"Ada apa? Mengapa kau terlihat gelisah?"
Caiden memperhatikan mimik wajah Xaviera. Dia sangat mengenal Xaviera dan mengerti kalau Xaviera sulit untuk menyembunyikan ekspresinya.
Xaviera masih diam dengan kepala yang tertunduk. Caiden tersenyum tipis, tangannya bergerak menyentuh pipi Xaviera dan mengelusnya dengan lembut.
"Ada apa sayang?" tanya Caiden lembut.
Tiba-tiba saja Xaviera menetskan air mata membuat Caiden terkejut. Dengan cepat Caiden memeluk Xaviera dan membiarkannya mengeluarkan segalanya.
Setelah mulai tenang, Xaviera melepaskan pelukannya dan menatap suaminya dengan mata sembab.
"Tadi pagi aku bertemu dengannya," ucap Xaviera membuat dahi Caiden berkerut.
"Dengannya? Siapa?" tanya Caiden kebingungan.
Xaviera terdiam sejenak, kemudian dia menatap tepat di mata suaminya. "Bitari," jawabnya dengan suara lesu.
Mendadak suasana menjadi dingin. Mereka berdua sama sekali tidak mengeluarkan su
Ketukan sepatu seseorang berhasil mengusik ketenangan yang Yasa miliki. Dia menghela napas dan menatap tajam pelaku yang membuat kebisingan itu. Sang pelaku tidak peduli, ia malah bersiul seolah tidak melakukan kesalahan apapun. Yasa menghela napas bersabar. Matanya menatap ke arah pintu operasi yang masih tertutup dengan lampu merah yang menyala. "Dia sedang dioperasi bukan? Lalu, mengapa kita tetap di sini? Ayo kita pulang!" Ajak Speranza dengan santai. "Apa kau sudah gila? Kau mau kita meninggalkan dia begitu saja?" Tanya Yasa sedikit marah. "Mengapa kau peduli sekali dengannya? Aku benar-benar tidak menyukainya! Aku harap dia tidak selamat!" Sumpah Speranza menatap pintu ruang operasi dengan tajam. "SPERANZA!!" bentak Yasa membuat Speranza terkejut. Yasa menghela napas, kejadian beberapa menit yang lalu terus berputar di kepalanya. Dia sama sekali tidak mengerti apa yang sedang terjadi. "Speranza, aku—" "Aku harus pulang. Ayah sudah menunggu ku," ujar Speranza memotong perk
Milan, Italia, 28 Mei 2021. Saat ini sang purnama yang cantik jelita sudah duduk manis di langit yang begitu luas, sinarnya menyoroti setiap pergerakan makhluk di bumi. Cuaca yang cerah membuat kita dapat melihat sang purnama dengan jelas, begitu pula dengan keluarga bahagia yang tengah menatap purnama sambil berbincang hangat dan menikmati makan malam bersama. Ibu, ayah dan dua anak perempuan mereka yang terlihat sangat cantik tertawa bersama karena candaan yang dilontarkan oleh sang ayah. Mereka terlihat begitu harmonis, tidak ada yang mengganggu mereka karena mereka telah menyewa restoran itu untuk malam ini. "Tertawalah, tertawalah untuk terakhir kalinya." Dibalik pagar tanaman merambat seorang gadis dengan hoodie yang menutupi kepala dan masker
Jakarta, Indonesia, 14 Juli 2021 SMA Zervard adalah salah satu SMA favorit di Jakarta dan saat ini sekolah tersebut tengah ramai dan dipadati oleh siswa siswi baru. Para murid baru berkumpul dilapangan bersama anggota OSIS dari sekolah tersebut. Pemuda dengan pakaian yang sangat rapi berdecak sebal saat melihat lapangan dan koridor yang dipenuhi oleh para siswa dan siswi. Dia berjinjit untuk melihat celah agar bisa berjalan melewati mereka semua. Namun, tidak ada celah sedikitpun. Lelaki itu dengan lesu membalikkan badannya, namun tanpa sengaja dia menabrak seorang perempuan hingga membuat semua buku yang dia pegang berjatuhan di atas lantai. Lelaki itu dengan cepat menunduk dan membereskan buku-bukunya. Sang perempuan juga ikut membereskan buku milik lelaki tersebut membuat lelaki itu terkejut.
Cuaca yang begitu panas. Hari ini matahari merdeka memamerkan sinarnya. Keringat mengucur dari dahi hingga ke ujung kaki. Semua orang tidak tahan dengan hawa panas di sekeliling mereka. Yang berada di dalam ruangan saja kepanasan dan bagaimana dengan orang yang berada di luar ruangan? Para murid kelas dua belas ipa tiga sedang merasakannya. Dibawah terik matahari mereka diminta untuk berolahraga. Tidak tahu berapa liter keringat yang sudah mereka keluarkan. Yasa menghembuskan napas untuk kesekian kalinya. Dia sudah tidak sanggup melakukan aktivitas ini lagi. Namun sayang, Yasa tidak bisa memberitahu siapapun kalau dia ingin berhenti melakukan semua ini. Dengan wajah yang begitu pucat, Yasa berlari mengelilingi lapangan dengan teman-teman sekelasnya. Keringat yang jatuh di setiap detiknya, detak
"Kita mau kemana?"Yasa menatap keluar melalui jendela mobil. Suasana malam ini sangat sepi. Hanya ada beberapa kendaraan yang melintasi jalan raya ini.Yasa menoleh ke arah Speranza saat Speranza tak kunjung menjawab pertanyaannya. "Kita mau kemana?" ulangnya sambil menatap Speranza. Speranza hanya melirik dan tidak menjawab.Yasa menghela napas bersabar. Beberapa menit kemudian mobil berhenti di sebuah taman yang sangat sepi bahkan mungkin sudah lama ditinggalkan. Yasa menelan ludah saat merasakan hawa dingin yang membuatnya merinding."Ayo turun!" ajak Speranza."Tunggu!" ucap Yasa sambil menahan tangan Speranza. "Kita mau apa disini? Tempat ini sangat seram," ujar Yasa menelan salivanya gugup.
"Kau lihat?!"Speranza hanya mampu menunduk saat sang ayah menunjuknya dengan penuh amarah. Speranza memejamkan matanya saat ayahnya membanting handphonenya."Itulah alasanku tidak membiarkanmu berkeliaran di sini, Kau benar-benar tidak bisa hidup di luar," kata sang ayah membuat Speranza menatapnya terkejut."Tidak bisa hidup di luar? Apa kau berniat untuk mengurungku?!" tanya Speranza tak habis pikir."Ya! Aku berniat untuk mengurungmu! Kalau saja manusia sepertimu tidak ada di dunia ini, maka dunia ini akan begitu damai.""CAIDEN!!" Speranza meneriaki nama ayahnya membuat semua orang tuanya menatap dirinya terkejut."Berani sekali kau meneria
Baru kali ini senyum Yasa bertahan cukup lama. Dia terlalu bahagia untuk berpura-pura menahan senyumnya. Yasa berjalan masuk ke dalam rumahnya.Saat ini jam menunjukkan pukul 21.52. Yasa menghela napas karena sadar dia telah pergi keluar terlalu lama. Dengan jantung yang Berdetak dengan cepat, Yasa terus melangkah masuk ke dalam rumah."Hebat!"Tubuh Yasa tersentak. Dia menoleh kearah sumber suara. Dia terdiam saat melihat mama dan papanya berdiri dengan wajah penuh amarah."Hebat ya kamu sekarang!" ucap sang mama membuat Yasa terdiam."Ada apa ma?" tanya Yasa lugu. Arzan yang melihat itu tertawa dengan keras. "Semakin lama kau semakin pintar," komentar Arzan membuat Yasa semakin takut.
"Tapi, bu ...." "KELUAR!!" Xaviera mendorong tubuh Byakta dan Yasa hingga keluar dari rumahnya. Byakta dan Yasa hanya bisa pasrah mengikuti keinginan Xaviera. Mereka berdua menghela napas. Yasa menatap pintu rumah Xaviera dengan tatapan bingung. "Byakta," panggil Yasa membuat Byakta menoleh ke arahnya. "Apa?" Yasa menatap Byakta dengan serius. "Apa kau tidak merasa ada yang aneh?" tanya Yasa membuat Byakta mengerutkan dahinya bingung. Byakta menggeleng. "Tidak. Memangnya kenapa?" tanya Byakta balik. "Mengapa ibu Speranza memanggilnya dengan nama Flavia?" tanya Yasa sambil mengelus dagunya. "Mungkin saja itu nama panggilan dari ibunya," sahut Byakta membuat Yasa terdiam. "Lalu, kau lihat sendiri bukan? Ibu Speranza memiliki wajah asli orang Indonesia sedangkan Speranza wajahnya sangat kental dengan Italia," kata Yasa membuat Byakta terdiam. "Mungkin saja ayah Speranza asli Italia," jawab Byakta sedikit ti