Share

Bab 6 Kunjungan Rahasia

Hujan turun dengan lebat membuat jalan-jalan digenangi air cukup tinggi serta menimbulkan kemacetan di beberapa ruas jalan. Rena melajukan mobilnya perlahan dan memasuki kawasan perumahan mewah di kawasan Pluit. Mobilnya perlahan memasuki sebuah pintu gerbang yang kembali tertutup ketika mobilnya masuk seolah pintu itu tak pernah dibuka. Dia menghentikan mobilnya tepat di halaman di mana dua orang pria tengah berdiri di ambang pintu dan menatap kedatangannya. Dimatikannya mesin mobil dan terdiam untuk beberapa saat.

“Aku akan menyelamatkanmu, Pa. Apa pun akan kulakukan demi membebaskanmu dari mereka,” gumam Rena menatap nanar rumah tersebut.

Tangannya membuka pintu mobil dan meraih tas kecil miliknya, lalu berjalan perlahan menuju pintu di mana dua pria tinggi besar menanti kedatangannya tanpa sedikit pun ada senyum di wajahnya.

“Aku mau bertemu Nyonya Tanaya,” ucap Rena dengan suara jelasnya. Pria itu tak menjawab dan bertukar pandang dengan rekannya untuk sesaat.

Tak lama kemudian, salah satu dari pria tersebut melangkahkan kaki dan Rena mengikutinya di belakang, sedangkan pria satunya tetap berjaga di depan rumah. Selama mengikuti langkah lebar pria dengan tubuh besar serta wajah seramnya, Rena hanya menatap sekeliling suasana rumah yang terlihat rapi dan bersih. Sesekali matanya melihat bingkai foto berukuran besar di mana foto pemilik rumah tersebut di gantung, Tanaya.

Tak lama berselang, tibalah Rena di sebuah ruangan dan terlihat sosok pemilik rumah tengah duduk bersantai sambil memegang secangkir teh di tangan dan meneguknya pelan. Rena yang melihat Tanaya duduk dengan santai mendadak hatinya mendidih dalam hati.

“Bisa-bisanya dia duduk santai begitu,” gerutu Rena dalam hati.

“Permisi, Nyonya. Tamu yang anda tunggu sudah datang!” ucap pria itu dengan suara tegasnya.

Tanaya bergeming seolah tak tertarik dengan laporan pria itu dan justru meneguk kembali teh dalam cangkir yang masih dipegangnya. Baik pria itu dan Rena tak bersuara, dalam hati Rena mengutuk tingkah Tanaya yang tak menganggap kehadirannya seolah tuli.

“Kau boleh pergi!” ujar Tanaya akhirnya sambil meletakkan cangkir ke meja.

Pria itu pergi mematuhi perintah majikannya meninggalkan Rena yang masih berdiri seperti patung. Sedetik kemudian, kepala Tanaya menoleh pada Rena yang menatapnya kini. Sekilas senyum tipis terukir di sudut bibir Tanaya melihat boneka mainannya sedang berdiri menunggu untuk dimainkan olehnya.

“Jangan menatapku seperti itu, menantuku tersayang!” kata Tanaya diikuti senyuman mengejeknya.

Rena terhenyak, tapi dengan cepat fokusnya kembali dan menatap benci pada Tanaya yang kini masih duduk santai tanpa menawarkan untuk duduk layaknya seorang tamu.

“Mana Papa?” tanya Rena yang sudah tak sabar ingin bertemu dengan mertuanya, Evran.

“Hahaha … santailah Rena, untuk apa kau terburu seperti itu, huh?” ujar Tanaya merespon kalimat Rena yang mencemaskan keadaan Evran.

Rena menggenggam ujung gaun miliknya dengan kuat sebagai luapan emosi yang menggelayut hatinya kini. Rena benar-benar tak sabar ingin bertemu dengan Evran karena baru sekali dia melihat dan sekitar seminggu yang lalu, itu pun via video call yang Tanaya lakukan. Di tengah Rena yang sudah tak sabar ingin melihat Evran, tiba-tiba sosok lain muncul sambil berteriak.

“Ma … Mama … tolong berikan aku uang. Minggu depan aku akan pergi liburan bersama temanku!” teriak seorang wanita dengan penampilan yang begitu sexy tak jauh beda dengan Rena, meskipun lebih sexy Rena.

Seketika ucapannya terpotong ketika matanya yang ditempelkan bulu mata panjang nan tebal serta soflens berwarna cerah mendapati sosok yang tak disukainya berdiri mematung.

“Sial. Kenapa dia terlihat cantik dengan penampilan seperti jalang!” gerutu wanita itu dalam hati dan menatap penuh benci.

“Liburan? Mau libur ke mana lagi kamu, Anin?” tanya Tanaya dengan wajah kaget karena ucapan anaknya yang gemar berpesta dan jalan-jalan.

“Dekat, kok, Ma. Libur ke Sydney seminggu. Mau lihat konser Dua Lipa di sana. Di Indonesia tak ada konsernya. Jadi aku mau ke sana saja bersama teman!” sahut Anin merajuk dan duduk di sebelah Tanaya.

“Kamu sudah dewasa, Anin. Usiamu sudah 27 tahun dan sudah tak pantas kau pergi ke acara seperti itu. Harusnya kau mulai disibukkan dengan mencari pria kaya agar hudupmu sejahtera nantinya!” oceh Tanaya memarahi Anin yang tengah cemberut.

“Uang Om Evran tak akan habis tujuh turunan, Ma. Kita tak usah pusing memikirkan hal itu dan nikmati saja!” timpal Anin dengan otak malasnya.

“Mama tak izinkan kamu pergi karena ada pekerjaan yang harus kamu lakukan!” ucap Tanaya tegas dengan mata melotot.

“Tapi, Ma …,” sahut Anin coba membantah.

“Menurut atau Mama bekukan kartu kreditmu!” timpal Tanaya tak ada tawar menawar lagi.

Anin habis kata-kata dan hanya mampu bergumam tak jelas sambil menghentakkan kakinya yang memakai high heels. Matanya kembali menatap Rena yang sejak tadi diam menyimak dan berdiri.

“Dasar wanita sialan kamu. Gara-gara kau, aku selalu kena sial. Tak sabar aku ingin membunuhmu!” cicit Anin menatap Rena tajam seolah ingin mencekiknya saat itu juga.

Rena bergeming. Dia tak perduli dengan ucapa Anin barusan dan lebih tertarik pada Tanaya karena urusan dia adalah dengannya. Sedangkan Tanaya masih melirik Anin dengan raut jengkel karena memiliki anak satu-satunya, tapi pemalas, dan tak bisa dibanggakan.

“Berhenti bergumam, Anin. Lebih baik sekarang kau antarkan boneka ini untuk menemui pria tak berguna itu. Cepat!” ucap Tanaya pada Anin yang menatap jengkel pada ibunya.

“Yaelah, Ma. Dia bisa jalan sendiri. Biarkan saja dia melihatnya dan cukup berikan kunci. Jangan berlebihan karena dia tak akan bisa kabur dengan penjagaan ketat di rumah ini,” sahut Anin menolak dan seolah mengguri.

“ANIN!” teriak Tanaya yang membuat Rena kaget, tapi biasa saja bagi Anin yang sudah terbiasa dan sangat santai mendengar suara ibunya menggelegar. Melirik malas, akhirnya Anin bangun dari duduknya dengan mulut berdecih.

“Ikut gue!” ucap Anin menatap Rena yang memandang aneh karena perilakunya yang selalu membangkang.

Tanpa berkata, Rena mengikuti langkah Anin dan meninggalkan Tanaya yang masih duduk di sofa. Perlahan wajah Tanaya menyunggingkan senyum jahat yang sudah memiliki banyak rencana dan sebentar lagi rencananya akan terlaksana.

“Sebentar lagi akan lebih mudah menguasai harta keluarga William,” gumamnya lirih sambil terkekeh.

Tak butuh waktu lama, akhirnya mereka tiba di sebuah kamar tak jauh dari dapur. Tangan Anin membuka kunci kamar itu dan membukanya sedikit kasar.

“Cepat masuk!” katanya memerintah dengan wajah ketusnya yang begitu jelas.

Rena tak menjawab, apalagi mengucapkan terima kasih. Tubuhnya sedikit didorong kasar oleh Anin hingga terhuyung dan dengan cepat Anin menutup kembali pintu itu serta menguncinya dari luar sambil terkekeh.

“Selamat temu kangen dengan orang cacat tak guna itu!” cicitnya pelan lalu pergi meninggalkan pintu tanpa sadar jika Maida tengah berdiri di balik dinding dapur.

Di dalam kamar, Rena menatap sekeliling kamar dengan cat berwarna putih dan cukup luas. Matanya menyisir seluruh sudut kamar dan berhenti ketika melihat sebuah ranjang besar di mana sesosok tubuh sedang terbaring.

‘Degg’

Mata Rena membulat dan dengan cepat mendekat pada ranjang. Matanya semakin membulat ketika matanya bertemu pandang dengan sepasang mata yang terbuka lebar dan berkedip.

“PAPA!”

Related chapters

Latest chapter

DMCA.com Protection Status