organ tubuh? Atau pemuas nafsu? Ih, mengerikan.
Kubutuh seseorang yang bisa membantu.
Aku menoleh tajam pada William yang sedang melempar bola kertas padaku berkali-kali. Kulempar balik saja bola kertas itu.
Ini tidak akan selesai, jika dia melempar bola kertas lagi. Mulutnya bergerak seakan menyuruh untuk membaca tulisan dibola kertas.
Awas saja, jika dia menipu lagi. Kugigit paru-parunya.
"Apa yang kamu tulis?"
Apa yang kutulis? Iya. Saat termenung, aku menulis sesuatu dibuku tulis. Tapi, yang kutulis hanya huruf D dan S. Itu pun satu halaman penuh.
William melempar bola kertas lagi. "Kamu sakit?"
Dia bergaya seakan peduli. Beberapa detik kemudian, pasti dia akan mengganggu lagi. Terus saja begitu siklusnya.
Aku balas pesannya, lalu kulempar kembali. "Iya, aku sakit. Hidungku belum sembuh. Puas?"
Aku lihat dia terkekeh pelan.
Bel istirahat berbunyi. Inilah waktu di mana aku bisa tidur, bukan makan.
Ketika William ingin pergi, dia menaruh bola kertas lagi di mejaku.
"Ingat fokus." Dengan gambar senyum.
Aku tidak tahu bagaimana harus bereaksi. Dia membuatku kesal dan bingung menjadi satu.
Ingin sekali tidur, tapi tak sengaja mendengar berita dari para murid perempuan di kelas. Sepertinya berita serius.
"Nanti kita pulang jangan lewat Jalan Dandelion lagi ya."
"Kenapa?"
"Ada berita baru. Penculikan seorang gadis di sana. Sudah ada empat laporan."
Penculikan? Mencurigakan.
"Padahal kemarin baik-baik saja."
"Yang aku baca di berita, empat gadis ini pulang bersama dari sekolah, lalu menghilang begitu saja."
Penculikan di Jalan Dandelion. Aku baru dengar. Apa penculikan itu terhubung oleh pembunuh? Teori ini bisa saja berhubungan. Akan kucatat semua yang masuk diakal.
***
Jalan Dandelion sedang ramai oleh beberapa polisi. Ingin bertanya, tapi nanti dicurigai. Aku tidak mendapatkan petunjuk apa pun, jika seperti ini.
Hawa dingin datang kembali. Untung saja pakai jaket dan syal. Pasti hantu para gadis datang.
"Rumah berwarna merah ... " Yup. Mereka datang dan berbisik di belakang.
Ada apa dengan rumah berwarna merah?
"Di sanalah tempat terakhir kami ... Kami membutuhkanmu ... "
Setelah itu menghilang. Tidak bisakah mereka langsung memberi tahu semuanya? Menyebalkan sekali. Aku bukan detektif.
Aku mulai bergerak menuju rumah merah itu. Jujur, aku bingung. Rumah ini memang tua tapi berwarna merah, sedangkan mimpi warnanya kusam. Mungkin saja si pembunuh ini ingin mempercantik rumahnya.
Hanya saja aku mencium bau amis. Bau amis berasal dari rumah merah itu. Seperti bau darah.
"Halo, Nona."
Aku terkejut sampai terlompat, saat seorang pria menepuk pundakku tiba-tiba.
"Anda tertarik dengan rumah saya?"
Oh. Jadi dia si pemilik rumah ini. Tunggu, jika dia pemilik rumah ini, berarti dia si pembunuh? Dia memang terlihat seperti pembunuh.
"Um, ya. Saya suka dengan warna merahnya." Kujawab asal dengan senyum kaku. Berbicara dengan si pembunuh? Lebih baik mati bunuh diri.
Dia tersenyum sambil mengulur tangan. "Nama saya Darwin South. Anda?"
Dia ingin berkenalan? Tidak semudah itu, Barbara.
"Nama saya Elina Scott. Salam kenal," balasku sambil melepas salaman. Sengaja menipu, supaya dia tidak tahu identitas asliku.
"Saya baru lihat anda di sini." Sebenarnya aku tidak ingin basa basi, tapi aku butuh informasi. Hantu para gadis itu pelit akan petunjuk.
"Saya baru pindah dua hari yang lalu. Setelah tempati rumah ini, rasanya saya ingin tinggal di sini selamanya. Dan berteman dengan anda."
Berteman? Itu tidak akan terjadi.
"Ingin masuk? Saya bisa menyediakan teh."
Ini dia! Trik klasik yang selalu kutonton. Dia menawarkan masuk ke rumah untuk membuat teh, sedangkan aku yang duduk di sofa bisa menjadi sasaran empuk.
Aku tidak akan termakan rayuanmu. Aku selalu tidak percaya pada sikap ini, karena tingkah William yang membuatku kesal.
"Tidak, terima kasih. Sudah waktunya saya pulang. Ibu saya mencari," bohongku. Berbohong demi kebaikan itu boleh. Mungkin.
"Anda tinggal di mana? Saya akan antar."
Trik kedua, mengantar. Jika dia mengantarku ke rumah, bisa saja dia tiba-tiba datang dan menculikku di malam hari.
Aku berterima kasih pada film yang selalu kutonton, jadi memiliki pengetahuan banyak.
"Tidak perlu. Lagipula ini masih sore. Rumah saya juga tidak terlalu jauh. Kalau begitu, saya permisi." Ini sudah lebih dari cukup. Jika terlalu lama, bisa-bisa dia mengorek kehidupanku lebih dalam. "Rumah yang bagus," pujiku supaya tidak canggung.
"Sampai bertemu lagi, Nona Scott."
Lagi? Tidak akan.
Tanganku jadi bau amis setelah bersalaman dengannya. Sama seperti bau amis yang kucium di depan rumahnya. Kuharap bau amis ini hanyalah bau ikan. Jika benar ini darah, aku akan mandi susu. Aku punya banyak susu di kulkas. Susu sapi.
Segar rasanya setelah mandi, sikat gigi, cuci wajah, dan sekarang waktunya tidur. Wajah pantulanku di cermin ternyata cantik juga. Halo, namaku Zoe Veronica. Lama-lama aku gila ketika tertawa sendiri.Tawaku seketika terhenti saat melihat uap di cermin. Aku sudah mematikan air panas dari tadi. Anehnya, uap di cermin itu menunjukkan sesuatu.'DS adalah Darwin South'Bagus. Jadi huruf yang kutulis di kertas tadi adalah inisial si pembunuh.Bagaimana uap itu bisa memberikku petunjuk, jika aku tidak merasakan hawa dingin? Lupakan itu, setidaknya sudah dapat tambahan informasi. Saat aku ingin membuka pintu kamar mandi, terdengar ada suara langkah kaki berat. Ibu? Tidak mungkin. Ibu tidak mengijinkan orang memakai sepatu di dalam rumah. Sepatu itu terdengar seperti sepatu boots.Rasa takut pun muncul, setelah tidak mendengar s
Hari ini adalah hari libur. Hari ini juga waktunya untuk mengakhiri Darwin South. Dia tidak bisa dibiarkan terus menerus. Aku sangat yakin, kemarin malam dia memburu gadis lain.Berita penculikan muncul pagi ini. Bukan tentang empat gadis lagi. Gadis ini bernama Olivia Paw.Mengingat kapak berdarah itu membuatku semakin takut. Aku tidak bisa membayangkan apa yang terjadi pada Olivia."Maaf, aku terlambat. Adikku sangat menyebalkan." William datang sambil berlari. Napasnya tidak beraturan. "Siap?""Ya, siap." Sejujurnya aku tidak siap. Hati, mulut dan pikiran tidak bisa bekerja sama.William sepertinya terlihat ... tidak siap juga. Senyumnya sangat kaku. Kantung matanya juga terlihat hitam. Sepertinya, dia tidak tidur.Bau rumah Darwin tercium sangat amis. Rasanya aku ingin mual. "Tekan belnya," suruhku pada William.Dia mengikuti apa yang kusuruh.
Seorang wanita berlari dari pria yang mengejar. Wanita itu terus berlari, walaupun pria itu sudah meneriaki nama."Sofia! Kenapa kamu lakukan ini padaku? Kenapa kita harus putus?"Wanita itu dengan berani membalikkan tubuh. "Kita tidak bisa melanjutkan hubungan ini lagi. Kita sudah selesai.""Apa maksud dari selesai ini adalah pria difoto ini?" Pria yang sudah dijadikan mantan pun mengeluarkan foto pria lain. "Apa benar dia tunanganmu?"Jika aku menjadi wanita itu, aku akan pindah planet. Berani sekali dia menipu pria kaya itu. Kaya iya, tampan iya, gagah iya, romantis juga iya."Iya, dia tunanganku. Dan sebentar lagi kita akan menikah," balas wanita itu dengan senyum licik.Tidak ada yang beres dengan wanita itu. Pasti ada sesuatu yang dia rencanakan."Kamu membohongiku? Kenapa? Hanya ingin hartaku?"
Aku membuka kedua mata dengan berat. Rasanya tidak ingin bangun, tapi sekolah harus tetap berlanjut.Tunggu, ini bukan kamarku. Aku di mana? Aku diculik? Aku melihat sekeliling kamar dan sungguh, ini bukan kamarku. Ini seperti kamar laki-laki.Terdapat foto di sana. Satu pria dan satu wanita. Aku baru sadar. Pria difoto ini adalah Nikki. Tampan, tapi mengingat dia pernah mencekik, membuatku tidak menyukainya.Biar kutebak, wanita ini pasti Anette. Tidak buruk juga. Pakaiannya sangat mewah dengan perhiasan serba berlian. Pasti dibelikan oleh Nikki."Kenapa begitu?"Eh? Suara orang? Kupikir hanya aku di sini. Kutaruh kembali foto itu dan keluar dari kamar.Aku bisa melihat ada tiga orang di bawah. Ya, aku di lantai dua. Salah satunya wanita dan aku yakin dia adalah Anette, lalu ada dua pria. Pasti salah satunya Nikki.
Saat turun dari taksi, aku terpukau dengan rumah Anette. Sangat bagus, tapi sayang, aura jahat terasa sekali. Nikki memang meneror Anette tanpa belas kasih."Kamu tinggal sendiri?" tanya William sambil menunggu Anette yang sedang membuka pintu."Orang tuaku tahu apa yang terjadi. Mereka lebih memilih meninggalkanku," jawab Anette dengan nada sedih."Tentu saja, mereka pasti kecewa berat- Aw!"Sekali lagi, kusikut perut William. Tidak peduli dia meringis kesakitan. Dia tidak mengerti perasaan wanita sama sekali."Kalian tunggu di sini saja. Kalau mau minum atau makan, ambil saja di dapur. Aku ingin mengumpulkan semua barang Nikki," pesan Anette langsung meninggalkan kami berdua.Aku mengikuti William ke dapur untuk melihat seisi rumah, sedangkan William dengan santai mengambil makanan di kulkas."Menurutmu, apa Nikki akan memaafkan Anette semudah itu, walaupun Ane
Hari baru, wajah baru. Karena kesulitan tidur, wajah ini terlihat buruk. Mata seperti mata panda. Rasanya ingin kupecahkan kaca di depan."Zoe, kalau kamu nanti pulang sekolah, tapi rumah masih dikunci, kabari Ibu ya.""Hm? Memangnya Ibu mau ke mana?" tanyaku sambil menoleh pada ibu."Tante Grace mengajak Ibu ke rumah temannya yang baru saja menjadi pengantin baru. Keluarga Thompson. Mereka bingung bagaimana cara menaruh barang-barang yang nyaman dilihat. Nanti Ibu akan dijemput Tante Grace."Ugh ... Tante Grace yang menyebalkan. "Salam untuk Keluarga Thompson.""Kamu tidak ingin memberi salam pada Tante Grace?" tanya Ibu sambil memberiku bekal makan."Tante Grace tidak akan berubah. Aku berangkat dulu ya, Bu."Aku lupa memberi tahu, jika ibu mempunyai ahli, yaitu mendekorasi ruangan. Makanya, Tante Grace memanggil ibu. Semua dekorasi di rumah juga ibu yang mengu
"Kakak?"Huh? Kakak? Aku menoleh ke belakang. Di sana ada anak perempuan dengan wajah pucat dan pakaian yang basah. Dia terlihat seperti berumur 6 tahun."Kakak sedang apa di sini?" tanyanya dengan wajah polos.Aku mendekatinya, lalu jongkok supaya tinggi kami sama."Dan siapa mereka semua?""Ada ibuku, tanteku dan kedua orang tuamu," jawabku dengan santai.Dia memiringkan kepala seperti orang bigung. Lucu sekali. Aku jadi menginginkan seorang adik."Orang tuaku? Orang tuaku sudah pergi dan mereka tidak kembali. Mereka bukan orang tuaku. Aku tidak kenal mereka."Lantas, aku langsung bingung. Jika Keluarga Thompson bukan orang tuanya, lalu anak ini siapa? Kenapa bisa ada di sini?"Namaku Isabelle Brooks. Aku sudah berada di sini sebelum mereka datang."Brooks? Entah kenapa, aku seperti pernah dengar marga itu. Aku te
Saat turun dari taksi, aku terpukau dengan rumah Anette. Sangat bagus, tapi sayang, aura jahat terasa sekali. Nikki memang meneror Anette tanpa belas kasih."Kamu tinggal sendiri?" tanya William sambil menunggu Anette yang sedang membuka pintu."Orang tuaku tahu apa yang terjadi. Mereka lebih memilih meninggalkanku," jawab Anette dengan nada sedih."Tentu saja, mereka pasti kecewa berat- Aw!"Sekali lagi, kusikut perut William. Tidak peduli dia meringis kesakitan. Dia tidak mengerti perasaan wanita sama sekali."Kalian tunggu di sini saja. Kalau mau minum atau makan, ambil saja di dapur. Aku ingin mengumpulkan semua barang Nikki," pesan Anette langsung meninggalkan kami berdua.Aku mengikuti William ke dapur untuk melihat seisi rumah, sedangkan William dengan santai mengambil makanan di kulkas."Menurutmu, apa Nikki akan memaafkan Anette semudah itu, walaupun Ane