Rena sudah rapi dengan pakaiannya. Dress sebatas lutut yang membalut tubuh indahnya bak biola dipadukan dengan high heels yang senada. Rambutnya dibiarkan tergerai indah dan sedikit bergelombang. Langkahnya tergesa menuju mobil yang sudah dipanaskan Mang Imun, sopir yang biasanya selalu mengantar ke mana pun dia pergi. Namun, sejak beberapa minggu terakhir, Rena memilih untuk mengemudinya sendiri dan hal itu sudah diketahui oleh Jeff.
“Neng, gak Mamang saja yang antar?” tanya Mang Imun menawarkan.
“Tak usah, Mang. Saya kemudi sendiri saja. Lagi pula nanti siang Bik Narsih akan belanja bulanan. Jadi nanti tolong temani, ya,” tutur Rena tersenyum.
Mang Imun hanya mengangguk dan menatap kepergian Rena hingga hilang dari pandangannya. Terlihat dia menarik nafas panjang. Dia pun bingung melihat majikannya yang sebelumnya berpenampilan sederhana, kini berubah seperti ciri wanita tak baik.
“Kenapa kamu berubah, Neng?” gumam Mang Imun lemah.
Ketika akan beranjak, mata Mang Imun mendapati Bik Narsih yang tengah berdiri di teras rumah dan rupanya ikut melepas kepergian Rena. Mang Imun mengayunkan langkah untuk menghampirinya yang beranjak duduk di kursi.
“Bik!” panggil Mang Imun mengalihkan pandangannya.
“Iya, Mun,” sahutnya menoleh arah datanganya.
Tanpa ragu, Mang Imun langsung menarik kursi dan duduk di hadapan Bik Narsih yang tengah memegang lap di tangannya karena dibawa tak sengaja dari dapur saat mengeringkan gelas.
“Sebenarnya apa yang terjadi dengan Neng Rena? Kenapa dia berubah seperti itu, Bik?” tanya Mang Imun yang sudah penasaran.
Bik Minah menatap datar padanya. Tak ada tanda dia ingin menjawab pertanyaan yang Mang Imun ajukan. Helaan nafas berat terdengar beberapa kali seolah ada beban berat yang dirasakan Bik Narsih.
“Pasti Bibik tahu sesuatu yang tak beres. Ceritakan padaku, Bik. Siapa tahu aku bisa membantu,” ucap Mang Imun yang sudah sangat penasaran.
Lagi dan lagi Bik Narsih menarik nafas dalam dan panjang. Matanya menatap sendu pada Mang Imun kini. Bik Narsih sudah lama kenal dengan Mang Imun dan tahu jika dia adalah orang yang baik juga setia.
Namun, secuil keraguan masih dirasakan oleh Bik Narsih kini.
“Bibik bingung harus bicapa apa, Mun. Ini bukan masalah kecil dan jika gagal, maka akan ada nyawa yang melayang,” terang Bik Narsih dengan suara paraunya.
‘Degg’
Jantung Mang Imun sontak berdebar kencang. Bulu kuduknya ikut merinding mendengar jika akan ada nyawa yang melayang. Kedua pangkal alisnya berkerut dan hampir menyatu, antara penasaran dan bingung.
“Maksud Bibik apa? Nyawa siapa yang melayang?” tanya Mang Imun mengurai rasa ingin tahunya berharap diceritakan lebih detail.
Mata Bik Narsih menerawang jauh. Mang Imun bisa merasakan jika masalah yang dihadapi pasti bukan masalah remeh. Dia menunggu dengan setia Bik Narsih akan membagi beban sedikit padanya. Perlahan, mata Bik Narsih menatap Mang Imun.
“Juragan masih hidup, Mun,” ucap Bik Narsih lirih.
‘Degg’
Jantung Mang Imun kembali berdetak cepat dengan alis mengkerut. Matanya melotot menatap Bik Narsih yang nampak tenang.
“Juraaaaagan?” ucap Mang Imun mengulang ucapan Bik Narsih demi memastikan pendengarannya barusan.
“Iya, juragan masih hidup, Mun. Tuan Evran,” ucap Bik Narsih lebih detail.
Bukan kelegaan yang muncul di wajah Mang Imun, justru gelengan kepala karena tak percaya jika sang majikan yang sudah dinyatakan meninggal masih hidup.
“Ah, Bibik ngaco. Juragan sudah tiada, Bik. Beliau sudah pulang kepangkuan Ilahi. Saya lihat sendiri mobilnya masuk jurang dan meledak. Mana mungkin juragan masih hidup. Yaaa … meskipun mayatnya tak ditemukan, tapi kita harus percaya jika jurangan sudah tiada, Bik. Dosa kalau kita menyangkal takdir Allah!” cicit Mang Imun panjang lebar tanpa jeda. Namun, dengan cepat tangan Bik Narsih melayang di kepala Mang Imun karena merasa gemas akan ucapan panjang lebarnya.
‘Plakk’
Pukulan kuat mendarat di kepala Mang Imun yang tak pernah absrn bayar zakat fitrah. Tangannya mengelus bekas pukulan yang terasa panas di kepalanya dan meringis, tapi diabaikan oleh Bik Narsih.
“Jangan sembarangan kalau bicara. Kalau dibilangin orang tua malah balik ceramah!” oceh Bik Narsih menatap Mang Imun yang tengah tersenyum.
“Hehe … tak maksud balik ceramah, Bik. Habisnya Bibik tak percaya banget kalau jurangan sudah tiada. Aku lihat sendiri, Bik!” sangkal Mang Imun masih bertahan pada keyakinannya.
“Itu masalahnya, Mun. Kecelakaan itu hanya rekayasa. Yang meninggal itu orang lain dan mobil itu memang sengaja dijatuhkan. Sedangkan saat ini juragan masih hidup, meskipun mengalami stroke,” tutur Bik Narsih dengan wajah serius serta menatap Mang Imun tanpa berkedip.
Aman. Tak ada orang lain yang mendengar ucapan Bik Narsih kecuali Mang Imun yang tengah tertegun dengan mulut menganga. Otaknya terlalu lambat untuk mengolah informasi yang baru saja disampaikan oleh Bik Narsih. Jengah dengan raut wajah anehnya, Bik Narsih menghela nafas sebelum kembali memukul kepalanya agar tersadar dari keterkejutannya.
‘Plakk’
“Sadar!” kata Bik Narsih sewot menatap Mang Imun. Kesadarannya sudah kembali dan menelan salivanya mengurai kaget yang melanda barusan.
“Bibik yang betul kalau bicara!” timpalnya setelah sadar.
“Masa ngarang, sih!”
“Bibik tahu dari mana juragan masih hidup?” tanya Mang Imun dengan suara sedikit dipelankan.
“Neng Rena, Mun,” jawabnya pelan. Mang Imun tertegun untuk beberapa saat.
“Neng Rena tahu dari mana?” sambung Mang Imun lagi.
“Justru itu masalahnya, Mun. Juragan berada di bawah kendali orang jahat yang kini mengurungnya. Dia meminta satu hal dari Rena dan jika tak dipenuhi segera, maka nyawa juragan akan melayang,” terang Bik Narsih padat dan jelas.
‘Degg’
Jantung Mang Imun lagi dan lagi berdegup kencang, tapi kali ini seolah ingin copot ketika mendengar ancaman kejam yang baru didengarnya. Tangan kirinya terangkat dan memijat pelipis yang mendadak sakit. Bik Narsih yang melihatnya hanya menghela nafas.
“Kamu baru dengar saja sudah begitu. Bagaimana dengan Bibik, Mun. Apalagi Neng Rena yang sangat tertekan kini. Bibik tak tega melihatnya,” oceh Bik Narsih dengan suara terdengar iba.
“Apa perubahan sikap Neng Rena ada kaitannya dengan juragan, Bik?” tanya Mang Imun.
“Iya.”
“Sebenarnya siapa pelakunya?” lanjut Mang Imun yang dirundung penasaran.
“Nyonya dan anaknya,” jawab Bik Narsih.
“Astaghfirullah. Bibik yakin mereka yang lakukan?” ucapnya berusaha menyangkal dan salah dengar.
“Awalnya juga Bibik tak percaya, Mun, tapi kenyataannya begitu. Mereka pelakunya. Mereka gila harta dan korbannya kini adalah Neng Rena. Kasihan dia, Mun!” timpal Bik Narsih sedih dengan nasib Rena kini.
“Apa yang mereka inginkan dari Neng Rena, Bik?” tanya Mang Imun pelan.
“Membuat rumah tangganya hancur dan diceraikan oleh Den Jeff. Demi harta.”
Hari pun terus berlalu. Tanaya dan Dilara resmi mendekam di penjara dengan semua kejahatan yang telah mereka lakukan. Sedangkan Anin telah resmi menikah dengan Kimoy tanpa restu dari Tanaya dan hidup sederhana serta membuka rumah makan yang cukup ramai berkat keahlian Kimoy meracik bumbu dan pintar masak selama ini. Anin sudah mengetahui apa yang telah menimpa Tanaya dan sudah berkunjung ke penjara menjenguknya beberapa kali. Tangis dan sesal ditunjukkan oleh Tanaya dan Dilara setelah mendekam di penjara untuk menebus semua kejahatan yang dilakukan mereka, meskipun hukuman yang diberikan kepada Dilara jauh lebih ringan, tapi tetap saja membuat dia begitu sedih dan menyesali perbuatannya selama ini. Jeff dan Rena pun beberapa kali berkunjung ke pen
Tubuh Tanaya seketika menegang melihat apa yang ada di hadapannya kini. Matanya menelisik satu-persatu tiap orang yang ada di depannya dalam keadaan duduk dan terdiam serta memandang tajam ke arahnya. Berkali-kali Tanaya menelan salivan karena tenggorokannya yang mendadak tercekat. Lututnya seolah lemah dengan kepalanya yang mendadak sakit dan berharap bahwa apa yang dialami saat ini hanyalah sebuah halusinasi saja akibat sedang kesal dengan perbuatan yang Anin lakukan. "Astaga, sepertinya aku ben
Mendengar jawaban yang diberikan oleh Hakan dan terlihat begitu santai, Tanaya memincing curiga ke arahnya serta menelisik saksama. Dia pun menatap sekeliling dan terlihat suasana rumah yang begitu tenang. Hal itu membuat kening Tanaya berkerut banyak karena merasa aneh dan tak biasa."Sejak kapan kau berada di sini? Apa kau belum pulang sejak semalam?" tanya Tanaya menatap tajam pada Hakan yang duduk berseberangan dengannya.
Setelah memerintahkan Maida untuk memberikan sarapan kepada Rena, Tanaya akhirnya pamitan untuk pulang sebentar ke kediamannya sekedar melihat apakah Anin pulang ke rumah atau tidak. Namun, sesampainya di rumah dia masih tidak menemukan keberadaan Anin dan hari itu kembali membuat darah tingginya kumat. Dia duduk di ruang keluarga sambil memijit pelipisnya yang terasa sakit. Tak berapa lama, dia meraih handphone yang ada dindalam handbag berwarna hitam miliknya untuk menghubungi Dilara karena sejak semalam dia berpamitan untuk makan malam di rumah Jeff hingga kini masih belum memberi kabar, meskipun hanya berupa pesan. Berulang kali Tanaya menghubungi Dilara, tapi tak kunjung diangkat. Dia pun merasa aneh kenapa Dilara tak mengangkat panggilannya
Keesokan harinya, Rena terbangun dengan tubuh yang terasa begitu sakit karena dia dikurung di sebuah gudang tak jauh dari kebun belakang. Dia tertidur hanya beralaskan sebuah koran bekas. Ruangan tersebut tak ada penerangan sama sekali, kecuali cahaya lampu yang masuk dari jendela. Selain itu, ruangan tersebut memang cukup luas, di mana barang-barangnya tidak terlalu penuh dan kebanyakan diisi oleh buku-buku serta elektronik yang sudah tak digunakan. Rena meregangkan otot yang terasa kaku serta tubuhnya yang sedikit menggigil karena semalaman dia tidur di lantai. Dia menatap ke jendela dan berpikir untuk menebak sekiranya sudah jam berapa saat itu. Ketika dia sedang menerka, tiba-tiba terdengar perutnya yang berbunyi menandakan bahwa dia kelaparan
Di kediaman Jeff, Dilara terkejut ketika mendengar kalimat yang diucapkan oleh Jeff karena tak menyadari dan terbuai dengan khayalan kotornya sendiri. Dengan cepat, dia melepaskan tangannya dari payudara yang dia remas sendiri sejak tadi, sehingga memicu gairah. Merasa terciduk, wajah Dilara seketika merona karena malu dilihat oleh Jeff yang tak disadarinya sudah keluar dari kamar mandi. "Dasar bodoh! Kenapa aku tak dengar dia keluar kamar mandi, sih! Benar-benar memalukan!" kata Dilara dalam hati
Di Jalan Raflesia, Maida yang berada di kamar Evran saat kejadian diseretnya Rena untuk dikurung seperti mereka tentu terkejut karena tak menyangka bahwa Rena akan kembali ke rumah itu. Evran yang tentu mendengar dengan jelas teriakan Rena hanya bisa melotot tak percaya mendengar teriakan menantunya karena diseret paksa oleh penjaga rumah diiringi bentakan dari Tanaya. Hatinya tentu sangat geram karena tindakan Tanayaa yang sudah melampaui batas dan benar-benar ingin menyingkirkan orang yang dia cintai. Bahkan, Evran yakin Tanaya akan melenyapkan dia beserta Rena dan jika sudah mendapatkan hartanya, dia pun yakin Tanaya akan menyingkirkan Jeff. Maida bisa melihat betapa Evran berbaring gelisah di ranjang. Tahu apa yang telah dilakukan Fanaya kali
Sekitar jam 6 sore, akhirnya Jeff tiba di kediamannya. Pikiran dia masih tertuju pada Rena yang saat ini berada di Jalan Raflesia dan terkurung bersama Evran. Dia berjalan lunglai masuk ke dalam rumah dan terkejut ketika disambut oleh sosok wanita dengan pakaian seksi serta make up tebal yang tak lain adalah Dilara. Terhenyak sebentar, pikiran waras Jeff akhirnya kembali dan sadar bahwa siang tadi Dilara sudah memberikan pesan kepadanya bahwa malam ini dia akan datang ke rumah untuk makan malam bersama. Sadar akan hal itu, dia menarik nafas panjang. Matanya menatap malas pada Dilara yang berjalan mendekat untuk menyambut kepulangannya.
Kimin dan Codet seketika mendekati Rena yang terkejut dan mundur untuk menghindar, tapi mereka menarik tangannya demi melaksanakan tugas yang diperintahkan oleh Tanaya. "Tidak! Jangan sentuh aku! Lepaskan kubilang!" teriak Rena berusaha menolak kedua penjaga itu yang tentu dengan mudah meringkus Rena.