Share

005: Memutuskan Hubungan

Baru kali ini senyum Yasa bertahan cukup lama. Dia terlalu bahagia untuk berpura-pura menahan senyumnya. Yasa berjalan masuk ke dalam rumahnya.

Saat ini jam menunjukkan pukul 21.52. Yasa menghela napas karena sadar dia telah pergi keluar terlalu lama. Dengan jantung yang Berdetak dengan cepat, Yasa terus melangkah masuk ke dalam rumah. 

"Hebat!" 

Tubuh Yasa tersentak. Dia menoleh kearah sumber suara. Dia terdiam saat melihat mama dan papanya berdiri dengan wajah penuh amarah. 

"Hebat ya kamu sekarang!" ucap sang mama membuat Yasa terdiam. 

"Ada apa ma?" tanya Yasa lugu. Arzan yang melihat itu tertawa dengan keras. "Semakin lama kau semakin pintar," komentar Arzan membuat Yasa semakin takut. 

"Sekarang kamu sudah berani berbohong kepada kami," kata sang papa membuat Yasa terkejut. 'Apa mereka tahu aku tidak pergi ke rumah byakta?' batin Yasa cemas. 

"Bohong apa pa? Aku tidak mengerti," ujar Yasa tanpa menatap kedua orang tuanya. Arzan tersenyum miring melihat tingkah Yasa. 

"Mama sudah melarang kamu untuk tidak dekat-dekat dengan perempuan Italia itu, tapi kamu tidak mendengarkan mama dan tetap dekat dengan perempuan itu!" marah sang mama. 

Yasa terdiam. Bagaimana mereka tahu? Tatapan Yasa naik, matanya bertemu dengan mata Arzan. Tangannya terkepal saat melihat senyum miring tercetak jelas di wajah Arzan. Ternyata semua ini adalah ulah Arzan. 

"Ma, aku—" 

"Semenjak kamu dekat dengan perempuan itu, kamu mulai berubah! Kamu berani berbohong kepada kami!" kata sang mama yang begitu marah dengan perlakuan Yasa terhadapnya. 

"Apa perempuan itu lebih penting bagimu daripada kami, Yasa?" tanya sang papa membuat Yasa menggeleng dengan cepat. 

"Kalian adalah yang terpenting untuk Yasa," ujar Yasa membuat snag papa menatapnya dnegna serius. 

"Kalau begitu jauh perempuan itu dan berhenti berbohong!" titah sang papa. 

"Tapi, Pa … Speranza adalah perempuan baik-baik—" 

"Kamu baru saja mengenalnya jadi bagaimana bisa kamu mengatakan dia perempuan baik-baik?!" potong sang mama. 

"Jauhi perempuan itu jika kamu masih sayang dengan mama," kata sang mama dan berjalan pergi meninggalkan ruang tamu. Papanya juga ikut meninggalkan Yasa diikuti oleh Arzan. 

Yasa menghela napas. Dia berjalan menuju kamarnya. Saat tiba di dalam, dia duduk diatas ranjang dengan wajah yang begitu sedih. 

Dia baru saja bahagia bersama Speranza. Saat Speranza masuk dalam hidupnya, hidupnya mulai berubah. Speranza membuatnya menyadari baiknya keluar dari zona nyaman. 

Selama dia bersama Speranza, otaknya menangkap kalau Speranza adalah perempuan baik-baik walaupun sedikit posesif dan nekat, tapi tetap saja menurutnya Speranza adalah perempuan baik-baik. 

Yasa kembali menghela napas. Mengapa Arzan sangat membenci nya hingga melakukan semua ini? Dan mengapa orang tuanya sangat membenci Speranza? 

Yasa mendongak saat mendengar suara pintu kamarnya yang terbuka. Dia menghela napas saat melihat Arzan berdiri didepan pintu. 

"Ada apa?" tanya Yasa memberanikan diri menatap Arzan. 

Arzan yang melihat keberanian itu terkekeh. "Sekarang kau sudah berani kepadaku? Apa semua ini karena perempuan itu?" tanya Arzan dengan remeh. 

Yasa terdiam enggan meladeni Arzan. "Jika tidak ada hal penting lebih baik kau kembali ke kamarku," Kata Yasa membuat Arzan menatapnya tajam. 

"Aku menjadi sangat penasaran dengan perempuan itu. Bagaimana caranya dia membuatmu menjadi berani?" Arzan berjalan masuk ke dalam kamar Yasa, ia berdiri tepat dihadapan Yasa. 

"Apa kalian berpacaran?" tanya Arzan, namun tak dijawab oleh Yasa. 

"Jika benar, itu berarti kau sudah menyerah terhadap Lovie? Apa kau lelah memperjuangkannya? Ha, ya … Lovie juga tidak pernah mau dengan lelaki lemah seperti mu," Kata Arzan sambil tertawa. 

"Apa kau bahagia?" tanya Yasa dengan datar. "Apa?" Arzan mengerutkan dahinya bingung. 

"Aku tidak tahu apa alasanmu membenciku padahal kita adalah kakak beradik. Sudah cukup! Akhiri kebencian mu di sini! Aku ingin memiliki adik yang mendukungku," kata Yasa sambil berdiri dan menatap Arzan dengan tajam. 

Arzan mengepalkan tangannya dengan kuat." Aku tidak akan pernah mendukung mu! " teriak Arzan sambil mendorong dada Yasa. 

"KALAU BEGITU PERGI DARI SINI!!!" teriak Yasa membuat Arzan terkejut. Yasa mendorong Arzan hingga keluar dari kamarnya. Dia menutup pintu dengan cara membantingnya. 

Arzan menatap pintu kamar Yasa dengan tajam. Dengan sekuat tenaga, Arzan menendang pintu kamar tersebut. 

"Aku pasti akan menyingkirkanmu!!" 

****

Speranza berjalan dengan santai. Di tangannya terdapat sebuah kotak bekal berwarna cokelat yang tak tahu isinya apa. 

Dengan langkah cepat Speranza menaiki tangga dan menelusuri koridor lantai dua. Kakinya berhenti di depan ruang kelas dua belas Ipa tiga. Dengan cepat Speranza masuk dan menghampiri Yasa. 

Ia menaruh kotak bekal itu di hadapan Yasa membuat Yasa menoleh ke arahnya. Bukan hanya Yasa yang menatapnya bingung, tapi seluruh manusia yang berada di kelas itu juga menatapnya bingung dan penasaran. 

"Ini apa?" tanya Yasa menunjuk kotak bekal itu. 

Speranza tersenyum. "Aku sedang berusaha untuk menjadi kekasih yang baik," ujar Speranza membuat semua orang terkejut. 

Yasa menghela napas, dia melirik teman sekelasnya yang heboh dengan kehadiran dan ucapan Speranza. Dia membuka kotak bekal itu secara perlahan dan melihat isinya. Byakta juga ikut melirik isi dari kotak bekal itu. 

"Bagaimana kau suka? Aku membuat nasi goreng itu sendiri," kata Speranza dengan senyum yang tak luntur. 

Yasa terdiam, dia menutup kotak bekal itu dan mendorongnya ke arah Speranza. Speranza mengerutkan dahinya bingung dengan reaksi Yasa. 

"Aku sudah sarapan dan aku sangat kenyang. Kau bisa membawa nasi goreng ini kembali," kata Yasa membuat Speranza terkejut. 

"Setidaknya kau mencicipinya sebelum menolaknya," kata Speranza yang mulai kesal. 

Byakta menyenggol siku Yasa. "Benar apa yang dikatakan Speranza, setidaknya kau mencicipinya walaupun hanya satu sendok," kata Byakta membela Speranza. 

Yasa menghela napas. "Aku sudah kenyang dan aku tidak ingin makan apapun lagi!" teriak Yasa tanpa sadar. 

Speranza terdiam, dia mengepalkan tangannya dengan kuat. "Aku terkejut. Kau terlalu cepat berubah," ucap Speranza sambil tersenyum miring. 

Sudah mulai terdengar suara bisikan di sekitar mereka. Orang-orang sudah mulai membicarakan Yasa. 

Speranza mengangguk. "Baiklah jika kau tidak mau tidak apa, aku akan membuangnya," kata Speranza dan hendak berjalan membuang kotak bekal itu, namun Yasa menghentikannya. 

Awalnya, Speranza senang karena dia pikir Yasa akan memakan nasi goreng buatannya, namun ekspektasi tak seindah realita. Yasa melepaskan gelang yang diberikan Speranza dan menyerahkan ya kembali kepada Speranza. 

Speranza mengerutkan dahinya bingung. "Mengapa kau melepaskannya! Aku sudah melarangmu untuk melepaskan gelang itu!" teriak Speranza sangat marah. 

"Gelang ini hanya semakin membuatku tidak bebas. Bawa kembali gelang mu dan tidak ada hubungan diantara kita," kata Yasa dan menaruh gelang itu di genggaman Speranza. 

Speranza terdiam menatap gelang itu. Dengan penuh amarah dia berjalan keluar dan membuang kotak bekal itu di tempat sampah. Dia berjalan pergi dengan meremas gelangnya. 

Byakta terus menatap kepergian Speranza hingga tak terlihat lagi, kemudian dia menoleh ke arah Yasa dengan tatapan terkejut. 

"Baru tadi malam kalian kencan dan sekarang kau memutuskan hubungan? Kau sadar apa yang kau lakukan Yasa?" tanya Byakta berusaha untuk sabar. 

Yasa menatap Byakta, dia mengangguk dengan yakin. "Aku sadar kalau Speranza bukan perempuan yang baik untukku," sahut nya membuat seluruh isi kelas gempar.

"Dasar tidak tahu diri!!" maki sang ketua kelas. 

"Kau hanya lelaki cupu! Seharusnya kau tahu diri!" 

"Bagus kau memutuskannya! Kau benar-benar tidak cocok dengan Speranza. Ibarat berlian bertemu dengan kotoran, sangat tidak cocok." semuanya tertawa bahagia karena Yasa. 

Yasa menghela napas. Dia tidak mempunyai pilihan lain. Baginya orang tua lebih penting daripada Speranza. Dia memilih untuk memutuskan Speranza sebelum rasa bahagia saat bersama Speranza semakin besar. 

Semua orang pantas membencinya sebagaimana mestinya. Yasa bahkan marah kepada dirinya sendiri seperti Speranza marah kepadanya. Yasa sedih seperti Speranza yang merasa sedih. Yasa dengan cepat dekat dan nyaman dengan Speranza. Hanya dengan Speranza Yasa merasakan hal itu. Yasa marah pada keputusannya sendiri. Dia sangat membenci dirinya sendiri karena kembali menjadi lemah. 

****

Angin berhembus dengan kencang. Rambut Speranza yang tergerai tertiup angin hingga tak bisa berhenti. Di tangan kiri terdapat gelang hitam dengan jangkar kapal dan di tangan kanan terdapat pisau lipat yang dimainkannya. 

Speranza tengah berdiam diri memikirkan alasan dibalik perubahan sikap Yasa. Baru tadi malam mereka tertawa bahagia seperti tadi malam adalah hari terakhir mereka bersama dan ternyata itu benar. Semalam adalah hari terakhir mereka bersama dan hari ini Yasa memutuskan hubungan. 

Speranza sangat marah dan berniat untuk membunuh Yasa sekarang juga, namun dia sadar kalau semua itu tidak ada gunanya. Speranza menatap gelang hitam itu, dia menghela napas saat ingat masa lampau kembali menghantuinya. 

Speranza memiliki alasan memberikan gelang hitam itu kepada Yasa. Gelang hitam itu menyimpan semua kenangan masa lalu Speranza yang sangat ingin Speranza lupakan. Namun, Speranza tidak bisa membuang gelang itu sehingga dia memberikannya kepada Yasa dengan harapan Yasa bisa menjaganya, tapi Yasa malah mengembalikannya. 

"Gelang yang indah." 

Speranza menoleh ke belakang dengan terkejut. Dia menghela nafas saat melihat Arzan berdiri bersedekap dada memperhatikannya. 

Arzan berjalan dan berdiri disamping Speranza. Dia menatap pisau lipat yang dipegang erat oleh Speranza. 

"Ternyata benar, kau bukan perempuan baik-baik," ujar Arzan membuat Speranza menatapnya tajam. 

"Mau apa kau ke sini?" tanya Speranza kesal. 

"Ini adalah tempat umum, jadi bebas jika aku ingin datang ke sini," jawab Arzan dengan santai. 

Speranza mengepalkan tangannya dengan kuat. Dia berusaha untuk sabar dan menganggap Arzan tidak ada. 

"Aku dengar Yasa memutuskanmu, apa itu benar?" tanya Arzan memulai topik pembicaraan. 

Speranza menatap Arzan dengan satu alis terangkat. "Itu bukan urusanmu!" ucapnya dan kembali menatap ke depan. 

Arzan terkekeh. "Apa kau tidak ingin tahu alasan Yasa memutuskan mu?" tanya Arzan berusaha untuk memancing Speranza. 

"Untuk apa aku mempercayai adik yang menindas kakaknya sendiri," kata Speranza membuat Arzan terdiam. 

Sedetik kemudian, Arzan terkekeh dengan perkataan Speranza. "Mulutmu sangat kasar," ujar Arzan dan tak dipedulikan oleh Speranza. 

Speranza muak dengan Arzan. Dia memilih untuk meninggalkan rooftop, namun perkataan Arzan menghentikannya untuk sejenak. 

"MAMA SAMA PAPA MENYURUH YASA UNTUK MENJAUHI MU DAN KAU TAHU ORANG TUA LEBIH PENTING BAGI YASA DARIPADA DIRIMU!!" 

Speranza berhenti tanpa menatap kearah Arzan. Dia kembali melanjutkan langkahnya meninggalkan rooftop dan Arzan. 

Arzan yang melihat itu terkekeh bahagia. "Ah … bahagianya menghancurkan hubungan orang," ujar Arzan dan tertawa karena perkataannya sendiri. 

****

Xaviera mengeluarkan semua belanjaannya dari bagasi mobil. Dia berbelanja untuk kebutuhan bulan ini. Barang belanjaannya begitu banyak sehingga dia harus bolak balik mengambil semua belanjaannya. 

"Ha … seharusnya aku mempekerjakan satu pembantu," ucapnya sambil memegang pinggang nya yang mulai terasa sakit. 

"Mengapa aku cepat sekali tua?" tanyanya pada diri sendiri. 

"Ini taruh dimana bu?" 

"Astaga! Ya tuhan!" Xaviera melompat saking terkejutnya. Dia mengelus dadanya dan berusaha untuk menetralkan napas nya. 

"Maaf bu, saya mengejutkan ibu ya?" tanya lelaki muda itu. 

"Ya kau sudah pasti mengejutkannya," kata teman lelaki itu. 

Xaviera tersenyum. "Sudah, saya tidak apa-apa. Barang itu letakkan saja disitu," kata Xaviera sambil menunjuk lantai. 

Kedua lelaki itu langsung menaruh barang yang mereka ambil dari bagasi mobil Xaviera. Mereka kembali mengambil barang dan menaruhnya di tempatnya. 

Xaviera tersenyum senang karena masih ada anak muda yang mau membantunya. "Nama kalian siapa? Dan bagaimana kalian bisa berada disini?" tanya Xaviera penasaran. 

"Perkanalkan bu, nama saya Byakta dan ini teman saya Yasa," ucapnya memperkenalkan diri. 

"Kami di sini karena tadi melihat ibu kesusahan menurunkan barang belanjaan itu dan rumah saya juga di sekitar sini lewat dua rumah dari rumah ibu," kata Byakta menjelaskan segalanya. 

"Oh … maaf ya saya tidak tahu kalau tidak ternyata kita tetangga," ujar Xaviera tulus. 

Byakta dan Yasa tersenyum. "Tidak masalah bu," jawab Byakta dengan sopan. 

"Apa ada yang bisa kami bantu lagi bu?" tanya Yasa dengan sopan. 

Xaviera menatap barang belanjaannya. "Tidak, tidak ada lagi. Tapi, kalian mampirlah ke dalam ibu akan memberikan kalian makan dan minum sebagai bayaran," kata Xaviera sambil terkekeh. 

Byakta dan Yasa ikut terkekeh. "Tidak us—" 

"Baik bu, kami akan menerima makanan dari ibu," potong Byakta membuat Yasa melotot. 

Xaviera tersenyum senang. "Baiklah ayo!" ajak Xaviera dan mau tak mau Yasa masuk ke dalam bersama dengan Byakta. 

Mereka berdua takjub dengan rumah Xaviera yang sangat bersih rapi. Mereka duduk di sofa ruang tamu saat Xaviera meminta mereka untuk duduk. 

"Kalian tunggu disini, ibu akan ambil makanan dan minumannya," kata Xaviera dan berjalan pergi menuju dapur. 

Yasa dan Byakta saling tatap. "Aku penasaran dengan anak perempuan ibu itu, apakah anaknya akan secantik ibu nya?" Byakta menatap sekeliling ruangan. 

Yasa melongo. "Jadi ini alasanmu mengajakku ke sini?" bisik Yasa kepada Byakta. 

Byakta mengangguk. "Diamlah! Nanti kita akan ketahuan!" peringat Byakta kepada Yasa. 

"Tapi, mengapa kita harus berbohong?" bisik Yasa kembali. Dia tidak habis pikir dengan tingkah Byakta. 

"Aku sudah melakukan semua cara untuk melihat anak perempuannya, namun aku tidak pernah berhasil. Aku harap kali ini aku berhasil melihat anak perempuannya," ucap Byakta membuat Yasa menghela napas lelah. 

Tak lama Xaviera kembali dengan membawa dua puding dan dua jus semangka. Dia kembali ke dapur setelah menaruh makanan itu. 

Yasa mengikuti arah Xaviera perg. "Aku jadi tidak enak kepada ibu itu," ucap Yasa tak enak hati. 

Byakta tidak memperdulikan Yasa. Dia sibuk memakan puding coklat itu. "Ini sangat enak Yasa, kau harus mencobanya!" ucap Byakta dan menyuapi Yasa. 

"Kalian berdua terlihat sangat menggemaskan," puji Xaviera. Dia menaruh brownies dan dua porsi spaghetti. 

"Ayo dihabiskan!" 

Byakta tersenyum senang berbeda dengan Yasa yang tak enak dengan semua perlakuan Xaviera. 

"Bu, kami jadi tidak enak. Makanannya banyak sekali," kata Yasa membuat Byakta melongo. 

Xaviera terkekeh. "Tidak apa-apa. Makan saja seperti kalian tengah makan dirumah kalian sendiri," kata Xaviera lembut. 

"Kamu harus memanggil ibu apa?" tanya Yasa sopan. 

"Ibu Viera, tapi sebenarnya nama ibu Xaviera kalian panggil ibu Viera saja," kata Xaviera yang diangguki oleh Yasa dan Byakta. 

Xaviera tersenyum senang melihat Yasa dan Byakta makan dengan begitu lahap. Sudah lama dia tidak melihat Speranza dan Caiden makan masakan ya bersama dengan selahap ini. Masakannya pasti akan terbuang sia-sia. 

"AKU PULANG!!" 

Yasa, Byakta dan Xaviera menoleh kearah pintu. Yasa dan Byakta terkejut sedangkan Xaviera tersenyum senang karena putrinya pulang pada sore hari bukan malam hari. 

"Kamu pulang cepat hari ini," kata Xaviera dan menghampiri Speranza. 

Speranza membeku menatap Yasa dan Byakta. Byakta melongo dan memilih untuk menatap kerana lain sedangkan Yasa menatap Speranza tanpa kedip. 

"Flavia, perkenalkan ini Yasa dan Byakta mereka sudah membantu ibu tadi dan kamu tahu ternyata Byakta adalah tetangga kita," kata Xaviera menjelaskan segalanya. 

Speranza tersenyum miring. "Dunia begitu sempit," ujarnya dan berjalan pergi meninggalkan semua orang. 

"FLAVIA!!" 

"Bu, apa dia putri ibu?" tanya Yasa kepada Xaviera. 

Xaviera mengangguk. "Iya, dia adalah putri ibu cantik bukan?" Xaviera terkekeh dnegna perkataannya sendiri. 

"Mengapa ibu memanggilnya Flavia? Bukankah namanya Speranza?" tanya Yasa penasaran. 

Xaviera terdiam membeku. Dia menatap Yasa terkejut. "Bagaimana kamu tahu?" tanya Xaviera cemas. 

Byakta berdiri dan menatap Xaviera. "Yasa adalah kekasih Speranza," ucap Byakta semakin membuat Xaviera terkejut. 

Dia tidak menyangka Speranza memiliki kekasih disini. Berani sekali Speranza melakukan hal itu? Mereka sudah menyuruh Speranza untuk menjauh dari orang-orang. 

"Jadi begitu?" Yasa dan Byakta mengangguk menyetujui Xaviera.

"Kalau begitu keluar! Saya tidak ingin anak saya memiliki kekasih disini ataupun teman!!" teriak Xaviera membuat Yasa dan Byakta terkejut. 

"Tapi bu—" 

"KELUAR!!"

****

Related chapters

Latest chapter

DMCA.com Protection Status