Aku terbangun di ... ruang bawah tanah, sepertinya. Pintu terbuka sedikit, tapi aku belum berani untuk keluar. Sial, kepalaku sakit. Pasti kepalaku berdarah karena merasa ada cairan.
"Papa, hentikan semuanya!" Itu suara Zoe kecil. "Aku lelah melihat Papa seperti ini ...," lanjutnya sambil menangis.
"Kamu tidak bisa menghentikan Papa, nak," balas Tuan Ricardo. Entahlah, dia Edward Ricardo atau Charlie, aku tidak peduli. Dia itu raksasa!
Setelah mereka berbincang, aku dengar suara kaki yang menjauh dari ruang bawah tanah. Sepertinya, Zoe kecil sedang dikejar raksasa itu.
Kesempatan untuk keluar. Ada sekop di dekat pintu. Kubawa untuk menyelamatkan Zoe kecil.
Kalau di-film, psikolog wanita menyelamatkan anak perempuan dengan pistol revolver, lalu dia menembak si pria raksasa itu.
Aku tidak berani memegang senjata api atau tajam. Lebih baik nampan besi yang kupakai
Pagi ini, kami berencana akan pergi ke rumah Tante Grace untuk melihat kondisi Zoe kecil yang sudah membaik atau belum. Ini juga pertama kali aku ke rumahnya. Rumahnya lumayan jauh, harus melewati jembatan dulu.Sayangnya, William tidak ikut karena ada janji dengan teman-temannya. Biasalah, pertemanan laki-laki.Sambil menunggu sampai tujuan, aku menggambar supaya tidak bosan. Yang kugambar kali ini adalah wanita dengan pakaian tidur. Aku tidak tahu apa maksud gambar ini. Tidak ada inisial juga. Aku yakin ini akan menjadi kasus berikut.Ponsel bergetar karena ada pesan masuk, ternyata grup kelas."Tiga hari lagi kita mulai masuk sekolah lagi, ya? Tidak asik."Iya juga ya, rasanya cepat sekali."Aku hanya merindukan kalian, para teman kelasku, dan tentu saja kantin.""Semoga saja ada kasus pembunuhan lagi di sana, supaya kita bisa libur lagi."Enak
"Hey, Zoe, tunggu!" William menahan lenganku. "Aku tadi sudah berfoto dengan teman-teman luar sekolah. Sekarang kita berfoto, yuk."Ajakannya ingin sekali kutolak. Tapi melihat dia ingin sekali, rasanya tidak bisa. Baiklah, hanya sekali.Di sela-sela kami berfoto, banyak teman-teman William yang menyoraki kami, karena kami berfoto sangat dekat sekali.Ini bukan keinginanku untuk dekat-dekat, siapa lagi kalau bukan William? Dia ingin aku dan dia terlihat mesra. Jika dia malu pada teman-temannya karena belum punya pacar, kenapa tidak mencari pacar dulu kemarin? Memang seharusnya aku menjodohkannya pada Vinny."Apa aku boleh bergabung difoto kalian?" Ben datang dengan gaya 'keren'. "Ini untuk kenang-kenangan, kawan. Setelah acara ini selesai, mungkin saja kita tidak akan bertemu lagi," lanjutnya dengan kalimat yang berharap.Tolak, Will. Kumohon tolaklah."Kenapa tidak? Ayo."
Kakiku rasanya gemetar. Aku tidak yakin bisa melompat dari jembatan. Tempat tinggi adalah kelemahan.Di waktu yang tepat, seseorang menarikku menjauh dari jembatan. Ya, dia adalah lelaki yang sempat menuduhku."Aku sungguh minta maaf. Jangan sampai mengakhiri hidupmu hanya masalah seperti ini! Pikirkan ibumu!"Aku hanya terdiam saat William menjauhiku dari jembatan. Bekas air mataku masih terlihat sangat jelas. Dia mengelap air mataku dengan jari ibunya."Maaf, aku sudah percaya pada penipu. Aku tidak ingin kehilanganmu. Jangan lakukan hal bodoh seperti tadi lagi," ujarnya seperti ingin menangis."Aku ... ingin kamu menelaah dari dua sisi, bukan hanya menyalahkan orang dari satu sisi saja," pintaku entah kenapa tidak berani menatap matanya, setelah melihatnya membentak tadi."Iya, seharusnya aku lakukan itu, tapi aku terlalu percaya dengan Ben sialan itu. Maaf, ya?" Dia sudah me
William dengan semangat mengajakku ke mall dengan pakaian pergi dan wangi dari bau parfum. Rambut dia sisir dengan rapi, bahkan juga memakai gel rambut.Aku tidak tahu tujuannya berdandan seperti itu untuk apa. Mungkin menebar pesona pada semua perempuan di mall."Ayo, kita langsung main," ajaknya langsung mengajak ke tempat mainan.Kita banyak bermain seperti menari di atas papan berpanah? Aku tidak tahu namanya apa. Jarang sekali pergi ke mall. Sekalinya ke mall, tidak pernah bermain seperti ini.Lalu, bermain basket. Bersaing mendapatkan nilai tertinggi. Dia menang dan aku kalah.Setelah itu, kita bermain tembak-tembakan. Karena ini bukan keahlianku, aku mati dengan cepat. Sambil menunggunya selesai, kuperhatikan dia dengan serius.Dia membuatku tersadar, ketika menodongkan pistol mainan ke arahku. "Angkat tanganmu!"Kuikuti perkataannya dengan wajah
Hari ini, aku berangkat sekolah sendiri, karena William mulai kembali ke rumahnya, sekaligus membantu urusan keluarganya.Hari kedua setelah menjadi pacarnya, harus pergi sendirian. Tidak masalah, keluarga nomor satu. Aku juga bukan anak manja.Di kelas masih sepi, walaupun ada beberapa murid yang sudah datang. Menunggu sampai bel masuk, aku menyibukkan tangan untuk menggambar."Halo, Zoe Veronica." Dia temannya William, Sammy Parker. "Bagaimana liburanmu? Akhir-akhir ini kamu sering muncul ditelevisi bersama William. Semakin dekat saja kalian," godanya."Ja-jangan begitu." Tidak ada bedanya dengan William."Hey, kamu kenapa tidak bergabung saja dengan klub gambar?" Sepertinya dia memperhatikan gambarku. "Gambarmu bagus. Gambar perempuan yang sedang tiduran?"Aku tersadar saat Sam mengatakan itu. Kenapa ya, saat aku menggambar, aku seperti tidak sadar?"Hey Sam, apa kamu sudah mengerjakan tugas fisika?" tanya Noah yang baru masuk kelas, dia
Kenapa ranjangku terasa keras sekali? Huh? Ini ... jalan raya! Sepi sekali dan ada kabut di sekitar. Sepertinya aku berada di mimpi.Kulihat sesuatu di depan. Tempat karaoke yang kudatangi bersama Karen. Pasti ada kasus pembunuhan di sini, itulah mengapa aku bisa ada di sini dan gambarnya! Ah sial, kenapa baru sadar sekarang?Kumasuki tempat itu dengan perlahan. Sepi. Tidak adakah petunjuk yang kudapatkan?Resepsionis ini tempat Annie. Tidak banyak yang kutemukan selain buku pelanggan. Banyak sekali nama laki-laki di sini. Ada juga nama perempuan, hanya beberapa saja.Ada namaku juga di sini, bukan bersama Karen tapi William. Aneh. Seharusnya, kemarin itu hari Senin, kenapa di sini hari Selasa?Kuperiksa juga bagian laci besar di bawah. Tidak mungkin jika hanya itu saja. Setelah ini selesai, akan kuperiksa seluruh ruangan. Tidak peduli, jika aku
Anthony sudah mengunci tubuhku di sofa, supaya tidak bisa pergi ke mana-mana. Tubuhnya berat. Aku bisa merasakan napasnya yang mulai mendekat ke kulitku."Kemarin kamu dengan cepat pergi dari sini, tapi sekarang kamu datang berdua bersama William. Apa kalian ingin melakukan hal buruk? Aku bisa membocorkan hal ini pada murid sekolah." Dia mengancamku."Kamu salah paham! Aku ke sini bukan untuk itu, tapi ada seseorang yang membutuhkan bantuan," belaku."Ya ... aku sempat dengar perbincanganmu dengan Annie tadi. Menyuruh para pekerja ayahku untuk keluar? Aku sudah melaporkan hal itu padanya."A-ayah? "Jangan bilang, Kenny Lopez adalah ayahmu?" Ini sungguh mengejutkan. Rencana harus segara diganti.Dia tersenyum licik. "Perkenalkan, aku Anthony Lopez," ujarnya memperkenalkan diri lagi. Dia mulai menggigit pelan leherku tanpa bersalah."Mi-minggir ...," pintaku lemah.
Karena kejadian kemarin, aku tidak bisa tidur dengan nyenyak. Rasanya seperti dihantui oleh tangan Anthony yang tiba-tiba meraba tubuhku."Tidur saja dulu. Aku bangunkan kalau guru sejarah sudah datang," suruh William sambil mengelus kepalaku.Lihat saja, jika dia tidak membangunkanku, aku akan diamkan dia selamanya. Dia pernah seperti itu, sampai aku dihukum mengerjakan piket sendirian. Ya ... itu sudah sangat lama, saat kita belum menjadi rekan.Samar-samar aku melihat ada tubuh yang tergeletak di dalam ... sebuah ruangan ... ganti baju, dengan- Astaga ... punggungnya tertancap sepatu skating.Aku tidak bisa melihat wajahnya. Jasad itu telungkup dan menghadap ke arah dinding. Tapi aku yakin, kalau jasad itu perempuan.Apa yang bisa kubantu? Aku tidak bisa bergerak di sini.Tunggu, siapa itu? Lelaki? Dia mendekat pada jasad itu dengan keadaan panik, sambil memanggil-manggil nam